BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tanggung jawab adalah sikap seseorang secara sadar, berani dan mau
mengakui apa yang dilakukan, kemudian ia berani memikul segala resikonya.[1]
Tanggung jawab merupakan salah satu ajaran dalam agama, bahwa Allah Maha Adil,
maka setiap orang pasti akan bertanggung jawab atas perbuatannya sekecil apapun
itu, dan akan mendapatkan balasan yang setimpal. Balasan tersebut bisa diterima
di akhirat kelak, atau sekarang di dunia, atau bahkan di keduanya.
Perilaku tanggung jawab harus diterapkan dimana saja. Bertanggung
jawab atas segala bentuk perbuatan apapun, baik perbuatan baik maupun perbuatan
tidak baik. Bertanggung jawab pada perbuatan berarti menunjukkan pada
kejujuran. Tanggung jawab sebagai manusia itu bermacam-macam mulai dari
beribadah kepada Allah, sampai menjadi khalifatullah fil ardh atau
sebagai seorang pemimpin. Manusia sebagai makhluk yang sempurna harus bersikap
tanggung jawab di bidang apapun atau di profesi apapun yang dijalani.
Tanggung jawab dalam Islam tidak hanya bersifat perorangan, tetapi
juga bersifat sosial. Jadi, manusia secara individu tidak hanya bertanggung
jawab atas perbuatan dirinya saja, tetapi juga perbuatan orang-orang yang
berada di bawah perintah, pengawasan, dan tanggungannya seperti keluarga dan
masyarakat sekitarnya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai
tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana isi kandungan ayat
tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat?
2.
Bagaimana isi kandungan hadits
tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat?
3.
Bagaimana perilaku tanggung jawab
terhadap keluarga dan masyarakat?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Menjelaskan isi kandungan ayat
tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat
2.
Menjelaskan isi kandungan hadits
tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat
3.
Menjelaskan perilaku tanggung jawab
terhadap keluarga dan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tanggung Jawab
terhadap Keluarga dan Masyarakat
Tanggung jawab adalah kesadaran
manusia terhadap tingkah laku atau perbuatan baik disengaja maupun tidak
disengaja. Tangggung jawab juga berarti perbuatan sebagai perwujudan kesadaran
akan kewajibannya. Tanggung jawab dalam Islam tidak hanya bersifat perorangan,
tetapi juga bersifat sosial. Jadi, manusia secara individu tidak hanya
bertanggung jawab atas perbuatan dirinya saja, tetapi juga perbuatan
orang-orang yang berada di bawah perintah, pengawasan, dan tanggungannya
seperti keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Berikut ini adalah ayat-ayat
tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat:
1.
QS. Thoha ayat 132
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ
وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ
وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ ﴿١٣٢﴾
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu,
Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang
yang bertakwa.”
Ayat ini menjelaskan amanat berikutnya yang tidak kurang pentingnya
dari perintah sebelumnya ialah perintah allah kepada nabi Muhammad SAW menyuruh
keluarganya mengerjakan shalat dan sabar dalam melaksanakan shalat dengan
menjaga waktu dan kesinambungannya.[2] Demikianlah
amanat allah kepada rosul-Nya sebagai bekal untuk menghadapi perjuangan yang berat,
yang patut menjadi teladan bagi setiap pejuang yang ingin menegakkan kebenaran
dimuka bumi. Mereka harus lebih dulu menjalin hubungan
yang erat dengan Allah yaitu
dengan tetap mengerjakan shalat dan memperkokoh batinnya dengan sifat tabah dan sabar. Dengan demikian ia akan tabah berjuang tidak
diombang-ambingkan oleh perhiasan dunia
seperti kekayaan, pangkat dan kedudukan. Amanat-amanat inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya sehingga
mereka benar-benar sukses dalam perjuangan mereka sehingga dalam masa kurang 23 tahun saja Islam telah berkembang dengan pesat di seluruh
jazirah Arab dan menjadi kalimah yang paling
tinggi dan mulia.
Dalam Tafisr Al Misbah, dapat dikatakan bahwa pada ayat yang lalu
disebut tentang azwaj yang dapat berarti pasangan dan bahwa orang-orang
kafir memiliki pasangan-pasangan yang mereka nikmati sebagai hiasan hidup, maka
disini disebut pasangan orang-orang beriman dan keluarganya. Karen itu ayat ini
memerintahkan nabi Muhammad SAW dan tiap kepala keluarga muslim bahwa dan
perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat secara baik dan bersinambung
pada tiap waktunya dan bersungguh-sungguhlah engkau wahai nabi Muhammad
SAW dalam bersabar atasnya, yakni dalam melaksanakannya. Kami tidak
meminta kepadamu rezeki dengan perintah shalat ini, atau kami tidak
membebanimu untuk menanggung rezeki bagi dirimu atau keluargamu, kami-lah
yang memberi jaminan rezeki kepadamu. Dan kesudahan yang baik di dunia dan di akhirat adalah bagi orang-orang yang menghiasi
dirinya dengan ketaqwaan.[3]
Setiap makhluk telah dijamin Allah rezekinya. Jaminan rezeki yang dijanjikan itu bukan berarti Allah SWT tanpa usaha. Manusia harus sadar bahwa yang menjamin itu adalah Allah yang mencipatakan makhluk serta hukum-hukum yang mengatur
makhluk dan kehidupannya. Kemampuan tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh rezekinya, serta organ-organ yang
menghiasi tubuh manusia dan binatang, insting yang mendorongnya untuk hidup dan
makan, semuanya adalah bagian dari jaminan rezeki allah. Kehendak manusia dan
instingnya, perasaan dan kecenderungannya, selera dan keinginannya, rasa lapar
dan hausnya, sampai kepada naluri mempertahankan hidupnya, adalah bagian dari
jaminan rezeki allah kepada makhluknya. Tanpa itu semua, maka tidak akan ada
dalam diri manusia dorongan untuk mencari makan. Tidak pula akan terdapat pada
manusia dan binatang pencernan, kelezatan, kemampuan membedakan rasa dan
sebagainya.
Allah sebagai
ar-Razzaq menjamin rezeki dengan menghamparkan bumi dan langit dengan
segala isinya. Dia menciptakan seluruh wujud dan melengkapinya
dengan apa yang mereka butuhkan, sehinga mereka
dapat memperoleh rezeki yang dijanjikan allah itu. Rezeki dalam
pengertiannya yang lebih umum tidak lain kecuali upaya makhluk untuk meraih
kecukupan hdupnya dari dan melalui makhluk lain. Semua makhluk yang membutuhkan
rezeki diciptakan allah membutuhkan makhluk lain untuk memakannya agar dapat
melanjutkan hidupnya.[4]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa isi kandungan dari ayat ini yaitu
perintah mengajar keluarganya untuk melaksanakan sholat yang baik dan benar.
Dalam ayat ini juga terdapat perintah mengajar keluarganya agar memupuk sifat
sabar dan tabah pada diri mereka.
2.
QS. at-Tahrim ayat 6
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا قُوۡۤا اَنۡفُسَكُمۡ وَاَهۡلِيۡكُمۡ
نَارًا وَّقُوۡدُهَا النَّاسُ وَالۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَامَلٰٓٮِٕكَةٌغِلَاظٌ
شِدَادٌ لَّا يَعۡصُوۡنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُوۡنَ مَا يُؤۡمَرُوۡنَ
﴿٦﴾
”Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api nerakayang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras pdan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Melalui
ayat tersebut Allah memerintahkan kepada umat manusia yang percaya kepada Allah
dan Rasul-Nya agar mereka menjaga dirinya dan keluaganya dari api neraka yang
bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, yaitu dengan taat dan patuh
melaksanakan perintah dan meninggakan larangan-Nya dan mengajarkan kepada
keluarganya supaya mereka melaksanakan perintah agama dan meninggalkan apa yang
dilarangnya, sehingga mereka selamat dari kobaran api neraka.
Dalam
suatu riwayat dinyatakan pada saat ayat ini turun, Umar bin Khattab berkata:
“Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami dan bagaimana menjaga keluarga
kami? Rasulullah bersabda ”Laranglah mereka mengerjakan sesuatu yang kamu
dilarang melakukannya dan serulah mereka melakukan sesuatu yang kamu
diperintahkan oleh Allah melakukannya.
Ibnu
Abbas menafsirkan قُوۡۤا
اَنۡفُسَكُمۡ وَاَهۡلِيۡكُمۡ نَارًا dengan “Beramallah kamu taat kepada Allah
dan takutlah kamu akan maksiat kepada-Nya dan perintahkanlah keluargamu dengan
mengingat Allah, niscaya Allah akan melepaskan kamu dari api neraka”. Menurut
sayyidina Ali RA: “Ajarkan dirimu dan keluargamu kebaikan dan didiklah mereka”.
Begitulah cara menghindarkan mmereka dari
api neraka.[5]
Sedangkan dalam tafsir Ibnu Katsir maksudnya yakni amalkanlah ketaatan kepada
Allah dan hindarilah perbuatan-perbuatan durhaaka kepada Allah, serta
perintahkanlah kepada keluargamu untuk berdzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan
kamu dari api neraka.[6]
Pada
surat at-Tahrim ayat 6 diatas, dilihat dari ilmu pengetahuan sosial
(sosiologi), merupakan titik awal dimulainya suatu perubahan sosial. Pertama yaitu proses perubahan yang dimulai
pada diri manusia secara individual, kemudian dilanjut pada perubahan sosial pada
masyarakat dan kemudian diakhiri pada proses perubahan pada level sistem sains
dan teknologi, kedua yaitu proses perubahan sosial yang dimulai dari perubahan
sistem sains dan teknologi kemudian merambat pada perubahan level masyarakat.
Berdasar
surat at-Tahrim ayat 6, Islam menganut teori perubahan sosial yang pertama.
Adanya kewajiban memperbaiki kualitas kepribadian dimulai dari dirinya terlebih
dahulu, menjadi petunjuk bahwa dalam Islam perubahan-perubahan ke arah yang
positif dimulai dari level individu dan selanjutnya pada level masyarakat.[7]
Firman
Allah SWT وَّقُوۡدُهَا
النَّاسُ وَالۡحِجَارَةُ dalam
tafsir Ibnu Kasir Waqud artinya bahan bakarnya yang di masukkan ke
dalamnya yaitu tubuh-tubuh anak Adam. Dan dalam firman Allah SWT عَلَيۡهَامَلٰٓٮِٕكَةٌغِلَاظٌ شِدَادٌ (penjaganya malaikat-malaikat yang kasar
yang keras) yakni watak mereka kasar dan telah dicabut dari hati mereka rasa
belas kasihan terhadap orang-orang yang kafir kepada Allah. Mereka juga keras, yakni
bentuk rupa mereka sangat keras, bengis dan berpenampilan sangat mengerikan.
Dalam
firman Allah SWT لَّا يَعۡصُوۡنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمۡ
وَيَفۡعَلُوۡنَ مَا يُؤۡمَرُوۡن (yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan)
maksudnya, apapun yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, mereka segera
mengerjakannya tanpa terlambat dan mereka memiliki kemampuan untuk
mengerjakannya,[8]
serta mereka juga meninggalkan segala larangan-Nya Allah.
Isi
kandungan dari ayat ini berupa kewajiban memperbaiki kualitas kepribadian
dimulai dari dirinya sendiri, kemudian disusul dengan keluarga, lalu disusul
pada tingkat masyarakat. Hal ini berarti menunjukkan bahwa pendidikan dimulai
dari rumah.
3.
QS. al-An’am ayat 70
وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا
وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۚ وَذَكِّرْ بِهِ أَنْ تُبْسَلَ نَفْسٌ بِمَا
كَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيٌّ وَلَا شَفِيعٌ وَإِنْ تَعْدِلْ
كُلَّ عَدْلٍ لَا يُؤْخَذْ مِنْهَا ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا
كَسَبُوا ۖ لَهُمْ شَرَابٌ مِنْ حَمِيمٍ وَعَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا
يَكْفُرُونَ ﴿٧٠﴾
“Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai
main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.
Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak
dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada
baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa´at selain daripada Allah. Dan
jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu
daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. Bagi
mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih
disebabkan kekafiran mereka dahulu.”
Allah memerintahkan nabi Muhammad dan mukminin agar memutus hubungan dengan orang-orang yang menjadikan agama mereka
sebagai mainan. Mereka itu telah terperdaya kesenangan duniawi, dan lupa kehidupan yang sebenarnya ialah di akhirat. Mereka tidak membersihkan diri dan jiwa mereka, seperti yang diajarkan Allah, mereka lupa akan
pertemuan dengan Allah di akhirat, dan mengisi
kehidupan duniawi dengan berbagai perbuatan yang merugikan diri mereka sendiri.
Allah memerintahkan pula agar Rosul dan
kaum muslimin memberi peringatan kepada mereka dengan ayat-ayat al-Qur’an, agar mereka tidak terjerumuskan kedalam neraka
karena perbuatan mereka sendiri. Pada hari itu tidak sesuatupun yang dapat
menolong, mendatangkan kebaikan atau menolak kejahatan dan kesengsaraan yang
mereka alami selain dari Allah. Pada hari itu tidak ada lagi alat yang dapat
dijadikan untuk menebus diri agar terhindar dari azab Allah.[9]
Setelah ayat yang lalu menyampaikan
tuntunan dalam bentuk larangan, kini ayat diatas memberi tuntunan dalam bentuk
perintah, untuk menguatkan larangan sebelumnya, samba menyifati para peleceh
itu dengan sifat yang lebih dari sifat yang lalu, serta mengancam mereka dengan
siksa ukhrawi. Ayat di atas berpesan : dan tingalkanlah dalam bentuk
apapun sekuat kemampuanmu orang-orang yang memaksakan diri akibat
mengikuti hawa nafsu menjadikan agama
mereka permainan dan bahan senda-gurau yang melahirkan kelengahan,
dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia karena mereka terpukau dan
terpaku dalam gemerlapnya padahal ia hanya sementara.
Boleh jadi perintah penggalan ayat ini
diduga sebagai perintah meninggalkan mereka dalam segala kondisi. Untuk itu,
maka penggalan ayat berikut mengingatkan kekliruan dugaan tersebut denga
menyatakan : jangan abaikan mereka sama sekali, ajak dan peringatkanlah mereka
dengannya, yakni dengan ayat-ayat al-Qur’an agar seseorang siapapun
dia tidak terhalangi dari rahmat Allah atau tidak dijerumuskan kedalam
neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak aka nada baginya perlindungan yang
dapat menghindarkannya dari siksa selain llah. Dan betapapun dia menebus
dengan segala macam, dan sebanyak mungkin tebusan, niscaya tidak akan
diterima tebusan itu darinya. Hanya mereka itulah, yakni yang
melecehkan ayat-ayat Allah seakan-akan tidak ada selain mereka-orang-orang
dijerumuskan kedalam neraka, atau terhalangi tanpa dapat mengelak dari
rahmat Allah disebabkan perintah buruk mereka sendiri, bagi mereka disediakan
minuman dari air yang sedang mendidih
dan azab yang pedih disebabkan ketika hidup didunia terus-menerus
malakukan kekufiran.[10]
Ayat ini
menjelaskan bahwa tugas Rasulullah dan umat Islam berdakwah kepada siapapun
dengan cara yang santun dan tegas. Tugas ini merupakan bagian dari cara
mewujudkan kehidupan masyarakat yang baik.
4.
QS. an-Nisa’ ayat 36
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ
بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ
يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا ﴿٣٦﴾
“Sembahlah Allah dan janganlah kau mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua bapak-ibu, karib kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat,
Ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.”
Mengabdi dan menyembah Allah dinamakan
ibadah. Beribadah dengan penuh keikhlasan hati, mengakui keesaan-Nya dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, itulah kewajiban seseorang kepada Allah.
Dalam kata lain, ibadah dan mengesahkan Allah merupakan hak-hak Allah yang
menjadi kewajiban manusia untuk menunaikannya.[11]
Perintah beribadah dalam ayat ini bukan saja ibadah ritual, yakni ibadah yang
cara, kadar, dan waktunya ditetapkan oleh Allah dan Rasul, seperti shalat,
zakat, puasa, dan haji. Tetapi mencakup segala macam aktivitas yang hendaknya
dilakukan karena Allah SWT. Sedangkan menurut para ulama memahami perintah
ibadah dalam ayat ini dalam arti tauhid praktis, dimana amal-amal kebajikan
merupakan buah dari keyakinan kalbu atas keesaan Allah SWT.[12]
Kemudian ibadah umum, yaitu semua pekerjaan yang baik yang dikerjakan dalam
rangka patuh dsan taat kepada Allah saja, bukan karena yang lainnya, seperti
membantu fakir miskin, menolong dan memelihara anak yatim, mengajar orang dan
sebagainya. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas, memurnikan ketaatan
kepada-Nya den tidak mempersekutukan-Nya.[13]
Dalam ayat ini Allah mengatur kewajiban
terhadap sesama manusia sesudah Allah memerintahkan agar menyembah dan
beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Allah juga
memrintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak. Berbuat baik kepada ibu-bapak
adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Perintah
mengabdi kepada Allah diiringi perintah berbuat baik kepada ibu bapak adalah
suatu peringatan bahwa jasa ibu-bapak itu sungguh besar dan tidak dapat dinilai
harganya dengan apapun.[14]
Bakti kepada orang tua yang diperintahkan
agama Islam adalah bersikap sopan santun kepada keduanya dalam ucapan dan
perbuatan sesuai dengan kebiasaan masyarakat, sehingga mereka merasa senang
terhadap kita, dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar
sesuai dengan kemampuan kita.[15]
Mengikuti nasehatnya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah juga
termasuk baik. Andaikata keduanya memerintahkan sesuatu yang bertentangan
dengan ajaran Allah, perintahnya boleh tidak dipatuhi, tetapi terhadap keduanya
tetap dijaga hubungan yang baik. Termasuk pula berbuat baik mendoakan keduanya
agar Allah mengampuni dosanya sebab keduanya telah berjasa banyak, mendidik,
memelihara dan mengasuh sejak kecil.
Allah juga menyuruh berbuat baik kepada
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, kepada teman sejawat, ibnu sabil
dan hamba sahaya. Tetangga yang dekat dan yang jauh ialah orang-orang yang
berdekatan rumahnya, sering berjumpah setiap hari, bergaul setiap hari, dan
tampak setiap hari keluar masuk rumahnya. Tetapi ada pula yang mengartikan
dengan hubungan kekeluargaan, dan ada pula yang mengartikan antara yang muslim
dan yang bukan muskim. Berbuat baik kepada tetangga adalah penting. Karena pada
hakekatnya tetangga yang menjadi saudara dan famili. Kalau terjadi sesuatu,
tetanggalah yang paling dahulu memberikan pertolongan, baik siang maupun malam.
Saudara dan sanak famili yang berjauhan tempat tinggalnya belum tentu dapat
diharapkan dengan cepat memberi pertolongan pada waktu yang diperlukan. Oleh
karena itu, hubungan yang baik dengan tetangga harus dijaga, jangan sampai ada
perselisihan dan pertengkaran, walaupun tetangga beragama lain.
Dalam ayat ini juga menerangkan tentang
orang yang sombong. Orang yang sombong ialah orang yang takabur yang dalam
gerak-geriknya memperhatikan kebesaran dirinya, begitu juga dalam pembicaraanya
tampak kesombongan melebihi orang lain, dialah yang tinggi dan mulia. Orang
lain rendah dan hina. Orang yang sombong dan membanggakan diri tidak disukai
Allah. Sebab orang-orang yang sombong termasuk manusia yang tak tahu diri, lupa
daratan dan akhirnya menyesal. Sifat takabur adalah hak Allah, bukan hak
manusia. Siapa yang mempunyai sifat sombong dan takabur berarti menentang
Allah. Biasanya orang sombong dan takabur tidak dapat menunaikan kewajiban
dengan baik dan ikhlas, baik kewajiban kepada Allah maupun kewajiban terhadap
manusia.[16]
Pokok-pokok pikiran yang terkandung pada
ayat diatas yaitu adanya perintah Allah Swt kepada umat manusia untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya
serta perintah berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga, teman sejawat, Ibnu Sabil dan hamba sahaya.
5.
QS. Hud ayat 117-119
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهۡلِكَ الۡقُرٰى بِظُلۡمٍ
وَّاَهۡلُهَا مُصۡلِحُوۡن﴿١١٧﴾ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ
أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ ﴿١١٨﴾ إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ ۚ وَلِذَٰلِكَ
خَلَقَهُمْ ۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ﴿١١٩﴾
“Dan Tuhanmu
sekali-kali tidak akan membinasakan negeri secara zalim sedang penduduknya
berbuat kebaikan.{117} Jikalau tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu (Ummatan Wahidah), tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat.{118} Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk
itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusannya)” telah
ditetapkan. sesungguhnya aku akan penuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia
(yang durhaka) semuanya.{119}
Q.S Hud
117-119 di atas menjelaskan bahwa Allah tidak akan membinasakan suatu negeri,
jika penduduk negeri tetap suka beramal shaleh dan tidak berbuat kedzaliman.
Adapun contoh negeri yang di binasakan Allah adalah kaum Nabi Syu’aib as yang
suka mengurangi timbangan, kaum Nabi Lut as yang suka melakukan perbuatan
liwath (homo seksual).Raja Fir’aun dengan kekejaman dan kebengisannya dll. Oleh
karena itu Allah memperingatkan kepada umat Islam agar jangan menjadikan agama
sebagai main-main dari sendau gurau. [17]
Dalam ayat 118
ini menjelaskan bahwa kalau Allah menghendaki, maka manusia menjadi umat yang
satu dalam beragama sesuai dengan fitrah asal kejadiannya. sekalipun pada
mulanya manusia itu merupakan umat yang satu tidak terdapat perselisihan di
antara mereka, tetapi setelah mereka berkembang biak timbullah keperluan dan
keinginan yang berbeda-beda maka timbullah perbedaan dan perselisihan yang tak
habis-habisnya, sebagaimana firman Allah dalam qur’an surat yunus ayat 19 yang
artinya “Dan manusia itu dulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka
berselisih.”
Dalam ayat 119
menjelaskan bahwasannya perselisihan mereka tidak saja tentang agama yang
dianut oleh masing-masing kaum seperti Agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam,
atau syirik tetapi juga penganut dari satu agama, kecuali orang-orang yang
mendapat rahmat dari Allah dan diberi taufik serta hidayah. Mereka itu bersatu
dan selalu mengusahakan persatuan agar manusia taat kepada peraturan dan
ketentuan Allah, mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya. [18] Demikian
kehendak Allah mengenai keragaman manusia. Ada yang mendapat rahmat, taufik,
dan hidayah dari Allah mereka bersatu dan menggalang persauan, dan mereka
termasuk dalam golongan orang-rang yang bahagia yang akan menjadi penghuni
surga. ada pula yang tak putus-putusnya berselisih dan mereka termasuk dalam
golongan orang-orang yang celaka yang menjadi penghuni neraka. Malik bin Anas
pernah berkata, “ manusia itu dicipakan sebagian berada di surga dan sebagian
di neraka sa’ir.” Oleh karena itu Alah mengakhiri ayat ini dengan satu
ketegasan bahwa telah menjadi ketentuan-Nya akan memenuhi neraka jahannam
dengan jin dan manusia yang selalu berbuat jahat dan dosa di muka bumi ini.
B.
Hadits tentang
Tanggung Jawab terhadap Keluarga dan Masyarakat
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عُمَرَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ اَلامَامَ رَاعٍ وَمَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى
اَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةُ فِى بَيْتِ
زَوْجِهَا وَمَسْؤُلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالخَادِمِ رَاعٍ فِى مَالَ سَيِّدِهِ
وَمَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ اَنْ قَدْ قَالَ الرَّجُلُ رَاعٍ
فِى مَالٍ اَبِيْهِ وَمَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَ مَسْؤُلٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ (روه البخرى و مسلم و الترمذى)
“Dari Abdullah bin Umar ra. Ia berkata :
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : kamu semua adalah pemimpin dan
harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seseorang imam adalah pemimpin
dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seseorang suami adalah
pemimpin bagi istrinya adalah seorang pemimpin dalam dalam rumah tangga dan harus
bertanggun jawab atas kepemimpinnya. Pembantu
adalah pemelihara terhadap harta tuannya, dia harus bertanggung jawab
atas kepemimpinanya. Abdullah berkata : saya kira (Rasullullah) bersabda juga
dan seseorang anak adalah pemelihara milik orang tuanya, dia harus bertanggung
jawab atas peliharaanya itu. Dan kamu semua adalah pemimpin dan harus
bertanggung jawab atas kepemimpinannya”. (HR
Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Hadits di atas menjelaskan kepada kita bahwa setiap manusia diberi tugas
memimpin atau menjaga. Baik kaitannya dengan dirinya sendiri maupun dengan
orang lain. Secara pribadi, seseorang diberi tugas menjaga dirinya sendiri.
Pemuka atau imam diberi tugas memimpin rakyatnya. Suami bertugas memimpin dan
menjaga istrinya. Seorang istri diberi amanat memimpin anak-anak suaminya.
Pembantu diberi tugas menjaga harta atau kekayaan tuan atau kekayaan orang
tuanya.[19]
Tugas adalah amanat. Apapun jabatan yang ada pada diri seseorang, dia
harus mempertanggung jawabkan tugas yang dibebankan kepadanya dihadapan yang
dipimpin dan di dalam pengadilan Allah kelak. Tak seorang pun mampu melepaskan
diri dari tanggung jawab. Oleh karenanya, dia harus benar-benar waspada dan
hati-hati serta bersikap adil dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya. Apabila
lengah dan mengabaikan tugasnya, maka celakalah dia sebab akan menyengsarakan
yang dipimpin, kelak kemudian tidak mampu bertanggung jawabkannya. Namun
apabila tugas tersebut dilaksanakan secara baik, maka dia akan selamat dan akan
diberi pahala yang besar oleh Allah SWT.[20]
C.
Perilaku
tentang Tanggung Jawab terhadap Keluarga dan Masyarakat
Allah memerintahkan kepada orang-orang
mukmin, terutama orang tua untuk menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari
api neraka, yaitu dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya
agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam Islam, anak sejak dalam
kandungan sampai menjelang dewasa memiliki hak perawatan dan pemeliharaan
secara menyeluruh, baik dari segi kesehatan fisik, mental, sosial maupun dari
segi pendidikan dan perkembangan pengetahuannya. Hal ini wajib dilaksanakan
oleh orang tua.
Dalam buku Ilmu Pendidikan Islam
karya Dr. Zakiah Daradjat, dkk menyebutkan bahwa tanggung jawab pendidikan
Islam yang menjadi beban orang tua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam
rangka:[21]
1.
Memelihara dan membesarkan anak.
Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua
dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
2.
Melindungi dan menjamin kesamaan,
baik jasmaniah maupun rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan dari
penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan
agama yang dianutnya.
3.
Memberi pengajaran dalam arti yang
luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan
seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
4.
Membahagiakan anak, baik dunia
maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.
Apabila orang tua memenuhi
kewajiban-kewajibannya sebagai bentuk kasih sayang kepada anak, maka sudah
sewajamya apabila seorang anak harus berbuat baik kepada orang tuanya. Berbuat
baik kepada orang tua ini sangat ditekankan dalam Islam, sehingga adanya perbedaan
agama dan keyakinan antara anak dan orang tua tidak dapat menggugurkan
kewajiban ini.[22] Berbuat
baik kepada orang tua pada dasarnya dalam segala hal, baik perkataan maupun
perbuatan.
Melihat lingkup tanggung jawab
pendidikan Islam yang meliputi kehidupan dunia dan akhirat dalam arti luas,
dapat diperkirakan orang tua tidak dapat memikulnya sendiri secara sempurna.
Sehingga dalam hal ini, masyarakat pun turut serta memikul tanggung jawab
pendidikan.
Masyarakat bisa diartikan sebagai
sekumpulan orang yang hidup di suatu wilayah yang memiliki aturan atau norma
yang mengatur hubungan satu sama lain. Di samping entitas masyarakat itu sendiri
sebagai tempat pendidikan, masyarakat juga mewadahi apa yang disebut community
school, sekolah masyarakat.[23]
Masyarakat memiliki pengaruh yang dalam
memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau semacamnya.
Mereka ikut serta memikul tanggung jawab dalam membimbing pertumbuhan dan
perkembangan anak. Ini berarti bahwa pemimpin atau penguasa dari masyarakat
ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Sekalipun Islam menekankan tanggung
jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya sebagai asas,
tetapi Islam tidak mengabaikan tanggung jawab sosial yang menjadikan masyarakat
sebagai masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan
mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab
membina, memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang
makruf, melarang yang mungkar di mana tanggung jawab manusia melebihi
perbuatan-perbuatannya yang khas, perasaannya, pikiran-pikirannya,
keputusan-keputusannya dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat
tempat ia hidup dan alam sekitar yang mengelilingnya. Islam tidak membebaskan
manusia dari tanggung jawab tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa
yang terjadi di sekelilingnya atau terjadi dari orang lain. Terutama jika orang
lain itu tennasuk orang yang berada di bawah perintah dan pengawasannya seperti
istri, anak dan lain-lain.[24]
Setiap anggota dari suatu komunitas
masyarakat selain bertindak untuk dirinya sendiri sebagai individu juga harus
bertindak secara sosial seperti berinteraksi baik dengan lingkungan sosialnya,
saling menolong dalam kebaikan, saling menasihati dalam kebenaran; kesabaran;
dan kasih sayang.[25]
Karena, tanggung jawab dalam Islam tidak hanya bersifat perorangan, tetapi juga
bersifat sosial.
No comments:
Post a Comment