Thursday, June 06, 2019

INDAHNYA IKHLAS DALAM BERIBADAH MAKALAH


BAB I
PENDAHULUAN
  A.Latar Belakang
Tugas utama manusia hidup di dunia ini adalah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah kepada-Nya merupakan bukti pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dari berbagai ayat dan hadis dijelaskan bahwa pada hakekatnya manusia yang beribadah kepada Allah ialah manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh kepada wahyu Allah dan hadis Nabi SAW. Pengertian ibadah tidak hanya terbatas kepada apa yang disebut ibadah mahdhah atau rukun islam saja, tetapi sangat luas seluas aspek kehidupan yang ada. Yang penting aktivitas yang kita lakukan harus diniatkan untuk ibadah kepada-Nya dan yang menjadi pedoman dalam mengontrol aktivitas ini adalah wahyu Allah dan sabda Rasul-Nya.
Namun ada satu aspek yang seringkali dilupakan dalam pelaksanaan ibadah kepada-Nya, yakni keikhlasan dalam menjalankannya. Keikhlasan dalam beribadah merupakan aspek yang sangat fundamental yang akan mempengaruhi diterima atau tidaknya ibadah kita. Ibadah yang dilakukan tanpa keikhlasan adalah ibadah yang sia-sia.
Oleh karena itu, disini penyusun berusaha memaparkan pengertian ikhlas dalam beribadah, isi kandungan al-Qur’an tentang ikhlas, hadits tentang ikhlas dan sikap ikhlas beribadah dalam kehidupan sehari-hari.

  B.Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian Ikhlas dalam beribadah?
2.      Bagaimana Isi Kandungan Surat Al-An’an ayat 162-163 dan Al-Bayyinah ayat 5?
3.      Bagaimana Hadist Tentang Ikhlas?
4.      Bagaimana Sikap Ikhlas Beribadah dalam Kehidupan Sehari-hari?

  C.Tujuan Pembahasan Masalah
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Ikhlas
2.      Untuk Mengatahui Isi Kandungan Surat Al-An’an ayat 162-163 dan Al-Bayyinah ayat 5
3.      Untuk Mengetahui Hadist Tentang Ikhlas
4.      Untuk Mengetahui Sikap Ikhlas Beribadah dalam Kehidupan Sehari-hari



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ikhlas dalam Beribadah
Secara etimologi makna ikhlas adalah jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata ikhlas إخْلاص merupakan bentuk mashdar dari akhlasa أخْلَصَ yang berasal dari akar kata khalasa. Kata khalasa mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai) dan I’tazala (memisahkan diri) atau berarti perbaikan dan pembersihan sesuatu.[1] Secara umum ikhlas berarti melakukan perbuatan semata-mata karena Allah Swt.[2]
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, ikhlas dalam al-Qur’an mengandung beberapa arti, yaitu :
1.      ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan)
2.      ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotoran),
3.      ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan),
4.      ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian qira’at.
Sedangkan secara istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama sesuai dengan versinya masing-masing :
1.      Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah SWT. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung.5
2.      Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal kebajikan semata-mata karena Allah SWT.[3]
3.      Syaikh Junaid mengemukakan bahwa ikhlas adalah membersihkan amal dari kotoran-kotoran amal.
4.      Menurut Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi bahwa ikhlas adalah tujuan manusia dalam semua amal ibadahnya melulu hanya pendekatan diri kepada Allah Ta’ala.[4]
Jadi, pengertian ikhlas dalam ibadah adalah menghadapkan diri secara murni dan utuh kepada Allah SWT. Serta memurnikan dan meluruskan amal seraya mengakui bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas kuasa-Nya.[5]

B.       Isi Kandungan Surat Al-An’am ayat 162-163 dan Al-Bayyinah ayat 5
1.      Surat Al-An’am ayat 162-163
            قُلۡ اِنَّ صَلَاتِىۡ وَنُسُكِىۡ وَ مَحۡيَاىَ وَمَمَاتِىۡ لِلّٰهِ رَبِّ الۡعٰلَمِيۡنَۙ (162) لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang didiperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).”[6]
Kandungan surat al-An’am ayat 162-163 merupakan surah ke-6 dalam al-Qur’an yang terdiri atas 165 ayat dan termasuk surah Makkiyah. Secara umum isi pokok kandungan Surah al-An’am, yaitu tentang keimanan, hukum dan kisah-kisah. Adapun surah al-An’am ayat 162-163 berisi tentang kewajiban manusia untuk beribadah kepada Allah SWT. Tujuan salat berikutnya adalah untuk mengingat-Nya.
Jika diumpamakan seperti air, ikhlas merupakan air yang murni, yaitu air yang unsur kimiawinya hanya terdiri atas H2O. Jika ada campuran lain meskipun sedikit, air tersebut sudah tidak murni lagi, tetapi sudah menjadi air campuran atau isyrak. Begitu pula dengan apa yang dilakukan manusia. Seseorang yang melakukan sesuatu karena Allah sifatnya murni dan memiliki nilai utama. Namun, sedikit saja ada niat karena yang lain, nilainya semakin rendah dan tidak berpahala.[7]
Kata (نسُكِ) nusuk pada umumnya diartikan sembelihan, tetapi yang dimaksud pada ayat ini bukan saja sembelihan tetapi lebih luas yaitu ibadah, termasuk shalat dan sembelihan itu. Pada asalnya kata ini dipakai untuk menggambarkan sepotong perak yang dibakar agat kotoran dan bahan-bahan lain yang menyertai potongan perak itu terlepas darinya sehingga yang ada tinggal perak murni. Demikian juga ibadah disebut nusuk untuk melukiskan bahwa ia seharusnya suci, murni dikerjakan penuh dengan ikhlas semata-mata hanya mencari ridha Allah.[8]
Kemudian disebutkannya kata shalat sebelum kata ibadah (walaupun shalat adalah salah satu dari ibadah) hal ini mempunyai tujuan untuk menunjukkan berapa penting ibadah shalat tersebut bagi manusia. Karena shalat merupakan bentuk kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan oleh setiap orang yang mengaku sebagai muslim, apapun alasannya. Ini berbeda dengan kewajiban-kewajiban lainnya.[9]
Surah al-An’am ayat 162-163 merupakan komitmen manusia dengan Allah Swt. Yang merupakan pernyataan sikap, baik hidup maupun mati semata-mata untuk mencari rida Allah Swt. Hal ini terdapat dalam kalimat, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” Pernyataan tersebut merupakan prinsip hidup seorang muslim yang memurnikan keimanannya. Dengan kata lain, orang yang seperti itu disebut orang mukhlis (orang yang ikhlas).
Orang yang ikhlas akan banyak memperolah manfaat dari perilaku dalam kehidupannya. Misalnya, ketika mengalami kesulitan hidup, tidak ada keluh kesah dari mulutnya. Ia juga tidak ibadahnya kepada Allah dalm kondisi apapun, baik dalam keadaan susah maupun senang.[10]
2.      Surat Al-Bayyinah ayat 5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ............ (5)
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.[11]
Kata (مُخْلِصِينَ) mukhlishin adalah berbentuk isim fa’il dari kata (خلص) khalusha yang artinya murni. Dari sini ikhlas merupakan usaha memurnikan dan menyucikan hati sehingga benar-benar tertuju kepada Allah semata, sedang sebelumnya keberhasilan itu hati masih biasanya diliputi atau dihinggapi oleh hal-hal selain Allah, seperti pamrih dan yang semacamnya.[12]
Kandungan surah al-Bayyinyah ayat 5 merupakan surah ke-98 dalam al-Qur’an yang terdiri atas 8 ayat dan termasuk surah Madaniyyah.
Adapun kandungan surah al-Bayyinah ayat 5, yaitu sebagai berikut :
a.       Perintah untuk memurnikan agama Allah dari ajaran-ajaran kemusyrikan.[13]
b.      Perintah untuk beribadah kepada Allah dengan dengan ikhlas dan menaati ajaran Allah dengan lurus.
c.       Perintah untuk mendirikan salat. Sebagai seorang mukmin, wajib hukumnya untuk mendirikan salat lima waktu dalam sehari semalam.
d.      Perintah untuk mengeluarkan zakat.[14]

C.      Hadist Tentang Ikhlas
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الّلهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الّلهِ صَلَّى الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الّلهَ تَعَالَى لاَ يَنْظُرُ اِلَى اَجْسَامِكُمْ وَلاَ اِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُاِلَى قُلُوْبِكُمْ
“Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi ia melihat/memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu”. (HR. Muslim)
Allah SWT tidak melihat fisik umatnya khususnya dalam konteks ibadah melainkan tergantung pada seberapa ikhlas ia melakukan ibadah tersebut. Seperti telah dinyatakan pada hadist lain yang artinya : “Segala sesuatu tergantung pada niatnya”
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
Hadist diatas menjelaskan tentang niat dan ikhlas dalam beramal atau berbedah dalam Islam merupakan pilar utama dalam ibadah bahkan menjadi ruhnya ibadah. Hal tersebut disebabkan karena amal seorang mukmin baru akan bernilai ibadah yag diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat: niat ikhlas (karena Allah) dan benar (sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW). Para ulama meyakini bahwa niat ikhlas (amal batin) lebih utama dari amal lahir (perbuatan), meskipun kedua-duanya mutlaq diperlukan adanya niat yang artinya bermaksud, berkeinginan atau bertekad. Ia merupakan amalan batin atau hati yang karenanya tidak harus dilafadzkan. Sementara ikhlas artinya menjadikan Allah sebagai niat utama, tujuan utama atau sebab utama dalam melakukan suatu amal.[15]

D.      Sikap Ikhlas Beribadah dalam Kehidupan Sehari-hari 
1.    Buruk sangka terhadap diri sendiri dan tidak berbangga dengan keberhasilan. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.”
Maksudnya, karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan untuk dihisab, maka mereka kerjakan itu tidak diterima Tuhan.
2.    Tidak adanya perubahan sikap, ketika dipuji maupun dicela atas amal yang telah ia lakukan, karena ia memang hanya mengharapkan ridha Allah semata, dan karenanya tidak pernah mengharapkan pujian seseorang atau takut akan celanya.
3.    Lebih senang untuk menyembunyikan amal baiknya, karena takut riya’.  Namun tidak kemudian karena takut riya’ lalu justru meninggalkan suatu amalan kebaikan.
4.    Melihat amal orang shalih yang berada diatas kita.[16]


[1] Hasiah, Peranan Ikhlass dalam Prespektif al-Quran, Jurnal Darul ‘Ilmi, Vol. 01, No. 02, 2013. hal 22.
[2] Wawan Setiawan & Mochammad Fajar, Pendidikan Agama Islam (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008), hal. 17
[3] Hasiah, Peranan Ikhlass dalam Prespektif al-Quran, Jurnal Darul ‘Ilmi, Vol. 01, No. 02, 2013. hal 22-26
[4] Moch. Djamaludin Ahmad, Mutiara Indah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin), hal. 77
[5] Abad Badruzaman, Rahasia Ikhlas, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Ikhlas, 2008), hal. 57
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), hal. 150
[7] Wawan Setiawan & Mochammad Fajar, Pendidikan Agama Islam, ..., hal. 17
[8] Team Musyawarah Guru Bina PAI MA, Al-Hikmah: Modul Al-Qur’an Hadits Kelas X Semester Genap, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hal. 54
[9] Lilis Fauziyah & Andi Setyawan, Kebenaran Al-Qur’an, (Malang: Tiga Serangkai, 2018), hal. 132
[10] Wawan Setiawan & Mochammad Fajar, Pendidikan Agama Islam, ..., hal. 18
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ... , hal. 150
[12] Team Musyawarah Guru Bina PAI MA, Al-Hikmah: Modul Al-Qur’an Hadits Kelas X Semester Genap, ... , hal. 55
[13] Lilis Fauziyah & Andi Setyawan, Kebenaran Al-Qur’an, ... , hal. 133
[14] Wawan Setiawan & Mochammad Fajar, Pendidikan Agama Islam, ..., hal. 20
[15] Tim Al-Fath, Al-Qur’an Hadits Kelas X Semester Genap, (Gresik: CV. Putra Kembar Jaya, 2008), hal. 58
[16] Team Musyawarah Guru Bina PAI MA, Al-Hikmah: Modul Al-Qur’an Hadits Kelas X Semester Genap, ... , hal. 55

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer