BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis merupakan
s umber hukum islam kedua setelah al-Qur’an. Hadis diklasifikasikan oleh ulama’
untuk memudahkan umat Islam dalam memecahkan makna, ciri-ciri Hadis, pebedaan
atar Hadis, juga untuk mencari Hujjah (alasan hukum). Oleh karena itu,
pada kesempatan kali ini akan membahas tentang Klasifikasi Hadis dari Berbagai
Aspek.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Klasifikasi hadis ditijau dari segi bentuknya?
2.
Bagaimana
klasifikasi hadits berdasarkan sifatnya?
3.
Bagaimana
klasifikasi hadits ditinjau dari dari jumlah perawinya?
C.
Tujuan masalah
1.
Untuk
mengetahui Klasifikasi hadis ditijau dari segi bentuknya.
2.
Untuk
mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan sifatnya.
3.
Untuk
mengetahui klasifikasi hadits ditinjau dari dari jumlah perawinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Klasifikasi hadis ditijau dari segi bentuknya
Secara umum, ditinjau daari segi
bentuknya hadis dapat dibagi menjadi lima, yaitu hadis qauliy, hadis fi’liy, hadis taqriri,
hadis shifati, dan hadis hammi. Adanya berbagai bentuk hadis ini, bermula dari
sumber asalnya.[1]
1. Hadis Qauliy
Hadis qauliy adalah bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi yang berisi
berbagai tuntunan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa atau kisah-kisah,
baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.
Yang dimaksud dengan perkataan atau ucapan Nabi di sisni adalah
sabda Nabi dalam merespon keadaan keadaan yang berlaku pada masa lalu, masa
kekinian, dan masa depannya., kadang-kaadang dalam bentuk dialog dengan para
sahabat atau jawaban yang diajukan oleh sahabaat atau dalam bentuk lain seperti
katbah.
Dilihat dari tingkatannya Hadis Qauliy menempati urutan pertama
yang berarti kualitasnya lebih tinggi dari kualitas Hadis Fi’liy, Taqriri,
Shifati, dan Hadis Hammi.
Contoh:
a.
Hadis
tentang belajar dan mengajarkan al-Qur’an

“dari Usman ra,
dari Nabi, beliau berkata:”Orang yang paling baik diantara kalian adalah
seorang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Al-Bukhari)
2.
Hadis fi’liy
Hadis fi’liy merupakan segala perbuatan yang disandarkan kepada Rasulullah.
Maksud dari hadis berbentuk fi’liy ini adalah suatu perbuatan atau prilaku
ibadah yang kemudian diikuti dengan perkataan (qauli) beliau, yang selanjutnya
juga dinukil oleh para sahabat. [2]
kualitas Hadis fi’liy menduduki tingkat kedua setelah Hadis Qauliy. Hadis Fi’liy
juga dapat maknakan sunah Nabi yang berupa perbuatan Nabi yang diberitakan oleh
para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan
shalat manasik haji dan lain-lain.
Untuk mengetahui hadis yang termasuk kategori ini, diantaranya
terdapat kata-kata kana/yakunu atau
ra’aitu/ra’aina . contoh
a.
Hadis
tentang tata cara sholat

“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan sholat”
(HR. Al-Bukhari)[3]
3.
Hadis
taqriri
Hadis Taqriri adalah ketetapan Nabi terhadap apa yang datang atau
dilakukan para sahabatnya. Dengan kata lain Hadis Taqriri yaitu Hadis yang
berupa penetapkan Nabi terrhadap perbuatan para sahabat yang diketahui Nabi.
Tidak menegurnya ataupun melarangnya bahkan cenderung mendiamkannya. Beliau
membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat
tanpa memberikan apakah membenarkan atau menyalahkan.[4]
contoh dalam hal ini diantaranya adalah tentang boleh tidaknya memakan dhab.


“Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku,
karena itu aku tidak memakannya,” Khalid berkata, “lalu aku pun menarik dan
memakannya, sementara Nabi melihat ke arahku.”(Muttafaqun ‘alaih) [5]
4.
