Monday, July 06, 2020

KONSEP KELEMBAGAAN PEMERINTAHAN PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fiqih siyasah adalah sebuah ilmu yang membahas tentang pemerintahan dalam islam. Indonesis memang bukan negara islam, namun sebagian besar penduduknya beragama islam.  Fiqih siyasah sendiri mempunyai pembahasan yang sangat luas dan sistematis. Pembahasannya meliputi banyak hal, diantaranya adalah pembahasan politik perang, politik luar negeri, perundang-undangan, moneter, ekonomi, peradilan, dsb.
 Politik mengenai urusan pemerintahan negara secara islam dengan non islam pasti mempunyai perbedaan, terlihat berbeda jika dilihat dari konsep kelembagaaan pemerintahaan, pengaturan pemerintahan, dsb. Pada bab ini akan dibahas mengenai konsep kelembagaan pemerintahan perspektif fiqih siyasah, untuk lebih detailnya mengenai pembahasan ini akan dibahas pada uraian dibawah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana ruang lingkup fiqih siyasah ?
2.      Bagaimana Kelembagaan Pemerintahan dalam Perspektif Fiqh Siyasah ?
3.      Apakah Hubungan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif ?
4.      Bagaimana Konsep Lembaga Negara Dalam Islam ?
5.      Bagaimana Kedudukan fiqih siyasah di dalam sistematika hukum islam ?
C.    Tujuan Penulisan
1.        Mendeskripsikan ruang lingkup fiqih siyasah.
2.        Mendeskripsikan Kelembagaan Pemerintahan dalam Perspektif Fiqh Siyasah.
3.        Mendeskripsikan Hubungan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
4.        Mendeskripsikan Konsep Lembaga Negara Dalam Islam.
5.        Mendeskripsikan Kedudukan fiqih siyasah di dalam sistematika hukum islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Ruang Lingkup Fiqh Siyasah
Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:
a.       Siyâsah Dustûriyyah
b.      Siyâsah Mâliyyah
c.       Siyâsah Qadlâ`iyyah
d.      Siyâsah Harbiyyah
e.       Siyâsah `Idâriyyah
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang, yaitu:
a.    Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan).
b.    Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang penetapan)
c.     Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan).
d.    Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter).
e.     Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara).
f.      Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau internasional).
g.    Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang).
h.    Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan). Dari sekian uraian tentang ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian pokok. Pertama, politik perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang netapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan `Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.[1]
Kedua, politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah  Khârijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warga gara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga ara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah mempunyai kedudukan penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam memikirkan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya, pemerintah jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik pemerintah,  sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam. [2]
Salah satu doktrin Islam adalah bahwa Islam yang diturunkan Allah  melalui Nabi Muhammad telah menegaskan dirinya sebagai agama sempurnadan Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi penutup.Sementara itu, wahyu terbatas oleh ruang dan waktu dan Nabi Muhammad hidup serta wafat dalam satu fase masa tertentu, sementara zaman terus berubah dan berkembang. Mungkinkah sesuatu ajaran yang terbatas dengan  ruang dan waktu dapat menjawab kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman? Untuk hal ini para ulama memberikan jawaban. Kesempurnaan Islam mencakup dua makna yang berkaitan, universal dan komprehenship atau Syumul dan Mutakaamil.
Universalitas Islam mengharuskan bahwa Islam kompatibel untuk setiap zaman dan tempat, sedang komprehensivitas Islam mengharuskan Islam dapat menjawab dan menjadi solusi atas setiap permasalahan yang muncul dari segala aspek kehidupan. Al-Quran dan Hadits Nabi mencakup esensi setiap permasalahan baik yang telah terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syafi'i, “tidak ada sesuatu yang terjadi kepada pemeluk agama Allah melainkan pada Kitabullah telah ada dalilnya melalui jalan petunjuk padanya". Dengan kerangka berpikir di atas, setiap muslim berkeyakinan bahwa setiap permasalahan dalam hidupnya adalah bagian dari ajaran Islam. Salah satu aktifitas kehidupan manusia dalam bermasyarakat adalah berpolitik atau siyasah. Karena Islam itu mengatur setiap kehidupan termasuk berpolitik, maka berpolitik pun ada batasan-batasan syariatnya, sehingga melahirkan istilah Siyasah Syariyah atau politik syariat. [3]
B.       Sejarah Kelembagaan Pemerintahan dalam Perspektif Fiqh Siyasah
Sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan kondisi konstektual yang dialami oleh masing-masing-umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan khilafah (khilafah berdasarkan syura dan khilafah monarki), imamah, monarki dan demokrasi.
