Thursday, June 06, 2019

TANGGUNG JAWAB TERHADAP KELUARGA DAN MASYARAKAT


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tanggung jawab adalah sikap seseorang secara sadar, berani dan mau mengakui apa yang dilakukan, kemudian ia berani memikul segala resikonya.[1] Tanggung jawab merupakan salah satu ajaran dalam agama, bahwa Allah Maha Adil, maka setiap orang pasti akan bertanggung jawab atas perbuatannya sekecil apapun itu, dan akan mendapatkan balasan yang setimpal. Balasan tersebut bisa diterima di akhirat kelak, atau sekarang di dunia, atau bahkan di keduanya.
Perilaku tanggung jawab harus diterapkan dimana saja. Bertanggung jawab atas segala bentuk perbuatan apapun, baik perbuatan baik maupun perbuatan tidak baik. Bertanggung jawab pada perbuatan berarti menunjukkan pada kejujuran. Tanggung jawab sebagai manusia itu bermacam-macam mulai dari beribadah kepada Allah, sampai menjadi khalifatullah fil ardh atau sebagai seorang pemimpin. Manusia sebagai makhluk yang sempurna harus bersikap tanggung jawab di bidang apapun atau di profesi apapun yang dijalani.
Tanggung jawab dalam Islam tidak hanya bersifat perorangan, tetapi juga bersifat sosial. Jadi, manusia secara individu tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan dirinya saja, tetapi juga perbuatan orang-orang yang berada di bawah perintah, pengawasan, dan tanggungannya seperti keluarga dan masyarakat sekitarnya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana isi kandungan ayat tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat?
2.      Bagaimana isi kandungan hadits tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat?
3.      Bagaimana perilaku tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan isi kandungan ayat tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat
2.      Menjelaskan isi kandungan hadits tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat
3.      Menjelaskan perilaku tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tanggung Jawab terhadap Keluarga dan Masyarakat
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia terhadap tingkah laku atau perbuatan baik disengaja maupun tidak disengaja. Tangggung jawab juga berarti perbuatan sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab dalam Islam tidak hanya bersifat perorangan, tetapi juga bersifat sosial. Jadi, manusia secara individu tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan dirinya saja, tetapi juga perbuatan orang-orang yang berada di bawah perintah, pengawasan, dan tanggungannya seperti keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Berikut ini adalah ayat-ayat tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat:
1.      QS. Thoha ayat 132
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ ﴿١٣٢﴾
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Ayat ini menjelaskan amanat berikutnya yang tidak kurang pentingnya dari perintah sebelumnya ialah perintah allah kepada nabi Muhammad SAW menyuruh keluarganya mengerjakan shalat dan sabar dalam melaksanakan shalat dengan menjaga waktu dan kesinambungannya.[2] Demikianlah amanat allah kepada rosul-Nya sebagai bekal untuk menghadapi perjuangan yang berat, yang patut menjadi teladan bagi setiap pejuang yang ingin menegakkan kebenaran dimuka bumi. Mereka harus lebih dulu menjalin hubungan yang erat dengan Allah yaitu dengan tetap mengerjakan shalat dan memperkokoh batinnya dengan sifat tabah dan sabar. Dengan demikian ia akan tabah berjuang tidak diombang-ambingkan oleh perhiasan dunia seperti kekayaan, pangkat dan kedudukan. Amanat-amanat inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya sehingga mereka benar-benar sukses dalam perjuangan mereka sehingga dalam masa kurang 23 tahun saja Islam telah berkembang dengan pesat di seluruh jazirah Arab dan menjadi kalimah yang paling tinggi dan mulia.
Dalam Tafisr Al Misbah, dapat dikatakan bahwa pada ayat yang lalu disebut tentang azwaj yang dapat berarti pasangan dan bahwa orang-orang kafir memiliki pasangan-pasangan yang mereka nikmati sebagai hiasan hidup, maka disini disebut pasangan orang-orang beriman dan keluarganya. Karen itu ayat ini memerintahkan nabi Muhammad SAW dan tiap kepala keluarga muslim bahwa dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat secara baik dan bersinambung pada tiap waktunya dan bersungguh-sungguhlah engkau wahai nabi Muhammad SAW dalam bersabar atasnya, yakni dalam melaksanakannya. Kami tidak meminta kepadamu rezeki dengan perintah shalat ini, atau kami tidak membebanimu untuk menanggung rezeki bagi dirimu atau keluargamu, kami-lah yang memberi jaminan rezeki kepadamu. Dan kesudahan  yang baik di dunia dan di akhirat  adalah bagi orang-orang yang menghiasi dirinya dengan  ketaqwaan.[3]
Setiap makhluk telah dijamin Allah rezekinya. Jaminan rezeki yang dijanjikan itu bukan berarti Allah SWT tanpa usaha. Manusia harus sadar bahwa yang menjamin itu adalah Allah yang mencipatakan makhluk serta hukum-hukum yang mengatur makhluk  dan kehidupannya. Kemampuan tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh rezekinya, serta organ-organ yang menghiasi tubuh manusia dan binatang, insting yang mendorongnya untuk hidup dan makan, semuanya adalah bagian dari jaminan rezeki allah. Kehendak manusia dan instingnya, perasaan dan kecenderungannya, selera dan keinginannya, rasa lapar dan hausnya, sampai kepada naluri mempertahankan hidupnya, adalah bagian dari jaminan rezeki allah kepada makhluknya. Tanpa itu semua, maka tidak akan ada dalam diri manusia dorongan untuk mencari makan. Tidak pula akan terdapat pada manusia dan binatang pencernan, kelezatan, kemampuan membedakan rasa dan sebagainya.
Allah sebagai ar-Razzaq menjamin rezeki dengan menghamparkan bumi dan langit dengan segala isinya. Dia menciptakan seluruh wujud dan melengkapinya dengan apa yang mereka butuhkan, sehinga mereka  dapat memperoleh rezeki yang dijanjikan allah itu. Rezeki dalam pengertiannya yang lebih umum tidak lain kecuali upaya makhluk untuk meraih kecukupan hdupnya dari dan melalui makhluk lain. Semua makhluk yang membutuhkan rezeki diciptakan allah membutuhkan makhluk lain untuk memakannya agar dapat melanjutkan hidupnya.[4]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa isi kandungan dari ayat ini yaitu perintah mengajar keluarganya untuk melaksanakan sholat yang baik dan benar. Dalam ayat ini juga terdapat perintah mengajar keluarganya agar memupuk sifat sabar dan tabah pada diri mereka.

2.      QS. at-Tahrim ayat 6
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا قُوۡۤا اَنۡفُسَكُمۡ وَاَهۡلِيۡكُمۡ نَارًا وَّقُوۡدُهَا النَّاسُ وَالۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَامَلٰٓٮِٕكَةٌغِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعۡصُوۡنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُوۡنَ مَا يُؤۡمَرُوۡنَ ﴿٦﴾
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api nerakayang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras pdan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Melalui ayat tersebut Allah memerintahkan kepada umat manusia yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya agar mereka menjaga dirinya dan keluaganya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, yaitu dengan taat dan patuh melaksanakan perintah dan meninggakan larangan-Nya dan mengajarkan kepada keluarganya supaya mereka melaksanakan perintah agama dan meninggalkan apa yang dilarangnya, sehingga mereka selamat dari kobaran api neraka.
Dalam suatu riwayat dinyatakan pada saat ayat ini turun, Umar bin Khattab berkata: “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami dan bagaimana menjaga keluarga kami? Rasulullah bersabda ”Laranglah mereka mengerjakan sesuatu yang kamu dilarang melakukannya dan serulah mereka melakukan sesuatu yang kamu diperintahkan oleh Allah melakukannya.
Ibnu Abbas menafsirkan قُوۡۤا اَنۡفُسَكُمۡ وَاَهۡلِيۡكُمۡ نَارًا dengan “Beramallah kamu taat kepada Allah dan takutlah kamu akan maksiat kepada-Nya dan perintahkanlah keluargamu dengan mengingat Allah, niscaya Allah akan melepaskan kamu dari api neraka”. Menurut sayyidina Ali RA: “Ajarkan dirimu dan keluargamu kebaikan dan didiklah mereka”. Begitulah cara menghindarkan mmereka dari  api neraka.[5] Sedangkan dalam tafsir Ibnu Katsir maksudnya yakni amalkanlah ketaatan kepada Allah dan hindarilah perbuatan-perbuatan durhaaka kepada Allah, serta perintahkanlah kepada keluargamu untuk berdzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kamu dari api neraka.[6]
Pada surat at-Tahrim ayat 6 diatas, dilihat dari ilmu pengetahuan sosial (sosiologi), merupakan titik awal dimulainya suatu perubahan sosial.  Pertama yaitu proses perubahan yang dimulai pada diri manusia secara individual, kemudian dilanjut pada perubahan sosial pada masyarakat dan kemudian diakhiri pada proses perubahan pada level sistem sains dan teknologi, kedua yaitu proses perubahan sosial yang dimulai dari perubahan sistem sains dan teknologi kemudian merambat pada perubahan level masyarakat.
Berdasar surat at-Tahrim ayat 6, Islam menganut teori perubahan sosial yang pertama. Adanya kewajiban memperbaiki kualitas kepribadian dimulai dari dirinya terlebih dahulu, menjadi petunjuk bahwa dalam Islam perubahan-perubahan ke arah yang positif dimulai dari level individu dan selanjutnya pada level masyarakat.[7]
Firman Allah SWT وَّقُوۡدُهَا النَّاسُ وَالۡحِجَارَةُ dalam tafsir Ibnu Kasir Waqud artinya bahan bakarnya yang di masukkan ke dalamnya yaitu tubuh-tubuh anak Adam. Dan dalam firman Allah SWT عَلَيۡهَامَلٰٓٮِٕكَةٌغِلَاظٌ شِدَادٌ (penjaganya malaikat-malaikat yang kasar yang keras) yakni watak mereka kasar dan telah dicabut dari hati mereka rasa belas kasihan terhadap orang-orang yang kafir kepada Allah. Mereka juga keras, yakni bentuk rupa mereka sangat keras, bengis dan berpenampilan sangat mengerikan.
Dalam firman Allah SWT لَّا يَعۡصُوۡنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُوۡنَ مَا يُؤۡمَرُوۡن (yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan) maksudnya, apapun yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, mereka segera mengerjakannya tanpa terlambat dan mereka memiliki kemampuan untuk mengerjakannya,[8] serta mereka juga meninggalkan segala larangan-Nya Allah.
Isi kandungan dari ayat ini berupa kewajiban memperbaiki kualitas kepribadian dimulai dari dirinya sendiri, kemudian disusul dengan keluarga, lalu disusul pada tingkat masyarakat. Hal ini berarti menunjukkan bahwa pendidikan dimulai dari rumah.
3.      QS. al-An’am ayat 70
وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۚ وَذَكِّرْ بِهِ أَنْ تُبْسَلَ نَفْسٌ بِمَا كَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيٌّ وَلَا شَفِيعٌ وَإِنْ تَعْدِلْ كُلَّ عَدْلٍ لَا يُؤْخَذْ مِنْهَا ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا كَسَبُوا ۖ لَهُمْ شَرَابٌ مِنْ حَمِيمٍ وَعَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ ﴿٧٠﴾ 
“Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa´at selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.”
Allah memerintahkan nabi Muhammad dan mukminin agar memutus hubungan dengan orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai mainan. Mereka itu telah terperdaya kesenangan duniawi, dan lupa kehidupan yang sebenarnya ialah di akhirat. Mereka tidak membersihkan diri dan jiwa mereka, seperti yang diajarkan Allah, mereka lupa akan pertemuan dengan Allah di akhirat, dan mengisi kehidupan duniawi dengan berbagai perbuatan yang merugikan diri mereka sendiri.
Allah memerintahkan pula agar Rosul dan kaum muslimin memberi peringatan kepada mereka dengan ayat-ayat al-Qur’an, agar mereka tidak terjerumuskan kedalam neraka karena perbuatan mereka sendiri. Pada hari itu tidak sesuatupun yang dapat menolong, mendatangkan kebaikan atau menolak kejahatan dan kesengsaraan yang mereka alami selain dari Allah. Pada hari itu tidak ada lagi alat yang dapat dijadikan untuk menebus diri agar terhindar dari azab Allah.[9]
Setelah ayat yang lalu menyampaikan tuntunan dalam bentuk larangan, kini ayat diatas memberi tuntunan dalam bentuk perintah, untuk menguatkan larangan sebelumnya, samba menyifati para peleceh itu dengan sifat yang lebih dari sifat yang lalu, serta mengancam mereka dengan siksa ukhrawi. Ayat di atas berpesan : dan tingalkanlah dalam bentuk apapun sekuat kemampuanmu orang-orang yang memaksakan diri akibat mengikuti hawa nafsu menjadikan agama  mereka permainan dan bahan senda-gurau yang melahirkan kelengahan, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia karena mereka terpukau dan terpaku dalam gemerlapnya padahal ia hanya sementara.
Boleh jadi perintah penggalan ayat ini diduga sebagai perintah meninggalkan mereka dalam segala kondisi. Untuk itu, maka penggalan ayat berikut mengingatkan kekliruan dugaan tersebut denga menyatakan : jangan abaikan mereka sama sekali, ajak dan peringatkanlah mereka dengannya, yakni dengan ayat-ayat al-Qur’an agar seseorang siapapun dia tidak terhalangi dari rahmat Allah atau tidak dijerumuskan kedalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak aka nada baginya perlindungan yang dapat menghindarkannya dari siksa selain llah. Dan betapapun dia menebus dengan segala macam, dan sebanyak mungkin tebusan, niscaya tidak akan diterima tebusan itu darinya. Hanya mereka itulah, yakni yang melecehkan ayat-ayat Allah seakan-akan tidak ada selain mereka-orang-orang dijerumuskan kedalam neraka, atau terhalangi tanpa dapat mengelak dari rahmat Allah disebabkan perintah buruk mereka sendiri, bagi mereka disediakan  minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan ketika hidup didunia terus-menerus malakukan kekufiran.[10]
Ayat ini menjelaskan bahwa tugas Rasulullah dan umat Islam berdakwah kepada siapapun dengan cara yang santun dan tegas. Tugas ini merupakan bagian dari cara mewujudkan kehidupan masyarakat yang baik.
4.      QS. an-Nisa’ ayat 36
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا ﴿٣٦﴾
“Sembahlah Allah dan janganlah kau mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua bapak-ibu, karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
Mengabdi dan menyembah Allah dinamakan ibadah. Beribadah dengan penuh keikhlasan hati, mengakui keesaan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, itulah kewajiban seseorang kepada Allah. Dalam kata lain, ibadah dan mengesahkan Allah merupakan hak-hak Allah yang menjadi kewajiban manusia untuk menunaikannya.[11] Perintah beribadah dalam ayat ini bukan saja ibadah ritual, yakni ibadah yang cara, kadar, dan waktunya ditetapkan oleh Allah dan Rasul, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Tetapi mencakup segala macam aktivitas yang hendaknya dilakukan karena Allah SWT. Sedangkan menurut para ulama memahami perintah ibadah dalam ayat ini dalam arti tauhid praktis, dimana amal-amal kebajikan merupakan buah dari keyakinan kalbu atas keesaan Allah SWT.[12] Kemudian ibadah umum, yaitu semua pekerjaan yang baik yang dikerjakan dalam rangka patuh dsan taat kepada Allah saja, bukan karena yang lainnya, seperti membantu fakir miskin, menolong dan memelihara anak yatim, mengajar orang dan sebagainya. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas, memurnikan ketaatan kepada-Nya den tidak mempersekutukan-Nya.[13]
Dalam ayat ini Allah mengatur kewajiban terhadap sesama manusia sesudah Allah memerintahkan agar menyembah dan beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Allah juga memrintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak. Berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Perintah mengabdi kepada Allah diiringi perintah berbuat baik kepada ibu bapak adalah suatu peringatan bahwa jasa ibu-bapak itu sungguh besar dan tidak dapat dinilai harganya dengan apapun.[14]
 Bakti kepada orang tua yang diperintahkan agama Islam adalah bersikap sopan santun kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan kebiasaan masyarakat, sehingga mereka merasa senang terhadap kita, dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai dengan kemampuan kita.[15] Mengikuti nasehatnya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah juga termasuk baik. Andaikata keduanya memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah, perintahnya boleh tidak dipatuhi, tetapi terhadap keduanya tetap dijaga hubungan yang baik. Termasuk pula berbuat baik mendoakan keduanya agar Allah mengampuni dosanya sebab keduanya telah berjasa banyak, mendidik, memelihara dan mengasuh sejak kecil.
Allah juga menyuruh berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, kepada teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Tetangga yang dekat dan yang jauh ialah orang-orang yang berdekatan rumahnya, sering berjumpah setiap hari, bergaul setiap hari, dan tampak setiap hari keluar masuk rumahnya. Tetapi ada pula yang mengartikan dengan hubungan kekeluargaan, dan ada pula yang mengartikan antara yang muslim dan yang bukan muskim. Berbuat baik kepada tetangga adalah penting. Karena pada hakekatnya tetangga yang menjadi saudara dan famili. Kalau terjadi sesuatu, tetanggalah yang paling dahulu memberikan pertolongan, baik siang maupun malam. Saudara dan sanak famili yang berjauhan tempat tinggalnya belum tentu dapat diharapkan dengan cepat memberi pertolongan pada waktu yang diperlukan. Oleh karena itu, hubungan yang baik dengan tetangga harus dijaga, jangan sampai ada perselisihan dan pertengkaran, walaupun tetangga beragama lain.
Dalam ayat ini juga menerangkan tentang orang yang sombong. Orang yang sombong ialah orang yang takabur yang dalam gerak-geriknya memperhatikan kebesaran dirinya, begitu juga dalam pembicaraanya tampak kesombongan melebihi orang lain, dialah yang tinggi dan mulia. Orang lain rendah dan hina. Orang yang sombong dan membanggakan diri tidak disukai Allah. Sebab orang-orang yang sombong termasuk manusia yang tak tahu diri, lupa daratan dan akhirnya menyesal. Sifat takabur adalah hak Allah, bukan hak manusia. Siapa yang mempunyai sifat sombong dan takabur berarti menentang Allah. Biasanya orang sombong dan takabur tidak dapat menunaikan kewajiban dengan baik dan ikhlas, baik kewajiban kepada Allah maupun kewajiban terhadap manusia.[16]
Pokok-pokok pikiran yang terkandung pada ayat diatas yaitu adanya perintah Allah Swt kepada umat manusia  untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya serta perintah berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga, teman sejawat, Ibnu Sabil dan hamba sahaya.

5.      QS. Hud ayat 117-119
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهۡلِكَ الۡقُرٰى بِظُلۡمٍ وَّاَهۡلُهَا مُصۡلِحُوۡن﴿١١٧ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ ﴿١١٨ إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ ۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْ ۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ﴿١١٩
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri secara zalim sedang penduduknya berbuat kebaikan.{117} Jikalau tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu (Ummatan Wahidah), tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.{118} Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusannya)” telah ditetapkan. sesungguhnya aku akan penuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.{119}
Q.S Hud 117-119 di atas menjelaskan bahwa Allah tidak akan membinasakan suatu negeri, jika penduduk negeri tetap suka beramal shaleh dan tidak berbuat kedzaliman. Adapun contoh negeri yang di binasakan Allah adalah kaum Nabi Syu’aib as yang suka mengurangi timbangan, kaum Nabi Lut as yang suka melakukan perbuatan liwath (homo seksual).Raja Fir’aun dengan kekejaman dan kebengisannya dll. Oleh karena itu Allah memperingatkan kepada umat Islam agar jangan menjadikan agama sebagai main-main dari sendau gurau. [17]
Dalam ayat 118 ini menjelaskan bahwa kalau Allah menghendaki, maka manusia menjadi umat yang satu dalam beragama sesuai dengan fitrah asal kejadiannya. sekalipun pada mulanya manusia itu merupakan umat yang satu tidak terdapat perselisihan di antara mereka, tetapi setelah mereka berkembang biak timbullah keperluan dan keinginan yang berbeda-beda maka timbullah perbedaan dan perselisihan yang tak habis-habisnya, sebagaimana firman Allah dalam qur’an surat yunus ayat 19 yang artinya “Dan manusia itu dulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih.”
Dalam ayat 119 menjelaskan bahwasannya perselisihan mereka tidak saja tentang agama yang dianut oleh masing-masing kaum seperti Agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam, atau syirik tetapi juga penganut dari satu agama, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat dari Allah dan diberi taufik serta hidayah. Mereka itu bersatu dan selalu mengusahakan persatuan agar manusia taat kepada peraturan dan ketentuan Allah, mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. [18] Demikian kehendak Allah mengenai keragaman manusia. Ada yang mendapat rahmat, taufik, dan hidayah dari Allah mereka bersatu dan menggalang persauan, dan mereka termasuk dalam golongan orang-rang yang bahagia yang akan menjadi penghuni surga. ada pula yang tak putus-putusnya berselisih dan mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang celaka yang menjadi penghuni neraka. Malik bin Anas pernah berkata, “ manusia itu dicipakan sebagian berada di surga dan sebagian di neraka sa’ir.” Oleh karena itu Alah mengakhiri ayat ini dengan satu ketegasan bahwa telah menjadi ketentuan-Nya akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia yang selalu berbuat jahat dan dosa di muka bumi ini.

B.     Hadits tentang Tanggung Jawab terhadap Keluarga dan Masyarakat
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عُمَرَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اَلامَامَ رَاعٍ وَمَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى اَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالخَادِمِ رَاعٍ فِى مَالَ سَيِّدِهِ وَمَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ اَنْ قَدْ قَالَ الرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالٍ اَبِيْهِ وَمَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (روه البخرى و مسلم و الترمذى)
“Dari Abdullah bin Umar ra. Ia berkata :  Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : kamu semua adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seseorang imam adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seseorang suami adalah pemimpin bagi istrinya adalah seorang pemimpin dalam dalam rumah tangga dan harus bertanggun jawab atas kepemimpinnya. Pembantu  adalah pemelihara terhadap harta tuannya, dia harus bertanggung jawab atas kepemimpinanya. Abdullah berkata : saya kira (Rasullullah) bersabda juga dan seseorang anak adalah pemelihara milik orang tuanya, dia harus bertanggung jawab atas peliharaanya itu. Dan kamu semua adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya”. (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Hadits di atas menjelaskan kepada kita bahwa setiap manusia diberi tugas memimpin atau menjaga. Baik kaitannya dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Secara pribadi, seseorang diberi tugas menjaga dirinya sendiri. Pemuka atau imam diberi tugas memimpin rakyatnya. Suami bertugas memimpin dan menjaga istrinya. Seorang istri diberi amanat memimpin anak-anak suaminya. Pembantu diberi tugas menjaga harta atau kekayaan tuan atau kekayaan orang tuanya.[19]
Tugas adalah amanat. Apapun jabatan yang ada pada diri seseorang, dia harus mempertanggung jawabkan tugas yang dibebankan kepadanya dihadapan yang dipimpin dan di dalam pengadilan Allah kelak. Tak seorang pun mampu melepaskan diri dari tanggung jawab. Oleh karenanya, dia harus benar-benar waspada dan hati-hati serta bersikap adil dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya. Apabila lengah dan mengabaikan tugasnya, maka celakalah dia sebab akan menyengsarakan yang dipimpin, kelak kemudian tidak mampu bertanggung jawabkannya. Namun apabila tugas tersebut dilaksanakan secara baik, maka dia akan selamat dan akan diberi pahala yang besar oleh Allah SWT.[20]

C.    Perilaku tentang Tanggung Jawab terhadap Keluarga dan Masyarakat
Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin, terutama orang tua untuk menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari api neraka, yaitu dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam Islam, anak sejak dalam kandungan sampai menjelang dewasa memiliki hak perawatan dan pemeliharaan secara menyeluruh, baik dari segi kesehatan fisik, mental, sosial maupun dari segi pendidikan dan perkembangan pengetahuannya. Hal ini wajib dilaksanakan oleh orang tua.
Dalam buku Ilmu Pendidikan Islam karya Dr. Zakiah Daradjat, dkk menyebutkan bahwa tanggung jawab pendidikan Islam yang menjadi beban orang tua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam rangka:[21]
1.      Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
2.      Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agama yang dianutnya.
3.      Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
4.      Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.
Apabila orang tua memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai bentuk kasih sayang kepada anak, maka sudah sewajamya apabila seorang anak harus berbuat baik kepada orang tuanya. Berbuat baik kepada orang tua ini sangat ditekankan dalam Islam, sehingga adanya perbedaan agama dan keyakinan antara anak dan orang tua tidak dapat menggugurkan kewajiban ini.[22] Berbuat baik kepada orang tua pada dasarnya dalam segala hal, baik perkataan maupun perbuatan.
Melihat lingkup tanggung jawab pendidikan Islam yang meliputi kehidupan dunia dan akhirat dalam arti luas, dapat diperkirakan orang tua tidak dapat memikulnya sendiri secara sempurna. Sehingga dalam hal ini, masyarakat pun turut serta memikul tanggung jawab pendidikan.
Masyarakat bisa diartikan sebagai sekumpulan orang yang hidup di suatu wilayah yang memiliki aturan atau norma yang mengatur hubungan satu sama lain. Di samping entitas masyarakat itu sendiri sebagai tempat pendidikan, masyarakat juga mewadahi apa yang disebut community school, sekolah masyarakat.[23]
Masyarakat memiliki pengaruh yang dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau semacamnya. Mereka ikut serta memikul tanggung jawab dalam membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini berarti bahwa pemimpin atau penguasa dari masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Sekalipun Islam menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya sebagai asas, tetapi Islam tidak mengabaikan tanggung jawab sosial yang menjadikan masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar di mana tanggung jawab manusia melebihi perbuatan-perbuatannya yang khas, perasaannya, pikiran-pikirannya, keputusan-keputusannya dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat tempat ia hidup dan alam sekitar yang mengelilingnya. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggung jawab tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa yang terjadi di sekelilingnya atau terjadi dari orang lain. Terutama jika orang lain itu tennasuk orang yang berada di bawah perintah dan pengawasannya seperti istri, anak dan lain-lain.[24]
Setiap anggota dari suatu komunitas masyarakat selain bertindak untuk dirinya sendiri sebagai individu juga harus bertindak secara sosial seperti berinteraksi baik dengan lingkungan sosialnya, saling menolong dalam kebaikan, saling menasihati dalam kebenaran; kesabaran; dan kasih sayang.[25] Karena, tanggung jawab dalam Islam tidak hanya bersifat perorangan, tetapi juga bersifat sosial.



       [1] Syarifah Qomariah, “Tanggung Jawab Keluarga dalam Menanamkan Nilai-Nilai Karakter Pada Anak”, Jurnal An-Nisa’, Vol. VIII, No. 1, 2015, hal. 172.
       [2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 217.
       [3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol. 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 402.
       [4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol. 8..., hal. 404.
       [5] Roli A. Rahman, Modul Hikmah: Qur’an-Hadits, (Sragen: Akik Pusaka, 2016), hal. 3.
       [6] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 28, terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), hal. 415.
       [7] Roli A. Rahman, Modul Hikmah:..., hal. 5.
       [8] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 28…, hal. 419.
       [9] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 6, (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2011), hal. 153-154.
       [10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol. 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 151.
       [11] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 2, (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2011), hal. 166.
       [12] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 436.
       [13] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 2..., hal. 166.
       [14] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 2..., hal. 168.
       [15] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol. 2..., hal. 438.
       [16] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 2..., hal. 170-173.
       [17] Roli A. Rahman, Modul Hikmah:..., hal. 16.
       [18] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 4, (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2011), hal. 488.
       [19] Roli A. Rahman, Modul Hikmah:..., hal. 17.
       [20] Roli A. Rahman, Modul Hikmah:..., hal. 17.
       [21] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 38.
       [22] Departemen Agama RI, Membangun Keluarga Harmonis (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta: Aku Bisa, 2012), hal. 121.
       [23] Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung: PT Refika Adtama, 2009), hal. 33.
       [24] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan..., hal. 46.
       [25] Departemen Agama RI, Membangun Keluarga..., hal. 7.

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer