Thursday, June 06, 2019

MUJAHADATUN NAFS, UKHUWAH dan HUSNUDZAN


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya kepada hal-hal yang positif atau mengajarkan tentang akhlakul kharimah, menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Bersikap positif adalah anjurannya seperti jujur, sabar, ikhlas, husnudzon (berprasangka baik), menjalin ukhuwah dengan baik, tidak terjerumus kepada nafsu yang buruk atau menahan diri dari hawa nafsu, dan masih banyak lagi. Di dunia ini manusia diberikan berbagai macam cobaan atau ujian hidup, manusia dituntut untuk mampu melewati dan berjuang menghadapi berbagai masalah tersebut. Allah memberikan ujian hidup dengan tidak melebihi batas kemampuan hamba-Nya, maka dari itu manusia sebagai hamba harus mampu mlewati rintangan, ujian/ cobaan hidup yang diberikan Allah SWT.
Melawan hawa nafsu merupakan jihad yang paling berat bagi manusia, karena nafsu yang ada dalam diri manusia biasanya nafsu kesenangan, luapan emosi, dimana mengendalikan nafsu kesenangan dan luapan emosi ini sangatlah sulit bagi diri manusia, sehingga melawan hawa nafsu dapat dikatakan sebagai jihad besar.
Ukuwah merupakan persaudaraan, sedangkan ukhuwah islamiyah adalah persaudaraan sesama muslim. Sebagai umat muslim, menjalin tali persaudaraan antar sesama sangatlah dianjurkan, dengan tidak melihat dari fisik, negara, harta, suku dan ras, akan tetapi dengan akidah yang sama. Karena pada dasarnya dimata Allah semua adalah sama kedudukannya, yang membedakan adalah akhlaknya.
Dalam menjalin tali persaudaraan, manusia dianjurkan untuk tidak berprasangka buruk terhadap sesama, akan tetapi berprasangka baik (husnudzan). Dengan husnudzan tali persaudaraan tidak terpecah belah dan tidak merugi, begitu juga dengan berprasangka baik terhadap diri sendiri dan berprasangka baik kepada Allah SWT. Berhusnudzan kepada Allah atas semua kenikmatan yang telah diberikan kepada hamba-Nya merupakan sikap syukur yang harus dilakukan manusia sebagai hamba, karena pada dasarnya semua yang Allah berikan merupakan pilihan terbaik untuk hamba-Nya, nikmat atau tidak suatu hal bisa dirasakan tergantung dari syukur dan berhusnudzan kepada Allah. Semakin banyak kita bersyukur dan berhusnudzan, semakin Allah SWT akan memberi lebih. Dalam makalah ini akan dinjelaskan lebih rinci mengenai pengertian, dalil dan contoh perilaku mujhadatun nafs, ukhuwah serta husnudzan.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan?
2.    Bagaimana surat yang berkaitan dengan mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan?
3.      Bagaiamana perilaku mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan?
C.       Tujuan Pembahasan
             1.     Untuk mendiskripsikan pengertian mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan
             2.     Untuk mendiskripsikan surat yang berkaitan dengan mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan
             3.     Untuk mendiskripsikan perilaku mujahadatun nafs, ukhuwah dan husnudzan




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Mujahadatun Nafs, Ukhuwah Dan Husnudzan
1.    Mujahadatun Nafs
Secara bahasa mujāhadah artinya bersungguh-sungguh, sedangkan an-nafs artinya jiwa, nafsu, diri. Jadi mujāhadatun-nafs artinya perjuangan sungguh-sungguh melawan hawa nafsu atau bersungguh-sungguh menghindari perbuatan yang melanggar hukum-hukum Allah SWT.
Dalam bahasa Indonesia mujāhadatun-nafs disebut dengan kontrol diri. Kontrol diri merupakan salah satu perilaku terpuji yang harus dimiliki setiap muslim. Menurut Al-Qur’an nafsu dibagi menjadi tiga, yaitu :
a)    An-nafsul-ammārah, yaitu nafsu yang mendorong manusia kepada keburukan sebagaimana yang dinyatakan dalam QS. Yūsuf [12]: 53
b)   An-nafsul-lawwamah, yaitu nafsu yang menyesali setiap perbuatan buruk sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Qiyamah [75]: 2
c)    An-nafsul-muṭmainnah, yaitu nafsu yang tenang sebagaiman dinyatakan dalam QS. al-Fajr [89] : 27-30.
Dari ketiga nafsu yang disebutkan al-Qur’an tersebut, dapat diketahui bahwa an-nafsul-ammārah mendorong manusia untuk berbuat maksiat. Kemaksiatan akan menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT serta akan menimbulkan kegelisahan dalam hati. Oleh karenanya Islam mengajarkan mujāhadatun-nafs supaya hidup kita bahagia dunia dan akhirat.[1]
Hawa nafsu memiliki kecenderungan untuk mencari berbagai macam kesenangan dengan tidak mempedulikan aturan agama. Jika kita menuruti hawa nafsu maka sesungguhnya hati kita telah tertawan dan diperbudak oleh hawa nafsu itu. Nabi Muhammad ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam menyebut jihad melawan hawa nafsu sebagai jihad besar (jihādul-akbar), sedangkan jihad berperang di medan peperangan sebagai jihad kecil (jihadul-aṣgar). Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan jihad melawan nafsu berarti jihad melawan hal-hal yang menyenangkan, digemari, dan disukai. Sedangkan jihad berperang di medan peperangan adalah jihad melawan musuh yang kita benci. Bukankah menghindari sesuatu yang kita senangi jauh lebih berat daripada menghindari sesuatu yang kita benci? Perhatikan hadis berikut ini :
عَنْ أَبَى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ حُجِبَتْ النَّارُ بِاالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمكَارِهِ (رواه البخرى)

Dari Abu Hurairah raḍiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Neraka dikelilingi dengan syahwat (hal-hal yang menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi hal-hal yang tidak disenangi (nafsu)” (HR. al-Bukhari).[2]
2.    Ukhuwah
Dari segi bahasa ukhuwah bisa diartikan “persaudaraan”. Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Ukhuwah Islamiah adalah ikatan kejiwaan yang melahirkan perasaan yang mendalam dengan kelembutan, cinta dan sikap hormat kepada setiap orang yang sama-sama diikat dengan akidah Islamiah, iman dan takwa.[3]
Adapun maksud Ukhuwah Islamiah menurut Dr. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran diuraikan bahwa : “Istilah Ukhuwah Islamiah perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim, sehingga dengan demikian kata lain “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu. Pemahaman ini kurang tepat, kata Islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai ajektifa, sehingga Ukhuwah Islamiah berarti persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam”.[4]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ukhuwah Islamiah merupakan suatu persaudaraan antar sesama orang Islam, bukan karena keturunan, profesi, jabatan dan sebagainya melainkan karena adanya persamaan akidah. Ukhuwah islamiyyah mencakup :
a) Ukhuwah Diniyyah, yaitu persaudaraan yang didasari oleh persamaan agama. Persaudaraan seagama dan seiman inilah yang dimaksud oleh QS. Al-Ḥujurat ayat 10.
b) Ukhuwah Waṭaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan karena satu bangsa dan keterikatan keturunan.
c) Ukhuwah Insaniyyah atau Basyariyyah, yaitu persaudaraan karena sama-sama manusia.
Ukhuwah akan memunculkan solidaritas dan timbulnya kepedulian sosial di masyarakat. Sebagai sesama mukmin, kita harus mampu menjaga martabat dan kehormatan sesama mukmin. QS. Al-Ḥujurat   ayat 10 menghendaki ukhuwah kaum mukmin harus benar-benar kuat, lebih kuat dari persahabatan dan pertemanan biasa. Kita laksanakan hak dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab. Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِى مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه الترمذى).

“Dari Abu Musa al-Asy›ari, ia berkata; Rasulullah bersabda: “Antara seorang mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bagaikan satu bangunan, yang saling menguat-kan satu sama lainnya” (HR. at-Tirmizi).”
Persaudaraan akan menjadikan kehidupan yang harmonis, diliputi rasa saling mencintai, saling menjaga perdamaian dan persatuan. Jika terjadi perselisihan diantara mereka, maka Allah SWT memerintahkan untuk mendamaikan keduanya dengan mencari solusi sesuai syariat Allah SWT dan rasul-Nya.[5] Perselisihan diantara kaum muslim tidak menyebabkan salah satunya keluar dari Islam, mereka tetap bersaudara. Mereka harus didamaikan (iṣlah) dengan cara-cara yang islami.
3.    Husnudzan
Secara bahasa husnudzan  berasal dari dua kata, yaitu ḥusnu dan zan yang artinya berbaik sangka. Secara istilah, husnudzan  diartikan berbaik sangka terhadap segala ketentuan dan ketetapan Allah yang diberikan kepada manusia.[6]
Menurut Pinandito, husnudzan  menjadi sebuah landasan pokok bagi manusia dalam berpikir positif atas segala peristiwa yang dialami. Imam Ja’far Shadiq berkata, “Berprasangka baik kepada Allah berarti bahwa kamu tidak boleh berharap kecuali kepada-Nya dan kamu tidak boleh takut terhadap apapun kecuali dari dosa-dosa yang kamu lakukan”.[7]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa husnudzan  memiliki arti baik sangka, khususnya baik sangka terhadap segala ketentuan Allah sehingga manusia dapat senantiasa berpikir positif ketika ditimpa kenikmatan maupun kesusahan di dalam hidup. Husnudzon ada tiga yaitu:
a)      Husnudzan kepada Allah SWT, maksudnya berprasangka baik kepada Allah SWT. Dia memiliki sifat Maha Pengasih dan Penyayang, dan mencintai hamba-Nya yang saleh, serta tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَن اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى فَلْيَظُنَّ بِى مَا شَاءَ (رواه احمد ).
Saya mendengar Rasulullah  ṣallallahu ʻalaihi wasallam  bersabda dari Allah ‘azza wajalla, “Saya berada pada persangkaan hamba-Ku, maka berprasangkalah dengan-Ku sekehendaknya” (HR. Ahmad).
b)      Husnudzan kepada orang lain. Orang beriman dilarang untuk berprasangka buruk kepada orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan larangan menggunjing orang lain. Sungguh, perbuatan tersebut adalah perbuatan dosa, bahkan Allah subḥanahu wa taʻala  mengibaratkan orang yang menggunjing seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati. Bukankah hal ini sangat menjijikkan. Sebagai muslim kita harus hidup berdampingan dengan sesama muslim yang lain serta menghormati hak dan kewajibannya. Rasulullah ṣallallahu ʻalaihi wasallam  bersabda :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (رواه الترمذى).

“Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah ṣallallahu ʻalaihi wasallam  bersabda: “Seorang muslim (yang sejati) adalah orang yang mana orang muslim lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya” (HR. at-Tirmizi).”
c)      Husnudzan kepada diri sendiri. Seseorang yang berprasangka baik kepada diri sendiri akan memiliki sikap percaya diri, optimis dan bekerja keras. Sebaliknya, jika seseorang berburuk sangka kepada diri sendiri maka ia akan merasa pesimis, tidak percaya diri, dan malas berusaha. Allah SWT  melarang hamba-Nya berputus asa dari rahmat-Nya sebagaimana QS. Yusuf [12] ayat 87 berikut ini:
وَلاَ تَيْأَ سُوا مِنْ رَوْحِ اللهِ اِنَّهُ لا يَيْءَسُ مِنْ رَوحِ اللهِ اِلاَّالْقَومُ الْكَافِرُونَ (87)

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kair” (QS. Yusuf [12]: 87).[8]

B.       Surat Yang Berkaitan Dengan Mujahadatun Nafs, Ukhuwah Dan Husnudzan
1.      Isi Kandungan Surat Al-Anfal ayat 72
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ  (72)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Anfal [8] : 72).[9]
Penjelasan Surah al-Anfal ayat 72
Dalam peristiwa hijrahnya Nabi bersama sahabat ke Madinah, terdapat tiga golongan; Pertama  adalah kaum Muhajirin yaitu orang-orang yang berhijrah bersama Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Madinah. Mereka mengalami kekerasan, penyiksaan dan kekejaman yang dilakukan oleh kaum kafir tetapi mereka tetap sabar dan tetap dalam iman. Kedua adalah kaum Anṣar yaitu orang-orang Madinah yang beriman kepada Allah SWT, berjanji kepada Nabi Muhammad saw dan kaum Muhajirin untuk bersama-sama berjuang dijalan Allah. Mereka bersedia menolong dan berkorban dengan harta dan jiwanya demi keberhasilan perjuangan Islam. Allah memberikan dua sebutan mulia kepada mereka sebagai “pemberi tempat kediaman” dan “penolong dan pembantu”.  Ketiga adalah kaum yang tidak termasuk dalam keduanya, mereka tetap tinggal di Mekah yang dikuasai oleh kaum kafir. Mereka tidak dapat disamakan dengan kaum Muhajirin dan kaum Anṣar karena mereka tidak berada dalam lingkungan masyarakat Islam, tetapi hidup di lingkungan orang-orang kair. Oleh karena itu, hubungan antara mereka dengan kaum muslimin di Madinah tidak dapat disamakan dengan hubungan antara kaum Muhajirin dan kaum Anṣar dalam masyarakat Islam.
Hubungan antara sesama mukmin di Madinah sangat erat bahkan seperti saudara satu keturunan yang tidak lagi membedakan hak dan kewajiban. Hubungan antara mereka dengan mukmin di Madinah hanya diikat atas dasar keimanan saja. Kaum Muhajirin  dan kaum Anṣar telah memberikan teladan dalam mujahadatun nafs. Secara bahasa mujahadah artinya bersungguh-sungguh, sedangkan an-nafs  artinya jiwa, nafsu, diri. Jadi mujahadatun-nafs artinya perjuangan sungguh-sungguh melawan hawa nafsu atau bersungguh-sungguh menghindari perbuatan yang melanggar hukum-hukum Allah SWT. Terdapat tiga nafsu yang disebutkan al-Qur’an yaitu nafsu amarah, lawammah dan muthmainah.[10]
2.      Isi Kandungan Surat Al-Hujurat 10-12
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠) يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ (١١)يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ (١٢)
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.(10) "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.(11) "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudahmati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.(12)”
Penjelasan Surah al-Hujurat ayat 10-12
Surah al-Hujurat ayat 10 dan 11 menegaskan bahwa orang-orang mukmin dilarang untuk mengolok-olok satu sama lain karena hal tersebut dapat menimbulkan pertikaian dan juga dapat menimbulkan keretakan dalam hal persaudaraan.[11]Persaudaraan atau dikenal dengan istilah ukhuwah diantara sesama mukmin maksudnya adalah persaudaraan yang didasari oleh persamaan aqidah dan keimanan kepada Allah SWT. Persaudaraan yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam dikenal dengan istilah ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah mencakup tiga macam yaitu :
a)      Ukhuwah Diniyyah, yaitu persaudaraan yang dilatarbelakangi oleh persamaan agama. Persaudaraan seagama dan seiman inilah yang dimaksud oleh surah Al-Hujarat ayat 10.
b)      Ukhuwah Wathaniyahwa an-nasab, yaitu persaudaraan karena satu bangsa yang dibatasi oleh wilayah-wilayah geografis dan keterikatan keturunan.
c)      Ukhuwah Insaniyyah atau basyariyyah, yaitu persaudaraan karena sama-sama manusia tidak memandang agama, suku, dan ras. [12]
Ukhuwah Diniyah akan menguatkan pondasi kehidupan masyarakat yang aman, tentram, dan tertib. Ukhuwah akan menimbulkan rasa solidaritas dan rasa kepedulian sosial di masyarakat sehingga sesama anggota masyarakat akan saling membantu. Sebagai seorang muslim,  kita harus mampu memelihara harkat dan martabat serta kehormatan sesama muslim. Surah al-Hujuratayat 10 dan 11 menghendaki Ukhuwah kaum muslim harus benar-benar kokoh,  lebih erat dari persahabatan dan pertemanan biasa. Kita harus menunaikan hak dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab.
Hubungan persaudaraan akan menjadikan kehidupan yang tentram, diliputi rasa saling menyayangi,  saling memelihara persaudaraan dan kesatuan sehingga timbul keamanan. Apabila terjadi perselisihan diantara anggota masyarakat, maka Allah SWT memerintahkan untuk mendamaikan keduanya dengan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Perselisihan yang terjadi di antara kaum muslim tidak menyebabkan salah satunya murtad, mereka tetap bersaudara. Mereka harus didamaikan (Ishlah) dengan cara-cara yang sesuai tuntunan al-Qur’an dan Hadits.[13]
Surah al-hujurat ayat 12 berisi tentang larangan prasangka buruk. Berpasangka buruk atau lebih sering disebut dengan istilah su’udzan,  merupakan perbuatan tercela yang harus dihindari seorang muslim. Sebaliknya, orang yang beriman diperintahkan untuk berprasangka baik atau lebih dikenal dengan istilah husnudzan, baik itu husnudzan kepada Allah, kepada sesama manusia, maupun kepada diri sendiri.
a)      Husnudzan kepada Allah, bermakna berprasangka baik kepada Allah SWT, Allah azza wajalla memiliki sifat Maha Pengasih dan Penyayang, dan mengasihi hamba-Nya yang sholeh, serta tidak membebani seseorang diluar batas kemampuannya.
b)      Husnudzan kepada orang lain. Setiap muslim dilarang untuk berprasangka buruk kepada sesame manusia apalagi sesama umat Islam, mencari-cari kesalahan, dan menggibah terhadap orang lain. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah perbuatan dosa yang akan meretakkan hubungan persaudaraan, bahkan Allah SWT mengibaratkan orang yang menggibah seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati. Perbuatan ini tentu sangat menjijikkan. Sebagian muslim kita harus rukun dengan sesama muslim yang lain serta menghormati hak dan kewajibannya.
c)      Husnudzan kepada diri sendiri. Setiap muslim memiliki sikap berprasangka baik kepada diri sendiri akan memiliki sikap optimis dan mau bekerja keras untuk menjalani hidup. Namun, jika seseorang berburuk sangka kepada diri sendiri maka ia akan merasakan pesimis, minder, dan malas untuk berusaha untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Allah SWT melarang hamba-Nya berputus asa dari rahmat-Nya.[14]

