BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fiqih
siyasah adalah sebuah ilmu yang membahas tentang pemerintahan dalam islam.
Indonesis memang bukan negara islam, namun sebagian besar penduduknya beragama
islam. Fiqih siyasah sendiri mempunyai
pembahasan yang sangat luas dan sistematis. Pembahasannya meliputi banyak hal,
diantaranya adalah pembahasan politik perang, politik luar negeri,
perundang-undangan, moneter, ekonomi, peradilan, dsb.
Politik mengenai urusan pemerintahan negara
secara islam dengan non islam pasti mempunyai perbedaan, terlihat berbeda jika
dilihat dari konsep kelembagaaan pemerintahaan, pengaturan pemerintahan, dsb.
Pada bab ini akan dibahas mengenai konsep kelembagaan pemerintahan perspektif
fiqih siyasah, untuk lebih detailnya mengenai pembahasan ini akan dibahas pada
uraian dibawah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana ruang lingkup fiqih siyasah ?
2.
Bagaimana Kelembagaan Pemerintahan dalam
Perspektif Fiqh Siyasah ?
3.
Apakah Hubungan Legislatif, Eksekutif dan
Yudikatif ?
4.
Bagaimana Konsep Lembaga Negara Dalam Islam ?
5.
Bagaimana Kedudukan fiqih siyasah di dalam
sistematika hukum islam ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mendeskripsikan ruang lingkup fiqih siyasah.
2.
Mendeskripsikan Kelembagaan Pemerintahan dalam
Perspektif Fiqh Siyasah.
3.
Mendeskripsikan Hubungan Legislatif, Eksekutif
dan Yudikatif.
4.
Mendeskripsikan Konsep Lembaga Negara Dalam
Islam.
5.
Mendeskripsikan Kedudukan fiqih siyasah di
dalam sistematika hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ruang Lingkup Fiqh Siyasah
Menurut Imam al-Mâwardî,
seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm
al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah
adalah sebagai berikut:
a.
Siyâsah Dustûriyyah
b.
Siyâsah Mâliyyah
c.
Siyâsah Qadlâ`iyyah
d.
Siyâsah Harbiyyah
e.
Siyâsah `Idâriyyah
Salah satu dari ulama
terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi
delapan bidang, yaitu:
a.
Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah
(kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan).
b.
Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan
tentang penetapan)
c.
Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah
(kebijaksanaan peradilan).
d.
Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah
(kebijaksanaan ekonomi dan moneter).
e.
Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah
(kebijaksanaan administrasi negara).
f.
Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah
Syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau internasional).
g.
Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah
(politik pelaksanaan undang-undang).
h.
Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah
(politik peperangan). Dari sekian uraian tentang ruang lingkup fiqh siyâsah
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian pokok. Pertama, politik
perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian
tentang netapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan
Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan `Idâriyyah)
oleh birokrasi atau eksekutif.[1]
Kedua, politik luar negeri
(Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah).
Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warga gara yang muslim dengan
yang bukan muslim yang bukan warga ara yang muslim dengan yang bukan muslim
yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah peperangan
(Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan
berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah
mempunyai kedudukan penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam.
Dalam memikirkan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik
praktis yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga
lain umumnya, pemerintah jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik
pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan
potensi yang mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari
hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai
akar sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga
menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam. [2]
Salah satu doktrin Islam
adalah bahwa Islam yang diturunkan Allah
melalui Nabi Muhammad telah menegaskan dirinya sebagai agama sempurnadan
Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi penutup.Sementara itu, wahyu terbatas oleh
ruang dan waktu dan Nabi Muhammad hidup serta wafat dalam satu fase masa
tertentu, sementara zaman terus berubah dan berkembang. Mungkinkah sesuatu
ajaran yang terbatas dengan ruang dan
waktu dapat menjawab kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman? Untuk hal ini
para ulama memberikan jawaban. Kesempurnaan Islam mencakup dua makna yang
berkaitan, universal dan komprehenship atau Syumul dan Mutakaamil.
Universalitas Islam
mengharuskan bahwa Islam kompatibel untuk setiap zaman dan tempat, sedang
komprehensivitas Islam mengharuskan Islam dapat menjawab dan menjadi solusi
atas setiap permasalahan yang muncul dari segala aspek kehidupan. Al-Quran dan
Hadits Nabi mencakup esensi setiap permasalahan baik yang telah terjadi, sedang
maupun yang akan terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syafi'i, “tidak
ada sesuatu yang terjadi kepada pemeluk agama Allah melainkan pada Kitabullah
telah ada dalilnya melalui jalan petunjuk padanya". Dengan kerangka
berpikir di atas, setiap muslim berkeyakinan bahwa setiap permasalahan dalam
hidupnya adalah bagian dari ajaran Islam. Salah satu aktifitas kehidupan
manusia dalam bermasyarakat adalah berpolitik atau siyasah. Karena Islam itu
mengatur setiap kehidupan termasuk berpolitik, maka berpolitik pun ada
batasan-batasan syariatnya, sehingga melahirkan istilah Siyasah Syariyah atau
politik syariat. [3]
B.
Sejarah Kelembagaan Pemerintahan dalam
Perspektif Fiqh Siyasah
Sistem pemerintahan yang pernah
dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan kondisi konstektual yang dialami
oleh masing-masing-umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad
ke-7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem
pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan khilafah (khilafah berdasarkan
syura dan khilafah monarki), imamah, monarki dan demokrasi.
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang
tidak dibatasi oleh teritorial, sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai
suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai
agama. Pada intinya, khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama
dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi Saw.[4] Jabatan ini merupakan pengganti Nabi
Muhammad Saw, dengan tugas yang sama, yakni mempertahankan agama dan
menjalankan kepemimpinan dunia.
Masa kenabian itu, terbagi kepada dua
periode yang dipisahkan oleh hijrah. Dalam pada itu tidak ada di antara kedua
fase itu perbedaan yang tegas bahkan periode yang pertama, adalah sebagai
perintis jalan bagi yang kedua. Di dalam periode yang pertama, timbullah benih
masyarakat Islam dan dalam periode inilah ditetapkan dasar-dasar Islam yang
pokok. Dalam periode yang kedua, disempurnakan pembentukan masyarakat Islam
serta dijelaskan sesuatu yang tadinya dikemukakan secara ringkas (global) dan
disempurnakan perundang-undangan dan tata aturan dengan melahirkan prinsip-prinsip
baru, serta menerapkan prinsip-prinsip itu ke dalam kenyataan. Dalam periode
inilah nampak masyarakat Islam dalam bentuk kemasyarakatan sebagai satu
kesatuan yang bergerak menuju kepada satu tujuan.[5]
Terbentuknya Negara Madinah akibat dari
perkembangan penganut Islam yang menjelma menjadi kelompok sosial dan memiliki
kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah di bawah pimpinan Nabi. Pada
periode Mekkah pengikut beliau yang jumlahnya relatif kecil belum menjadi suatu
komunitas yang mempunyai daerah kekuasaan dan berdaulat. Mereka merupakan
golongan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu tampil
menjadi kelompok sosial penekan terhadap kelompok sosial mayoritas kota itu
yang berada di bawah kekuasaan aristokrat Quraisy yang masyarakatnya homogen.
Tapi setelah di Madinah, posisi Nabi dan umatnya mengalami perubahan besar. Di
kota itu mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera menjadi umat yang kuat
dan dapat berdiri sendiri.[6]
Praktek pemerintahan yang dilakukan
Muhammad SAW sebagai Kepala Negara tampak pada pelaksanaan tugas-tugas yang
tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai
pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Tapi walaupun pada masa itu orang belum mengenal teori pemisahan
atau pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya beliau mendelegasikan
tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan
mampu.[7]
Implementasi pembagian kekuasaan ini juga
dapat kita lihat pada masa khulafaur rasyidin. Pada masa itu kekuasaan
eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legislatif dipegang oleh
Majelis Syuro’ dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim. Pada
masa Khulafaur Rasyidin, khalifah (eksekutif) pertama dalam negara Islam adalah
Abu Bakar. Sedangkan Majelis Syuro’ (legislatif) berisi tokoh-tokoh kaum Anshar
dan Muhajirin. Kemudian, pada masa khalifah kedua, yaitu Umar Bin Khattab
pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif diperinci lewat
undang-undang. Pada masa ini juga, Umar Bin Khattab membuat suatu undang-undang
yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, dengan tujuan para
qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara harus bebas
dari pengaruh eksekutif.[8]
C.
Hubungan Legislatif, Eksekutif dan
Yudikatif
Masa Rasulullah dan Empat Khalifah
memberi cukup pedoman bahwa Kepala Negara Islam merupakan pimpinan tertinggi
dari semua lembaga negara yang berbeda ini, dan posisi ini dipertahankan oleh
semua Empat Khalifah.[9] Tetapi di bawah Kepala Negara, ketiga
lembaga tinggi negara ini berfungsi secara terpisah serta mandiri satu sama
lainnya. Lembaga yang disebut ahl al-hall wa al-'aqd yang bertugas untuk
memberi nasihat kepada Kepala Negara mengenai masalah-masalah hukum,
pemerintahan dan kebijaksanaan negara merupakan kesatuan yang terpisah.
Kemudian ada pejabat-pejabat eksekutif yang tidak mengurus masalah-masalah
yudisial yang diurus secara terpisah dan mandiri oleh para hakim (qadhi).
Dalam semua masalah penting negara,
seperti perumusan kebijaksanaan atau pemberian peraturan-peraturan dalam
berbagai masalah pemerintahan atau hukum, khalifah mau tidak mau harus
berkonsultasi dengan ahl al-hal wa al-'aqd dan segera setelah tercapai
kesepakatan yang disyaratkan, maka lembaga ini bubar. Para pejabat eksekutif
bekerja langsung di bawah khalifah. Tetapi khalifah tidak dapat begitu saja
memberhentikan atau mempengaruhi keputusan-keputusan mereka, sedemikian rupa
sehingga seandainya dengan kapasitas pribadi atau kapasitasnya sebagai kepala
eksekutif, seseorang mengajukan dakwaan kepada khalifah, maka sang khalifah
harus hadir dan melakukan pembelaan di hadapan qadhi sebagaimana
layaknya orang kebanyakan.[10]
Secara tegas al-Qur'an menggunakan ungkapan
ulu al-amr untuk konsep pemegang dan pengendali kekuasaan politik.
Meskipun begitu para ulama tidak sependapat mengenai konsep yang dimaksud
karena terpengaruh oleh perkembangan dan pemikiran politik zamannya. Pemerintah
sebagai salah satu struktur dasar sistem politik merupakan lembaga yang
menyelenggarakan mekanisme politik atau roda pemerintahan yang dipimpin oleh
seorang pejabat yang disebut "wali" atau "amir"
atau dengan istilah lainnya yang dikenal dalam kepustakaan politik dan
ketatanegaraan Islami.
Sejalan dengan tugas yang diemban, wali
menggunakan kekuasaan politik yang dimilikinya berdasarkan prinsip pemusatan
kekuasaan dan pertanggungjawaban dalam dirinya dan prinsip delegasi kekuasaan.
Oleh karena itu dalam menyelenggarakan pemerintahan, kekuasaan wali adalah
kepala pemerintahan. la memegang kekuasaan politik dan bertanggung jawab
sepenuhnya atas penggunaan kekuasaan tersebut. Meskipun begitu, ia tidak dapat
bertindak sendiri tanpa bermusyawarah dengan lembaga-lembaga yang terkait
seperti lembaga legislatif.[11]
Adanya lembaga-lembaga pemerintahan itu
bukan saja karena kewajiban bermusyawarah, tetapi juga karena secara individual
wali tidak akan mampu menangani urusan-urusan pemerintahan. Untuk itu ia
memerlukan pembantu-pembantu dan secara bersama mereka merupakan sebuah badan
penyelenggara tugas-tugas pemerintahan. Sesuai dengan tujuan negara menciptakan
kemaslahatan bagi seluruh manusia, maka negara mempunyai tugas-tugas penting
untuk merealisasikan tujuan tersebut.
Pertama, tugas menciptakan perundang-undangan yang
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Untuk melaksanakan tugas ini, maka negara
memiliki kekuasaan legislatif (al-sulthah al-tasyri'iyah). Dalam
realitas sejarah, kekuasaan legislatif ini pernah dilaksanakan oleh lembaga ahl
al-hall wa al-'aqd. Kemudian dalam masa modern sekarang, lembaga ini
biasanya mengambil bentuk sebagai majelis syura (parlemen).
Kedua, tugas melaksanakan undang-undang.
Untuk melaksanakannya, negara memiliki kekuasaan eksekutif (al-sulthah
al-tanfidziyah). Di sini negara memiliki kewenangan untuk menjabarkan dan
mengaktualisasikan perundang-undangan yang telah dirumuskan. Sebagaimana halnya
kebijaksanaan legislatif yang tidak boleh menyimpang dari semangat nilai-nilai
ajaran Islam, kebijaksanaan politik kekuasaan eksekutif juga harus sesuai
dengan semangat nash dan kemaslahatan.
Ketiga, tugas mempertahankan hukum dan
perundang-undangan yang telah diciptakan oleh lembaga legislatif. Tugas ini
dilakukan oleh lembaga yudikatif (al-sulthah al-qadha'iyah). Dalam
sejarah Islam, kekuasaan lembaga ini biasanya meliputi wilayah al-hisbah
(lembaga peradilan untuk menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran ringan
seperti kecurangan dan penipuan dalam bisnis)/ wilayah al-qadha'
(lembaga peradilan yang memutuskan perkara-perkara antara sesama warganya, baik
perdata maupun pidana) dan wilayah al-mazhalim (lembaga peradilan yang
menyelesaikan perkara penyelewengan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya/
seperti pembuatan keputusan politik yang merugikan dan melanggar kepentingan atau
hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang melanggar HAM rakyat).[12]
D.
Kedudukan fiqih siyasah di dalam
sistematika hukum islam
Salah satu ketistimewaan hukum islam dibandingkan dengan hukum-hukum
lainnya, adalah bahwa hukun islam ini selalu diperkaitkan/ dihubungkan dengan
tiga perkara penting bagi manusia :
1.
Hubungan manusia dengan Tuhannya
2.
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
3.
Hubungan manusia dengan sosialnya
Hal ini dikarenakan hukum islam diperuntukan untuk dunia dan akhirat,
agama dan negara. Ia juga berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan,
dan tidak ada kadarluarsa sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk
islam , semuanya berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat
melaksanakan sesuatu yang wajib/ harus
dilakukan, serta tidak melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada allah, juga
menghormati hak-hak insani untuk memiliki, merasa aman, bahagia, hidup
berkelanjutan bagi seluruh jagat alam raya. [13]
E.
Konsep Lembaga Negara Dalam Islam
Prinsip kedaulatan rakyat menjadi latar
belakang terciptanya struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintah
yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari
segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan memalui
sistem pemisahan kekuasaan (separation of power ) atau pembagian
kekuasaan (distribution of power). Sedangkan
dalam islam yang menjadi latar belakang terciptanya struktur dan mekanisme
kelembagaan negara dan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu
yang di tetapkan Al-Quran dan Al-Hadist Nabi Muhammad SAW. prinsip pertama adalah bahwa seluruh
kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena ia yang telah menciptakannya.
Prinsip kedua adalah bahwa hukum islam ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran dan
Al-Hadist nabi, sedangkan hadist merupakan penjelasan tentang Al-Quran. Dalam
sejarah ketatanegaraan islam, terdapat tiga badan kekuasaan yaitu :sulthah
al-tasyri’iyyah (kekuasaan legislatif) , sulthah al-thanfidziyah (kekuasaan
eksekutif ), Sulthah al-qadla’iyyah (kekuasaan yudikatif). [14]
1.
Tasyri’iyah
Dalam kajian fiqih siyasah, legislasi
atau kekuasaan legislative disebut juga dengan al-sulthah al-tasyri’iyyah,
yaitu kekuasaan pemerintah islam dalam membuat dan menetapkan hukum.
Orang-orang yang duduk dalam lembaga
legislative ini terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa (mutfi) serta
para pakar dalam berbagai bidang. Ada dua fungsi lembaga legislative. Pertama,
dalam hal-hal ketentuannya, sudah terdapat dalam nash Al-Quran dan Sunnah,
undang-undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasri’iyah adalah
undang-undang Ilhiyah yang disyariaatkanNya dalam Al-Quran dan dijelaskan oleh
Nabi SAW. kedua, melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan
yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Kewenangan lain dari lembaga
legislative adalang dalam keuangan negara. Dalam masalah ini, lembaga
legislative berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan
negara, sumber devisa dan anggaran pendapat dan belanja yang dikeluarkan negara
kepada kepala negara selaku pelaksana pemerintah.
Unsur-unsur legislatif dalam fiqih siyasah dapat dirumuskan sebagai
berikut :
a.
Pemerintah sebagai pemegang kekusaan untuk
menetapkan hukum yang ada diberlakukan dalam masyarakat.
b.
Masyarakat Islam yang akan melaksanakan.
c.
Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan
nilai dasar syar’iyat islam.
2.
Tanfidziyah
Menurut al-Maududi, lembaga eksekutif
dalam islam dinyatakan dengan istilah ul al-amr dan dikepalai oleh
seorang amir atau khalifah.
Istilah ul al-amr tidaklah terbatas untuk lembaga eksekutif saja melainkan
juga lembaga legislatif, yudikatif dan untuk kalangan yang dalam arti yang
lebih luas lagi. Namun dikarenakan praktek pemerintahan Islam tidak menyebut
istilah khusus untuk badan-badan di bawah kepala negara yang bertugas
meng-execute ketentuan perundang-undangan seperti diwan al-kharuj (dewan
pajak), diwan al-ahdas (kepolisian), wali untuk setiap wilayah,
sekretaris , pekerjaan umum, diwan al-jund (militer), sahib al-bait
al-mal (pejabat keuangan), dan sebagainya yang nota bene telah terstruktur
dengab jelas masa khalifah an Umar bin Khatab maka untuk hal ini istilah ul al-amr mengalami penyempitan makna
untuk mewakili lembaga-lembaga yang hanya berfungsi sebagai eksekutif. Sedang
untuk kepala Negara, al-maududi menyebutnya sebagai amir dan dikesempatan lain
sebagai khalifah. Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, umat islam
dipemerintahkan untuk mentaatinya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif ini
mentaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran.
3.
Qadha’iyyah
Dalam kamus politik yudikatif adalah kekuasaan
yang mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dan dalam konsep fiqih
siyasah, kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara
pemerintahan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan
mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan
persoalan-persoalan lain yang diperkarakan di pengadilan. Sedangkan tujuan
kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksanya
keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala
negara. Penetapan syariat islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan. Dalam
penerapannya (syariat Islam) memerlukan lembaga untuk penegakkannya. Karena
tanpa lembaga (al-qadha tersebut, hukum-hukum itu tidak diterapkan.
Dalam sistem permerintah islam, kewenagan peradilan (al-qadha) terbagi
ke dalam tiga wilayah, yaitu wilayah qadha, wilayah mazhalim, dan wilayah
hisbah. [15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Praktek
pemerintahan yang dilakukan Muhammad SAW sebagai Kepala Negara tampak pada
pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam
Madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tapi walaupun pada masa itu
orang belum mengenal teori pemisahan atau pembagian kekuasaan, namun dalam
prakteknya beliau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada
para sahabat yang dianggap cakap dan mampu.
Hukum
islam diperuntukan untuk dunia dan akhirat, agama dan negara. Ia juga berkaitan
kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak ada kadarluarsa sampai
hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk islam , semuanya berkaitan
dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat melaksanakan sesuatu yang wajib/ harus dilakukan, serta tidak
melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada allah, juga menghormati hak-hak
insani untuk memiliki, merasa aman, bahagia, hidup berkelanjutan bagi seluruh
jagat alam raya.
Kelembagaan
negara prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan memalui sistem
pemisahan kekuasaan (separation of power ) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Sedangkan dalam
islam yang menjadi latar belakang terciptanya struktur dan mekanisme
kelembagaan negara dan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu
yang di tetapkan Al-Quran dan Al-Hadist Nabi Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
A. H. Djazuli. 2007. Fiqh Siyâsah. Jakarta:
Kencana.
A'la, Abul Maududi. 1990. The Islamic Law And Constitution,
Terj. Asep Hikmat, "Sistem Politik Islam". Bandung: Mizan.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 2002. Islam & Politik Bernegara. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra.
Ibnu, Mujar Syarif dan Zada, Khamami. 2008. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam. Jakarta: Erlangga.
Iqbal, Muhammad. 2007. Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin
Politik Islam. Jakarta: Gaya Media, Pratama.
Iqbal, Muhammad. 2001. fiqih siyasah : kontekstual doktrin politik
islam. Jakarta: Gaya Media Persada.
Muhanmmad Bin Idris Asy Syafi'i.TT. Ar Risâlah,
Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Beirut: Darl Fikr.
Muin, Abdul Salim. 2002. Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik
dalam Al-Qur'an. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jilid I. Jakarta: UI Press..
Suyuthi, J Pulungan. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mahmudatin, Siti. 2016. “Konsep
Fiqih Siyasah Dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 JO. Nomor 45
Tahun 1990”. Milah vol.16 No. 1.
Wery
Gusmansyah. 2017. Trias Politica dalam Perspektif Fikih Siyasah, Al-Imarah:
Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No.2.
[3] Muhanmmad Bin
Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut:
Darl Fikr, tt), 20
[4] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh
Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008),
204-205.
[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), 88-90.
[7] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran
Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 97.
[8] Wery Gusmansyah, Trias Politica dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam,
Vol. 2, No.2, 2017, 129.
[9] Abul A'la Maududi, The Islamic Law And
Constitution, Terj. Asep Hikmat, "Sistem Politik Islam",
(Bandung: Mizan, 1990,) 249.
[11] Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi
Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
294.
[12] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah
Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media, Pratama,
2007), 136-137.
[13] Siti Mahmudatin, “Konsep Fiqih Siyasah
Dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 JO. Nomor 45 Tahun 1990”.
Milah vol.16 No. 1, Agustus 2016, 8.
[14] Muhammad Iqbal, fiqih siyasah : kontekstual
doktrin politik islam, (Jakarta: Gaya Media Persada, 2001), 62.
No comments:
Post a Comment