Friday, April 05, 2019

WALI DAN SAKSI DALAM PERNIKAHAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi ini. Maka keberadaannya di bumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun.
Pernikahan adalah ikatan suci untuk dua insan yang menjaga nya dari perbuatan yang diharamkan ketika mereka bersama. Tidak hanya menyatukan dua insan yang berlawan jenis, tapi juga menyatukan dua keluarga guna memperkuat ukhuwah dan silaturrahmi. Tujuan dari pernikahan tidak lain adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Dan juga menghindarkan mereka dari perbuatan yang mengarah pada zina.
Dalam Islam segala hal sudah diatur agar tidak semena-mena dalam melakukan ibadahnya. Dalam masalah pernikahan ini pun tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri. Dalam pernikahan sudah ditentukan bagaimana rukun, syarat, dan lain sebagainya. Dalam hal ini rukun merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan.  Syarat juga tidak dapat diremehkan karena apabila diremehkan maka akan menjadikan cacat akadnya.
Wali dan saksi menjadi sangat penting dalam pernikahan karena yang menikahkan pihak wanita haruslah wali, entah itu wali kandung, wali mujbir, atau yang lainya. Dan juga harus ada yang menjadi saksi dalam sebuah pernikahan yang menyaksikan proses ijab qobul dan syarat-syarat lain terpenuhi atau tidak.
Dalam makalah ini akan membahas dua hal yang menjadi rukun pernikahan yaitu wali dan saksi dalam pernikahan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hakikat wali dan saksi dalam pernikahan?
2.      Apa syarat-syarat wali dan saksi dalam pernikahan?
3.      Apa pengaruh, fungsi, dan tanggung jawab saksi dalam pernikahan?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui hakikat wali dan saksi dalam pernikahan
2.      Mengetahui syarat-syarat wali dan saksi dalam pernikahan
3.      Mengetahui pengaruh, fungsi, dan tanggung jawab saksi dalam pernikahan
  

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Wali dan Saksi dalam Pernikahan
1.      Wali dalam Pernikahan
a.       Pengertian Wali
Secara etimologi ”wali” mempunyai arti pelindung, penolong, atau penguasa. Wali mempunyai banyak arti, antara lain:
a)      Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa;
b)      Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki);
c)      Orang saleh (suci), penyebar agama;
d)      Kepala pemerintah dan sebagainya.
Arti-arti “wali” di atas tentu saja pemakaiannya dapat disesuaikan dengan konteks kalimat. Adapun yang dimaksud wali dalam pembahasan ini adalah wali dalam pernikahan, yaitu yang sesuai dengan poin b.[1]
Wali adalah orang yang berhak atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas nama yang diwakilinya. Sedangkan wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan yang diurusnya (maula) apabila ia (wali) sanggup bertindak sebagai wali. Dan apabila karena suatu hal ia tidak dapat bertindak sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.[2]
Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.
Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urutan-urutan wali adalah sebagai berikut:
1)      Ayah;
2)      Ayahnya ayah (kakek) terus ke atas;
3)      Saudara laki-laki seayah seibu;
4)      Saudara laki-laki seayah saja;
5)      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu;
6)      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
7)      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu;
8)      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
9)      Anak laki-laki no.7;
10)  Anak laki-laki no.8 dan seterusnya;
11)  Saudara laki-laki ayah, seayah seibu;
12)  Saudara laki-laki ayah, seayah saja;
13)  Anak laki-laki no.11;
14)  Anak laki-laki no.12; dan
15)  Anak laki-laki no.13 dan seterusnya.
