Thursday, June 06, 2019

KLASIFIKASI HADITS


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis merupakan s umber hukum islam kedua setelah al-Qur’an. Hadis diklasifikasikan oleh ulama’ untuk memudahkan umat Islam dalam memecahkan makna, ciri-ciri Hadis, pebedaan atar Hadis, juga untuk mencari Hujjah (alasan hukum). Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini akan membahas tentang Klasifikasi Hadis dari Berbagai Aspek.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Klasifikasi hadis ditijau dari segi bentuknya?
2.      Bagaimana klasifikasi hadits berdasarkan sifatnya?
3.      Bagaimana klasifikasi hadits ditinjau dari dari jumlah perawinya?
C.    Tujuan masalah
1.      Untuk mengetahui Klasifikasi hadis ditijau dari segi bentuknya.
2.      Untuk mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan sifatnya.
3.      Untuk mengetahui klasifikasi hadits ditinjau dari dari jumlah perawinya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Klasifikasi hadis ditijau dari segi bentuknya
Secara umum, ditinjau daari segi bentuknya hadis dapat dibagi menjadi lima, yaitu  hadis qauliy, hadis fi’liy, hadis taqriri, hadis shifati, dan hadis hammi. Adanya berbagai bentuk hadis ini, bermula dari sumber asalnya.[1]
1.      Hadis Qauliy
Hadis qauliy adalah bentuk perkataan atau ucapan  yang disandarkan kepada Nabi yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa atau kisah-kisah, baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.
Yang dimaksud dengan perkataan atau ucapan Nabi di sisni adalah sabda Nabi dalam merespon keadaan keadaan yang berlaku pada masa lalu, masa kekinian, dan masa depannya., kadang-kaadang dalam bentuk dialog dengan para sahabat atau jawaban yang diajukan oleh sahabaat atau dalam bentuk lain seperti katbah.
Dilihat dari tingkatannya Hadis Qauliy menempati urutan pertama yang berarti kualitasnya lebih tinggi dari kualitas Hadis Fi’liy, Taqriri, Shifati, dan Hadis Hammi.
Contoh:
a.       Hadis tentang belajar dan mengajarkan al-Qur’an
“dari Usman ra, dari Nabi, beliau berkata:”Orang yang paling baik diantara kalian adalah seorang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Al-Bukhari)
2.       Hadis fi’liy
Hadis fi’liy merupakan segala perbuatan yang disandarkan kepada Rasulullah. Maksud dari hadis berbentuk fi’liy ini adalah suatu perbuatan atau prilaku ibadah yang kemudian diikuti dengan perkataan (qauli) beliau, yang selanjutnya juga dinukil oleh para sahabat. [2] kualitas Hadis fi’liy menduduki tingkat kedua setelah Hadis Qauliy. Hadis Fi’liy juga dapat maknakan sunah Nabi yang berupa perbuatan Nabi yang diberitakan oleh para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan shalat manasik haji dan lain-lain.
Untuk mengetahui hadis yang termasuk kategori ini, diantaranya terdapat kata-kata kana/yakunu  atau ra’aitu/ra’aina . contoh
a.       Hadis tentang tata cara sholat
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan sholat” (HR. Al-Bukhari)[3]  

3.      Hadis taqriri
Hadis Taqriri adalah ketetapan Nabi terhadap apa yang datang atau dilakukan para sahabatnya. Dengan kata lain Hadis Taqriri yaitu Hadis yang berupa penetapkan Nabi terrhadap perbuatan para sahabat yang diketahui Nabi. Tidak menegurnya ataupun melarangnya bahkan cenderung mendiamkannya. Beliau membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat tanpa memberikan apakah membenarkan atau menyalahkan.[4] contoh dalam hal ini diantaranya adalah tentang boleh tidaknya memakan dhab.
“Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku, karena itu aku tidak memakannya,” Khalid berkata, “lalu aku pun menarik dan memakannya, sementara Nabi melihat ke arahku.”(Muttafaqun ‘alaih) [5]