C.      Perilaku Orang yang Menerapkan Mujahadatun Nafs, Ukhuwah Dan Husnuz-Zan
1.       Menerapkan kontrol diri (Mujahadatun-Nafs) untuk meraih hidup Bahagia.
Cara yang pertama mengontrol diri adalah dengan memusuhi hawa nafsu. Tanamkan dalam hati bahwa hawa nafsu harus diperangi dan dilawan. Kedua, renungkan dampak negatif dari perilaku maksiat akan berakibat positif beramal shaleh.Setiap perbuatan dosa dan maksiat akan berakibat buruk bagi diri sendiri, misalnya hati gelisah, hidup tidak tenang, dan merasa jauh dari Allah. Sebaliknya,amal shaleh akan berakibat positif bagi dirinya, misalnya hidup tenang, optimis merasa dekat dengan Allah. Ketiga, memperbanyak dan melanggengkan dzikir kepada Allah.
2.      Menerapkan Prasangka Baik (Husnuz-Zann) untuk meraih Hidup Bahagia.
   Husnuz-Zan kepada Allah SWT, dapat dilakukan dengan dua sikap yaitu:
a.   Bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Caranya dengan mengucap alhamdulillah, dan menggunakan nikmat sesuai petunjuk Allah Swt.
b.  Bersabar atas semua cobaan dan ujian dari Allah Swt. Ingatlah bahwa Allah tidak akan membebani seseorang di batas kemampuan.
Husnuz-Zann kepada orang lain dapat dilakukan dengan sikap sebagai berikut:
a.  Mudah memaafkan kesalahan orang lain.
b.  Melihat seseorang dari sisi baiknya.
c.  Mengingat-ingat kebaikan yang pernah dilakukan oleh seseorang.
d.  Bertutur kata dan beprilaku lemah lembut kepada orang lain.
Husnuz-Zann kepada diri sendiri dapat dilakukan dengan sikap sebagi berikut:
a.    Percaya diri, meyakini bahwa dirinya mampu melakukan sebuah pekerjaan.
b.   Optimis, menghadapi hidup ,tidak mudah putus asa.
c.     Berusaha dan bekerja keras meraih cita- cita.
3.      Menerapkan Persaudaraan( Ukhuwah ) untuk meraih Hidup Bahagia.
Persaudaraan sesama mukmin akan bisa terjaga dan tumbuh dengan melakukan hal-hal dibawah ini :[15]
a)      Saling mencintai sesama mukmin karena Allah semata.
b)      Menghargai perbedaan pendapat dan pandangan.
c)      Membantu seorang mukmin yang mengalami kesulitan.
d)      Melaksanakan hak dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab.


[1] Mukarom Faisal Rosidin, dkk, Buku Siswa Al-Qur’an Hadits, ( Jakarta:  Direktorat Jenderal Pendidikan Islam  Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015), hal. 22-23
[2] Mukarom Faisal Rosidin, dkk, Buku Siswa Al-Qur’an Hadits..., hal. 23
[3] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 5.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 486-487
[5] Mukarom Faisal Rosidin, dkk, Buku Siswa Al-Qur’an Hadits..., hal. 27
[6] Roli Abdul Rohman, Menjaga Akidah dan Akhlak, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), hal.  86  
[7] Satrio Pinandito, Husnuzan dan Sabar Kunci Sukses Meraih Kebahagiaan Hidup Kiat-Kiat Praktis Berpikir Positif Menyiasati Persoalan Hidup, (Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2011), hal. 13
[8] Mukarom Faisal Rosidin, dkk, Buku Siswa Al-Qur’an Hadits..., hal. 26
[9] Mukarom Faisal Rosidin, dkk, Buku Siswa Al-Qur’an Hadits..., hal. 20-21
[10] Mukarom Faisal Rosidin, dkk, Buku Siswa Al-Qur’an Hadits..., hal. 22-23
[11]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 250
[12]Tim Penyusun, Modul Al-Hikmah Qur’an Hadis Kelas XI Semester Ganjil, (Akik Pusaka) hal. 23
[13]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan,...., Hal. 250
[14]Tim Penyusun, Modul Al-Hikmah Qur’an,...., Hal. 22
[15] Mukarom Faisal Rosidin, dkk, Buku Siswa Al-Qur’an Hadits..., hal. 29-30

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer