Wednesday, May 01, 2019

RUJUK dan FASAKH


BAB I
PENDAHULUAN
  A.     Latar Belakang
Pernikahan adalah fitrah manusia karena Allah SWT telah menciptakannya sebagai makhluk yang berpasangan dan saling membutuhkan. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk memperoleh keturunan, maka timbullah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda, seorang laki-laki dan perempuan ada daya tarik satu sama lain untuk hidup bersama. Laki-laki diciptakan untuk menjadi sandaran wanita, sedangkan wanita diciptakan untuk menjadi penenang bagi laki-laki. Pernikahan dalam Islam dilakukan atas dasar hubungan yang halal. Pernikahan, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur‟an, merupakan bukti dari keMaha Bijaksanaan Allah SWT dalam mengatur makhluk-Nya.
Pernikahan selain merupakan sunnatullah yang bersifat qudrati, perkawinan dalam Islam juga merupakan sunnah Rasul. Tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup yang disebut sakinah, karena adanya iklim cinta, kasih sayang dan kemesraan, tujuan itu pulalah yang melandasi dan menjadi motivasi dan cita-cita seseorang disaat memutuskan untuk menikah, disamping keluarga yang bahagia lahir batin merupakan tujuan dari sebuah bangsa, maka tidaklah heran jika ada pepatah yang mangatakan keluarga adalah tiangnya negara dan bangsa.
Tujuan rumah tangga adalah hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri yang didasari oleh kerelaan dan keselarasan hidup bersama, atau dalam arti lain suami istri itu hidup dalam ketenangan lahir dan batin karena merasa cukup dan puas atas segala sesuatu yang ada dan yang telah dicapai dalam melaksanakan tugas kerumah tanggaan, baik tugas dalam maupun luar, yang menyangkut bidang nafkah, seksual, pergaulan antar anggota rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat, keadaan rumah tangga seperti ini bisa disebut keluarga harmonis. Meskipun begitu tidak menutup kemungkinan nantinya dalam perjalanan kehidupan akad yang mereka buat bersama mengalami goncangan yang berdampak pada terciptanya percekcokan suami istri yang tiada henti-hentinya, silang pendapat yang masing-masing pihak masih membawa egonya sendiri. Oleh karena itu perkawinan yang semua membahagiakan berubah saling mencelakakan, yang jika tidak bisa mempertahankan pernikahannya mengakibatkan perceraian bahkan terjadi rujuk pula.
Dalam suatu pernikahan seharusnya suami istri berusaha untuk selalu menjaga keluarganya dengan menghindari hal-hal yang menyebabkan perceraian. Akan tetapi dalam proses pernikahan, bahkan sebelumnya dapat terjadi sebuah kerusakan atau batalnya sebuah pernikahan yang disebabkan karena beberapa peristiwa. Dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang pengertian, dalil, rukun dan syarat rujuk, serta membahas tentang pengertian fasakh (batalnya pernikahan), sebab- sebab dan pelaksanaanya.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan dasar hukum rujuk?
2.      Bagaimana rukun dan syarat-syarat rujuk?
3.      Bagaiamana pengertian dan sebab-sebab fasakh?
4.      Bagaimana pelaksanaan fasakh?
C.       Tujuan Pembahasan
             1.          Untuk mendiskripsikan pengertian dan dasar hukum rujuk.
             2.          Untuk mendiskripsikan rukun dan syarat-syarat rujuk.
              3.          Untuk mendiskripsikan pengertian dan sebab-sebab fasakh.
             4.          Untuk mendiskripsikan pelaksanaan fasakh.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian dan Dasar Hukum Rujuk
1.    Pengertian Rujuk
Menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a-yarji’u-ruju’an yang berarti kembali, dan mengembalikan. Dalam istilah hukum Islam, para fuqaha mengenalkan istilah "ruju’" dan istilah ”raj’ah” yang keduanya semakna.[1]
Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut :
a. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya pengganti dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila habis masa iddah.
b. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari talak ba‟in, maka harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.
c. Syafi‟iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun suami berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan Syafi‟iyah adalah mengembalikan hubungan suami istri ke dalam ikatan pernikahan yang sempurna.
d. Hambaliah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak selain talak ba‟in kepada suaminya dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun tidak.[2]
Jadi, dapat dirumuskan bahwa rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu.
Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami istri meskipun berstatus talak raj’i, namun pada dasarya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati bekas suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya dan mengembalikannya sebagaimana sumai istri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh bekas suami yang dimaksud.
Dengan terjadinya talak raj’i, maka kekuasaan bekas suami terhadap istri menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara keduanya selama istri dalam masa iddah-nya, yaitu kewajiban menyediakan tempat tinggal serta jaminan nafkah, dan sebagai imbangannya, bekas istrinya itu harus kembali dalam arti mengembalikannya kepada kedudukannya sebagai istri secara penuh. Dengan pemyataan rujuk bekas suami halal mencampuri bekas istrinya lagi, sebab dengan demikian status perkawinan mereka kembali seperti sedia kala.
Dalam masa itu, laki-laki selain bekas suami tidak berhak mengawini bekas istri itu sebelum berakhir masa iddah-nya. Hak prioritas merujuk itu menjadi hilang dengan berakhirnya masa iddah yang dimaksud. Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raji’i diatur berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228:[3]

وَبُعُوْ لَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَا لِكَ اِنْ اَرَادُوآ اِصْلاَحَا.....(288)

 "Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. "(QS Al-Baqarah [2]: 228)

  Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik, misalnya, menggunakan hak rujuknya untuk menyengsarakan istrinya, atau untuk mempermainkannya. Sebab, dengan demikian, bekas suami berbuat aniaya atau berbuat zalim, sedangkan berbuat zalim itu diharamkan.  Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:

وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْسَرِّ حُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَلاَ تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًالِّتَعْتَدُؤا ۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذَا لِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُوْ ؕ....(231)

"Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf; atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri". (QS Al-Baqarah [2]: 31)[4]

Apabila suami menjatuhkan talaknya di waktu istri sedang haid, maka suami wajib merujuk istrinya kembali, karena talak diwaktu haid ini tidak sesuai dengan tuntunan atau disebut dengan talak bid’i. Ketentuan ini sesuai dengam hadis dari Ibnu Umar r.a. bahwa ia mentalak istrinya di waktu haid, lalu Umar r.a. bertanya kepada Rasulullah. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada Umar untuk memerintahkan kepada anaknya itu agar merujuk istrinya, dengan sabda beliau:

مره فليرا جعها ثم ليمسكها حتى تطهر ثم ثحيض ثم تطهر ثم ان شاء أمسك وان شاء طلق قبل ان يمس فتلك العدة التى أمر الله ان تطلق لها النساء (متفق عليه ).

“Perintahlah ia (anakmu, hendaklah ia merujuk istrinya), lalu ia memeliharanya sehingga suci dari haid, kemudian haid, kemudian suci lagi, kemudian jika ia mau hendaklah ia pelihara sesudah itu, atau jika ia berkehendak boleh ia mentalaknya sebelum ia mencampurinya. Demikian itulah waktu yang diizinkan Allah bagi suami untuk mentalak istrinya.” (Muttafaq ’Alaih)

Dengan demikian, status hukum suami merujuk istrinya itu bergantung kepada motif dan tujuannya serta sesuai atau tidaknya cara menjatuhkan talak itu dengan tuntunan sunnah sehingga dengan demikian hukum suami merujuk bekas istrinya itu boleh jadi wajib, boleh jadi sunnat, boleh jadi mubah, boleh jadi makruh, dan boleh jadi haram.
Syariat tentang rujuk merupakan indikasi bahwa islam menghendaki suatu perkawinan berlangsung selamanya, walaupun telah terjadi pemutusan hubungan perkawinan, Allah swt masih memberi prioritas utama kepada suaminya untuk menyambung kembali perkawinan yang nyaris putus sebelum kesempatan ini diberikan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah. Para ulama madzhab sepakat rujuk diperbolehkan, dalam melakukan rujuk tidak membutuhkan seorang wali, mas kawin, dan tidak pula kesediaan dari istri yang ditalak.[5]
Adanya persamaan dan perbedaan mekanisme rujuk suami kepada istri menurut para ulama madzhab dengan kompilasi hukum islam. Dimata para ulama sependapat rujuk dapat dilakukan dengan shighat yaitu perbuatan dengan kata- kata. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) rujuk hanya dapat dilakukan di pegawai pencatan nikah dan suami mengucapkan lafal rujuknya. Hal ini sesuai dengan pasal 167 ayat 1 dan kompilasi Hukum Islam (HKI) . Apabila prosedur –prosedur yang ditetapkan oleh kompilasi hukum islam seperti dalam pasal 67 ayat 1 yaitu “ Suami yang hendak merujuk istrinya datang dengan bersama sama istrinya kepegawai yang pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatan nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan. Apabila prosedur dilanggar maka rujuknya dianggap tidak sah atau tidak mengikat.[6]
2.    Dasar Hukum Rujuk
Ibnu Rusdy membagi hukum rujuk kepada dua: hukum rujuk pada talak raj’i dan hukum rujuk pada talak ba'in.
a)    Hukum Rujuk pada Talak Raj’i
Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak meruju‟ istri pada talak raj‟i, selam isteri masih berada dalam masa iddah, tanpa mempertimbangkan persetujuan isteri, berdasarkan firman Allah SWT :“Dan suami-suaminya berhak merujuk mereka (istri-istri) dalam masa menanti itu” (Al-Baqarah : 228)
Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak raj’i ini harus terjadi  setelah dukhul (bersetubuh) dan rujuk dapat terjadi dengan kata-kata dan saksi.[7]
b)      Hukum Rujuk pada Talak Ba’in
Hukum rujuk setelah talak tersebut (talak ba’in) sama dengan nikah baru, yakni tentang persyaratan adanya mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur fuqaha berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak mempertimbangkan berakhirnya masa iddah.
Sebagian fuqaha berbeda pendapat dengan mengatakan bahwa istri yang dikhulu’ itu tidak boleh dikawin oleh suami (yang mengkhulu’nya) atau oleh orang lain pada masa idahnya. Seolah-olah mereka beranggapan bahwa larangan nikah pada masa idah adalah suatu ibadah (ta’abuddi). Hukum rujuk pada talak ba’in dapat diperinci menjadi dua:
1)   Talak Ba’in karena Talak Tiga Kali
Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli (oleh suami lain), berdasarkan hadis Rifa’ah bin Sama’ul:
انّهُ طَلَقَ اِمْرَأَتَهُ تَمِيْمَةَ بِنْتِ وَهَبٍ فِى عَهدِ رَسُولِ الله صل الله عليه و سلم ثَلاَثًا فنكحتْ عبدَ الرَ حْمَن بن الزُ بَيْر. فَا عْتَرَ ضَعَنهَا فلم يَسْتَطِعْ أن يَمُسَّهَا ففا رَ قَها. فأ رَادَ رِفا عَةُ رو جتها الأُ و لَى ان يَنكِحَهَا فذَ كَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه و سلَّم فنَهَاه تَزْوِيْجَهَا و قَالَ : لاَ تَحلُ لَكَ حَتَّى تذوق العسِيْلَةَ.
Pada masa Rasulullah Saw. Rifa’ah menalak tiga istrinya, Tamimah binti Wahab. Tamimah kawin dengan Abdurrahman bin Zubair. Kemudian Abdurrahman berpaling daripadanya tanpa dapat menggaulinya, lalu ia pun menceraikannya. Maka, Rifa’ah (suaminya yang pertama) bermaksud hendak mengawininya lagi, maka dituturkanlah hal itu di hadapan Rasulullah Saw., Rasulullah Saw. bersabda: Tamimah tidak halal bagimu sehingga ia merasakan madu (berjimak dengan suami lain).
Sa’id bin Musayyab berbeda sendiri pendapatnya dengan mengatakan bahwa istri yang dicerai tiga kali boleh kembali kepada suaminya yang pertama dengan akad nikah yang sama, berdasarkan keumuman firman Allah:  
....حت تنكح زو جا غيره......
“....Sehingga ia (istri yang dicerai tiga kali) kawin dengan suami yang lain...”
Ia berpendapat bahwa nikah yang dimaksudkan adalah untuk semua akad nikah. Semua fuqaha berpendapat bahwa bertemunya dua alat kelamin menyebabkan halalnya bekas istri tersebut, kecuali Hasan Bashri yang mengatakan bahwa istri tersebut baru menjadi halal dengan terjadinya pergaulan yang mengeluarkan air mani.[8]  
2)   Nikah Muhalil
Dalam kaitan ini, fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah muhallil yaitu jika seorang lelaki mengawini seorang perempuan dengan syarat (tujuan) untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama, Imam Malik berpendapat bahwa nikah tersebut rusak dan harus difasakh, baik sesudah maupun sebelum terjadinya pergaulan. Demikian pula syarat tersebut rusak dan tidak berakibat halalnya perempuan tersebut. Dan baginya keinginan istri untuk menikah tahlil tidak dipegangi, tetapi keinginan lelaki itulah yang dipegangi. Imam Malik dan pengikutnya beralasan dengan hadits yang diriwayatkan  dari Nabi SAW. Dari Ali bin Abi Thalib r.a, Ibnu Mas‟ud r.a, Abu Hurairah r.a dan Uqbah bin Amir r.a :“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Allah melaknat perkawinan orang yang menghalalkan (al-Muhallil) dan orang yang dihalalkan untuknya (al-Muhallal lah).” (HR. At-Tirmidzi)
Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil dibolehkan, dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi sahnya. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa pernikahan tersebut menyebabkan kehalalan istri yang dicerai tiga kali.[9]

B.       Rukun dan Syarat-syarat Rujuk
1.      Rukun Rujuk
Dalam pelaksanaan rujuk, rukun rujuk sangat penting, karena rujuk dipandang sah apabila memenuhi rukun yang diterapkan oleh fuqaha’.  Adapun mengenai rukun rujuk tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Isteri. Keadaan isteri disyaratkan:
1) Sudah dicampuri
2) Isteri yang tertentu
3) Talaknya adalah talak raj’i 
4) Isteri tengah menjalani masa ‘iddah
b. Suami. Rujuk dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri artinya bukan atas paksaan dari pihak lain
1) Sighat (lafat rujuk), sighat rujuk ada dua yaitu:
a) Terang-terangan (sharih), misalnya dikatakan, “Saya kembali kepada isteri saya” atau “Saya rujuk padamu”.
b) Melalui sindiran, misalnya “Saya pegang engkau” atau “Saya kawin engkau” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau untuk yang lainnya.[10] Disyariatkan ucapan itu tidak bertaqlid, berarti tidak digantungkan, misalnya : “Aku rujuk engkau jika engkau mau”, rujuk semacam ini tidak sah walaupun isterinya mau. Rujuk yang terbatas waktunya juga tidak sah, misalnya : “Aku ruju‟ engkau sebulan[11]
2) Saksi, terdapat dua orang saksi sebagaimana dijelaskan pada surat at- Thalaq ayat 2:

...وَّاَشْهِدُوْا ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَاَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلهِ.....(2)
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.”

2.      Syarat Rujuk
Rujuk dapat terjadi selama isteri masih dalam masa iddah talak raj’i, maka apabila mantan suami hendak merujuk isterinya, maka hendaklah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Mantan isteri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri
b) Harus dilakukan dalam masa iddah
c) Harus dilakukan oleh dua orang saksi
d) Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai ‘iwadh dari isteri
e) Persetujuan isteri yang akan dirujuk.[12]

C.      Pengertian dan Sebab-sebab Terjadinya Fasakh
1.      Pengertian Fasakh
Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut iuga dengan fasakh. Fasahh artinya putus atau batal.“ Bila ada kata-kata fasakh ba'i berarti pembatalan akad jual beli karena ada suatu sebab/illat/cela. Sedangkan fasakh nikah adalah pembatalan perkawinan oleh istri karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat memberi belanja/nafkah, menganiaya, murtad, dan sebagainya. Maksud dengan fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami istri.
Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditetapkan oleh syarak. Itu, dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum, batalnya perkawinan adalah rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama. Contoh perkawinan yang batal (tidak sah), yaitu perkawinan yang dilangsungkan tanpa calon mempelai laki-laki atau calon mempelai perempuan. Perkawinan semacam ini batal (tidak sah) karena tidak terpenuhi salah satu rukunnya, yaitu tanpa calon mempelai laki-laki atau tanpa calon mempelai perempuan. Contoh lain, perkawinan yang saksinya orang gila, atau perkawinan yang walinya bukan muslim atau masih anak-anak, atau saudara kandung perempuan.[13]
2.      Sebab-sebab Terjadinya Fasakh
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat- syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian membatalkan kelangsungan perkawinan.
a. Fasakh (batalnya perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
1) Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya, adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
2) Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya, kemudian setelah dewasa, ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar balig. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh balig.
b. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad
1) Bila salah seorang dari suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.[14]  
2) Jika suami, yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri juga masuk Islam. Maka, akadnya tetap sah seperti semula
    Sebab-sebab batalnya perkawinan, menurut Kompilasi Hukum Islam secara rinci menjelaskan sebagai berikut:
a. Pasal 70. Perkawinan batal apabila:
1) Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam 'idah talak raj’i.
2) Seseorang menikahi istrinya yang telah di li’annya. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kacuali bila bekas istri tersebut pernah (halaman 203) menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa idahnya.
3) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: (1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; (2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; (3) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi paman sesusuan;
4) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
b) Pasal 71. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
1) Seorang suami melakukan poligami tanpa izih Pengadilan Agama.
2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud.
3) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dari Suami lain.
4) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
6) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.[15]
D.      Pelaksanaan Fasakh
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas dan dibenarkan oleh syarak, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan, misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, atau saudara sesusuan. Akan tetapi, jika terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:
1.    Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di Pengadilan Agama supaya yang berwenang dapat menyelesaikan sebagaimana mestinya, sebagaimana dijelaskan dalam surat riwayat berikut ini:

عن عمر رضى الله عنه أنه كتب الى امراء الا جناد فى رجال غابوا عن نساءهم أن يأ خد و هم بأن ينفقوا لأويطلقا، فان طلقوا بعشوا بنفقة ماحسبوا (روها الشافعى و البيهقي)

Dari Umar r.a., “Bahwasanya ia telah berkirim surat kepada Para pemimpin pasukan perihal para suami yang telah lama meninggalkan keluarganya agar meminta tanggung jawab mereka atas istri-istrinya ,yaitu, agar mereka memberi nafkah atau menceraikan  mereka. Jika mereka menceraikan istri-istrinya, hendaklah mereka mengirimkan nafkah yang belum mereka berikan.”  

2.    Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurang nya tiga hari, sejak dari istri itu mengadu, jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya. Rasulullah Saw. bersabda:

عن أبي هريرة رَى ا الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فى الر جل لا يجد ما ينفق على امرأته يفرق بينهما (رواه الدار قطن والبيهقى)

Dari Abu Hurairah r.a., “Rasulullah Saw. bersabda tentang laki-laki yang tidak memperoleh apa yang akan dinafkahkannya kepada istrinya, keduanya boleh bercerai” (HR Daruquthni dan Baihaqi) .[16]


BAB III
PENUTUP
  A.     Kesimpulan
1.    Rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu. Dasar hukum rujuk menurut Ibnu Rusdy membagi hukum rujuk kepada dua: hukum rujuk pada talak raj’i dan hukum rujuk pada talak ba'in. Dasar hukum rujuk pada talak raj’i termuat dalam surat al-Baqarah ayat 228 dan dasar hukum rujuk pada talak ba’in dalam hadist Rifa’ah bin Sama’ul.
2.    Rukun rujuk yaitu: (1) Isteri, dengan keadaan istri yang disyaratkan (sudah dicampuri, isteri yang tertentu, talaknya adalah talak raj’i, isteri tengah menjalani masa ‘iddah. (2) Suami (adanya sighat lisan dan saksi), rujuk dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri artinya bukan atas paksaan dari pihak lain. Sedangkan syarat-syarat rujuk sebagai berikut: (a) Mantan isteri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri; (b) Harus dilakukan dalam masa iddah; (c) Harus dilakukan oleh dua orang saksi; (d) Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai ‘iwadh dari isteri; (e) Persetujuan isteri yang akan dirujuk.
3.    Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut iuga dengan fasakh. Sedangkan fasakh nikah adalah pembatalan perkawinan oleh istri karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat memberi belanja/nafkah, menganiaya, murtad, dan sebagainya.
4.    Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat- syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian membatalkan kelangsungan perkawinan.
5.    Dalam pelaksanaan fasakh ada dua: pertama, jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di Pengadilan Agama supaya yang berwenang dapat menyelesaikan sebagaimana mestinya. Kedua, setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurang nya tiga hari, sejak dari istri itu mengadu, jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.


[1] Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014 ) , hal. 327
[2] Munawwar Khalil, Relevansi Konsep Rujuk antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Empat Madzhab, Skripsi: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2011, hal. 16-17
[3] Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat..., hal. 328
[4] Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat..., hal. 329
[5] Ibnu Mas’udi, Edisi Lengkap Mazhab Syafi’i, Jilid II, ( Bandung: Pustaka Setia,2007 ), hal. 6
[6] Ibnu Mas’udi, Edisi Lengkap Mazhab Syafi’i..., hal. 7
[7] Munawwar Khalil, Relevansi Konsep..., hal. 20
[8] Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat... , hal. 334-335
[9] Munawwar Khalil, Relevansi Konsep..., hal. 22-23
[10] Munawwar Khalil, Relevansi Konsep..., hal. 23-24
[11] Moh. Rifa‟i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1978), hlm. 505
[12]Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Pernikahan, (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 341
[13]Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat..., hal. 195
[14] Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat..., hal. 196
[15]  Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat..., hal . 204
[16] Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat..., hal . 202

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer