BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya
kepada hal-hal yang positif atau mengajarkan tentang akhlakul kharimah,
menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya dengan berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits. Bersikap positif adalah anjurannya seperti jujur, sabar,
ikhlas, husnudzon (berprasangka baik), menjalin ukhuwah dengan baik, tidak
terjerumus kepada nafsu yang buruk atau menahan diri dari hawa nafsu, dan masih
banyak lagi. Di dunia ini manusia diberikan berbagai macam cobaan atau ujian
hidup, manusia dituntut untuk mampu melewati dan berjuang menghadapi berbagai
masalah tersebut. Allah memberikan ujian hidup dengan tidak melebihi batas
kemampuan hamba-Nya, maka dari itu manusia sebagai hamba harus mampu mlewati
rintangan, ujian/ cobaan hidup yang diberikan Allah SWT.
Melawan hawa nafsu merupakan jihad yang
paling berat bagi manusia, karena nafsu yang ada dalam diri manusia biasanya
nafsu kesenangan, luapan emosi, dimana mengendalikan nafsu kesenangan dan luapan
emosi ini sangatlah sulit bagi diri manusia, sehingga melawan hawa nafsu dapat
dikatakan sebagai jihad besar.
Ukuwah merupakan persaudaraan, sedangkan
ukhuwah islamiyah adalah persaudaraan sesama muslim. Sebagai umat muslim,
menjalin tali persaudaraan antar sesama sangatlah dianjurkan, dengan tidak
melihat dari fisik, negara, harta, suku dan ras, akan tetapi dengan akidah yang
sama. Karena pada dasarnya dimata Allah semua adalah sama kedudukannya, yang
membedakan adalah akhlaknya.
Dalam menjalin tali persaudaraan, manusia
dianjurkan untuk tidak berprasangka buruk terhadap sesama, akan tetapi
berprasangka baik (husnudzan). Dengan husnudzan tali persaudaraan tidak
terpecah belah dan tidak merugi, begitu juga dengan berprasangka baik terhadap
diri sendiri dan berprasangka baik kepada Allah SWT. Berhusnudzan kepada Allah
atas semua kenikmatan yang telah diberikan kepada hamba-Nya merupakan sikap
syukur yang harus dilakukan manusia sebagai hamba, karena pada dasarnya semua
yang Allah berikan merupakan pilihan terbaik untuk hamba-Nya, nikmat atau tidak
suatu hal bisa dirasakan tergantung dari syukur dan berhusnudzan kepada Allah.
Semakin banyak kita bersyukur dan berhusnudzan, semakin Allah SWT akan memberi
lebih. Dalam makalah ini akan dinjelaskan lebih rinci mengenai pengertian,
dalil dan contoh perilaku mujhadatun nafs, ukhuwah serta husnudzan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan?
2.
Bagaimana
surat yang berkaitan dengan mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan?
3.
Bagaiamana
perilaku mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mendiskripsikan pengertian mujahadatun nafs, ukhuwah
dan husnudzan
2. Untuk
mendiskripsikan surat yang berkaitan dengan
mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan
3. Untuk
mendiskripsikan perilaku mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mujahadatun Nafs, Ukhuwah Dan Husnudzan
1.
Mujahadatun Nafs
Secara bahasa mujāhadah artinya
bersungguh-sungguh, sedangkan an-nafs artinya jiwa, nafsu, diri. Jadi mujāhadatun-nafs
artinya perjuangan sungguh-sungguh melawan hawa nafsu atau bersungguh-sungguh
menghindari perbuatan yang melanggar hukum-hukum Allah SWT.