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial, sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama. Pada intinya, khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi Saw.[4] Jabatan ini merupakan pengganti Nabi Muhammad Saw, dengan tugas yang sama, yakni mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia.
Masa kenabian itu, terbagi kepada dua periode yang dipisahkan oleh hijrah. Dalam pada itu tidak ada di antara kedua fase itu perbedaan yang tegas bahkan periode yang pertama, adalah sebagai perintis jalan bagi yang kedua. Di dalam periode yang pertama, timbullah benih masyarakat Islam dan dalam periode inilah ditetapkan dasar-dasar Islam yang pokok. Dalam periode yang kedua, disempurnakan pembentukan masyarakat Islam serta dijelaskan sesuatu yang tadinya dikemukakan secara ringkas (global) dan disempurnakan perundang-undangan dan tata aturan dengan melahirkan prinsip-prinsip baru, serta menerapkan prinsip-prinsip itu ke dalam kenyataan. Dalam periode inilah nampak masyarakat Islam dalam bentuk kemasyarakatan sebagai satu kesatuan yang bergerak menuju kepada satu tujuan.[5]
Terbentuknya Negara Madinah akibat dari perkembangan penganut Islam yang menjelma menjadi kelompok sosial dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah di bawah pimpinan Nabi. Pada periode Mekkah pengikut beliau yang jumlahnya relatif kecil belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai daerah kekuasaan dan berdaulat. Mereka merupakan golongan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu tampil menjadi kelompok sosial penekan terhadap kelompok sosial mayoritas kota itu yang berada di bawah kekuasaan aristokrat Quraisy yang masyarakatnya homogen. Tapi setelah di Madinah, posisi Nabi dan umatnya mengalami perubahan besar. Di kota itu mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera menjadi umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri.[6]
Praktek pemerintahan yang dilakukan Muhammad SAW sebagai Kepala Negara tampak pada pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tapi walaupun pada masa itu orang belum mengenal teori pemisahan atau pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya beliau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan mampu.[7]
Implementasi pembagian kekuasaan ini juga dapat kita lihat pada masa khulafaur rasyidin. Pada masa itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Syuro’ dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim. Pada masa Khulafaur Rasyidin, khalifah (eksekutif) pertama dalam negara Islam adalah Abu Bakar. Sedangkan Majelis Syuro’ (legislatif) berisi tokoh-tokoh kaum Anshar dan Muhajirin. Kemudian, pada masa khalifah kedua, yaitu Umar Bin Khattab pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif diperinci lewat undang-undang. Pada masa ini juga, Umar Bin Khattab membuat suatu undang-undang yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, dengan tujuan para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara harus bebas dari pengaruh eksekutif.[8]

C.      Hubungan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif
Masa Rasulullah dan Empat Khalifah memberi cukup pedoman bahwa Kepala Negara Islam merupakan pimpinan tertinggi dari semua lembaga negara yang berbeda ini, dan posisi ini dipertahankan oleh semua Empat Khalifah.[9] Tetapi di bawah Kepala Negara, ketiga lembaga tinggi negara ini berfungsi secara terpisah serta mandiri satu sama lainnya. Lembaga yang disebut ahl al-hall wa al-'aqd yang bertugas untuk memberi nasihat kepada Kepala Negara mengenai masalah-masalah hukum, pemerintahan dan kebijaksanaan negara merupakan kesatuan yang terpisah. Kemudian ada pejabat-pejabat eksekutif yang tidak mengurus masalah-masalah yudisial yang diurus secara terpisah dan mandiri oleh para hakim (qadhi).
Dalam semua masalah penting negara, seperti perumusan kebijaksanaan atau pemberian peraturan-peraturan dalam berbagai masalah pemerintahan atau hukum, khalifah mau tidak mau harus berkonsultasi dengan ahl al-hal wa al-'aqd dan segera setelah tercapai kesepakatan yang disyaratkan, maka lembaga ini bubar. Para pejabat eksekutif bekerja langsung di bawah khalifah. Tetapi khalifah tidak dapat begitu saja memberhentikan atau mempengaruhi keputusan-keputusan mereka, sedemikian rupa sehingga seandainya dengan kapasitas pribadi atau kapasitasnya sebagai kepala eksekutif, seseorang mengajukan dakwaan kepada khalifah, maka sang khalifah harus hadir dan melakukan pembelaan di hadapan qadhi sebagaimana layaknya orang kebanyakan.[10]
Secara tegas al-Qur'an menggunakan ungkapan ulu al-amr untuk konsep pemegang dan pengendali kekuasaan politik. Meskipun begitu para ulama tidak sependapat mengenai konsep yang dimaksud karena terpengaruh oleh perkembangan dan pemikiran politik zamannya. Pemerintah sebagai salah satu struktur dasar sistem politik merupakan lembaga yang menyelenggarakan mekanisme politik atau roda pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut "wali" atau "amir" atau dengan istilah lainnya yang dikenal dalam kepustakaan politik dan ketatanegaraan Islami.
Sejalan dengan tugas yang diemban, wali menggunakan kekuasaan politik yang dimilikinya berdasarkan prinsip pemusatan kekuasaan dan pertanggungjawaban dalam dirinya dan prinsip delegasi kekuasaan. Oleh karena itu dalam menyelenggarakan pemerintahan, kekuasaan wali adalah kepala pemerintahan. la memegang kekuasaan politik dan bertanggung jawab sepenuhnya atas penggunaan kekuasaan tersebut. Meskipun begitu, ia tidak dapat bertindak sendiri tanpa bermusyawarah dengan lembaga-lembaga yang terkait seperti lembaga legislatif.[11]
Adanya lembaga-lembaga pemerintahan itu bukan saja karena kewajiban bermusyawarah, tetapi juga karena secara individual wali tidak akan mampu menangani urusan-urusan pemerintahan. Untuk itu ia memerlukan pembantu-pembantu dan secara bersama mereka merupakan sebuah badan penyelenggara tugas-tugas pemerintahan. Sesuai dengan tujuan negara menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia, maka negara mempunyai tugas-tugas penting untuk merealisasikan tujuan tersebut.
Pertama, tugas menciptakan perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Untuk melaksanakan tugas ini, maka negara memiliki kekuasaan legislatif (al-sulthah al-tasyri'iyah). Dalam realitas sejarah, kekuasaan legislatif ini pernah dilaksanakan oleh lembaga ahl al-hall wa al-'aqd. Kemudian dalam masa modern sekarang, lembaga ini biasanya mengambil bentuk sebagai majelis syura (parlemen).
Kedua, tugas melaksanakan undang-undang. Untuk melaksanakannya, negara memiliki kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidziyah). Di sini negara memiliki kewenangan untuk menjabarkan dan mengaktualisasikan perundang-undangan yang telah dirumuskan. Sebagaimana halnya kebijaksanaan legislatif yang tidak boleh menyimpang dari semangat nilai-nilai ajaran Islam, kebijaksanaan politik kekuasaan eksekutif juga harus sesuai dengan semangat nash dan kemaslahatan.
Ketiga, tugas mempertahankan hukum dan perundang-undangan yang telah diciptakan oleh lembaga legislatif. Tugas ini dilakukan oleh lembaga yudikatif (al-sulthah al-qadha'iyah). Dalam sejarah Islam, kekuasaan lembaga ini biasanya meliputi wilayah al-hisbah (lembaga peradilan untuk menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran ringan seperti kecurangan dan penipuan dalam bisnis)/ wilayah al-qadha' (lembaga peradilan yang memutuskan perkara-perkara antara sesama warganya, baik perdata maupun pidana) dan wilayah al-mazhalim (lembaga peradilan yang menyelesaikan perkara penyelewengan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya/ seperti pembuatan keputusan politik yang merugikan dan melanggar kepentingan atau hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang melanggar HAM rakyat).[12]

D.           Kedudukan fiqih siyasah di dalam sistematika hukum islam
     Salah satu ketistimewaan hukum islam dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, adalah bahwa hukun islam ini selalu diperkaitkan/ dihubungkan dengan tiga perkara penting bagi manusia :
1.        Hubungan manusia dengan Tuhannya
2.        Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
3.        Hubungan manusia dengan sosialnya
    Hal ini dikarenakan hukum islam diperuntukan untuk dunia dan akhirat, agama dan negara. Ia juga berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak ada kadarluarsa sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk islam , semuanya berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat melaksanakan sesuatu  yang wajib/ harus dilakukan, serta tidak melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada allah, juga menghormati hak-hak insani untuk memiliki, merasa aman, bahagia, hidup berkelanjutan bagi seluruh jagat alam raya. [13]
E.            Konsep Lembaga Negara Dalam Islam
Prinsip kedaulatan rakyat menjadi latar belakang terciptanya struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintah yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan memalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power ) atau pembagian kekuasaan  (distribution of power). Sedangkan dalam islam yang menjadi latar belakang terciptanya struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang di tetapkan Al-Quran dan Al-Hadist Nabi Muhammad  SAW. prinsip pertama adalah bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena ia yang telah menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum islam ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran dan Al-Hadist nabi, sedangkan hadist merupakan penjelasan tentang Al-Quran. Dalam sejarah ketatanegaraan islam, terdapat tiga badan kekuasaan yaitu :sulthah al-tasyri’iyyah (kekuasaan legislatif) , sulthah al-thanfidziyah (kekuasaan eksekutif ), Sulthah al-qadla’iyyah (kekuasaan yudikatif). [14]
1.    Tasyri’iyah
Dalam kajian fiqih siyasah, legislasi atau kekuasaan legislative disebut juga dengan al-sulthah al-tasyri’iyyah, yaitu kekuasaan pemerintah islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Orang-orang yang duduk dalam lembaga  legislative ini terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa (mutfi) serta para pakar dalam berbagai bidang. Ada dua fungsi lembaga legislative. Pertama, dalam hal-hal ketentuannya, sudah terdapat dalam nash Al-Quran dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasri’iyah adalah undang-undang Ilhiyah yang disyariaatkanNya dalam Al-Quran dan dijelaskan oleh Nabi SAW. kedua, melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Kewenangan lain dari lembaga legislative adalang dalam keuangan negara. Dalam masalah ini, lembaga legislative berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan negara, sumber devisa dan anggaran pendapat dan belanja yang dikeluarkan negara kepada kepala negara selaku pelaksana pemerintah.
Unsur-unsur legislatif dalam fiqih siyasah dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.       Pemerintah sebagai pemegang kekusaan untuk menetapkan hukum yang ada diberlakukan dalam masyarakat.
b.      Masyarakat Islam yang akan melaksanakan.
c.       Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai dasar syar’iyat islam.
2.         Tanfidziyah
Menurut al-Maududi, lembaga eksekutif dalam islam dinyatakan dengan istilah ul al-amr dan dikepalai oleh seorang  amir atau khalifah. Istilah ul al-amr tidaklah terbatas untuk lembaga eksekutif saja melainkan juga lembaga legislatif, yudikatif dan untuk kalangan yang dalam arti yang lebih luas lagi. Namun dikarenakan praktek pemerintahan Islam tidak menyebut istilah khusus untuk badan-badan di bawah kepala negara yang bertugas meng-execute ketentuan perundang-undangan seperti diwan al-kharuj (dewan pajak), diwan al-ahdas (kepolisian), wali untuk setiap wilayah, sekretaris , pekerjaan umum, diwan al-jund (militer), sahib al-bait al-mal (pejabat keuangan), dan sebagainya yang nota bene telah terstruktur dengab jelas masa khalifah an Umar bin Khatab maka untuk hal ini istilah  ul al-amr mengalami penyempitan makna untuk mewakili lembaga-lembaga yang hanya berfungsi sebagai eksekutif. Sedang untuk kepala Negara, al-maududi menyebutnya sebagai amir dan dikesempatan lain sebagai khalifah. Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, umat islam dipemerintahkan untuk mentaatinya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif ini mentaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran.
3.    Qadha’iyyah
Dalam kamus politik yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dan dalam konsep fiqih siyasah, kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara pemerintahan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan persoalan-persoalan lain yang diperkarakan di pengadilan. Sedangkan tujuan kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksanya keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala negara. Penetapan syariat islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan. Dalam penerapannya (syariat Islam) memerlukan lembaga untuk penegakkannya. Karena tanpa lembaga (al-qadha tersebut, hukum-hukum itu tidak diterapkan. Dalam sistem permerintah islam, kewenagan peradilan (al-qadha) terbagi ke dalam tiga wilayah, yaitu wilayah qadha, wilayah mazhalim, dan wilayah hisbah. [15]



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
     Praktek pemerintahan yang dilakukan Muhammad SAW sebagai Kepala Negara tampak pada pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tapi walaupun pada masa itu orang belum mengenal teori pemisahan atau pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya beliau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan mampu.
     Hukum islam diperuntukan untuk dunia dan akhirat, agama dan negara. Ia juga berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak ada kadarluarsa sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk islam , semuanya berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat melaksanakan sesuatu  yang wajib/ harus dilakukan, serta tidak melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada allah, juga menghormati hak-hak insani untuk memiliki, merasa aman, bahagia, hidup berkelanjutan bagi seluruh jagat alam raya.
     Kelembagaan negara prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan memalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power ) atau pembagian kekuasaan  (distribution of power). Sedangkan dalam islam yang menjadi latar belakang terciptanya struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang di tetapkan Al-Quran dan Al-Hadist Nabi Muhammad  SAW.

 

DAFTAR PUSTAKA
A. H. Djazuli. 2007. Fiqh Siyâsah. Jakarta: Kencana.
A'la, Abul Maududi. 1990. The Islamic Law And Constitution, Terj. Asep Hikmat, "Sistem Politik Islam". Bandung: Mizan.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 2002. Islam & Politik Bernegara. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Ibnu, Mujar Syarif dan Zada, Khamami. 2008.  Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga.
Iqbal, Muhammad. 2007. Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media, Pratama.
Iqbal, Muhammad. 2001. fiqih siyasah : kontekstual doktrin politik islam. Jakarta: Gaya Media Persada.
Muhanmmad Bin Idris Asy Syafi'i.TT. Ar Risâlah, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Beirut: Darl Fikr.
Muin, Abdul Salim. 2002. Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta: UI Press..
Suyuthi, J Pulungan. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mahmudatin, Siti. 2016.  Konsep Fiqih Siyasah Dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 JO. Nomor 45 Tahun 1990”. Milah vol.16  No. 1.
Wery Gusmansyah. 2017. Trias Politica dalam Perspektif Fikih Siyasah, Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No.2.


[1] H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah, (Jakarta: Kencana, 2007), 28.
[2] Djazuli, Fiqh ........., 36
[3] Muhanmmad Bin Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Darl Fikr, tt), 20
[4] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), 204-205.
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Islam & Politik Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), 3.
[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), 88-90.
[7] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 97.
[8] Wery Gusmansyah, Trias Politica dalam Perspektif Fikih Siyasah, Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No.2, 2017, 129.
[9] Abul A'la Maududi, The Islamic Law And Constitution, Terj. Asep Hikmat, "Sistem Politik Islam", (Bandung: Mizan, 1990,) 249.
[10] Abul A'la Maududi, The Islamic Law ........249-250.
[11] Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 294.
[12] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media, Pratama, 2007), 136-137.
[13] Siti Mahmudatin, “Konsep Fiqih Siyasah Dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 JO. Nomor 45 Tahun 1990”. Milah vol.16  No. 1, Agustus 2016, 8.
[14] Muhammad Iqbal, fiqih siyasah : kontekstual doktrin politik islam, (Jakarta: Gaya Media Persada, 2001), 62.
[15]A. Djazuli, Fiqih .......... 28

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer