BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Petunjuk
pendidikan dalam al-Qur’an tidak terhimpun dalam kesatuan pragmen tetapi ia
diungkapkan dalam berbagai ayat dan surat al-Qur’an, sehingga untuk
menjelaskannya perlu melalui tema-tema pembahasan yang relevan dan ayat-ayat
yang memberikan informasi-informasi pendidikan yang dimaksud.
Petunjuk-petunjuknya
bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara
pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi
manusia dalam kedua bentuk tersebut.
Muhammad
Rasulullah dipandang sukses dalam mendidik masyarakatnya menjadi masyarakat
yang berbudi tinggi dan akhlak mulia. Pada mulanya masyarakat Arab adalah
masyarakat jahiliyah, sehingga perkataan primitif tidak cukup untuk
menggambarkannya, hingga datang Rasulullah yang membawa mereka untuk
meninggalkan kejahiliahan tersebut dan mencapai suatu bangsa yang berbudaya dan
berkepribadian yang tinggi, bermoral serta memberi pengetahuan.
Nabi Muhammad
Saw sebagai utusan Allah untuk manusia di bumi ini di beri kuasa oleh Allah
sebagai penerima wahyu, yang diberi tugas untuk mensucikan dan mengajarkan
manusia sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 151. Dalam ayat tersebut
mensucikan diartikan dengan mendidik, sedang mengajar tidak lain kecuali
mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dan metafisika dan
fisika.
B.
Rumusan Masalah
A. Bagaimana riwayat hidup atau biografi Muhammad Iqbal?
B. Bagaimana riwayat hidup atau biografi Hasan Al
Banna?
C. Bagaimana
konsep pendidikan Islam dalam perspektif Muhammad Iqbal?
D. Bagaimana
konsep pendidikan Islam dalam perspektif Hasan Al Banna?
C.Tujuan
Masalah
Dari beberapa rumusan masalah di atas,
tujuan yang perlu kami capai dalam pembuatan makalah ini adalah:
A.
Dapat mengetahui riwayat hidup atau biografi Muhammad
Iqbal
B.
Dapat mengetahui riwayat hidup atau biografi Hasan Al Banna
C.
Dapat mengetahui konsep pendidikan
dalam perspektif Muhammad Iqbal
D.
Dapat mengetahui konsep pendidikan
dalam perspektif Hasan Al Banna
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Muhamad Iqbal
Muhammad iqbal adalah seorang anak keturunan dari kelas
Brahmana (kelas sosial tertinggi India) dilahirkan tanggal 22 Februari 1873 M.
Di Silkot, Punjab Barat, Pakistan. Ayahnya bernama Muhammad Nur, seorang sufi
yang sangat saleh. Sejak masih anak-anak, agama sudah tertanam dalam jiwanya.
Pendidikan agama selain dari orang tuanya, juga didapatkan dengan mengaji
kepada kepada Mir Hassan. Di rumah sang guru, ia selain belajar mengaji agama
juga belajar mengubah sajak.
Iqbal memperoleh pendidikan dasar langsung dari orang
tuanya di lingkungan informal. Tidak didapati keterangan apakah Iqbal hafal
al-Qur’an atau tidak, tetapi al-Qur’an terpaut erat di hatinya sejak kecil.
Seperti telah disebutkan bahwa pendidikan formal diperoleh Iqbal di maktab, sebuah
institusi pendidikan Islam klasik di kota kelahirannya. Bila pengetahuan
tentang dasar keislaman diperoleh di pendidikan informal,
maka pengetahuan bidang lainnya, seperti tentang sastra Persia dan penguasaan
Bahasa Arab diperoleh Iqbal saat menempuh pendidikan di Scottis Mission School,
tertanam dari Maulana Mir. Hasan, seorang ulama besar saat itu.[1]
Kecerdasan Muhammad Iqbal dibuktikan dalam menapak
jenjang pendidikan. Dibantu oleh Mir Hassan, ia memasuki sekolah Scottish
Mission Scholl. Tamat di sini, ia melanjutkan ke Government College dan memperoleh
gelar sarjana muda (BA) 1897 dan tahun 1905 ia memperoleh gelar M.A. dibidang
filsafat.
Di Perguruan tinggi, ia berkenalan dengan seorang guru
besar Thomas Arnold yang banyak membentuk jiwa filosofisnya. Guru besar ini
menyarankan Iqbal untuk mengambil program Doktor di London. Dalam waktu satu
tahun, program itu dapat diselesaikan di Universitas Cambridge di bawah
promoter Mc. Taggart. Atas saran gurunya tersebut, ia mendalami filsafat di
Jerman dan untuk kedua kalinya menyelesaikan doctor dengan judul disertasi The Development of Metaphyics in Persia di
Universitas Munich. Selesai studi di luar negeri, ia kembali mengambil program
studi hukum dengan meraih keahlian di bidang keadvokatan. Ini masih tidak
memuaskannya, ia kembali kuliah di School
of Political Sciencis.
Semasa kuliah, ia sering mengunjungi dan berdialog
dengan sejumlah filosof besar sezamannya dan selama di Eropa, ia dapat
menyaring secara kritis pemikiran-pemikiran Barat yang membuatnya tidak mudah
hanyut ke dalam pusaran peradaban Barat Berbekal sejumlah keahlian, ia memulai
karier sebagai pendidik (dosen), pengacara, di India ia juga aktif dalam
politik.
Selebihnya ia sering memberikan ceramah keseluruh
bagian India dan Negara-negara islam. Satu hal yang istimewa, Iqbal termasuk produktif
dalam menulis terutama dalam bentuk lirik puisi (sajak).[2]
Ulama’ ini memberikan dorongan dan sengat
yang mewarnai dan mendasari jiwa Iqbal dengan ruh agama yang senantiasa
bersemayam dalam jiwanya, menggelora dalam hati anak muda, menentukan gerakan
dan langkah, tujuan dan arah. Keberhasilan ulama tersebut dalam membinanya
membawa kesan yang mendalam di hati Iqbal.
Seorang orientalis kenamaan, Sir Thomas W.
Arnold yang memiliki pandangan yang lain terhadap Islam adalah termasuk pula
gurunya. Ia melihat akan kecerdasan Muhammad Iqbal dan menyarankan Iqbal
melanjutkan studinya ke Eropa. Saran tersebut dilaksanakan, sehingga pada tahun
1905, Iqbal melanjutkan studinya di fakultas hukum Universitas Cambridge
Inggris hingga kemudian memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu tersebut.
Tertarikakan ilmu filsafat, ia juga sempat
mengenyam tingkat doktoral dalam filsafat modern pada universitas Munich di
Jerman dengan disertasi The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan
Metafisika di Persia) dengan nilai yang sangat memuaskan.[3]
B. Riwayat Hidup Hasan Al Banna
Nama
lengkap Hasan Al-Banna adalah Hasan bin Ahmad bin Abdur Rahman bin Muhammad Al-
Banna. Hasan Al- Banna dilahirkann pada tahun 1906 M, di Al- Mahmudiyah Mesir.
Tanggal kelahirannya diperkirakan 25 Sya’ban 1324 H/ 14 Oktober 1906 M. Beliau
sepenuhnya hidup pada masa tirani kekuasaan bangsa eropa, yaitu Inggris dan
Prancis.
Hasan
Al-Banna, pada masa kecilnya mendapatkan pengajaran langsung dari orangtunya,
Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Muhhammad Al-Banna As-Sadati yang mengajarkan
Al-Quran, hadis, fiqh, bahasa dan tasawuf.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah
agama Madrasah Ar-Rasyid Ad-Diniyyat, lalu ia melanjutkan belajar ke sekolah
menengah pertama di Al-Mahmudiyat. Tahun 1920 ia melanjutkan belajar ke
Madrasah Al-Mu’allimin Al-Awaliyat, sekolah guru tingkat pertama, di Damanhur.
Lalu tahun 1923, ia pindah ke Kairo dan belajar di Dar Al-Ulum sampai tahun
1927. Di sini ia mempelajari ilmu-ilmu pendidikan, filsafat, psikologi dan
logika, serta ia juga tertarik pada masalah-madalah politik, industry, dan
olahraga.
Setealah
lulus dari Dar Al-Ulum, ia diangkat menjadi guru di salah satu sekolah menengah
di kota Isma’iliyat, daerah terusan Suez. Menjadi seorang guru adalah cita-cita
Hasan Al-Banna sejak kecil.[4]
Hasan
Al Banna sangat banyak menyerap bacaan dari luar kurikulum sekolah. Ia memiliki
ingatan kuat yang mampu menghimpun sangat banyak catatan tertulis, baik berupa
prosa maupun puisi. Ia hampir tidak pernah berhenti membaca baik dari
perpustakaan ayahnya maupun perpustakaan gurunya yang pertama, Syaikh Muhammad
Zahran. Ketika itu ia memusatkan diri untuk mendalami tiga hal yaitu:
1. Al Qur'an , Hadits, dan ilmu agama
keseluruhan
2.
Sufisme dan riwayat hidup nabi Muhammad Saw.
3.
Karya sastra dan cerita rakyat.
Selain
itu ia juga banyak sekali membaca buku tentang politik, sejarah, dan berbagai
buku teori yang paling modern di bidang hukum, pendidikan, etika dan
bidang-bidang lain. Aspek lain yang menonjol dalam kepribadian tokoh ini ialah
kecerdasan yang kuat. Hal ini mulai terlihat ketika ia sejak berada di bangku
sekolah. Ia selalu mengalahkan teman-teman sekelasnya dalam menempuh
perjalanan.[5]
C. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam
Menurut Muhamad Iqbal
Pemikiran
Iqbal di bidang kenegaraan dan kreativitasnya dalam mewujudkan Negara islam,
dimulai ketika ia dipilih menjadi Presiden Liga Muslimin tahun 1930. Dengan kedudukannya sebagai
presiden di wadah ini, ia yang semula sebagai nasionalis melihat dengan jeli
bahwa ketidakmungkinan bersatu dengan warga India yang berbeda ras, keyakinan dan sosial sangat
tinggi. Karenanya, golongan Muslim mesti memisahkan diri dan membentuk Negara
sendiri. Keinginan tersebut dilontarkan dalam suatu rapat tahunan di Liga
Muslimin. Saat itu pula ia mengemukakan
tujuan pembentukan Negara Islam. Dengan demikian tidak mengherankan, kalau ia
kemudian diakui sebagai bapak Pendiri Negara Islam Pakistan.
Pemikiran
Iqbal adalah menghargai alam fisik, menghargai diri manusia dan pengukuhan
unsure rohani dalam kehidupan manusia. Iqbal melihat kelemahan umat Islam
sebagai Individu dan jama’ah, adanya kebekuan pemahaman umat Islam terhadap
agamanya, kelesuan umat Islam, khususnya di India dalam menghadapi kehidupan
nyata. Iqbal memotivasi manusia yang lemah dan pasif tersebut untuk berusaha
dalam kehidupan dengan kekuatannya melalui suatu pernyataan yang sungguh pedas
dan menusuk perasaan umat Islam, yaitu orang kafir yang aktif dinamis lebih
baik daripada Muslim yang suka tidur. Karena Iqbal seorang tokoh yang memiliki
wawasan intelektual dan intelegensia yang luar biasa. Bakat alam yang tidak
banyak dimiliki orang lain adalah sebagai penyair, keahlianya tidak saja
dibidang filsafat, tapi juga bidang spiritual, termasuk kepenyairanya pun
sangat akrab dengan pribadinya. Orang selalu mengharapkan ia hadir membacakan
sajak, kendati pada acara yang tidak resmi sekalipun.
Iqbal
juga berbicara tentang alam fisik, karena melalui pemikiran tersebut mengikis
kekuatan Islam menghadapi kehidupan duniawi yang merupakan dampak ajaran paham
sufisme. Suatu kekeliruan apabila apabila ajaran Islam mengharuskan menjauhi
kehidupan fisik, sebab cirri ajaran Islam adalah keseimbangan antara kehidupan
duniawi dan ukhrawi, tidak hanya kehidupan ukhrawi semata atau sebaliknya
duniawi semata. Dalam islam pun mengajarkan bahwa “seorang mukmin yang kuat lebih baik dari mukmin yang lemah”. Atas
dasar tersebut umat Islam harus maju dalam segala bidang mengikuti perkembangan
zaman sesuai dengan nilai-nilai Islam untuk menjadi umat yang kuat agar
tidak ditindas dan tersingkirkan, baik
dalam budaya maupun politik.[6]
Tahun 1927 Iqbal berpolitik dan menjadi anggota dewan legistlatif
Punjab, setelah satu dasawarsa ia pernah terjun ke dunia politik ketika
bertekun diri mengembangkan falsafahnya yang kemudian muncul dalam karya-karya
besarnya. Pada tahun 1930 ia ditunjuk sebagai ketua sidang tahunan Muslim
League. Sebagai seorang ketua, dalam pidato dihadapan Muslim League di
Allahabad, Iqbal mengemukakan rencananya dalam mencari penyelesaian jalan buntu
politik di anak benua India.
Dengan mensitir pendapat Renan, Iqbal mengemukakan bahwa manusia
itu tidak dapat diperbudak baik oleh ras, agama, batas-batas, sungai atau oleh
barisan gunung-gunung. Sekelompok besar manusia yang memiliki pikiran sehat
dengan hati yang penuh semangat dapat saja membentuk kesadaran moral yang biasa
disebut bangsa.
Dalam pidatonya itu, Iqbal jauh-jauh sudah membayangkan perlunya
umat Islam India dengan alasan-alasan yang cukup logis menentukan nasibnya
sendiri. Oleh karena itu, tuntunan umat Islam akan membentuk India Islam dalam
wilayah Islam, sungguh merupakan tuntutan yang adil dan masuk akal. Untuk
menentukan nasibnya sendiri, maka diperlukan usaha untuk keluar dari
“kebodohan” menuju kepada peningkatan kualitas diri yang dapat ditempuh melalui
jalur pendidikan yang ada, apakah pendidikan formal maupun pendidikan non
formal.
Dari pidato yang disampaikannya, yang secara tidak langsung
merupakan hasil pemikirannya, terdapat pula pemikiran-pemikiran lainnya yang
cukup menarik. Diantara pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal yang menarik adalah
tentang pentingnya arti dinamika dalam hidup. Tujuan akhir setiap manusia ialah
hidup, keagungan, kekuatan dan kegairahan.
Semua mampuanan manusia harus ditentukan sesuai dengan kecakapan
hidup yang dihasilkannya. Mutu seni yang tinggi ialah yang dapat menggunakan
kemajuan yang sedang tidur mendorong kita menghadapi cobaan-cobaan manusiawi.
Segala yang membawa pengaruh hidup, kelesuan yang membuat kita menutup mata
terhadap kenyataan di sekeliing kita, yang karena itu saja hidup bergantung,
maka itu adalah suatu ajakan yang akan menejerumuskan orang ke dalam kehancuran
dan maut.
Iqbal sangat menentang keras sifat lamban, lemah dan beku yang
dipandangnnya sebagai penghambat kemajuan dan kelajuan. Ia sangat menentang
pemahaman taqdir yang telah menjadi (salah kaprah), seakan-akan sebagai bahan
yang sudah terjadi dan “mati”.10 Untuk menjadi maju, manusia harus berjuang
dengan gigih, berikhtiar memerangi alam sekitar serta keadaan, yaitu melalui
pendayagunaan akal pikiran atau dengan belajar. Belajar yang sesungguhnya
adalah belajar dari pengalaman realitas empiric seseorang dalam hidupnya,
karena hal itu yang paling berkesan.
Lahirnya pemikiran Muhammad Iqbal tersebut dilandasi oleh adanya
kebekuan dalam pemikiran umat Islam pada waktu itu. Hukum dalam Islam telah
sampai kepada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa
rasionalisme yang ditimbulkan golongan mu’tazilah akan membawa kepada
disintegrasi, dengan demikian hal tersebut berbahaya bagi kestabilan Islam
sebagai kesatuan politik. Untuk memelihara kesatuan itu, kaum konservatif
tersebut lari ke syariat sebagai alat ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam.
Sebab lain teletak pada pengaruh zuhd yang terdapat dalam ajaran
tasawwuf. Menurut tasawwuf yang mementingkan zuhd, perhatian harus dipusatkan
kepada Tuhan dan apa yang berada di sebalik alam materi. Hal itu akhirnya
membawa kepada keadaan umat kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam
Islam.
Sebab terutama adalah hancurnya Baghdad sebagai pusat kemajuan
pemikiran umat Islam di pertengahan abad ke tiga belas. Untuk mengelakkan atau
meminimalisir disintegrasi yang lebih mendalam, kaum konservatif melihat bahwa
perlu diusahakan dan dipertahankan keseragaman hidup social dari seluruh umat.
Untuk itu, mereka menolak segala pembaharuan di bidang syari’at dan berpegang
teguh pada hukum-hukum yang telah ditentukan ulama’ terdahulu. Pintu ijtihad
mereka tertutup.
Menurut Iqbal, hukum dalam Islam tidak bersifat statis, akan
tetapi bersifat dinamis dan fleksibel, sholihun li kulli makaanin wa zamaanin.
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam senantiasa menganjurkan pemakaian akal
terhadap tanda-tanda yang terdapat pada alam semesta ini, seperti matahari,
bulan, bintang, pertukaran siang menjadi malam dan lain sebagainya. Orang yang
tidak perduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta
terhadap masa yang akan datang.
Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa
berkembang. Kemajuan serta kemunduran dibuat Tuhan silih berganti diantara
bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini. Hal ini mengandung arti dinamisme. Islam
menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan
konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup social
manusia. Prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan perubahan itu adalah
ijtihad.[7]
D. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Hasan Al Banna
Hasan Al-Banna menggunakan istilah
pendidikan degan ‘at tarbiyah’
dan at-ta’lim. At- tarbiyah adalah
proses pembinaan dan pengembangan potensi manusia melalui pemberian berbagai
ilmu pengetahan yang dijiwai oleh nlai-nilai ajaran agama. Dalam penggunaan kata
‘at-tarbiyah’ ini, Hasan Al-Banna
sering menggunakan untuk pendidikan jasmani, pendidikan akal, dan pendidikan
qalb. Sedangkan At-Ta’lim adalah
proses transfer ilmu pengetahuan agama yang mengahasilkan pemahaman keagamaan
yang baik pada anak didik sehingga mampu melahirkan sifat-sifat dan sikap-sikap
yang positif. Sifat dan sikap positif yang dimaksud adalah ikhlas, percaya
diri, kepatuhan, pengorbanan, dan keteguhan.
Konsep Hasan Al-Banna tentang
pendidikan meliputi dua sisi, yaitu pengembangan potensi jasmani, akal, dan
hati (qalb). Pendidikan dipandang
sebagai proses aktualisasi potensi-potensi yang dimiliki anak didik dengan
jalan mewariskan nilai-nilai ajaran islam. Aktualisasi potensi-potensi yang
dikehendaki oleh Hasan Al- Banna adalah dapat melahirkan sosok individu yang
memiliki kekuatan jasmani, akal, dan
qalb guna mengabdi kepada- Nya, serta mampu menciptakan lingkungan hidup yang
damai dan tentram. Oleh karena itu, pendidikan menurut Hasan Al-Banna harus
berorientasi pada ketuhanan, bercorak universal dan terpadu, bersifat positif
konstruktif, serta membentuk persaudaraan dan keseimbangan dalam hidup dan
kehidupan manusia.[8]
Dalam kaitan dengan tujuan
pendidikan, Hasan Al-Banna menegaskan bahwa tujuan pendidikan yang paling pokok adalah mengantarkan anak
didik agar mampu memimpin dunia, dan membimbing manusia lainya kepada ajaran
Islam yang syamil atau komprehensif, serta menperoleh kebahagiaan di atas jalan
Islam. Hasan Al-Banna menjelaskan tujua pendidikan kedalam beberapa tingkatan
mulai dari timgkat individu, keliarhga, masyarakat, organisasi, politik,
Negara, samapi tingkat dunia.[9]
Hasan Al- Banna menjelaskan mengenai
materi pendidikan meliputi materi pendidikan akal, jasmani, dan hati (qalb).
Pertama,
materi pendidikan akal. Potensi akal merupakan potensi yang mencakup urgen pada
diri seseoramg karena ia sebagai dasar pemberian beban hukum, dan sebagai tolok
ukur penetuan balasan baik dan buruk bagi perbuatanya. Oleh karena itu, akal
manusia membutuhkan beberapa materi ilmu pengetahuan agar mampu berfugsi
sebagaimana mestinya. Adapaun materi penddikan akal terdiri atas ilmu pengetahuan
agama, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu pengethuan social berseta
cabang-cabangnya. Ketiga materi tersebut hendaknya dipelajari oleh anak didik
untuk mencapai ma’rifatullah.
Kedua,
pendidikan jasmani. Potensi jasmani dengan berbagai anggotanya pada diri
seseorang sangat membutuhkan pemeliharaan dan penambahan kualitas
perkembanganya. Pemeliharan kebersihan dan kesehatan terhadap anggota jasmai
merupakan wujud nyata dari pendidikan jasmani.
Ketiga,
materi pendidkan hati (qalb). Potensi
qalb atau hati pada anak didik menjadi perhatian penting dalam pendidikan Hasan
Al-Banna, karena salah satu tujuan dari pendidikan adalah untuk menghidupkan
hati, membangun, dan menyuburkannya. Kekerasan dan kebekuan hati merupakan
penghambat dalam memperoeh ilm pengethuan, yang tujunya untuk mncapi ma’rifatullah.
Adapun metode pendidikan yang ditawakan oleh hasan
Hasan Al-Banna meliputi enam metode yaitu:
a. Metode
diakronis, yaitu satu metode
pengajran yang menonjolka aspek seharah. Metode ini member kemungkinan ilmu
penethuan sehingga anak didik me,eliki pengetahuan yang relevan, memilki
hubungan sebab akibat atau kesatuan integral. Metode ini sering disebut dengan
metode sosio-historis.
b. Metode
sinkronik- analitik, yaitu metode
pendidikan yang member kemampuan analisis teoritis yangan sangat berguna bagi
perkembangan keimanan dan mental – intelektual. Metode ini banyak mengunakan
teknik pengajaran seperti diskusi, lokakarya, seminar, resensi buku, dan lai-lain.
c. Metode
hallul musykilat (Problem solving),
yaitu metode yang digunakan untuk melatih anak didik berhadapan dengan berbagai
masalah dari berbagi cabagng ilmu pengetahuan sehomgga metode ini seseui untuk
mengembangkan potesi akal, jasmani, qalb.
d. Metode
tajribiyat (empiris), yaitu metode
yang digunakan untuk memperoleh kemampuan anak didik dalam mempelajari ilmu
pengetahuan agama dan ilmu pengethaun umum melalui realisas, aktualisasi, serta
internalisasi sehingga meimbulkan interaksi social.
e. Metode
al- istiqraiyyat (induktif), yaitu
metode yang digunakan agar anak didik memilki kemampuan riset terhadap ilmu
pegetahuan agama dan umum dengan cara
berpikir dari hal-hal yag khsus kepada hal-hal yamg umum.
f.
Metode al-istinbathiyyat (deduktif), yaitu
metode yang digumkan untuk menjelaskan hal-hal yang umum kepada hal-hal yang
khusus.[10]
Pendidikan yang diinginkan Hasan Al Banna ialah
Pendidikan yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip Islam. Usaha yang dilakukan
dalam bidang pendidikan ini ialah yang berkenaan dengan sistem pendidikan.
Dalam banyak kesempatan Hasan Al Banna selalu menghimbau kepada pemerintah agar
menciptakan kurikulum pendidikan yang seimbang. Ia menginginkan agar pelajaran
agama diberikan disekolah-sekolah pemerintah, dan disekolah-sekolah agama juga
diberikan pelajaran umum.
Perhatian Hasan Al Banna selain tertuju kepada
pendidikan formal, ia juga mementingkan pendidikan dilingkungan keluarga. Ia
berpendapat bahwa ajaran Islam membina pembentukan rumah tangga dan mengarahkan
kepada nilai-nilai baik. Islam juga membina hubungan antara keluarga dan
mengharapkan hidup persaudaraan menjadi suatu kenyataan. Oleh sebab itu, Hasan
Al Banna menenkankan agar masing-masing kita menjaga kehidupan keluarga Islam
agar menjadi unsur yang kuat untuk membina jamaah Islam.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Kebudayaan
itu merupakan sistem pengetahuan yang meliputi pikiran manusia yang bermaksud
untuk membantu manusia dalam kehidupan bermasyarakat, ide, pikiran, konsep
gagasan ide, dan diwujudkan dalam bentuk pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, dan seni. Sedangkan keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah
keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah
sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya
2.
Perkembangan
budaya karena pengaruh lingkungan fisik misalnya
iklim , atopografi , sumber daya alam dll .
sebagai contoh orang orang yang hidup di daerah yang kondisi lahan atau
tanahnya subur ( produktif ) akan mendorong suatu kebudayaan yang favourable
untuk memenuhi bahan pangan . Jadi ,
terjadi suatu proses keserasian antara lingkungan dengan kebudayaan yang
terbentuk di lingkungan tersebut , kemudian ada keserasian juga antara
kebudayaan masyarakat yang satu dengan kebudayaan tetangga dekat.
3.
Cara
mengatasi masalah yang terjadi dalam kebudayaan dan keragaman
yaitu:konsiliasi,mediasi,arbitasi,asimilasi,self
segregation,integras,pluralisme.
B.
SARAN
1.
Untuk
Praktisi Pendidik, harus mampu mengenali keanekaragaman budaya serta masalah
yang akan timbul serta cara pemecahan masalah tersebut.
2.
Untuk
pendidik, seharusnya mampu memberikan contoh tentang bagaimana toleransi di
lingkungan pendidikan. Dalam menghadapi keanekaragaman budaya.
3.
Untuk
calon pendidik, harus mampu memprediksi di era yang akan datang tentang
problematika keanekaragaman budaya.
DAFTAR RUJUKAN
Ayyub AR,
”Konsep Pengembangan Pendidikan Islam dalam Perspektif
Muhammad Iqbal
”, Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XII,
No. 2, Februari 2012
Binti
Maunah, Perbandingan Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Teras, 2011)
Luk-Luk Nur Mufidah, ”Konsep Pendidikan Islam Perspektif
Filosof
Muslim Dan Praktisi Abad Modern ”, Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 2, Juli 2013
A.
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam,
(Jakarta: AMZAH, 2009)
Ris an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA,, 2013)
Perspektif Muhammad Iqbal ”, Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XII,
No. 2, Februari 2012, hal 371-372
Filosof Muslim Dan Praktisi
Abad Modern ”, Jurnal
Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2,
No. 2, Juli 2013, hal 178
Filosof Muslim Dan Praktisi
Abad Modern,…hal 179-181
No comments:
Post a Comment