4.      Hadis Hammi
Hadis Hammi merupakan Hadis yang menggambarkan segala sesuatu atau hal-hal yang berkaitan dengan cita-cita Nabi, namun beliau wafat sebelum berhasil mewujudkan cita-cita tersebut.[6] Sebagian ulama’ Hadis yang menambahkan perincian Hadis tersebut dengan Sunnah Hammiyah. Karena dalam diri Nabi terdapat sifat-sifat, keadaan-keadaan (ahwal) serta himmah (hasrat melakukan sesuiatu). Dalam riwayat disebutkan beberapa sifat yang dimiliki beliau.
“dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdur Rahman berkata, aku mendengar Anas bin Malik ra. Sedang menceritakan sifat-sifat Nabi. Beliau adalah seorang laki-laki dari suatu kaum yang tidak tinggi dan juga tidak pendek. Kulitnya terang tidak terlalu putih dan tidak terlalu kecoklatan, rambut beliau tidak terlalu keriting dan tidak lurus.” (HR. Bukhari) [7]
5.      Hadis shifati
Hadis Sifati merupakan hadis yang menggambarkan seala sesuatu atau hal-hal yang berkaitan dengan pribadi dan kondisi yang ada pada diri Nabi, baik sifat dan karakteristik fisik maupun psikisnya. Di antara Hadis bentuk ini adalah Hadis tentang gambaran wajah Nabi seperti bulan dan hadis yang mengambarkan tubuh nabi yang tidak terlalu tinggi dan pendek.

B.     Klasifikasi Hadis Berdasarkan Sifatnya
Pada klasifikasi ini Hadis dibagi menjadi dua, yaitu Hadis Qudsi dan Nabawi. Kedua hadis tersebut memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda, terutama ditinjau dari  aspek penyandarannya, materi hadis yang dimuatnya, maupun jumlah Hadisnya. Demikian juga dari sisi status kewahyuannya. Yang bahkan hingga kini menjadi bahan perdebatan di antara para ulama’.
1.      Hadis Qudsi
Secara bahasa kata “Qudsi” berarti “Suci”, sedangkan menurut istilah Hadis Qudsi adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi dan disandarkan kepada Allah. Hadis jenis ini juga disebut dengan istilah Hadis illahi atau Hadis rabbani, karena hadis ini diturunkan kepada Nabi dari perkataan Allah dalam bentuk lafal dan makna. Hanya saja lafal-lafal tersebut tidak diturunkan sebagai al-Qur’an. Buktinya, Hadis-hadis Qudsi tidak dutulis di dalam mushaf dan tidak dibaca saat sholat.[8]
Mengenai cara periwayatannya, hadis Qudsi ini maknanya berisi pemberitaan dari Allah kepada Nabi melalui ilham atau melalui mimpi yang benar, kemudia beliau memberitakannya kepada umatnya dengan redaksi atau lafalz yang beliau susun sendiri.[9]
2.      Hadis Nabawi
Hadis nabawi adalah Hadis yang disandarkan kepada Nabi. Baik yang menyangkut perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat yang seluruhnya mengisahkan tentang diri beliau, terlepas apakah memiliki keterlibatan hukum bagi kaum muslimin ataupun tidak. Jika dicermati lebih lanjut, terdapat perbedaan menyolok antara Hadis Qudsi dan Nabawi. Perbedaan tersebut terletak pada sandaran, disamping cara periwayatan maupun lafal dan maknanya. Disamping itu, isi hadis Qudsi kebanyakan tentang persoalan etika dan hal-hal terkait dengan sesuatu yang bersifat metafisik. [10]


C.     Hadis Ditinjau Dari Jumlah Perawinya.
Hadis dari satu segi dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara kuantitas dan kualitas. Yang dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolangan hadis ditijau dari banyaknya perawi yang meriwayatkan hadis. Sedangkan hadis berdasarkan kualitasnya adalah penggilongan hadis dilihat dari aspek diterima atu ditolaknya hadis tersebut.


 















1.      Hadis dari Segi Kuantitas
Dalam meneruskan pesan Hadis, Nabi terkadang berhadapan langsung langsung dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena pada saat itu Nabi sedang memberikan khutbah dihadapan kaum muslimin, kadang hanya beberapa sahabat, bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sahabat saja. Demikian itu terus terjadi dari sahabat ke tabi’in sampai pada generasi yang menghimpun hadis Hadis dalam berbagai kitab. Dan sudah barang tentu informasi yang dibawa oleh banyak rowi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang dibawa oleh satu atau dua orang rawi saja. Dari sinilah, para ahli Hadis membaagi Hadis menurut Jumlah rawinya.[11]

a.       Hadis Mutawatir
Secara bahasa, kata “Mutawatir” berbentuk isim fa’el dari kata “tawatur” yang bermakna “berturut-turut atau berurutan”. Sedangkan secara istilah, Hadis Mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka untuk berdusta atau berbohong.[12]
Menurut Khatib al-Bagdadi, Hadis Mutawatir adalah suatu Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil bersepakat untuk berdusta. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, Hadis Mutawatir yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil melakukan kesepakatan untuk berdusta. Mereka itulah yang meriwayatkan Hadis dari awal hingga akhir sanad.[13]
Dari berbagai definisi di atas dapat dijelaskan bahwa Hadis Mutawatir adalah berita Hadis yang bersifat indrawi (didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh tingkat sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi/adat jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan. Berdasarkan definisi di atas ada 4 kriteria Hadis Mutawatir, yaitu sebagai berikut: a
a)      Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perowi Hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang , 70 orang , bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Tetapi pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat al-Ishthikhari.[14] yang penting dari perbedaan pendapat tentang jumlah perawi ini yang perlu digais bawahi bahwa jumlah tersebut menurut rasio musstahil untuk sepakat berdusta.[15]
b)      Sandaran berita itu pada pancaindra
Maksudnya berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal.[16]

Hadis mutawatir terbagi menjadi dua macam, pertama Mutawatir Lafdzi, dan Mutawatir Ma’nawi.Mutawatir Lafdzi yaitu Hadis Mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dan mencapai syarat-syarat mutawatir dengan redaksi dan makna Hadis yang sama antara riwayat satu dan riwayat yang lain. Sedangkan Mutawatir Ma’nawi yaitu Hadis yang mempunyai tingkat derajat mutawatir namun susunan redaksinya berbeda antara riwayat satu dan riwayat yang lain., namun isi kandungan maknanya sama.[17]
b.      Hadis Ahad
Secara bahasa, kata ‘Ahad” merupakan bentuk jama’ dari kata “ahad” yang bermakna satu, sedangkang khabar “ahad” adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.  Adapun pengertian Hadis Ahad mewnurut istilah adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Mutawatir. Dengan demikian berarti bahwa semua hadis yang diriwayatkan tidak sampai pada tingkat mutawatir dinamakan hadis Ahad.[18]
Dikalangan para ulama’ ahli Hadis terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan Hadis Ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama’ Hadis berkeyakinan bahwa Hadis Ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk masalah akidah. Sebab, menurut mereka, Hadis Ahad bukanlah qat’i as-Subut (pasti ketetapannya). Namun menurut para ahli Hadis lain dan jumhur ulama’, bahwa Hadis Ahad wajib diamalkan jika memenuhi syarat kesahihan hadis yang telah disepakati.[19]  Sedangkan Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah, dan mayoritas Malikiyah berpendapat bahwa Hadis Ahad memberi faedah zhann (dugaan kuat, relatif kebenarannya) dan wajib diamalkan. Jadi, semua ulama’ menerima Hadis Ahad dan mengamalkannya, tidak ada yang menolak diantara mereka, kecuali pada Hadis tersebut terdapat kecacatan.[20]
Hadis Ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu Hadis Masyhur, Hadis Aziz, dan Hadis Garib.
a)      Hadis Masyhur
Secara bahasa, kata “masyhur”  adalah isim maful dari kata “syahara”. Sedangkan secara istilah, Hadis Masyhur adalah Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap generasi, namun tidak mencapai jumlah Mutawatir.[21] Dari segi tingkatannya, Hadis Masyhur adalah termasuk paling tinggi, sebab rawi Hadis Masyhur ini yang paling dekat untuk mencapai derajat Mutawatir. Hanya saja, pada salah satu tingkatan rawinya tidak mencapai derajat Mutawatir.[22]
b)      Hadis Aziz
Secara bahasa kata “Aziz” merupakan sifat Musyabbahah dari kata “Azza ya’izzu”, artinya sedikit dan langka. Sedangkan menurut istilah adalah Hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawipada seluruh tingkatan/generasi.[23]
Maksud definisi diatas, bahwa Hadis Aziz adalah Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada seluruh tingkatan (thabaqot) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja. Misalnya dikalangan sahabat hanya terdapat dua orang yang merawikannya, atau hanya dikalangan tabi’in saja yang terdapat dua orang peerawi sementara dikalangan sahabat terddapat satu orang saja. Jadi, pada salah satu tingkatan sanad Hadis tersebut didapatkan tidak kurang dari dua perawi atau satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.[24]
Suatu Hadis dikategorikan sebagai Hadis Aziz,  pertama, Pada tiap-tiap tingkatan (thabaqot) hanya terdapat dua orang rawi saja. Kedua,Pada salah satu tingkatan (thabaqot) hanya terdapat dua orang rawi, meskipun Thabaqot yang lainnya lebioh dari tiga rawi.[25]
c)      Hadis Gharib
Secara bahasa, kata “Gharib” merupakana sifat musyabahah yang bermakna menyendiri. Sedangkan menurut istilah, Hadis Gharib adalah Hadis yang diriwayatkan seorang perawi di manapun hal itu terjadi. Artinya bahwa Hadis Gharib ini tidak di syaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkaatan atau generasi, akan tetapi cukp pada satu tingkatan sanad dengan satu orang rawi.[26]  Ada 2 klasifikasi adis Gharib yaitu:
1)      Hadis Gharib Mutlak (fardun)
Hadis Gharib Mutlak adalah hadis yang ke gharibannya terletak pada asalsanad. Maksudnya, Hadis pada saat disampaikan oleh Rasul hanya diterima oleh saorang sahabat.
2)      Hadis Gharib Nisbi
Yang termasuk sebagai Hadis Gharib Nisbi yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu Hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang rawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua rawi itu Hadis ini diriwayatkan oleh satu orang rawi saja yang mengambil dari para rawi tersebut.[27]
2.      Hadis dari Segi Kualitas
Klasifikasi ini lebih mengacu kepada jajaran Hadis Ahad yang mencakup hadis Masyhur, Aziz, dan Gharib, karena ulama’ tampak telah sepakat bahwa Hadis Mutawatir seluruhnya bernilai shahih. Dalam hal ini, ulama’ Hadis membagi kualitas Hadis pada tiga baagian, yaitu Shahih Hasan, dan Dha’if.
a.       Hadis Shahih
Kata shahih dalam bahasa diartikan “orang sehat”, jadi yang dimaksud Hadis Shahih adalah Hadis yang sehat dan benar tidak ada penyakit dan cacat.[28] Sedangkan menurut istilah Hadis Shahih adalah Hadis yang sambung sanadnya, yang dinukiol dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasul, dari sahabat atau lainnya, tanpa ada syadz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).[29]
Syarat-syarat yang harus dipenuhii yang menjadikan hadis tersebut menjadi hadis shahih:
a)      Hadisnya musnad. Maksudnya yaitu hadis tersebut disandarkanaa kepada Nabi dengan disertai sanad.
b)      Sanadnya bersambung. Artinya, rawi dari sanad Hadis tersebut pernah bertemu langsung dengn gurunya.
c)      Seluruh rawinya adil dan dhabit. Maksudnya, rawi yang adil yaitu rawi yang bertakwa dan menjaga kehormatan dirinya, serta dapat menjauhi perbuatan buruk dan dosa besar seperti syirik, fasik,dan bid’ah. Adapun yang dimaksud dhabit adalah kemampuan seseorang rawi dalam menghafal hadis.[30]
-          Dhabit dalam arti nkuat hafalan serta daya ingatnya dan bukan pelupa yang sering disebut dengan istilah  dhabit al-Shadri
-          Dhabit dalam arti dapat memelihara kitab Hadis dari gurunya sebaik-baiknya, sehingga tidak mungkin ada perubahan yang disebut dengan dhabit al-Kittabah.[31]
d)       Tidak ada syadz, artinya, Hadis tersebut tidak tidak bertentangan dengan Hadis dari rawi lain yang lebih kuat darinya.
e)      Tidak ada ‘illat, artinya, dalam Hadis tersebut tidak ditemukan cacat yang merusak keshahihan Hadis.[32]
Hadis shahih terbagi menjadi dua pertama, Hadis Shahih li dzatihi Ialah hadis Shahih yang memenuhi secara lengkap syaratsyarat hadis baik sanadnya bersambung, adil, dhobit, terhindar dari hal yang mengganjal dan cacat. Kedua, Hadis Shahih li ghairih Hadis Shahih li ghairih ialah hadis yang tingkatannya berada dibawah tingkatan hadis Shahih li dzatihi, hadis ini menjadi Shahih karena diperkuat dengan hadis- hadis lain.[33]
b.      Hadis Hasan
Dari segi bahasa hasan dari kata al-Husnu yang berarti al-Jamal yang bermakna keindahan. Adapun tentang definisi Hadis Hasan, ada perbedaan pendapat di kalangan para muhadisin. Pendapat Abu Isa at-Tirmizi tentang Hadis Hasan adalah Hadis yang dalam sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh bohong, hadisnya tidak janggal, serta diriwayatkan tidak hanya dalam satu jalur rawian.[34]
Kriteria Hadis Hasan hampir sama dengan kriteria Hadis Shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi Ke dhobitannya. Hadis Shahih ke dhobitannya seluruh perawinya harus sempurna, sedangkan dalm Hadis Hasan, kurang sedikit ke dhobitannya jika dibandingkan dengan Hadis Shahih.[35]
c.       Hadis Da’if
Dari segi bahasa Dha’if berarti lemah. Kelemahan Hadis Dha’if ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadis kuat yang diterima sebagai hujjah. Sedangkan menurut istilah adalah Hadis yang tidak menghimpun sifat Hadis Hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak dipenuhi.
Jadi Hadis Dha’if adalah Hadis yang tidak memenuhi sebagai atau semua persaratan Hadis Hasan atau Shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung, para perawinya tidak adil dan tidak dhobit, terjadi kegaanjilan baik dalam sanad naupun matan dan terjadinya cacat yang tersembunyi pada sanad dan matan.[36]


[1] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis, (Malang: UIN-MALIKI Press, 2010), hlm. 83
[2] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 84
[3] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits.(Jakarta: Kementrian Agama, 2014), Hlm. 105
[4] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 105
[5] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 85
[6] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 86
[7] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 106
[8] Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Ushul Fikih Tingkat Dasar,(Jakarta: Ummul Qur’an, 2018) hlm. 114
[9] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 86
[10] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 88
[11] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 115
[12] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 88
[13] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 116
[14]  Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis,(Jakarta: Amzah, 2010), Hlm. 131
[15] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 88
[16] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 132
[17] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 116
[18] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 91
[19] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 117
[20] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 139
[21] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 91
[22] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 117
[23] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 93
[24] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 142
[25] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 117
[26] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 94
[27] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 118
[28] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 149
[29] Umi Subulah, Kajian Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 97
[30] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 118
[31] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 95
[32] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 118
[33] Mustofa Hasan “Ilmu Hadis” (Bandung : 2012)  hlm. 219-221
[34] Kementrian Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 120
[35] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 159
[36] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 164

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer