BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Tugas
utama manusia hidup di dunia ini adalah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah
kepada-Nya merupakan bukti pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dari
berbagai ayat dan hadis dijelaskan bahwa pada hakekatnya manusia yang beribadah
kepada Allah ialah manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh
kepada wahyu Allah dan hadis Nabi SAW. Pengertian ibadah tidak hanya terbatas
kepada apa yang disebut ibadah mahdhah atau rukun islam saja, tetapi sangat
luas seluas aspek kehidupan yang ada. Yang penting aktivitas yang kita lakukan
harus diniatkan untuk ibadah kepada-Nya dan yang menjadi pedoman dalam
mengontrol aktivitas ini adalah wahyu Allah dan sabda Rasul-Nya.
Namun
ada satu aspek yang seringkali dilupakan dalam pelaksanaan ibadah kepada-Nya,
yakni keikhlasan dalam menjalankannya. Keikhlasan dalam beribadah merupakan
aspek yang sangat fundamental yang akan mempengaruhi diterima atau tidaknya
ibadah kita. Ibadah yang dilakukan tanpa keikhlasan adalah ibadah yang sia-sia.
Oleh karena itu, disini penyusun
berusaha memaparkan pengertian ikhlas dalam beribadah, isi kandungan al-Qur’an
tentang ikhlas, hadits tentang ikhlas dan sikap ikhlas beribadah dalam
kehidupan sehari-hari.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Pengertian Ikhlas dalam beribadah?
2. Bagaimana
Isi Kandungan Surat Al-An’an ayat 162-163 dan Al-Bayyinah ayat 5?
3. Bagaimana
Hadist Tentang Ikhlas?
4. Bagaimana
Sikap Ikhlas Beribadah dalam Kehidupan Sehari-hari?
C.Tujuan Pembahasan Masalah
1. Untuk
Mengetahui Pengertian Ikhlas
2. Untuk
Mengatahui Isi Kandungan Surat Al-An’an ayat 162-163 dan Al-Bayyinah ayat 5
3. Untuk
Mengetahui Hadist Tentang Ikhlas
4. Untuk
Mengetahui Sikap Ikhlas Beribadah dalam Kehidupan Sehari-hari
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ikhlas dalam Beribadah
Secara
etimologi makna ikhlas adalah jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata
ikhlas إخْلاص merupakan bentuk mashdar dari akhlasa
أخْلَصَ yang berasal dari akar kata khalasa.
Kata khalasa mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek kalimatnya.
Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai) dan I’tazala (memisahkan diri) atau berarti perbaikan dan
pembersihan sesuatu.[1]
Secara umum ikhlas berarti melakukan perbuatan semata-mata karena Allah Swt.[2]
Selanjutnya,
ditinjau dari segi makna, ikhlas dalam al-Qur’an mengandung beberapa arti,
yaitu :
1.
ikhlas berarti al-ishthifaa’
(pilihan)
2.
ikhlas berarti al-khuluus
min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotoran),
3.
ikhlas berarti al-ikhtishaash
(kekhususan),
4.
ikhlas berarti al-tauhid
(mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian
qira’at.
Sedangkan
secara istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama sesuai dengan versinya
masing-masing :
1. Muhammad
Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah SWT. dengan selalu
manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan
bukan dengan tujuan khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau
untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai
pelindung.5
2.
Muhammad
al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal kebajikan semata-mata karena
Allah SWT.[3]
3.
Syaikh Junaid
mengemukakan bahwa ikhlas adalah membersihkan amal dari kotoran-kotoran amal.
4.
Menurut Sayyid Abu
Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi bahwa ikhlas adalah tujuan manusia
dalam semua amal ibadahnya melulu hanya pendekatan diri kepada Allah Ta’ala.[4]
Jadi,
pengertian ikhlas dalam ibadah adalah menghadapkan diri secara murni dan utuh
kepada Allah SWT. Serta memurnikan dan meluruskan amal seraya mengakui bahwa
tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas kuasa-Nya.[5]
B. Isi Kandungan Surat Al-An’am ayat 162-163 dan
Al-Bayyinah ayat 5
1. Surat
Al-An’am ayat 162-163
قُلۡ اِنَّ صَلَاتِىۡ وَنُسُكِىۡ وَ مَحۡيَاىَ وَمَمَاتِىۡ لِلّٰهِ
رَبِّ الۡعٰلَمِيۡنَۙ (162) لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا
أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak
ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang didiperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).”[6]
Kandungan
surat al-An’am ayat 162-163 merupakan surah ke-6 dalam al-Qur’an yang terdiri
atas 165 ayat dan termasuk surah Makkiyah. Secara umum isi pokok
kandungan Surah al-An’am, yaitu tentang keimanan, hukum dan kisah-kisah. Adapun
surah al-An’am ayat 162-163 berisi tentang kewajiban manusia untuk beribadah
kepada Allah SWT. Tujuan salat berikutnya adalah untuk mengingat-Nya.
Jika
diumpamakan seperti air, ikhlas merupakan air yang murni, yaitu air yang unsur
kimiawinya hanya terdiri atas H2O. Jika ada campuran lain meskipun sedikit, air
tersebut sudah tidak murni lagi, tetapi sudah menjadi air campuran atau isyrak.
Begitu pula dengan apa yang dilakukan manusia. Seseorang yang melakukan sesuatu
karena Allah sifatnya murni dan memiliki nilai utama. Namun, sedikit saja ada
niat karena yang lain, nilainya semakin rendah dan tidak berpahala.[7]
Kata (نسُكِ) nusuk
pada umumnya diartikan sembelihan, tetapi yang dimaksud pada ayat ini bukan
saja sembelihan tetapi lebih luas yaitu ibadah, termasuk shalat dan sembelihan
itu. Pada asalnya kata ini dipakai untuk menggambarkan sepotong perak yang
dibakar agat kotoran dan bahan-bahan lain yang menyertai potongan perak itu
terlepas darinya sehingga yang ada tinggal perak murni. Demikian juga ibadah
disebut nusuk untuk melukiskan bahwa ia seharusnya suci, murni
dikerjakan penuh dengan ikhlas semata-mata hanya mencari ridha Allah.[8]
Kemudian
disebutkannya kata shalat sebelum kata ibadah (walaupun shalat adalah salah
satu dari ibadah) hal ini mempunyai tujuan untuk menunjukkan berapa penting
ibadah shalat tersebut bagi manusia. Karena shalat merupakan bentuk kewajiban
yang tidak dapat ditinggalkan oleh setiap orang yang mengaku sebagai muslim,
apapun alasannya. Ini berbeda dengan kewajiban-kewajiban lainnya.[9]
Surah
al-An’am ayat 162-163 merupakan komitmen manusia dengan Allah Swt. Yang
merupakan pernyataan sikap, baik hidup maupun mati semata-mata untuk mencari
rida Allah Swt. Hal ini terdapat dalam kalimat, “Sesungguhnya salatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Pernyataan tersebut merupakan prinsip hidup seorang muslim yang memurnikan
keimanannya. Dengan kata lain, orang yang seperti itu disebut orang mukhlis
(orang yang ikhlas).
Orang yang
ikhlas akan banyak memperolah manfaat dari perilaku dalam kehidupannya.
Misalnya, ketika mengalami kesulitan hidup, tidak ada keluh kesah dari
mulutnya. Ia juga tidak ibadahnya kepada Allah dalm kondisi apapun, baik dalam
keadaan susah maupun senang.[10]
2. Surat
Al-Bayyinah ayat 5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ............ (5)
Padahal
mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata
karena (menjalankan) agama.[11]
Kata (مُخْلِصِينَ) mukhlishin adalah berbentuk isim
fa’il dari kata (خلص) khalusha yang artinya murni. Dari
sini ikhlas merupakan usaha memurnikan dan menyucikan hati sehingga benar-benar
tertuju kepada Allah semata, sedang sebelumnya keberhasilan itu hati masih
biasanya diliputi atau dihinggapi oleh hal-hal selain Allah, seperti pamrih dan
yang semacamnya.[12]
Kandungan surah al-Bayyinyah ayat 5 merupakan surah ke-98 dalam
al-Qur’an yang terdiri atas 8 ayat dan termasuk surah Madaniyyah.
Adapun kandungan surah al-Bayyinah ayat 5,
yaitu sebagai berikut :
a. Perintah
untuk memurnikan agama Allah dari ajaran-ajaran kemusyrikan.[13]
b. Perintah
untuk beribadah kepada Allah dengan dengan ikhlas dan menaati ajaran Allah
dengan lurus.
c. Perintah
untuk mendirikan salat. Sebagai seorang mukmin, wajib hukumnya untuk mendirikan
salat lima waktu dalam sehari semalam.
d. Perintah
untuk mengeluarkan zakat.[14]
C. Hadist Tentang Ikhlas
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الّلهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الّلهِ صَلَّى
الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الّلهَ تَعَالَى لاَ يَنْظُرُ اِلَى
اَجْسَامِكُمْ وَلاَ اِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُاِلَى قُلُوْبِكُمْ
“Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW
bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi ia melihat/memperhatikan niat
dan keikhlasan dalam hatimu”. (HR. Muslim)
Allah SWT tidak melihat fisik umatnya
khususnya dalam konteks ibadah melainkan tergantung pada seberapa ikhlas ia
melakukan ibadah tersebut. Seperti telah dinyatakan pada hadist lain yang artinya : “Segala
sesuatu tergantung pada niatnya”
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْه
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang
hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang
hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka
hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat
imam Ahli Hadits)
Hadist diatas menjelaskan tentang niat dan ikhlas dalam beramal atau berbedah dalam Islam
merupakan pilar utama dalam ibadah bahkan menjadi ruhnya ibadah. Hal tersebut
disebabkan karena amal seorang mukmin baru akan bernilai ibadah yag diterima
oleh Allah jika memenuhi dua syarat: niat ikhlas (karena Allah) dan benar
(sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW). Para ulama meyakini bahwa niat ikhlas
(amal batin) lebih utama dari amal lahir (perbuatan), meskipun kedua-duanya
mutlaq diperlukan adanya niat yang artinya bermaksud, berkeinginan atau
bertekad. Ia merupakan amalan batin atau hati yang karenanya tidak harus
dilafadzkan. Sementara ikhlas artinya menjadikan Allah sebagai niat utama,
tujuan utama atau sebab utama dalam melakukan suatu amal.[15]
D. Sikap Ikhlas Beribadah dalam Kehidupan Sehari-hari
1.
Buruk sangka terhadap diri sendiri dan tidak berbangga dengan
keberhasilan. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang
telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.”
Maksudnya, karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan untuk
dihisab, maka mereka kerjakan itu tidak diterima Tuhan.
2.
Tidak adanya perubahan sikap, ketika dipuji maupun dicela
atas amal yang telah ia lakukan, karena ia memang hanya mengharapkan ridha
Allah semata, dan karenanya tidak pernah mengharapkan pujian seseorang atau
takut akan celanya.
3.
Lebih senang untuk menyembunyikan amal baiknya, karena takut
riya’. Namun tidak kemudian karena takut
riya’ lalu justru meninggalkan suatu amalan kebaikan.
4.
Melihat amal orang shalih yang berada diatas kita.[16]
[1] Hasiah, Peranan Ikhlass
dalam Prespektif al-Quran, Jurnal Darul ‘Ilmi, Vol. 01, No. 02, 2013.
hal 22.
[2] Wawan Setiawan &
Mochammad Fajar, Pendidikan Agama Islam (Bandung: Grafindo Media
Pratama, 2008), hal. 17
[3] Hasiah, Peranan Ikhlass
dalam Prespektif al-Quran, Jurnal Darul ‘Ilmi, Vol. 01, No. 02, 2013.
hal 22-26
[4] Moch. Djamaludin Ahmad,
Mutiara Indah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin), hal. 77
[5] Abad Badruzaman, Rahasia
Ikhlas, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Ikhlas, 2008), hal. 57
[8] Team
Musyawarah Guru Bina PAI MA, Al-Hikmah: Modul Al-Qur’an Hadits Kelas X
Semester Genap, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hal. 54
[12] Team Musyawarah Guru
Bina PAI MA, Al-Hikmah: Modul Al-Qur’an Hadits Kelas X Semester Genap,
... , hal. 55
[14] Wawan Setiawan &
Mochammad Fajar, Pendidikan Agama Islam, ..., hal. 20
[15] Tim
Al-Fath, Al-Qur’an Hadits Kelas X Semester Genap, (Gresik: CV. Putra
Kembar Jaya, 2008), hal. 58
[16] Team
Musyawarah Guru Bina PAI MA, Al-Hikmah: Modul Al-Qur’an Hadits Kelas X
Semester Genap, ... , hal. 55
No comments:
Post a Comment