BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah fitrah manusia karena Allah SWT
telah menciptakannya sebagai makhluk yang berpasangan dan saling membutuhkan.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk memperoleh keturunan, maka timbullah
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi kodrat alam bahwa
dua orang manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda, seorang laki-laki dan
perempuan ada daya tarik satu sama lain untuk hidup bersama. Laki-laki diciptakan untuk menjadi
sandaran wanita, sedangkan wanita diciptakan untuk menjadi penenang bagi
laki-laki. Pernikahan dalam Islam dilakukan atas dasar hubungan yang halal.
Pernikahan, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur‟an, merupakan bukti dari keMaha
Bijaksanaan Allah SWT dalam mengatur makhluk-Nya.
Pernikahan selain merupakan sunnatullah yang bersifat qudrati,
perkawinan dalam Islam juga merupakan sunnah Rasul. Tujuan pernikahan
adalah untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup yang disebut sakinah, karena
adanya iklim cinta, kasih sayang dan kemesraan, tujuan itu pulalah yang
melandasi dan menjadi motivasi dan cita-cita seseorang disaat memutuskan untuk
menikah, disamping keluarga yang bahagia lahir batin merupakan tujuan dari
sebuah bangsa, maka tidaklah heran jika ada pepatah yang mangatakan keluarga
adalah tiangnya negara dan bangsa.
Tujuan rumah tangga adalah hidup bahagia dalam ikatan cinta
kasih suami istri yang didasari oleh kerelaan dan keselarasan hidup bersama,
atau dalam arti lain suami istri itu hidup dalam ketenangan lahir dan batin
karena merasa cukup dan puas atas segala sesuatu yang ada dan yang telah
dicapai dalam melaksanakan tugas kerumah tanggaan, baik tugas dalam maupun
luar, yang menyangkut bidang
nafkah,
seksual, pergaulan antar anggota rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat,
keadaan rumah tangga seperti ini bisa disebut keluarga harmonis. Meskipun
begitu tidak menutup kemungkinan nantinya dalam perjalanan kehidupan akad yang
mereka buat bersama mengalami goncangan yang berdampak pada terciptanya
percekcokan suami istri yang tiada henti-hentinya, silang pendapat yang
masing-masing pihak masih membawa egonya sendiri. Oleh karena itu perkawinan
yang semua membahagiakan berubah saling mencelakakan, yang jika tidak bisa mempertahankan
pernikahannya mengakibatkan perceraian bahkan terjadi rujuk pula.
Dalam
suatu pernikahan seharusnya suami istri berusaha untuk selalu menjaga
keluarganya dengan menghindari hal-hal yang menyebabkan perceraian. Akan
tetapi dalam proses pernikahan, bahkan sebelumnya dapat terjadi sebuah
kerusakan atau batalnya sebuah pernikahan yang disebabkan karena beberapa
peristiwa. Dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang pengertian, dalil,
rukun dan syarat rujuk, serta membahas tentang pengertian fasakh (batalnya
pernikahan), sebab- sebab dan pelaksanaanya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan dasar hukum
rujuk?
2. Bagaimana rukun dan syarat-syarat rujuk?
3. Bagaiamana pengertian dan sebab-sebab
fasakh?
4. Bagaimana pelaksanaan fasakh?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mendiskripsikan pengertian dan dasar
hukum rujuk.
2.
Untuk mendiskripsikan rukun dan syarat-syarat
rujuk.
3.
Untuk mendiskripsikan pengertian dan sebab-sebab
fasakh.
4.
Untuk mendiskripsikan pelaksanaan fasakh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Dasar Hukum Rujuk
1. Pengertian
Rujuk
Menurut
bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a-yarji’u-ruju’an
yang berarti kembali, dan mengembalikan. Dalam istilah hukum Islam, para fuqaha
mengenalkan istilah "ruju’" dan istilah ”raj’ah”
yang keduanya semakna.[1]
Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab
adalah sebagai berikut :
a. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami
dengan tanpa adanya pengganti dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak
milik tersebut akan hilang bila habis masa iddah.
b. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang
dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila
kembalinya tersebut dari talak ba‟in, maka harus dengan akad baru, akan tetapi
hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.
c. Syafi‟iyah, rujuk adalah
kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak satu atau
dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri diharamkan berhubungan
dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun suami
berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan
Syafi‟iyah adalah mengembalikan hubungan suami istri ke dalam ikatan pernikahan
yang sempurna.
d. Hambaliah, rujuk adalah
kembalinya istri yang dijatuhi talak selain talak ba‟in kepada suaminya dengan
tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat
ataupun tidak.[2]
Jadi,
dapat dirumuskan bahwa rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara
penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu.
Dari
rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami
istri meskipun berstatus talak raj’i, namun pada dasarya talak itu
mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki
lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati
bekas suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya dan
mengembalikannya sebagaimana sumai istri yang sah secara penuh, namun karena
timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya
menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh
bekas suami yang dimaksud.
Dengan
terjadinya talak raj’i, maka kekuasaan bekas suami terhadap istri
menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara keduanya
selama istri dalam masa iddah-nya, yaitu kewajiban menyediakan tempat
tinggal serta jaminan nafkah, dan sebagai imbangannya, bekas istrinya itu harus
kembali dalam arti mengembalikannya kepada kedudukannya sebagai istri secara
penuh. Dengan pemyataan rujuk bekas suami halal mencampuri bekas istrinya lagi,
sebab dengan demikian status perkawinan mereka kembali seperti sedia kala.
Dalam
masa itu, laki-laki selain bekas suami tidak berhak mengawini bekas istri itu
sebelum berakhir masa iddah-nya. Hak prioritas merujuk itu menjadi
hilang dengan berakhirnya masa iddah yang dimaksud. Hak merujuk bekas
suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raji’i diatur berdasarkan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228:[3]
وَبُعُوْ لَتُهُنَّ اَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِى ذَا لِكَ اِنْ اَرَادُوآ اِصْلاَحَا.....(288)
"Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah.
"(QS
Al-Baqarah [2]: 228)
Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan
hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik, misalnya, menggunakan hak
rujuknya untuk menyengsarakan istrinya, atau untuk mempermainkannya. Sebab,
dengan demikian, bekas suami berbuat aniaya atau berbuat zalim, sedangkan
berbuat zalim itu diharamkan. Firman Allah surat
Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:
وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ
فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْسَرِّ حُوْهُنَّ
بِمَعْرُوْفٍ ᷃
وَلاَ تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًالِّتَعْتَدُؤا ۚ
وَمَنْ يَّفْعَلْ ذَا لِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُوْ ؕ....(231)
"Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka
mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf; atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka
untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka barangsiapa
berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri". (QS Al-Baqarah [2]: 31)[4]
Apabila suami
menjatuhkan talaknya di waktu istri sedang haid, maka suami wajib merujuk
istrinya kembali, karena talak diwaktu haid ini tidak sesuai dengan tuntunan
atau disebut dengan talak bid’i. Ketentuan ini sesuai dengam hadis dari
Ibnu Umar r.a. bahwa ia mentalak istrinya di waktu haid, lalu Umar r.a.
bertanya kepada Rasulullah. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada Umar untuk
memerintahkan kepada anaknya itu agar merujuk istrinya, dengan sabda beliau:
مره فليرا جعها ثم
ليمسكها حتى تطهر ثم ثحيض ثم تطهر ثم ان شاء أمسك وان شاء طلق قبل ان يمس فتلك
العدة التى أمر الله ان تطلق لها النساء (متفق عليه ).
“Perintahlah ia (anakmu, hendaklah ia merujuk
istrinya), lalu ia memeliharanya sehingga suci dari haid, kemudian haid,
kemudian suci lagi, kemudian jika ia mau hendaklah ia pelihara sesudah itu,
atau jika ia berkehendak boleh ia mentalaknya sebelum ia mencampurinya.
Demikian itulah waktu yang diizinkan Allah bagi suami untuk mentalak istrinya.” (Muttafaq ’Alaih)
Dengan
demikian, status hukum suami merujuk istrinya itu bergantung kepada motif dan
tujuannya serta sesuai atau tidaknya cara menjatuhkan talak itu dengan tuntunan
sunnah sehingga dengan demikian hukum suami merujuk bekas istrinya itu boleh
jadi wajib, boleh jadi sunnat, boleh jadi mubah, boleh jadi makruh, dan boleh
jadi haram.
Syariat
tentang rujuk merupakan indikasi bahwa islam menghendaki suatu perkawinan
berlangsung selamanya, walaupun telah terjadi pemutusan hubungan perkawinan,
Allah swt masih memberi prioritas utama kepada suaminya untuk menyambung
kembali perkawinan yang nyaris putus sebelum kesempatan ini diberikan kepada
orang lain setelah berakhirnya masa iddah. Para ulama madzhab sepakat
rujuk diperbolehkan, dalam melakukan rujuk tidak membutuhkan seorang wali, mas
kawin, dan tidak pula kesediaan dari istri yang ditalak.[5]
Adanya
persamaan dan perbedaan mekanisme rujuk suami kepada istri menurut para ulama
madzhab dengan kompilasi hukum islam. Dimata para ulama sependapat rujuk dapat
dilakukan dengan shighat yaitu perbuatan dengan kata- kata. Sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) rujuk hanya dapat dilakukan di pegawai pencatan
nikah dan suami mengucapkan lafal rujuknya. Hal ini sesuai dengan pasal 167
ayat 1 dan kompilasi Hukum Islam (HKI) . Apabila prosedur –prosedur yang
ditetapkan oleh kompilasi hukum islam seperti dalam pasal 67 ayat 1 yaitu “
Suami yang hendak merujuk istrinya datang dengan bersama sama istrinya
kepegawai yang pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatan nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang
terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan. Apabila prosedur
dilanggar maka rujuknya dianggap tidak sah atau tidak mengikat.[6]
2. Dasar
Hukum Rujuk
Ibnu
Rusdy membagi hukum rujuk kepada dua: hukum rujuk pada talak raj’i dan
hukum rujuk pada talak ba'in.
a)
Hukum Rujuk pada Talak Raj’i
Kaum
muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak meruju‟ istri pada talak
raj‟i, selam isteri masih berada dalam masa iddah, tanpa mempertimbangkan
persetujuan isteri, berdasarkan firman Allah SWT :“Dan suami-suaminya berhak
merujuk mereka (istri-istri) dalam masa menanti itu” (Al-Baqarah : 228)
Fuqaha juga
sependapat bahwa syarat talak raj’i ini harus terjadi setelah dukhul (bersetubuh) dan rujuk
dapat terjadi dengan kata-kata dan saksi.[7]
b)
Hukum Rujuk pada
Talak Ba’in
Hukum
rujuk setelah talak tersebut (talak ba’in) sama dengan nikah baru, yakni
tentang persyaratan adanya mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur
fuqaha berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak mempertimbangkan
berakhirnya masa iddah.
Sebagian
fuqaha berbeda pendapat dengan mengatakan bahwa istri yang dikhulu’ itu tidak
boleh dikawin oleh suami (yang mengkhulu’nya) atau oleh orang lain pada masa
idahnya. Seolah-olah mereka beranggapan bahwa larangan nikah pada masa idah
adalah suatu ibadah (ta’abuddi). Hukum rujuk pada talak ba’in dapat
diperinci menjadi dua:
1)
Talak Ba’in karena Talak Tiga Kali
Mengenai istri yang ditalak tiga
kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya yang
pertama, kecuali sesudah digauli (oleh suami lain), berdasarkan hadis Rifa’ah
bin Sama’ul:
انّهُ طَلَقَ
اِمْرَأَتَهُ تَمِيْمَةَ بِنْتِ وَهَبٍ فِى عَهدِ رَسُولِ الله صل الله عليه و سلم
ثَلاَثًا فنكحتْ عبدَ الرَ حْمَن بن الزُ بَيْر. فَا عْتَرَ ضَعَنهَا فلم
يَسْتَطِعْ أن يَمُسَّهَا ففا رَ قَها. فأ رَادَ رِفا عَةُ رو جتها الأُ و لَى ان
يَنكِحَهَا فذَ كَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه و سلَّم فنَهَاه
تَزْوِيْجَهَا و قَالَ : لاَ تَحلُ لَكَ حَتَّى تذوق العسِيْلَةَ.
“Pada masa Rasulullah Saw. Rifa’ah menalak tiga
istrinya, Tamimah binti Wahab. Tamimah kawin dengan Abdurrahman
bin Zubair. Kemudian Abdurrahman berpaling daripadanya tanpa dapat
menggaulinya, lalu ia pun menceraikannya. Maka, Rifa’ah (suaminya yang
pertama) bermaksud hendak mengawininya lagi, maka dituturkanlah hal itu di
hadapan Rasulullah Saw., Rasulullah Saw. bersabda: Tamimah tidak halal bagimu
sehingga ia merasakan madu (berjimak dengan suami lain).”
Sa’id bin Musayyab berbeda sendiri
pendapatnya dengan mengatakan bahwa istri yang dicerai tiga kali boleh kembali
kepada suaminya yang pertama dengan akad nikah yang sama, berdasarkan keumuman
firman Allah:
....حت
تنكح زو جا غيره......
“....Sehingga ia (istri yang dicerai tiga kali) kawin
dengan suami yang lain...”
Ia
berpendapat bahwa nikah yang dimaksudkan adalah untuk semua akad nikah. Semua
fuqaha berpendapat bahwa bertemunya dua alat kelamin menyebabkan halalnya bekas
istri tersebut, kecuali Hasan Bashri yang mengatakan bahwa istri tersebut baru
menjadi halal dengan terjadinya pergaulan yang mengeluarkan air mani.[8]
2)
Nikah Muhalil
Dalam
kaitan ini, fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah muhallil yaitu
jika seorang lelaki mengawini seorang perempuan dengan syarat (tujuan) untuk
menghalalkannya bagi suami yang pertama, Imam Malik berpendapat bahwa nikah
tersebut rusak dan harus difasakh, baik sesudah maupun sebelum
terjadinya pergaulan. Demikian pula syarat tersebut rusak dan tidak berakibat
halalnya perempuan tersebut. Dan baginya keinginan istri untuk menikah tahlil
tidak dipegangi, tetapi keinginan lelaki itulah yang dipegangi. Imam Malik
dan pengikutnya beralasan dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Dari Ali bin Abi Thalib r.a,
Ibnu Mas‟ud r.a, Abu Hurairah r.a dan Uqbah bin Amir r.a :“Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda : Allah melaknat perkawinan orang yang
menghalalkan (al-Muhallil) dan orang yang dihalalkan untuknya
(al-Muhallal lah).” (HR. At-Tirmidzi)
Imam
Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil dibolehkan, dan
niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi sahnya. Pendapat ini dikemukakan pula
oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa pernikahan
tersebut menyebabkan kehalalan istri yang dicerai tiga kali.[9]
B.
Rukun dan Syarat-syarat Rujuk
1.
Rukun Rujuk
Dalam
pelaksanaan rujuk, rukun rujuk sangat penting, karena rujuk dipandang sah
apabila memenuhi rukun yang diterapkan oleh fuqaha’. Adapun mengenai rukun rujuk tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Isteri. Keadaan
isteri disyaratkan:
1) Sudah dicampuri
2) Isteri yang tertentu
3) Talaknya adalah talak raj’i
4) Isteri tengah menjalani masa ‘iddah
b. Suami. Rujuk
dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri artinya bukan atas paksaan dari
pihak lain
1) Sighat (lafat
rujuk), sighat rujuk ada dua yaitu:
a)
Terang-terangan (sharih), misalnya dikatakan, “Saya kembali kepada
isteri saya” atau “Saya rujuk padamu”.
b) Melalui
sindiran, misalnya “Saya pegang engkau” atau “Saya kawin engkau” dan
sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau untuk yang
lainnya.[10]
Disyariatkan ucapan itu tidak bertaqlid, berarti tidak digantungkan, misalnya :
“Aku rujuk engkau jika engkau mau”, rujuk semacam ini tidak sah walaupun
isterinya mau. Rujuk yang terbatas waktunya juga tidak sah, misalnya : “Aku
ruju‟ engkau sebulan[11]
2) Saksi, terdapat dua orang saksi
sebagaimana dijelaskan pada surat at- Thalaq ayat 2:
...وَّاَشْهِدُوْا ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
وَاَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلهِ.....(2)
“Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah.”
2.
Syarat Rujuk
Rujuk dapat
terjadi selama isteri masih dalam masa iddah talak raj’i, maka
apabila mantan suami hendak merujuk isterinya, maka hendaklah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a) Mantan isteri yang ditalak itu sudah
pernah dicampuri
b) Harus
dilakukan dalam masa iddah
c) Harus
dilakukan oleh dua orang saksi
d) Talak yang
dijatuhkan oleh suami tidak disertai ‘iwadh dari isteri
e) Persetujuan
isteri yang akan dirujuk.[12]
C.
Pengertian dan Sebab-sebab Terjadinya Fasakh
1.
Pengertian Fasakh
Batalnya
perkawinan atau putusnya perkawinan disebut iuga dengan fasakh. Fasahh artinya
putus atau batal.“ Bila ada kata-kata fasakh ba'i berarti pembatalan
akad jual beli karena ada suatu sebab/illat/cela. Sedangkan fasakh nikah
adalah pembatalan perkawinan oleh istri karena antara suami istri terdapat
cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat
memberi belanja/nafkah, menganiaya, murtad, dan sebagainya. Maksud dengan
fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara
suami istri.
Batal
adalah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena
tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditetapkan oleh syarak. Itu,
dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum, batalnya perkawinan
adalah rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat
atau diharamkan oleh agama. Contoh perkawinan yang batal (tidak sah), yaitu
perkawinan yang dilangsungkan tanpa calon mempelai laki-laki atau calon
mempelai perempuan. Perkawinan semacam ini batal (tidak sah) karena tidak
terpenuhi salah satu rukunnya, yaitu tanpa calon mempelai laki-laki atau tanpa
calon mempelai perempuan. Contoh lain, perkawinan yang saksinya orang gila,
atau perkawinan yang walinya bukan muslim atau masih anak-anak, atau saudara
kandung perempuan.[13]
2. Sebab-sebab Terjadinya Fasakh
Fasakh
bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat- syarat ketika berlangsung akad
nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian membatalkan kelangsungan
perkawinan.
a.
Fasakh (batalnya perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi
ketika akad nikah.
1)
Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya, adalah saudara kandung
atau saudara sesusuan pihak suami.
2)
Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau
datuknya, kemudian setelah dewasa, ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya
yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar balig.
Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh
balig.
b. Fasakh karena hal-hal yang datang
setelah akad
1)
Bila salah seorang dari suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau
kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang
terjadi belakangan.[14]
2)
Jika suami, yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam
kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain
halnya kalau istri juga masuk Islam. Maka, akadnya tetap sah seperti semula
Sebab-sebab batalnya perkawinan, menurut Kompilasi Hukum Islam secara rinci menjelaskan sebagai
berikut:
a.
Pasal 70. Perkawinan batal apabila:
1)
Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat
istrinya itu dalam 'idah talak raj’i.
2)
Seseorang menikahi istrinya yang telah di li’annya. Seseorang menikahi bekas
istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kacuali bila bekas istri
tersebut pernah (halaman 203) menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai
lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa idahnya.
3)
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda,
dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal
8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: (1) Berhubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah atau ke atas; (2) Berhubungan darah dalam garis
keturunan menyimpang, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; (3) Berhubungan sesusuan, yaitu
orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi paman sesusuan;
4) Istri
adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau
istri-istrinya.
b)
Pasal 71. Suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila:
1) Seorang suami
melakukan poligami tanpa izih Pengadilan Agama.
2)
Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria
lain yang mafqud.
3)
Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dari Suami lain.
4) Perkawinan yang
melanggar batas umur perkawinan
5)
Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak.
6) Perkawinan yang
dilaksanakan dengan paksaan.[15]
D.
Pelaksanaan Fasakh
Apabila
terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas dan dibenarkan
oleh syarak, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan,
misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, atau saudara
sesusuan. Akan tetapi, jika terjadi hal-hal seperti berikut, maka
pelaksanaannya adalah:
1.
Jika suami tidak
memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa
dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada
pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di Pengadilan Agama supaya yang
berwenang dapat menyelesaikan sebagaimana mestinya, sebagaimana dijelaskan
dalam surat riwayat berikut ini:
عن
عمر رضى الله عنه أنه كتب الى امراء الا جناد فى رجال غابوا عن نساءهم أن يأ خد و
هم بأن ينفقوا لأويطلقا، فان طلقوا بعشوا بنفقة ماحسبوا (روها الشافعى و البيهقي)
“Dari Umar r.a.,
“Bahwasanya ia telah berkirim surat kepada Para pemimpin pasukan perihal para suami
yang telah lama meninggalkan keluarganya agar meminta tanggung jawab mereka
atas istri-istrinya ,yaitu, agar mereka memberi nafkah atau menceraikan mereka. Jika mereka menceraikan istri-istrinya, hendaklah
mereka mengirimkan nafkah yang belum mereka berikan.”
2.
Setelah hakim
memberi janji kepada suami sekurang-kurang nya tiga hari, sejak dari istri itu
mengadu, jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga
dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim
setelah diizinkan olehnya. Rasulullah Saw. bersabda:
عن
أبي هريرة رَى ا الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فى الر جل لا
يجد ما ينفق على امرأته يفرق بينهما (رواه الدار قطن والبيهقى)
“Dari Abu Hurairah
r.a., “Rasulullah Saw. bersabda tentang laki-laki yang tidak memperoleh apa
yang akan dinafkahkannya kepada istrinya, keduanya boleh bercerai” (HR
Daruquthni dan Baihaqi) .[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Rujuk ialah mengembalikan status hukum
perkawinan secara penuh setelah
terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh
bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah,
dengan ucapan tertentu. Dasar hukum
rujuk menurut Ibnu Rusdy membagi hukum rujuk kepada dua: hukum rujuk
pada talak raj’i dan hukum rujuk pada talak ba'in. Dasar hukum
rujuk pada talak raj’i termuat dalam surat al-Baqarah ayat 228 dan dasar hukum
rujuk pada talak ba’in dalam hadist Rifa’ah bin Sama’ul.
2. Rukun rujuk
yaitu: (1) Isteri, dengan keadaan istri yang disyaratkan (sudah dicampuri,
isteri yang tertentu, talaknya adalah talak raj’i, isteri tengah menjalani masa
‘iddah. (2) Suami (adanya sighat lisan dan saksi), rujuk dilakukan oleh suami
atas kehendaknya sendiri artinya bukan atas paksaan dari pihak lain. Sedangkan
syarat-syarat rujuk sebagai berikut: (a) Mantan isteri
yang ditalak itu sudah pernah dicampuri; (b) Harus dilakukan dalam masa iddah;
(c) Harus dilakukan oleh dua orang saksi; (d) Talak yang dijatuhkan oleh suami
tidak disertai ‘iwadh dari isteri; (e) Persetujuan isteri yang akan dirujuk.
3. Batalnya
perkawinan atau putusnya perkawinan disebut iuga dengan fasakh. Sedangkan
fasakh nikah adalah pembatalan perkawinan oleh istri karena antara suami
istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami
tidak dapat memberi belanja/nafkah, menganiaya, murtad, dan sebagainya.
4. Fasakh bisa terjadi karena
tidak terpenuhinya syarat- syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena
hal-hal lain yang datang kemudian membatalkan kelangsungan perkawinan.
5. Dalam
pelaksanaan fasakh ada dua: pertama, jika suami tidak memberi
nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk
itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang
berwenang, seperti qadi nikah di Pengadilan Agama supaya yang berwenang dapat
menyelesaikan sebagaimana mestinya. Kedua, setelah hakim memberi janji
kepada suami sekurang-kurang nya tiga hari, sejak dari istri itu mengadu, jika
masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat
menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim
setelah diizinkan olehnya.
[1] Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih
Munakahat, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014 ) , hal. 327
[2] Munawwar Khalil, Relevansi Konsep Rujuk antara
Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Empat Madzhab, Skripsi: UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang, 2011, hal. 16-17
[6] Ibnu Mas’udi, Edisi Lengkap Mazhab Syafi’i...,
hal. 7
[12]Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan di Indonesia :
Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Pernikahan, (Jakarta : Kencana,
2006), hal. 341
[13]Tihami dan
Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat..., hal. 195