BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di dalam kitab
suci al-Qur’an, banyak sekali di temukan perintah untuk berbakti kepada kedua
orang tua. Orang tua merupakan manusia yang paling berjasa dan utama bagi diri
seseorang. Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban bagi seorang anak. Hal
ini mengingat akan besarnya jasa-jasa yang telah diberikan orang tua kepada
anak.
Akhlak seorang anak terhadap kedua orang tua
terutama saat-saat mereka sangat membutuhkan anak-anaknya, yakni saat kedua
orang tua dalam usia lanjut. Bagaimana seorang anak berbuat baik kepada kedua
orang tua karena pada saat lanjut usia perilaku mereka berubah seperti
anak-anak dan banyak lupa.[1]
Kemudian yang menjadi orang tua selain orang
yang telah melahirkan adalah orang yang memberi ilmu pengetahuan dalam bidang
ilmu agama maupun ilmu lainnya, yaitu guru. Pahlawan tanpa tanda jasa ini
sangat berjasa besar bagi murid dan masyarakat. Oleh karena itu bagi seorang
muslim berbuat baik kepada orang tua dan guru bukan sekedar memenuhi tuntutan
norma susila dan norma kesusilaan melainkan untuk memenuhi norma agama, atau
dengan kata lain menaati perintah Allah SWT. Hal ini di jelaskan dalam surat
Al-Isra’ ayat 23-24, Al-Lukman ayat 13-17, dan beberapa hadist Nabi yng akan
dipaparkan dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana definisi berbakti kepada orang tua dan guru?
2.
Bagaimana isi kandungan Q.S. Al-Isra’: 23-24?
3.
Bagaimana isi kandungan Q.S. Luqman: 13-17?
4.
Bagaimana hadits Nabi tentang hormat dan patuh kepada orang tua dan
guru?
C.
Tujuan Pembahasan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi berbakti kepada
orang tau dan guru.
2. Untuk menetahui kandungan Q.S. Al-Isra’:
23-24.
3. Untuk mengetahui kandungan Q.S. Luqman: 13-17.
4. Untuk mengetahui hadits Nabi tentang hormat
dan patuh kepada orang tua dan guru.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Berbakti kepada Orang Tua dan Guru
Berbakti dapat diartikan sebagai sikap
patuh, taat, serta sopan santun kepada seseorang. Orang tua
adalah manusia yang paling berjasa dan utama bagi setiap orang. Allah SWT. telah
memerintahkan dalam berbagai ayat di al-Qur’an agar
berbakti kepada orang tua. Sebagai muslim
yang baik, tentunya kita memiliki kewajiban untuk berbakti kepada orang tua.
Sebagai seorang anak yang berbakti dan taat akan orang tua merupakan amal
sholeh paling utama yang dilakukan oleh seorang muslim, juga merupakan faktor
utama diterimanya do’a seseorang. Salah satu keutaman
berbuat baik kepada kedua orang tua, selain sebagai wujud ketaatan atas
perintah Allah SWT. adalah
menghapus dosa-dosa besar. Allah SWT.
menghubungkan beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada orang tua. Hal
ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan orang tua dan birrul walidain
(berbakti kepada orang tua).[2]
Selain berbakti kepada kedua orang tua, seorang anak didik juga harus berbakti kepada guru, karena
guru adalah orang tua kedua ketika berada disekolah.
Guru atau pendidik adalah orang yang paling banyak menanamkan amal jariyah. Pada umumnya seorang guru selalu berhati-hati dan
ingin memberikan contoh terbaik bagi murid-muridnya, memberikan nasehat,
berkata baik, serta santun, mengajarkan ilmu dengan ikhlas, menepati janji,
serta kebaikan lainnya yang ingin
ditanamkan pada murid-muridnya.[3]
Menghormati guru merupakan wujud teimakasih atas jasa-jasa yang telah
diberikanya. Perbuatan ini pula juga telah dilakukan oleh para ulama terdahulu
kepada guru-guru mereka. Salah satu contohnya adalah Imam Syafi’i. Imam Syafi’i
yang terkenal sebagai ulama tersohor di zamanya dan menjadi salah satu imam
madzhab masih menunjukan sikap tawadu’ atau kerendahan hatinya terhadap
gurunya. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan dan sikap sopan beliau terhadap
gurunya. Beliau berkata: “Saya tidak dapat membolak-balik lembaran kitab dengan
suara keras dihadapan guru saya, supaya guru saya jangan sampai terganggu. Saya
pun tidak bisa meminum air dihadapan guru saya, sebagai rasa hormat dan ta’dzim kepadanya”.[4]
Berbakti kepada kedua orang tua dan guru
dapat diaplikasikan dengan berbuat baik, sopan satun, serta saling mendo’akan
kepada mereka. Karena do’a merupakan pilar mendasar dalam berbakti, ia
merupakan pancaran hati yang menunjukkan kecintaan serta sebagai bukti
kebaikkan di dalam hati. Hati yang dipenuhi dengan rasa cinta akan senantiasa
memanjatkan do’a untuk orang yang di cintainya. Semakin besar kecintaan hati
anak kepada orang tua dan gurunya, akan seamakin bertambah pula do’a yang
saling mereka panjatkan.[5]
B.
Kandungan Q.S. Al-Isra’: 23-24
وَقَضى رَبُّكَ اَلَّاتَعْبُدُوْآ اِلَّآ
اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا قلى اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْكِلَاهُمَا
فَلَاتَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَاتَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَاقَوْلًاكَرِيْمًا
(٢٣) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memeritahkan agar kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika
salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang baik (23). Dan hendaklah dirimu
terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku!
Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu
kecil” (24).” (Q.S. Al-Isra’: 23-24)
Dalam ayat ke 23, Allah memerintahkan kepada seluruh manusia, agar
mereka memperhatikan beberapa faktor yang terkait dengan keimanan.
Faktor-faktor itu ialah: Pertama, agar manusia tidak menyembah Tuhan
selain Allah. Kedua, agar manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapak
mereka. Perintah taat kepada kedua ibu bapak disebut setelah perintah
beribadah kepada Allah, yang memiliki tujuan supaya manusia dapat memahami
betapa pentingnya berbuat baik kepada orang tua. Juga bertujuan agar mereka dapat mensyukuri
kebaikan orang tua, betapa beratnya penderitaan yang
telah mereka rasakan, dimulai dari merawat
sejak kanak-kanak hingga dewasa dengan penuh kasih sayang. Maka pantaslah
apabila berbuat baik kepada kedua orang tua dijadikan
sebagai kewajiban yang paling penting diantara kewajiban-kewajiban yang lain,
dan diletakkan Allah dalam urutan kedua setelah kewajiban manusia beribadah hanya kepada-Nya.[6] Apabila usia kedua orang tua atau salah satu diantara
keduanya sudah tua sehingga tak kuasa lagi hidup
sendiri dan sangat bergantung
kepada belas kasih anaknya, maka seorang anak harus sabar dan berlapang hati dalam merawat kedua orang tua tersebut.[7]
Allah SWT. memerintahkan kepada manusia agar
berbuat baik kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada orang tua ini diwujudkan dengan sikap sopan santun . Dalam ayat ini,
terdapat beberapa ketentuan dan sopan santun yang harus diperhatikan anak
terhadap ibu bapaknya, antara lain:[8]
1.
Seorang anak tidak boleh
mengucapkan kata kotor dan kasar meskipun hanya berupa kata “ah” kepada kedua
ibu bapaknya, karena sikap atau perbuatan mereka yang kurang disenangi. Keadaan
seperti itu seharusnya disikapi dengan sabar, sebagaimana perlakuan kedua ibu
bapaknya ketika merawat dan mendidiknya di waktu masih kecil.
2.
Seorang anak tidak boleh menghardik
atau membentak kedua ibu bapaknya, sebab bentakan itu akan melukai perasaan
keduanya. Menghardik kedua ibu bapak ialah mengeluarkan kata-kata kasar pada
saat si anak menolak atau menyalahkan pendapat mereka, sebab tidak sesuai
dengan pendapatnya. Larangan menghardik dalam ayat ini adalah sebagai penguat
dari larangan mengatakan “ah” yang biasanya diucapkan oleh seorang anak
terhadap kedua ibu bapaknya pada saat ia tidak menyetujui pendapat mereka.
3.