Hadis
Hammi
Hadis Hammi merupakan Hadis yang menggambarkan segala sesuatu atau
hal-hal yang berkaitan dengan cita-cita Nabi, namun beliau wafat sebelum
berhasil mewujudkan cita-cita tersebut.[6]
Sebagian ulama’ Hadis yang menambahkan perincian Hadis tersebut dengan Sunnah
Hammiyah. Karena dalam diri Nabi terdapat sifat-sifat, keadaan-keadaan (ahwal)
serta himmah (hasrat melakukan sesuiatu). Dalam riwayat disebutkan
beberapa sifat yang dimiliki beliau.


“dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdur Rahman
berkata, aku mendengar Anas bin Malik ra. Sedang menceritakan sifat-sifat Nabi.
Beliau adalah seorang laki-laki dari suatu kaum yang tidak tinggi dan juga
tidak pendek. Kulitnya terang tidak terlalu putih dan tidak terlalu kecoklatan,
rambut beliau tidak terlalu keriting dan tidak lurus.” (HR. Bukhari) [7]
5.
Hadis
shifati
Hadis Sifati merupakan hadis yang menggambarkan seala sesuatu atau
hal-hal yang berkaitan dengan pribadi dan kondisi yang ada pada diri Nabi, baik
sifat dan karakteristik fisik maupun psikisnya. Di antara Hadis bentuk ini
adalah Hadis tentang gambaran wajah Nabi seperti bulan dan hadis yang
mengambarkan tubuh nabi yang tidak terlalu tinggi dan pendek.
B.
Klasifikasi Hadis Berdasarkan Sifatnya
Pada klasifikasi ini Hadis dibagi
menjadi dua, yaitu Hadis Qudsi dan Nabawi. Kedua hadis tersebut memiliki ciri
dan karakteristik yang berbeda, terutama ditinjau dari aspek penyandarannya, materi hadis yang
dimuatnya, maupun jumlah Hadisnya. Demikian juga dari sisi status kewahyuannya.
Yang bahkan hingga kini menjadi bahan perdebatan di antara para ulama’.
1.
Hadis
Qudsi
Secara bahasa kata “Qudsi” berarti “Suci”, sedangkan menurut
istilah Hadis Qudsi adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi dan disandarkan
kepada Allah. Hadis jenis ini juga disebut dengan istilah Hadis illahi atau
Hadis rabbani, karena hadis ini diturunkan kepada Nabi dari perkataan
Allah dalam bentuk lafal dan makna. Hanya saja lafal-lafal tersebut tidak
diturunkan sebagai al-Qur’an. Buktinya, Hadis-hadis Qudsi tidak dutulis di
dalam mushaf dan tidak dibaca saat sholat.[8]
Mengenai cara periwayatannya, hadis Qudsi ini maknanya berisi
pemberitaan dari Allah kepada Nabi melalui ilham atau melalui mimpi yang benar,
kemudia beliau memberitakannya kepada umatnya dengan redaksi atau lafalz yang
beliau susun sendiri.[9]
2.
Hadis
Nabawi
Hadis nabawi adalah Hadis yang disandarkan kepada Nabi. Baik yang
menyangkut perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat yang seluruhnya
mengisahkan tentang diri beliau, terlepas apakah memiliki keterlibatan hukum
bagi kaum muslimin ataupun tidak. Jika dicermati lebih lanjut, terdapat
perbedaan menyolok antara Hadis Qudsi dan Nabawi. Perbedaan tersebut terletak
pada sandaran, disamping cara periwayatan maupun lafal dan maknanya. Disamping
itu, isi hadis Qudsi kebanyakan tentang persoalan etika dan hal-hal terkait
dengan sesuatu yang bersifat metafisik. [10]
C.
Hadis
Ditinjau Dari Jumlah Perawinya.
Hadis dari satu segi dapat dibagi
menjadi dua, yaitu secara kuantitas dan kualitas. Yang dimaksud segi
kuantitasnya adalah penggolangan hadis ditijau dari banyaknya perawi yang
meriwayatkan hadis. Sedangkan hadis berdasarkan kualitasnya adalah penggilongan
hadis dilihat dari aspek diterima atu ditolaknya hadis tersebut.

1.
Hadis dari Segi Kuantitas
Dalam meneruskan pesan Hadis, Nabi terkadang berhadapan langsung langsung
dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena pada saat itu Nabi sedang
memberikan khutbah dihadapan kaum muslimin, kadang hanya beberapa sahabat,
bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sahabat saja. Demikian itu
terus terjadi dari sahabat ke tabi’in sampai pada generasi yang menghimpun
hadis Hadis dalam berbagai kitab. Dan sudah barang tentu informasi yang dibawa
oleh banyak rowi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang
dibawa oleh satu atau dua orang rawi saja. Dari sinilah, para ahli Hadis
membaagi Hadis menurut Jumlah rawinya.[11]
a.
Hadis
Mutawatir
Secara bahasa, kata “Mutawatir” berbentuk isim fa’el dari
kata “tawatur” yang bermakna “berturut-turut atau berurutan”. Sedangkan
secara istilah, Hadis Mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka untuk berdusta atau
berbohong.[12]
Menurut Khatib al-Bagdadi, Hadis Mutawatir adalah suatu Hadis yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut
kebiasaan mustahil bersepakat untuk berdusta. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani,
Hadis Mutawatir yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil
melakukan kesepakatan untuk berdusta. Mereka itulah yang meriwayatkan Hadis dari
awal hingga akhir sanad.[13]
Dari berbagai definisi di atas dapat dijelaskan bahwa Hadis
Mutawatir adalah berita Hadis yang bersifat indrawi (didengar atau dilihat)
yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh tingkat
sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi/adat jumlah yang maksimal
itu berpijak untuk kebohongan. Berdasarkan definisi di atas ada 4 kriteria
Hadis Mutawatir, yaitu sebagai berikut: a
a)
Diriwayatkan
sejumlah orang banyak
Para ulama’
berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perowi Hadis tersebut dan
tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang,
10 orang, 40 orang , 70 orang , bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih.
Tetapi pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat al-Ishthikhari.[14]
yang penting dari perbedaan pendapat tentang jumlah perawi ini yang perlu
digais bawahi bahwa jumlah tersebut menurut rasio musstahil untuk sepakat
berdusta.[15]
b)
Sandaran
berita itu pada pancaindra
Maksudnya
berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan
kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal.[16]
Hadis mutawatir terbagi menjadi dua macam, pertama Mutawatir
Lafdzi, dan Mutawatir Ma’nawi.Mutawatir Lafdzi yaitu Hadis
Mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dan mencapai syarat-syarat
mutawatir dengan redaksi dan makna Hadis yang sama antara riwayat satu dan
riwayat yang lain. Sedangkan Mutawatir Ma’nawi yaitu Hadis yang
mempunyai tingkat derajat mutawatir namun susunan redaksinya berbeda antara
riwayat satu dan riwayat yang lain., namun isi kandungan maknanya sama.[17]
b.
Hadis
Ahad
Secara bahasa, kata ‘Ahad” merupakan bentuk jama’ dari kata “ahad”
yang bermakna satu, sedangkang khabar “ahad” adalah khabar yang diriwayatkan
oleh satu orang. Adapun pengertian Hadis
Ahad mewnurut istilah adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadis
Mutawatir. Dengan demikian berarti bahwa semua hadis yang diriwayatkan tidak
sampai pada tingkat mutawatir dinamakan hadis Ahad.[18]
Dikalangan para ulama’ ahli Hadis terjadi perbedaan pendapat
mengenai kedudukan Hadis Ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian
ulama’ Hadis berkeyakinan bahwa Hadis Ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum
untuk masalah akidah. Sebab, menurut mereka, Hadis Ahad bukanlah qat’i
as-Subut (pasti ketetapannya). Namun menurut para ahli Hadis lain dan
jumhur ulama’, bahwa Hadis Ahad wajib diamalkan jika memenuhi syarat kesahihan
hadis yang telah disepakati.[19]
Sedangkan Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah, dan
mayoritas Malikiyah berpendapat bahwa Hadis Ahad memberi faedah zhann (dugaan
kuat, relatif kebenarannya) dan wajib diamalkan. Jadi, semua ulama’ menerima
Hadis Ahad dan mengamalkannya, tidak ada yang menolak diantara mereka, kecuali
pada Hadis tersebut terdapat kecacatan.[20]
Hadis Ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu Hadis Masyhur, Hadis
Aziz, dan Hadis Garib.
a)
Hadis
Masyhur
Secara bahasa,
kata “masyhur” adalah isim
maful dari kata “syahara”. Sedangkan secara istilah, Hadis Masyhur
adalah Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap generasi,
namun tidak mencapai jumlah Mutawatir.[21]
Dari segi tingkatannya, Hadis Masyhur adalah termasuk paling tinggi, sebab rawi
Hadis Masyhur ini yang paling dekat untuk mencapai derajat Mutawatir. Hanya
saja, pada salah satu tingkatan rawinya tidak mencapai derajat Mutawatir.[22]
b)
Hadis
Aziz
Secara bahasa
kata “Aziz” merupakan sifat Musyabbahah dari kata “Azza ya’izzu”, artinya
sedikit dan langka. Sedangkan menurut istilah adalah Hadis yang diriwayatkan
oleh tidak kurang dari dua perawipada seluruh tingkatan/generasi.[23]
Maksud definisi diatas, bahwa Hadis Aziz adalah Hadis yang diriwayatkan
oleh dua orang perawi pada seluruh tingkatan (thabaqot) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja. Misalnya dikalangan
sahabat hanya terdapat dua orang yang merawikannya, atau hanya dikalangan
tabi’in saja yang terdapat dua orang peerawi sementara dikalangan sahabat
terddapat satu orang saja. Jadi, pada salah satu tingkatan sanad Hadis tersebut
didapatkan tidak kurang dari dua perawi atau satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.[24]
Suatu Hadis dikategorikan sebagai Hadis Aziz, pertama, Pada tiap-tiap tingkatan (thabaqot) hanya terdapat dua orang rawi saja. Kedua,Pada salah satu tingkatan (thabaqot) hanya terdapat dua orang rawi, meskipun Thabaqot yang lainnya lebioh
dari tiga rawi.[25]
c) Hadis Gharib
Secara bahasa, kata “Gharib” merupakana
sifat musyabahah yang bermakna menyendiri. Sedangkan
menurut istilah, Hadis Gharib adalah Hadis yang diriwayatkan seorang perawi di
manapun hal itu terjadi. Artinya bahwa Hadis Gharib ini tidak di syaratkan
harus satu orang perawi pada setiap tingkaatan atau generasi, akan tetapi cukp
pada satu tingkatan sanad dengan satu orang rawi.[26]
Ada 2 klasifikasi adis Gharib yaitu:
1) Hadis Gharib Mutlak (fardun)
Hadis Gharib Mutlak adalah hadis yang ke gharibannya terletak pada
asalsanad. Maksudnya, Hadis pada saat disampaikan oleh Rasul hanya diterima
oleh saorang sahabat.
2) Hadis Gharib Nisbi
Yang termasuk sebagai Hadis Gharib Nisbi yaitu apabila keghariban
terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu
Hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang rawi pada asal sanadnya,
kemudian dari semua rawi itu Hadis ini diriwayatkan oleh satu orang rawi saja
yang mengambil dari para rawi tersebut.[27]
2. Hadis
dari Segi Kualitas
Klasifikasi ini lebih mengacu kepada
jajaran Hadis Ahad yang mencakup hadis Masyhur, Aziz, dan Gharib, karena ulama’
tampak telah sepakat bahwa Hadis Mutawatir seluruhnya bernilai shahih. Dalam
hal ini, ulama’ Hadis membagi kualitas Hadis pada tiga baagian, yaitu Shahih
Hasan, dan Dha’if.
a. Hadis Shahih
Kata shahih dalam bahasa diartikan “orang sehat”, jadi yang dimaksud Hadis Shahih adalah
Hadis yang sehat dan benar tidak ada penyakit dan cacat.[28]
Sedangkan menurut istilah Hadis Shahih adalah Hadis yang sambung sanadnya, yang
dinukiol dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal hingga akhir sanad sampai
kepada Rasul, dari sahabat atau lainnya, tanpa ada syadz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).[29]
Syarat-syarat yang harus dipenuhii yang
menjadikan hadis tersebut menjadi hadis shahih:
a) Hadisnya musnad. Maksudnya yaitu hadis
tersebut disandarkanaa kepada Nabi dengan disertai sanad.
b) Sanadnya bersambung. Artinya, rawi dari
sanad Hadis tersebut pernah bertemu langsung dengn gurunya.
c) Seluruh rawinya adil dan dhabit.
Maksudnya, rawi yang adil yaitu rawi yang bertakwa dan menjaga kehormatan
dirinya, serta dapat menjauhi perbuatan buruk dan dosa besar seperti syirik,
fasik,dan bid’ah. Adapun yang dimaksud dhabit adalah kemampuan seseorang rawi
dalam menghafal hadis.[30]
-
Dhabit dalam arti nkuat hafalan serta daya ingatnya
dan bukan pelupa yang sering disebut dengan istilah dhabit al-Shadri
-
Dhabit dalam arti dapat memelihara kitab Hadis dari
gurunya sebaik-baiknya, sehingga tidak mungkin ada perubahan yang disebut
dengan dhabit
al-Kittabah.[31]
d) Tidak
ada syadz, artinya, Hadis tersebut tidak tidak bertentangan dengan Hadis dari
rawi lain yang lebih kuat darinya.
e) Tidak ada ‘illat, artinya, dalam Hadis
tersebut tidak ditemukan cacat yang merusak keshahihan Hadis.[32]
Hadis shahih terbagi menjadi dua pertama, Hadis
Shahih li dzatihi Ialah hadis Shahih yang memenuhi secara lengkap
syaratsyarat hadis baik sanadnya bersambung, adil, dhobit, terhindar dari hal
yang mengganjal dan cacat. Kedua, Hadis Shahih li
ghairih Hadis Shahih li ghairih ialah hadis yang tingkatannya berada
dibawah tingkatan hadis Shahih li dzatihi, hadis ini menjadi Shahih karena
diperkuat dengan hadis- hadis lain.[33]
b. Hadis Hasan
Dari segi bahasa hasan dari kata al-Husnu yang berarti al-Jamal yang bermakna keindahan. Adapun tentang
definisi Hadis Hasan, ada perbedaan pendapat di kalangan para muhadisin.
Pendapat Abu Isa at-Tirmizi tentang Hadis Hasan adalah Hadis yang dalam
sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh bohong, hadisnya tidak janggal, serta
diriwayatkan tidak hanya dalam satu jalur rawian.[34]
Kriteria Hadis Hasan hampir sama dengan
kriteria Hadis Shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi Ke dhobitannya. Hadis
Shahih ke dhobitannya seluruh perawinya harus sempurna, sedangkan dalm Hadis
Hasan, kurang sedikit ke dhobitannya jika dibandingkan dengan Hadis Shahih.[35]
c. Hadis Da’if
Dari segi bahasa Dha’if berarti lemah. Kelemahan
Hadis Dha’if ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadis kuat
yang diterima sebagai hujjah. Sedangkan menurut istilah adalah Hadis yang tidak
menghimpun sifat Hadis Hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak
dipenuhi.
Jadi Hadis Dha’if adalah Hadis
yang tidak memenuhi sebagai atau semua persaratan Hadis Hasan atau Shahih,
misalnya sanadnya tidak bersambung, para perawinya tidak adil dan tidak dhobit,
terjadi kegaanjilan baik dalam sanad naupun matan dan terjadinya cacat yang
tersembunyi pada sanad dan matan.[36]
[1] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis, (Malang: UIN-MALIKI Press, 2010), hlm. 83
[2] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 84
[3] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits.(Jakarta: Kementrian Agama, 2014), Hlm. 105
[4] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 105
[5] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 85
[6] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 86
[7] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 106
[8] Muhammad
Sulaiman Al-Asyqar, Ushul Fikih Tingkat Dasar,(Jakarta: Ummul Qur’an,
2018) hlm. 114
[9] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 86
[10] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 88
[11] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 115
[12] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 88
[13] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 116
[14] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis,(Jakarta:
Amzah, 2010), Hlm. 131
[15] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 88
[16] Abdul Majid
Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 132
[17] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 116
[18] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 91
[19] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 117
[20] Abdul Majid
Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 139
[21] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 91
[22] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 117
[23] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 93
[24] Abdul Majid
Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 142
[25] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 117
[26] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 94
[27] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 118
[28] Abdul Majid
Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 149
[29] Umi Subulah, Kajian
Kritik Ilmu Hadis..., hlm. 97
[30] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 118
[31] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 95
[32] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 118
[33] Mustofa Hasan “Ilmu
Hadis” (Bandung : 2012) hlm. 219-221
[34] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Hadits..., Hlm. 120
[35] Abdul Majid
Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 159
[36] Abdul Majid
Khon,Ulumul Hadis...,Hlm. 164
No comments:
Post a Comment