Dalam bahasa Indonesia mujāhadatun-nafs disebut
dengan kontrol diri. Kontrol diri merupakan salah satu perilaku terpuji yang
harus dimiliki setiap muslim. Menurut Al-Qur’an nafsu dibagi menjadi tiga,
yaitu :
a)
An-nafsul-ammārah,
yaitu nafsu yang mendorong manusia kepada keburukan sebagaimana yang dinyatakan
dalam QS. Yūsuf [12]: 53
b)
An-nafsul-lawwamah,
yaitu
nafsu yang menyesali setiap perbuatan buruk sebagaimana dinyatakan dalam QS.
al-Qiyamah [75]: 2
c)
An-nafsul-muṭmainnah,
yaitu
nafsu yang tenang sebagaiman dinyatakan dalam QS. al-Fajr [89] : 27-30.
Dari ketiga nafsu yang disebutkan al-Qur’an tersebut,
dapat diketahui bahwa an-nafsul-ammārah mendorong manusia untuk berbuat
maksiat. Kemaksiatan akan menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT serta akan
menimbulkan kegelisahan dalam hati. Oleh karenanya Islam mengajarkan mujāhadatun-nafs
supaya hidup kita bahagia dunia dan akhirat.[1]
Hawa nafsu memiliki kecenderungan untuk mencari berbagai
macam kesenangan dengan tidak mempedulikan aturan agama. Jika kita menuruti hawa
nafsu maka sesungguhnya hati kita telah tertawan dan diperbudak oleh hawa nafsu
itu. Nabi Muhammad ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam menyebut jihad melawan hawa
nafsu sebagai jihad besar (jihādul-akbar), sedangkan jihad berperang di medan
peperangan sebagai jihad kecil (jihadul-aṣgar). Mengapa
demikian? Hal ini dikarenakan jihad melawan
nafsu berarti jihad melawan hal-hal yang menyenangkan, digemari, dan disukai. Sedangkan jihad berperang di medan peperangan
adalah jihad melawan musuh yang kita benci.
Bukankah menghindari sesuatu yang kita senangi jauh lebih berat daripada menghindari sesuatu yang kita benci?
Perhatikan hadis berikut ini :
عَنْ أَبَى
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ حُجِبَتْ
النَّارُ بِاالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمكَارِهِ (رواه البخرى)
Dari Abu Hurairah raḍiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah
bersabda: “Neraka dikelilingi
dengan syahwat (hal-hal yang menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi
hal-hal yang tidak disenangi (nafsu)” (HR. al-Bukhari).[2]
2.
Ukhuwah
Dari segi bahasa ukhuwah bisa diartikan
“persaudaraan”. Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Ukhuwah Islamiah
adalah ikatan kejiwaan yang melahirkan perasaan yang mendalam dengan
kelembutan, cinta dan sikap hormat kepada setiap orang yang sama-sama diikat
dengan akidah Islamiah, iman dan takwa.[3]
Adapun maksud Ukhuwah Islamiah
menurut Dr. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran diuraikan bahwa :
“Istilah Ukhuwah Islamiah perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita
tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu
dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah dalam
istilah di atas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna
persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim, sehingga dengan demikian kata
lain “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu. Pemahaman ini kurang tepat, kata
Islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai
ajektifa, sehingga Ukhuwah Islamiah berarti persaudaraan yang bersifat
Islami atau yang diajarkan oleh Islam”.[4]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ukhuwah
Islamiah merupakan suatu persaudaraan antar sesama orang Islam, bukan
karena keturunan, profesi, jabatan dan sebagainya melainkan karena adanya persamaan
akidah. Ukhuwah islamiyyah mencakup :
a) Ukhuwah Diniyyah, yaitu
persaudaraan yang didasari oleh persamaan agama. Persaudaraan seagama dan
seiman inilah yang dimaksud oleh QS. Al-Ḥujurat ayat 10.
b) Ukhuwah Waṭaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan karena satu bangsa dan keterikatan
keturunan.
c) Ukhuwah Insaniyyah atau Basyariyyah, yaitu
persaudaraan karena sama-sama manusia.
Ukhuwah akan
memunculkan solidaritas dan timbulnya kepedulian sosial di masyarakat. Sebagai
sesama mukmin, kita harus mampu menjaga martabat dan kehormatan sesama mukmin.
QS. Al-Ḥujurat ayat 10 menghendaki ukhuwah
kaum mukmin harus benar-benar kuat, lebih kuat dari persahabatan dan
pertemanan biasa. Kita laksanakan hak dan kewajiban dengan penuh tanggung
jawab. Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِى مُوسَى
الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه الترمذى).
“Dari Abu Musa al-Asy›ari, ia berkata; Rasulullah bersabda:
“Antara seorang mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bagaikan satu
bangunan, yang saling menguat-kan satu sama lainnya” (HR. at-Tirmizi).”
Persaudaraan
akan menjadikan kehidupan yang harmonis, diliputi rasa saling mencintai, saling
menjaga perdamaian dan persatuan. Jika terjadi perselisihan diantara mereka, maka
Allah SWT memerintahkan untuk mendamaikan keduanya dengan mencari solusi
sesuai syariat Allah SWT dan rasul-Nya.[5]
Perselisihan diantara kaum muslim tidak menyebabkan salah satunya keluar dari
Islam, mereka tetap bersaudara. Mereka harus didamaikan (iṣlah) dengan
cara-cara yang islami.
3.
Husnudzan
Secara bahasa husnudzan berasal dari dua kata, yaitu ḥusnu dan
zan yang artinya berbaik sangka. Secara istilah, husnudzan diartikan berbaik sangka terhadap segala ketentuan dan ketetapan
Allah yang diberikan kepada manusia.[6]
Menurut Pinandito, husnudzan menjadi sebuah landasan pokok bagi manusia
dalam berpikir positif atas segala peristiwa yang dialami. Imam Ja’far Shadiq
berkata, “Berprasangka baik kepada Allah berarti bahwa kamu tidak boleh
berharap kecuali kepada-Nya dan kamu tidak boleh takut terhadap apapun kecuali
dari dosa-dosa yang kamu lakukan”.[7]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa husnudzan memiliki arti baik sangka, khususnya baik
sangka terhadap segala ketentuan Allah sehingga manusia dapat senantiasa
berpikir positif ketika ditimpa kenikmatan maupun kesusahan di dalam hidup.
Husnudzon ada tiga yaitu:
a)
Husnudzan kepada Allah SWT, maksudnya berprasangka baik kepada
Allah SWT. Dia memiliki sifat Maha Pengasih dan Penyayang, dan mencintai
hamba-Nya yang saleh, serta tidak membebani seseorang di luar batas
kemampuannya. Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
عَن اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى فَلْيَظُنَّ بِى مَا
شَاءَ (رواه احمد ).
“
Saya mendengar Rasulullah
ṣallallahu ʻalaihi wasallam
bersabda dari Allah ‘azza wajalla, “Saya berada pada persangkaan
hamba-Ku, maka berprasangkalah dengan-Ku sekehendaknya” (HR. Ahmad).
b)
Husnudzan kepada orang lain. Orang beriman dilarang untuk berprasangka buruk
kepada orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan larangan menggunjing
orang lain. Sungguh, perbuatan tersebut adalah perbuatan dosa, bahkan Allah subḥanahu
wa taʻala mengibaratkan orang yang
menggunjing seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati. Bukankah hal ini
sangat menjijikkan. Sebagai muslim kita harus hidup berdampingan dengan sesama
muslim yang lain serta menghormati hak dan kewajibannya. Rasulullah ṣallallahu
ʻalaihi wasallam bersabda :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ (رواه الترمذى).
“Dari Abu
Hurairah dia berkata, Rasulullah ṣallallahu ʻalaihi wasallam bersabda: “Seorang muslim (yang sejati)
adalah orang yang mana orang muslim lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan
tangannya” (HR. at-Tirmizi).”
c)
Husnudzan kepada diri sendiri. Seseorang yang berprasangka baik kepada
diri sendiri akan memiliki sikap percaya diri, optimis dan bekerja keras.
Sebaliknya, jika seseorang berburuk sangka kepada diri sendiri maka ia akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, dan malas berusaha. Allah SWT melarang hamba-Nya berputus asa dari
rahmat-Nya sebagaimana QS. Yusuf [12] ayat 87 berikut ini:
وَلاَ تَيْأَ سُوا مِنْ رَوْحِ اللهِ اِنَّهُ لا يَيْءَسُ مِنْ
رَوحِ اللهِ اِلاَّالْقَومُ الْكَافِرُونَ (87)
“Dan jangan
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat
Allah, hanyalah orang-orang yang kair” (QS. Yusuf
[12]: 87).[8]
B.
Surat Yang Berkaitan Dengan Mujahadatun Nafs, Ukhuwah Dan
Husnudzan
1. Isi
Kandungan Surat Al-Anfal ayat 72
إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى
يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلا
عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ (72)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan
jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin),
mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan
(terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu
melindungi mereka, sampai
mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum
yang telah terikat perjanjian
antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Anfal [8] : 72).[9]
Penjelasan
Surah al-Anfal ayat 72
Dalam
peristiwa hijrahnya Nabi bersama sahabat ke Madinah, terdapat tiga golongan; Pertama adalah kaum Muhajirin yaitu orang-orang
yang berhijrah bersama Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Madinah. Mereka mengalami kekerasan, penyiksaan dan
kekejaman yang dilakukan oleh kaum kafir tetapi mereka tetap sabar dan tetap
dalam iman. Kedua adalah kaum Anṣar yaitu orang-orang Madinah yang
beriman kepada Allah SWT, berjanji kepada Nabi Muhammad saw dan kaum Muhajirin
untuk bersama-sama berjuang dijalan Allah. Mereka bersedia menolong dan
berkorban dengan harta dan jiwanya demi keberhasilan perjuangan Islam. Allah
memberikan dua sebutan mulia kepada mereka sebagai “pemberi tempat kediaman”
dan “penolong dan pembantu”. Ketiga
adalah kaum yang tidak termasuk dalam keduanya, mereka tetap tinggal di Mekah
yang dikuasai oleh kaum kafir. Mereka tidak dapat disamakan dengan kaum
Muhajirin dan kaum Anṣar karena mereka tidak berada dalam lingkungan masyarakat
Islam, tetapi hidup di lingkungan orang-orang kair. Oleh karena itu, hubungan
antara mereka dengan kaum muslimin di Madinah tidak dapat disamakan dengan
hubungan antara kaum Muhajirin dan kaum Anṣar dalam masyarakat Islam.
Hubungan
antara sesama mukmin di Madinah sangat erat bahkan seperti saudara satu
keturunan yang tidak lagi membedakan hak dan kewajiban. Hubungan antara mereka dengan
mukmin di Madinah hanya diikat atas dasar keimanan saja. Kaum Muhajirin dan kaum Anṣar telah memberikan teladan dalam
mujahadatun nafs. Secara bahasa mujahadah artinya bersungguh-sungguh,
sedangkan an-nafs artinya jiwa,
nafsu, diri. Jadi mujahadatun-nafs artinya perjuangan sungguh-sungguh
melawan hawa nafsu atau bersungguh-sungguh menghindari perbuatan yang melanggar
hukum-hukum Allah SWT. Terdapat tiga nafsu yang disebutkan al-Qur’an yaitu
nafsu amarah, lawammah dan muthmainah.[10]
2.
Isi Kandungan
Surat Al-Hujurat 10-12
إِنَّمَا
ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ
وَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠) يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ
أَن يَكُونُوا۟
خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ
مِّن نِّسَآءٍ
عَسَىٰٓ
أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ
وَلَا تَلْمِزُوٓا۟
أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟
بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ
بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ
وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ
هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ (١١)يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
ٱجْتَنِبُوا۟
كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ
وَلَا تَجَسَّسُوا۟
وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ
وَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ ۚ
إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ (١٢)
"Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat
rahmat.(10) "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula
perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi
perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang
mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.(11) "Wahai orang-orang yang
beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa
dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di
antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudahmati? Tentu kamu merasa jijik. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.(12)”
Penjelasan
Surah al-Hujurat ayat 10-12
Surah al-Hujurat ayat 10 dan 11 menegaskan
bahwa orang-orang mukmin dilarang untuk mengolok-olok satu sama lain karena hal
tersebut dapat menimbulkan pertikaian dan juga dapat menimbulkan keretakan
dalam hal persaudaraan.[11]Persaudaraan
atau dikenal dengan istilah ukhuwah diantara sesama mukmin maksudnya
adalah persaudaraan yang didasari oleh persamaan aqidah dan keimanan kepada
Allah SWT. Persaudaraan yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam dikenal dengan istilah
ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah mencakup tiga macam yaitu :
a)
Ukhuwah Diniyyah, yaitu
persaudaraan yang dilatarbelakangi oleh persamaan agama. Persaudaraan seagama
dan seiman inilah yang dimaksud oleh surah Al-Hujarat ayat 10.
b)
Ukhuwah Wathaniyahwa
an-nasab, yaitu persaudaraan karena satu bangsa yang dibatasi oleh
wilayah-wilayah geografis dan keterikatan keturunan.
c)
Ukhuwah Insaniyyah
atau basyariyyah, yaitu persaudaraan karena sama-sama manusia
tidak memandang agama, suku, dan ras. [12]
Ukhuwah Diniyah akan
menguatkan pondasi kehidupan masyarakat yang aman, tentram, dan tertib. Ukhuwah
akan menimbulkan rasa solidaritas dan rasa kepedulian sosial di masyarakat
sehingga sesama anggota masyarakat akan saling membantu. Sebagai seorang muslim,
kita harus mampu memelihara harkat dan
martabat serta kehormatan sesama muslim. Surah al-Hujuratayat 10 dan 11 menghendaki
Ukhuwah kaum muslim harus benar-benar kokoh, lebih erat dari persahabatan dan pertemanan biasa.
Kita harus menunaikan hak dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab.
Hubungan persaudaraan akan menjadikan kehidupan
yang tentram, diliputi rasa saling menyayangi, saling memelihara persaudaraan dan kesatuan sehingga
timbul keamanan. Apabila terjadi perselisihan diantara anggota masyarakat, maka
Allah SWT memerintahkan untuk mendamaikan keduanya dengan kembali pada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Perselisihan yang terjadi di antara kaum muslim
tidak menyebabkan salah satunya murtad, mereka tetap bersaudara. Mereka harus didamaikan
(Ishlah) dengan cara-cara yang sesuai tuntunan al-Qur’an dan Hadits.[13]
Surah al-hujurat ayat 12 berisi tentang larangan
prasangka buruk. Berpasangka buruk atau lebih sering disebut dengan istilah su’udzan,
merupakan perbuatan tercela yang harus dihindari
seorang muslim. Sebaliknya, orang yang beriman diperintahkan untuk berprasangka
baik atau lebih dikenal dengan istilah husnudzan, baik itu husnudzan kepada
Allah, kepada sesama manusia, maupun kepada diri sendiri.
a)
Husnudzan kepada
Allah, bermakna berprasangka baik kepada Allah SWT, Allah azza wajalla memiliki
sifat Maha Pengasih dan Penyayang, dan mengasihi hamba-Nya yang sholeh, serta tidak
membebani seseorang diluar batas kemampuannya.
b)
Husnudzan kepada
orang lain. Setiap muslim dilarang untuk berprasangka buruk kepada sesame
manusia apalagi sesama umat Islam, mencari-cari kesalahan, dan menggibah terhadap
orang lain. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah perbuatan dosa yang akan meretakkan
hubungan persaudaraan, bahkan Allah SWT mengibaratkan orang yang menggibah seperti
memakan daging saudaranya yang sudah mati. Perbuatan ini tentu sangat menjijikkan.
Sebagian muslim kita harus rukun dengan sesama muslim yang lain serta menghormati
hak dan kewajibannya.
c)
Husnudzan kepada
diri sendiri. Setiap muslim memiliki sikap berprasangka baik kepada diri sendiri
akan memiliki sikap optimis dan mau bekerja keras untuk menjalani hidup. Namun,
jika seseorang berburuk sangka kepada diri sendiri maka ia akan merasakan pesimis,
minder, dan malas untuk berusaha untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Allah
SWT melarang hamba-Nya berputus asa dari rahmat-Nya.[14]
C. Perilaku Orang yang Menerapkan Mujahadatun
Nafs, Ukhuwah Dan Husnuz-Zan
1.
Menerapkan kontrol diri (Mujahadatun-Nafs)
untuk meraih hidup Bahagia.
Cara
yang pertama mengontrol diri adalah dengan memusuhi hawa nafsu. Tanamkan dalam
hati bahwa hawa nafsu harus diperangi dan dilawan. Kedua, renungkan dampak
negatif dari perilaku maksiat akan berakibat positif beramal shaleh.Setiap
perbuatan dosa dan maksiat akan berakibat buruk bagi diri sendiri, misalnya
hati gelisah, hidup tidak tenang, dan merasa jauh dari Allah. Sebaliknya,amal
shaleh akan berakibat positif bagi dirinya, misalnya hidup tenang, optimis
merasa dekat dengan Allah. Ketiga, memperbanyak dan melanggengkan dzikir kepada
Allah.
2.
Menerapkan
Prasangka Baik (Husnuz-Zann) untuk meraih Hidup Bahagia.
Husnuz-Zan kepada Allah SWT, dapat dilakukan
dengan dua sikap yaitu:
a. Bersyukur atas nikmat yang telah diberikan
Allah SWT. Caranya dengan mengucap alhamdulillah, dan menggunakan nikmat sesuai
petunjuk Allah Swt.
b. Bersabar
atas semua cobaan dan ujian dari Allah Swt. Ingatlah bahwa Allah tidak akan
membebani seseorang di batas kemampuan.
Husnuz-Zann
kepada orang lain dapat dilakukan dengan sikap sebagai berikut:
a. Mudah
memaafkan kesalahan orang lain.
b. Melihat
seseorang dari sisi baiknya.
c. Mengingat-ingat
kebaikan yang pernah dilakukan oleh seseorang.
d. Bertutur
kata dan beprilaku lemah lembut kepada orang lain.
Husnuz-Zann
kepada diri sendiri dapat dilakukan dengan sikap sebagi berikut:
a.
Percaya diri,
meyakini bahwa dirinya mampu melakukan sebuah pekerjaan.
b.
Optimis,
menghadapi hidup ,tidak mudah putus asa.
c.
Berusaha dan bekerja keras meraih cita- cita.
3.
Menerapkan
Persaudaraan( Ukhuwah ) untuk meraih Hidup Bahagia.
Persaudaraan
sesama mukmin akan bisa terjaga dan tumbuh dengan melakukan hal-hal dibawah ini
:[15]
a) Saling
mencintai sesama mukmin karena Allah semata.
b) Menghargai
perbedaan pendapat dan pandangan.
c) Membantu
seorang mukmin yang mengalami kesulitan.
d)
Melaksanakan hak
dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab.
[1] Mukarom Faisal
Rosidin, dkk, Buku Siswa Al-Qur’an Hadits, ( Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama Republik Indonesia, 2015), hal. 22-23
[3] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 5.
[6] Roli Abdul Rohman, Menjaga Akidah dan Akhlak, (Solo:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), hal.
86
[7] Satrio Pinandito, Husnuzan dan Sabar Kunci Sukses Meraih
Kebahagiaan Hidup Kiat-Kiat Praktis Berpikir Positif Menyiasati Persoalan Hidup,
(Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2011), hal. 13
[11]M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 250
No comments:
Post a Comment