Hendaklah anak mengucapkan
kata-kata yang mulia kepada kedua ibu bapak. Kata-kata yang mulia ialah
kata-kata yang baik dan diucapkan dengan penuh hormat, yang menggambarkan adab
sopan santun dan penghargaan penuh terhadap orang lain. Oleh karena itu, jika
seorang anak berbeda pendapat dengan kedua ibu bapaknya, hendaklah ia tetap
menunjukkan sikap yang sopan dan penuh rasa hormat.
Jadi,
seorang anak berkewajiban berbakti kepada ibu dan ayahnya yaitu dengan menjalin hubungan yang baik, dan berkata
kepadanya tidak boleh dengan perkataan yang menyinggung hati mereka. Jangan
sampai membentak, bahkan jangan sampai menggunakan kata-kata yang menyinggung
perasaannya.[9]
Kemudian
pada ayat 24, Allah SWT. memerintahkan kepada kaum muslimin agar bersikap
rendah hati dan penuh kasih sayang kepada kedua orang tua. Yang dimaksud dengan
sikap rendah hati dalam ayat ini ialah menaati apa yang mereka perintahkan
selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Taat
anak kepada kedua orang tua merupakan tanda kasih
sayang dan hormatnya kepada mereka, terutama pada saat keduanya sangat
memerlukan pertolongan anaknya.
Di akhir ayat ini, Allah SWT. memerintahkan
kepada kaum muslimin untuk mendoakan kedua ibu bapak mereka, agar diberi
limpahan kasih sayang Allah sebagai imbalan dari kasih sayang keduanya dalam
mendidik mereka ketika masih kanak-kanak.[10]
C.
Kandungan Q.S. Al-Luqman: 13-17
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ
يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ قلى إِنَّ الشِّرْكَ
لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣) وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ ج حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ قلى إِلَيَّ الْمَصِيرُ (١٤) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ
تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا صلى وَّاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ج ثُمَّ
إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٥) يَابُنَيَّ
إِنَّهَآ إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ
فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ قلى إِنَّ
اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (١٦) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ قلى
إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (١٧)
Artinya:
Dan (ingatlah)
ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya,
“Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (13). Dan Kami perintahkan kepada manusia
(agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu
(14). Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati
keduanya, dan pergaulilah keduanya didunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka
akan aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (15). (Lukman
berkata), “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan
memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Teliti” (16). Wahai
anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) bebuat yang ma’ruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting (17). (Q.S. Luqman: 13-17)
Pada ayat 13 Luqman memberi nasehatnya dengan menekankan perlunya
menghindari syirik, mempersekutukan Allah. Larangan ini sekaligus mengandung
pengajaran tentang wujud dan ke-Esaan Tuhan. Dalam ayat tersebut tergambar rasa
kasih sayang Luqman, menasehati anaknya untuk tidak melakukan perbuatan syirik
dan hanya menyembah Allah semata, karena perbuatan syirik itu merupakan suatu
kedzaliman yang amat besar.[11]
Mempersekutukan Allah dikatakan kedzaliman karena perbuatan itu berarti
menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu menyamakan sesuatu yang
melimpahkan nikmat dan karunia dengan sesuatu yang tidak sanggup memberikan
semua itu.[12]
Seperti halnya, meyamakan Allah sebagai sumber nikmat dan karunia dengan
patung-patung yang tidak dapat berbuat apa-apa adalah perbuatan dzalim.
Perintah berbakti kepada
kedua orang tua yang dimuat pada ayat 14 tersebut, dinilai oleh banyak ulama
bukan bagian dari pengajaran Luqman kepada anaknya. Ia disisipkan dalam
al-Qur’an untuk menunjukkan betapa penghormatan dan kebaktian kepada kedua
orang tua menempati tempat kedua setelah pengagunggan kepada Allah SWT. Perintah berbuat baik kepada kedua orang tua sering-sering
digandengkan dengan perintah menyembah Allah SWT. Tetapi kendati nasehat ini bukan nasehat Luqman, namun tidak
berarti bahwa beliau tidak menasehati anaknya dengan nasehat yang serupa. Ulama
menilai ayat ini sebagai lanjutan dari nasehat Luqman menyatakan; Luqman
menyampaikan itu kepada anaknya dengan wasiat ini seperti apa yang
dinasehatkannya menyangkut hak kami. Hanya saja kata ulama itu redaksinya
diubah agar nasehat tersebut mencakup semua manusia bukan hanya putra Luqman
itu.
Pada ayat 15 tersebut dinyatakan bahwa demi sebagai penghormatan
dan kebaktian kepada kedua orang tua maka meskipun kamu berbeda dalam masalah
keyakinan hendaknyalah kamu menghormati dan bergaul dengan keduanya selama
menyangkut masalah urusan duniawi, dan janganlah kamu mengikuti keyakinan atau
agama mereka, yakni mempersekutukan Allah, meskipun memaksamu.[13]
Pada ayat 16 dijelaskan bahwa Allah akan mendatangkan balasan baik
maupun buruk walau perbuatan itu hanya sebesar biji sawi sekalipun dan akan
dihadirkan pada hari kiamat, dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi
Allah. Ayat ini juga menggambarkan adanya daya intelektual anak terhadap
keberadan sang pencipta dan menyadari bahwa Allah selalu mengetahui sesuatub
yang tampak maupun yang tidak tampak dan selalu mengawasi hamba-hamba-Nya
setiap saat pada berbagai macam kondisi. Seorang muslim harus berkeyakinan
bahwa memang tak ada satupun perbuatan yang bisa disembunyikan dari Allah.
Dialah yang menciptakan Jagat Raya ini beserta isinya dan Dia mengetahui segala
sesuatu yang tersembunyi dalam lipatan hati manusia.[14]
Pada ayat 17 Luqman menasehati anaknya dan sekaligus merupakan
pembekalan sebagai pegangan hidup yang meliputi: sholat, amr ma’ruf nahi
munkar, dan berlaku sabar. Pertama, sholat. Sholat bukan hanya merupakan
kewajiaban atau ketaatan perintah Allah, tetapi juga sebagai pembinaan diri
dari berbuat kejahatan dan kemunkaran. Kedua, amr ma’ruf nahi munkar.
Berkenaan dengan perintah amr ma’ruf dan nahi munkar ini, merupakan pendidikan
sangat penting bagi anak, agar kelak menjadi anak yang mau tampil berbuat
sesuatu dengan kebaikan sesuai dengan syariat. Demikian juga dengan nahi
munkar, mengarahkan anak-anak mau mencegah segala sesuatu, yang dianggap buruk
dan dibenci oleh syariah. Ketiga, berbuat sabar. Menanamkan sabar kepada
anak adalah merupakan suatu pendidikan, agar anak memiliki suatu kesetabilan
emosi, sehingga bersikap wajar dan sabar dalam menghadapi cobaan dan tidak
beputus asa dalam mengalami kegagalan atau kesulitan.[15]
D.
Hadits Nabi tentang Hormat dan Patuh kepada Orang Tua dan Guru
Berbakti kepada kedua orang tua mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan setiap manusia, baik kehidupan di
dunia maupun akhirat. Rasulullah SAW. pun menggariskan rambu-rambu berbakti
kepada orang tua dan pengaruhnya dalam kehidupan idividu muslim.[16]
Jika hal ini bisa dilakukan secara baik dalam kehidupannya, maka hal tersebut
dapat membawa kebaikan dalam diri setiap individu.
Rasulullah
SAW. menjelaskan bahwa berbakti kepada kedua orang tua dan guru merupakan
kewajiban atas setiap umat manusia, bukan hanya bersifat sunnah. Rasulullah
SAW. bersabda:
رِضَااللّهِ فِى رِضَاالْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ اللّهِ
فِى سُخْطِ الْوَالِدَيْنِ (رواه البيهقى)
Artinya:
“Ridha Allah terletak pada ridha orang tua, murka Allah terletak
pada kemurkaan orang tua.” (H.R. Baihaqi)
Dari hadits tersebut Rasulullah menyebutkan
bahwa ridha Allah tergantung pada ridha orang tua. Jadi, kedudukan orang tua
sangatlah penting dalam kehidupan seorang anak. Seorang anak wajib berusaha
membuat orang tuanya ridha, untuk memperoleh keridhaan ini dapat diaplikasikan
dengan berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
عَنْ عَبْدِ اللّهِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ
إِلَى اللّهِ؟ قَالَ: اَالصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ اَيٌّ؟ قَالَ:
بِرُّالْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ اَيٌّ؟ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللّهِ.
(رواه البخاري)
Artinya:
“Aku bertanya kepada Nabi SAW., “Amalan
apakah yang paling dicintai oleh Allah SWT.?” Beliau menjawab, “Ṡalat pada
waktunya.” Aku berkata, “Kemudian apa?” Beliau
menjawab, “Berbakti kepada orang tua.” Aku berkata, “Kemudian apa?”
Beliau menjawab, “Kemudian jihad di jalan Allah.” (HR.
Bukhari)
Berbakti kepada kedua orang tua berada di
posisi kedua setelah beribadah kepada Allah. Dengan harapan agar manusia
memahami betapa pentingnya berbuat kepada ibu bapak dan mensyukuri kebaikan
mereka seperti betapa besarnya penderitaan yang telah ibu rasakan pada
saat melahirkan, betapa pula banyaknya kesulitan
dalam mencari nafkah dan dalam mengasuh serta mendidik putra-putra mereka
dengan penuh kasih sayang. Maka pantaslah apabila berbuat baik kepada kedua
orang tua, dijadikan sebagai kewajiban yang paling peting diantara
kewajiban-kewajiban yang lain dan diletakkan Allah dalam urutan kedua sesudah
kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah yang Maha Kuasa.
Selain memuliakan kedua orang tua, seorang
anak juga harus memuliakan guru, karena gurulah yang mengajarkan membaca,
menulis, berhitung, serta mengajak untuk mengenal dunia. Kita tidak akan
menjadi pintar tanpa bimbingan guru. Oleh karena itu, wajib bagi anak didik
atau pelajar untuk menjaga adab dan sopan santun mereka. Sebagaimana
diperintahkan Nabi dalam hadisnya:[17]
وَقِّرُوْا مَنْ تُعَلِّمُوْنَ مِنْهُ الْعِلْمَ (رواه
الخطيب)
Artinya:
“Muliakanlah orang yang telah memberikan
pelajaran (ilmu) kepadamu.” (H.R. Al Khatib)
[1]
Suparto Iribaram, “Nilai-nilai Pendidikan
dalam al-Qur’an dan Aktualisasinya: Surat Al-Isra’ Ayat23-25”, Jurnal
Al-Riwayah Vol. 10 No. 01, 2018, hal. 45
[4] Muhammad Abdurrahman, Akhlak: Menjadi
Seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta: PT. Rajawali Pres, 2016), hal.
188
[5]
Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi
SAW.: Panduan Lengkap Pendidikan Anak Disertai Teladan Kehidupan Para Salaf,
terj. Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Pustaka Arafah, 2006), hal. 428
[6] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan
Tafsirnya Jilid V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 459-460
[7]
Suparto Iribaram, “Nilai-nilai Pendidikan
dalam al-Qur’an dan Aktualisasinya: Surat Al-Isra’ Ayat 23-25”, Jurnal
Al-Riwayah, Vol. 10 No. 01, 2018, hal. 97
[11] Sabaruddin Garancang, “Nilai-nilai Pendidikan
Islam dalam Surat Lukman”, Jurnal, Vol. 05 No. 02, 2016, hal. 245
[12] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan
Tafsirnya Jilid VII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 549
[13] Sabaruddin Garancang, “Nilai-nilai Pendidikan
Islam dalam Surat Lukman”, Jurnal, Vol. 05 No. 02, 2016, hal. 249
[14] Rohani dan Hayati Nufus, “Pendidikan Anak
Menurut Surat Luqman Ayat 13-17 dalam Tafsir Ibn Katsir”, Jurnal Al-Iltizam,
Vol. 02 No. 01, 2017, hal. 144
[15] Sabaruddin Garancang, “Nilai-nilai Pendidikan
Islam dalam Surat Lukman”, Jurnal, Vol. 05 No. 02, 2016, hal. 246-247
[17] Tim Penyusun, Modul Hikmah: Aqidah Akhlak
10 MA, (Bandung: Penerbit Akik Pustaka, 2013), hal. 59-60
No comments:
Post a Comment