Singkatnya urutan wali adalah:
1)      Ayah seterusnya keatas;
2)      Saudara laki-laki kebawah; dan
3)      Saudara laki-laki ayah ke bawah.[3]
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahinya atau member izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Hak ini diberikan Islam kepada wali nikah, karena wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Jika wanita menikahkan dirinya sendiri, maka berarti ia telah berzina. Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali (dari pihak perempuan).[4]
b.      Macam-macam wali
Wali nikah ada empat macam, yaitu: wali nasab, wali hakim(sultan), wali tahkim, dan wali maula.[5]
1)      Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Wali nasab dibagi menjadi dua.[6] Pertama: wali dekat (qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dinikahkannya. Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a.       Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada
b.      Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada
c.       Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada
d.      Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada
e.       Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada
f.        Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada
g.      Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada
h.      Anak paman seayah
i.        Ahli waris kerabat lainnya kalau ada
2)      Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali, sebab:
a.       Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya
b.      Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada
c.       Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d.      Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijemput
e.       Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh
f.        Anak zina (dia hanya bernasab dengan ibunya)
g.      Walinya gila atau fasik
Sesuai dengan peraturan Menteri Agama Nomer 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3)      Wali Tahkim
Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah: calon suami mengucapkan tahkim kepada seseorang dengan kalimat, “saya angkat bapak/saudara untuk menikahkan saya dengan si....(calon istri) dengan mahar...dan putusan bapak/saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “saya terima tahkim ini.”
Wali tahkim terjadi apabila:
a.       Wali nasab tidak ada;
b.      Wali nasab gaib, atau bepergian sejauh dua hari perjalanan, serta tidak ada wakilnya disitu; dan
c.       Tidak ada Qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
4)      Wali Maula
Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya. Artinya, majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud perempuan disini terutama adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasannnya.
5)      Wali Mujbir dan Wali ‘Adlal
Maksud wali mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu. Adapun yang dimaksud dengan ijbar (mujbir) adalah hak seseorang (ayah ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan, yang ia sendiri, menjadi walinya (calon pengantin wanita);
b.      Calon suaminya sekufu dengan calon istri, atau ayah lebih tinggi; dan
c.       Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijbar gugur. Sebenarnya, ijbar bukan harus diartikan paksaan, tetapi lebih cocok bila diartikan pengarahan. Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah balig yang akan menikah dengan seorang pria yang kufu’, maka dinamakan wali ‘adlal.[7]
2.      Saksi dalam Akad Nikah
a.       Pengertian Saksi
Menurut bahasa, saksi adalah sebuah kata benda, dalam bahasa Indonesia berarti “orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian)”. Kata saksi dalam bahasa Arab disebut dengan شَاهِد. Sedangkan saksi menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.[8]
b.      Dasar Hukum Saksi
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ 
...dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dianggil... (QS. Al Baqarah ayat 282)
عَنْ زَيْد ابْن خَالِد الجهنّي رَضِيَ اللّه عنه انّ النبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم قَال: أَلَا أَخْبركُمْ بِخَيْرِالشُّهَدَاء؟ هُوَالَّذِيْ يَأْتِي بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ أَنْ يَّسألها. رواه مسلم
Dari Zaid bin Kholid Al-Jauhani RA bahwasanya Nabi SAW bersabda bersabda: Apakah tidak ku kabarkan kepada kamu tentang sebaik-baiknya saksi? ialah  orang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta untuk mengemukakannya.” (HR. Muslim)

B.     Syarat-Syarat Wali dan Saksi dalam Pernikahan
Disyaratkan seorang wali hendaknya orang yang adil, merdeka, dan mukallaf. Untuk itu, tidak ada hak menjadi wali bagi orang yang fasik. Bagitu juga beberapa orang yang tidak boleh ditugasi menjadi wali antara lain:[9]
1.      Budak, anak kecil, dan orang gila
2.      Orang gila yang sering kambuh
3.      Orang yang sakit parah dan orang pikun
4.      Wanita tidak boleh menjadi wali
Beberapa syarat saksi yang wajib di penuhi dalam akad nikah, yaitu sebagai berikut:[10]
1.      Mukalaf, seorang saksi harus sudah baligh  dan berakal
2.      Jumlah saksi minimal dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Menurut ulama syafi'iyah dan hanabillah dalam pendapat yang masyur bahwa laki-laki itu menjadi syarat. Akad tidak sah kecuali disaksikan dua orang laki-laki. Menurut mereka tidak sah akad pernikahan yang disaksikan kaum wanita secara mutlak
3.      Beragama islam
4.      Adil
5.      Mendengar ijab qobul.  Dua orang saksi harus mendengar ijab qobul dari dua orang yang berakad pada waktu yang sama dan memahami bahasa dua orang yang berakad tersebut
Dalam buku Fiqh Islam karya H. Sulaiman Rasjid menyebutkan bahwa wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut:[11]
1.       Islam. Orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali atau saksi. Firman Allah SWT:
يٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَۘ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)” (Al Maidah ayat 51)
2.       Baliq (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)
3.       Berakal
4.       Merdeka
5.       Laki-laki, karena tersebut dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni
6.       Adil

C.     Pengaruh, Fungsi, dan Tanggung Jawab Saksi
1.      Membantu Hakim dalam Mendudukkan dan Memutuskan Perkara
Tugas hakim sebagai penegak keadilan dan kebenaran sangatlah berat. Oleh karena itu, setiap perkara yang diadilinya selalu diperiksa seteliti dan secermat mungkin, agar ia dapat memutuskan perkara itu dengan adil dan benar. Kesaksian yang diberikan secara jujur, tidak dusta, dan tidak palsu, maka hakim segera memperoleh gambaran mengenai mendudukkan perkara yang sebenarnya, ia akan dapat memutuskan perkara tersebut dengan mudah. Sebaliknya, jika memberikan kesaksiannya dengan palsu atau menyembunyikan kesaksiannya, maka hakim akan kesulitan untuk mengetahui mendudukkan perkara yang sebenarnya, sehingga keputusan perkara yang diambil hakim jadi salah.[12]
Dengan demikian, jelaslah bahwa fungsi saksi yang dijalankan sebagaimana mestinya memberikan pengaruh positif bagi hakim untuk dapat mendudukkan perkara dan memutuskannya dengan adil dan benar. Sebaliknya, jika saksi dalam memberikan kesaksiannya berbelit-belit dan tidak jujur, dapat menyulitkan hakim dalam mendudukkan perkara, bahkan keputusan yang diambil hakim menjadi salah. Ketidakjujuran para saksi dalam mengemukakan kesaksiannya, pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya keresahan ditengah-tengah masyarakat dan terjadinya kesewenang-wenangan yang mengakibatkan kekacauan dan ketidaktentraman masyarakat.
2.      Mendorong Terwujudnya Sifat Jujur
Memberikan kesaksian palsu diancam dengan azab Allah Swt. Dengan memberikan kesaksian palsu berarti telah turut berbuat kedzaliman, menghilangkan hak oranglain, menipu oranglain, dan bahkan menipu terhadap hati nuraninya sendiri serta menyebabkan timbulnya permusuhan dan kebencian diantara sesama manusia. [13]
Menyadari fungsi kesaksian dan adanya ancaman hukuman yang berat bagi saksi palsu, menimbulkan rasa tanggungjawab yang kuat sekaligus merupakan dorongan bagi saksi untuk bersikap jujur dalam memberikan kesaksiannya.
Dengan demikian, tanggungjawab seseorang dalam memberikan kesaksiannya, membawa pengaruh yang positif terhadap diri pribadinya untuk selalu bersikap jujur didalam hidupnya. Kejujuran para saksi dapat memberikan jaminan terpeliharanya hak-hak dalam masyarat, merupakan suatu pendorong bagi masyarakat untuk mewujudkan sikap jujur didalam kehidupan mereka. Keadaan yang seperti ini, merupakan andil yang besar menuju terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.
3.      Untuk Menegakkan Keadilan
Dalam menegakkan keadilan, kedudukan atau pentingnya saksi sebagai alat pembuktian di pengadilan sangatlah penting. Hakim sebelum menjatuhkan keputusannya, selalu akan diminta adanya bukti-bukti dari masing-masing pihak. Hakim dalam memutuskan perkara dengan kesaksian sebagai alat bukti, akan mencari dan meneliti dengan sungguh-sungguh kebenaran kesaksian tersebut, sehingga keputusan hakim dapat mewujudkan keadilan.
4.      Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti
Agar hakim dapat menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya dan menyelesaikannya itu memenuhi tuntutan keadilan, maka wajib baginya:[14]
1)      Mengetahui hakikat dakwaan atau gugatan
2)      Mengetahui hukum Allah tentang kasus tersebut
Adapun pengetahuan hakim tentang hakikat dakwaan atau gugatan itu ada kalanya ia menyaksikan sendiri peristiwanya atau menerima keterangan dari pihak lain yang bersifat mutawatir. Jika tidak demikian, maka tidak dapat disebut sebagai pengetahuan hakim, tapi hanya persangkaan (dhan).
Pengetahuan hakim tentang hukum Allah, yaitu hakim tersebut harus memiliki pengetahuan tentang nash-nash yang qath’i atau hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama, jika tidak ditemukan ketentuan hukumnya pada nash-nash yang qath’i dan tidak terdapat pula hukum yang telah disepakati oleh para ulama maka ditempuhlah dengan jalan ijtihad.
Jumhur ulama sepakat bahwa saksi adalah sangat penting, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah walaupun diumumkan oleh khalayak ramai tanpa adanya saksi. Karena saksi merupakan syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah termasuk rukun pernikahan.[15]
عَنْ أَبِيْ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِي مُوْسَى عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَنِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ (رواه أحمد والأربعة وضحّخة ابْن المدينى)
"Dari Abu Buraidah r.a, dari Abu Musa, r a  dari ayahnya, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali wali dan dua orang saksi." (HR Ahmad dan Al-Arba'ah: Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa'i, dan Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Ibnul Madini)
Kata "tidak" dalam hadits tersebut maksudnya adalah tidak sah yang berarti bahwa mempersaksikan terjadinya ijab-kabul dalam akad nikah merupakan syarat sahnya nikah. Sebab, bila dengan tidak adanya saksi dalam ijab-kabul dinyatakan tidak sah maka hal itu menjadi syaratnya.
Dapat diambil pengertian, bahwa saksi adalah sebagai salah satu alat bukti. Para ahli hukum Islam telah sepakat, bahwa diantara alat-alat bukti itu adalah kesaksian.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Wali secara etimologi ”wali” mempunyai arti pelindung, penolong, atau penguasa. Wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan yang diurusnya (maula) apabila ia (wali) sanggup bertindak sebagai wali. Macam-macam wali antara lain: wali nasab, wali hakim, wali tahkim, wali maula, dan wali mujbir serta wali ‘adlal. Sedangkan saksi menurut bahasa yaitu sebuah kata benda, dalam bahasa Indonesia berarti “orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian)”. Saksi menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya. Dasar hukum saksi adalah surat Al Baqarah ayat 282 dan hadits riwayat Imam Muslim yang artinya “Apakah tidak ku kabarkan kepada kamu tentang sebaik-baiknya saksi? ialah  orang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta untuk mengemukakannya.
2.      Hendaklah wali atau saksi memiliki beberapa sifat: Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil
5.      Pengaruh, fungsi, dan tanggung jawab saksi dalam pernikahan antara lain: membantu hakim dalam mendudukkan dan memutuskan perkara, mendorong terwujudnya sifat jujur, untuk menegakkan keadilan, dan sebagai salah satu alat bukti


       [1] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 89-90.
       [2] Makmun Efendi, “Wali dan Saksi dalam Nikah”, Ar Risalah, Vol. 12, No. 34, Juli 2014, hal. 84.
       [3] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahah..., hal. 90-91.
       [4] Makmun Efendi, “Wali dan Saksi..., hal. 85.
       [5] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat..., hal. 95.
       [6] Ibid, hal. 96.
       [7] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat..., hal. 101.
       [8] Ibid, hal. 105.
       [9] Moch. Anwar dkk, Terjemah Fathul Mu’in Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), hal. 1219.
       [10] Abdul Majid Khon, Fiqh Munakahat, (Jakarta: AMZAH, 2014), hal. 101.
       [11] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013), hal. 384.
       [12] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat..., hal. 115.
       [13] Ibid, hal. 116.
       [14] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat..., hal. 117.
       [15] Ibid, hal. 119.

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer