BAB I
JEJAK PERADABAN DINASTI
ABBASIYAH
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Abbasiyah
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah
berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, yang merupakan dinasti kedua dalam sejarah
pemerintahan umat Islam. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu aI-Abbas,
nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin Abbas, dilahirkan di Hamimah pada tahun 104 H dan wafat kurang
lebih dalam usia 33 tahun di kota Anbar,
pada bulan Zulhijah tahun 136 H/753M. Dinamakan Khalifah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini merupakan keturunan
al-Abbas, paman Nabi Muhammad Saw. Pendirian dinasti ini dilatarbelakangi
karena kaum Abbasiyah merasa Iebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan
Islam, karena mereka adalah bagian dari Bani Hasyim yang secara nasab keturunan
Iebih dekat dengan Nabi Muhammad Saw.[1]
Sebelum Dinasti Abbasiyah berdiri,
terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan mereka. Masing-masing
kelompok memiliki kedudukan tersendiri di dalam memainkan peranannya untuk
mendirikan kekuasaan dan terdiri atas tiga tempat pusat kegiatan, yaitu
Humaimah (Yordania), Kufah (lrak), dan Khurasan. Humaimah merupakan tempat
bermukim keluarga Bani Hasyim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun keluarga
Abbas. Sedangkan Kufah merupakan wilayah yang penduduknya merupakan penganut
aliran Syiah, yang selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umayyah. Sementara
Khurasan merupakan tempat warga pemberani, kuat fisik, teguh pendirian, tidak
terpengaruh nafsu, dan tidak mudah terpengaruh terhadap kepercayaan yang
menyimpang. Dalam perkembangannya, kota Humaimah dijadikan sebagai pusat
perencanaan dan organisasi, Kufah sebagai kota penghubung, sedangkan Khurasan
sebagai pusat gerakan praktis. Sebelum
melakukan revolusi, Bani Abbasiyah memulainya dengan tahap persiapan dan
perencanaan yang dilakukan oleh Ali bin Abdullah bin Abbas. Saat itu,
Ali melakukan propaganda
terhadap umat Islam, terutama terhadap keturunan Bani Hasyim.
Propaganda tersebut mendapat sambutan yang
luar biasa dari masyarakat karena beberapa faktor, yaitu meningkatnya
kekecewaan kelompok Mawali terhadap Dinasti Umayyah karena selama ini mereka
ditempatkan pada posisi kelas dua dalam sistem sosial, sedangkan orang-orang
Arab menduduki kelas bangsawan, pecahnya persatuan antarsuku bangsa Arab dengan
lahirnya fanatisme kesukuan antara Arab utara dengan Arab selatan, timbulnya
kekecewaan kelompok agama terhadap pemerintahan yang sekuler karena mereka
menginginkan pemimpin negara yang memiliki pengetahuan dan integritas keagamaan
yang mumpuni, serta perlawanan dari kelompok Syi'ah yang menuntut hak mereka
atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh Bani Umayyah karena mereka tidak mudah
melupakan peristiwa tersebut.
Sebenarnya, gerakan Bani Abbasiyah sudah
berlangsung sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah
kedelapan Dinasti Umayyah. Gerakannya
begitu rapi dan tersembunyi sehingga tidak diketahui pihak Bani Umayyah. Selain
itu, gerakan ini juga didukung oleh kalangan Syiah. Hal ini bisa dimaklumi
karena dalam melakukan aksinya, para aktivisnya membawa-bawa nama Bani Hasyim,
bukan Bani Abbas. Sehingga, secara tidak langsung, orang orang Syiah merasa
disertakan dalam perjuangan mereka.[2]
Setelah
Muhammad bin Ali wafat, ia digantikan oleh anaknya, Ibrahim bin Muhammad. Pada
125 H, saat pemerintahan Bani umayyah tengah mengaIaml kemunduran, gerakan Bani
Abbasnyah semakin gencar. Empat tahun kemudian. Ibrahim bin Muhammad
mendeklarasikan gerakannya di Khurasan melalui panglimanya, Abu Musim
al-Khurasam. Namun gerakan ini diketahui oleh Marwan bin Muhammad. khalifah
terakhir Bani Umayyah. Ibrahim pun ditangkap dan dipenjara.
Posisi
Ibrahim digantikan oleh adiknya, Abdullah bin Muhammad, yang Iebih dikenal dengan
sebutan Abul Abbas as-Saffah. Karena tekanan dari pihak penguasa. bersama
rombongan ia berangkat
ke Kufah secara sembunyi-sembunyi. Pada 3 Rabi'ul Awal 132 H, Abdullah
as-Saffah dibaiat sebagai khalifah pertama Bani Abbasiyah di Masjid Kufah.
Berita ini sampai ke telinga Marwan bin Muhammad. Bersama pasukannya, sang
khalifah berangkat untuk memadamkan ''pemberontakan" As-Saffah. Abdullah
bin Ali, paman As-Saffah, bersama pasukannya menghadapi pasukan Marwan di suatu
daerah dekat Mosul. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya pasukan Marwan
dapat dikalahkan. Marwan selamat dan kembali ke Syam. Namun, Abdullah terus
mengejarnya sehingga ia lari ke Mesir. Pengejaran dilanjutkan oleh adiknya,
Shalih. Akhirnya, Marwan berhasil dibunuh di suatu desa bernama Bushir pada
tahun 132 H/750 M.
Terbunuhnya Khalifah Marwan bin Muhammad
menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah sekaligus menandai era baru dalam
perjalanan sejarah pemerintahan Islam. Sejak itu, kekuasaan pindah ke tangan penguasa baru,
yaitu para penguasa yang berasal dari keturunan Hasyim atau keturunan Abbas,
yang kemudian disebut dengan Dinasti Abbasiyah.[3]
Selain itu ada beberapa faktor mengenai
keberhasilan pendirian dinasti Abbasiyah, yaitu:
1.
Solidaritas kekeluargaan. Kesuksesan
para propagandis dalam usha mewujudkan berdirinya khilafah Bani Abbasiyah
adalah karena mereka berhasil menyadarkan dan meyakinkan umat Islam, bahwa Bani
Abbas adalah keluarga yang dekat dengan keluarga Nabi SAW. Cepat an besarnya
dukungan umat yang akhirnya mengantarkan mereka ke tampuk kekuasaan, jelas
karena penonjolan nama Bani Hasyim yang mereka angkat kepermukaan.
2.
Karena lemahnya Bani Umayyah.
Kelemahan Dinasti Umayyah antara lain timbulnya berbagai pemberontakan dari
golongan kwarij, syiah, Ibnu Zubair dan dari Bani Abbas sendiri. Selain itu,
terjadinya pertentangan tradisional antara suku utara dengan suku arab selatan.
Termasuk yang melemahkan juga adalah adanya persaingan tidak sehat di kalangan
keluarga Bani Umayyah karena tidak adanya peraturan yang tegas tentang
pemindahan kekuasaan khilafah, adanya kehidupan mewah diistana juga memperlemah
jiwa dan kepribadian anak-anak khilafah yang membuat mereka kurang siap memikul
beban pemerintahan, memimpin wilayah besar umat Islam.
3. Bani Umayyah
bercorak Arab sentris. Karena kebijakan awal-awal yang dilakukan sementara
khilafah tampak bahwa Bani Umayyah cenderungbertumpu pada orang-orang Arab.
Orang non-Arab tidak sama derajatnya dengan orang-orang Arab, walaupun mereka
sama-sama muslim. Untuk orang- orang non Arab, mereka sebut dengan Mawali. Kaum
Mawali ini dalam sejarah Islam tergambarkan sebagai warga kelas dua,
karena itu mereka tidak menyukai pola pemerintahan dinasti Umayyah.
4.
Kekuatan militer. Perjuangan Bani
Abbasiyah tidak bisa dilepaskan dari kekuatan militer yang tumbuh luar biasa
besarnya. Hal itu disebabkan diizinkannya pemeluk-pemeluk yang baru masuk
didalamnya, sehingga menjadi kekuatan baru yang besar sekaligus penting dan
menjadi daya dorong munculnya Bani Abbas ke kursi ke khalifahan.[4]
B. Khalifah- khalifah Dinasti Abbasiyah
Pemerintahan dinasti Abbasiyah pada awalnya dibangun
oleh Abu Abbas dan Abu Jafar al Mansyur, yang mencapai zaman keemasan setelah
berada di bawah kekuasaan tujuh khalifah sesudah mereka. Ketujuh khalifah
tersebut adalah: al-Mahdi (775 M. - 785 M.), al Hadi (785 M. - 786 M.), Harun
ar Rasyid (786 M. 809 M.), al Mamun (813 M. 833 M.), al Mutasim (833 M.
842 M.), al Wasiq (842 M 847 M), al Mutawakil (847 M. 861 M.). Sedangkan
puncak kejayaannya yaitu pada masa Harun ar Rasyid. Berikut biografi dari Abul
Abbas as-Saffah, Abu Jafar al Mansyur, dan Harun ar Rasyid:
1. Abul
Abbas as-Saffah (132-136 H/749-754 M).
Abdullah
bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas adalah khalifah pertama Dinasti
Abbasiyah. la dilahirkan di Hamimah pada tahun 104 H. Ibunya adalah Rabtah
binti Abaidullah al-Haritsi, sedangkan ayahnya, Muhammad bin Ali, adalah orang
yang melakukan gerakan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah. Abdullah
bin Muhammad mendapat gelar as-Saffah ketika dibaiat menjadi khalifah Abbasiyah pertama pada 3
Rabiul Awwal 132 H di Kufah.
Diberi gelar al-Saffah yang berarti penumpah atau peminum darah. Sebutan
tersebut diberikan karena dia mengeluarkan dekrit kepada gubernurnya yang berisi
perintah untuk membunuh tokoh-tokoh Umayyah. Bukan hanya itu saja, al-Saffah
juga melakukan perbuatan keji dengan menggali kuburan para khalifah bani
Umayyah (kecuali Umar II), dan tulang-tulangnya dibakar.
Abdullah
bin Muhammad yang kemudian lebih dikenal Abul Abbas as-Saffah, dibaiat menjadi
khalifah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Kufah merupakan pusat gerakan Bani
Abbas. Dalam perjalanan selanjutnya, ia meninggalkan Kufah menuju daerah Anbar,
sebuah tempat di pinggiran Sungai Eufrat yang dikenal dengan Hasyimiyah yang
dijadikan pusat pemerintahan. Belakangan, dibangunlah sebuah ibu kota yang
dikenal hingga kini, yaitu Baghdad. Kota inilah yang menjadi ibu kota Dinasti
Abbasiyah.[5]
Selama
kepemimpinannya, Khalifah Abul Abbas tidak terlalu fokus pada masalah-masalah
penaklukan wilayah karena pertempuran di kawasan Turki dan Asia Tengah terus
bergolak. Belum lagi karena kesibukannya dalam upaya konsolidasi internal untuk
menguatkan pilar-pilar negara yang hingga saat itu belum sepenuhnya stabil.
Selain ketegasannya menghabisi lawan politik, ia terkenal juga dengan
kedermawanan dan ingatannya yang kuat.
Masa
pemerintahan Abul Abbas sangat singkat. la menjadi khalifah selama 4 tahun 9
bulan dari tahun 750-754 M. Ia meninggal pada hari Ahad setengah pertama bulan
Dzulhijjah 136 H/754 M
karena penyakit yang dideritanya. Ia meninggal saat usianya baru 33 tahun di
kota Hasyimiyah yang dibangunnya. Sebelum meninggal, ia menunjuk saudaranya,
Abu Jafar al-Manshur sebagai penggantinya.
2. Abu Jafar al-Manshur (136-158 H/754-755M).
Abu
Jafar aI-Mansur (101-158 H/732-775 M) adalah putra Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. la dilahirkan di Hamimah pada tahun 101
H. lbunya bernama Salamah, bekas seorang hamba. Al-Mansur adalah saudara Ibrahim al-lmam dan Abul
Abbas as-Saffah. Ketiganya dikenal sebagai tokoh pendiri Dinasti Abbasiyah.
Bahkan, Abu Jafar al-Mansur dikenal sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah yang
sebenarnya, karena dialah peletak dasar-dasar dan sistem pemerintahan Bani
Abbas. la pula yang mengatur politik pemerintahan dinasti Abbasiyah. Abu Jafar
aI-Mansur dibaiat menjadi khalifah ketika usia 36 tahun, ia menggantikan kedudukan Abul
Abbas as-Saffah yang wafat. Di usia yang begitu muda, ia mampu menyelesaikan
berbagai persoalan yang tengah melanda pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang
masih dalam masa transisi.[6]
Pada
awal kepemimpinannya, al-Manshur melakukan perubahan mendasar bagi perkembangan
Dinasti Abbasiyah sehingga dinasti ini menjadi negara adikuasa di masa
mendatang. Perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
a)
Pada tahun 762 M, al-Mansur memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari
Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan Iagi ke Baghdad, dekat dengan
Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di
tengah-tengah bangsa Persia.
b)
Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di Iembaga
eksekutif dan yudikatif.
c)
Di bidang pemerintahan, aI-Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat
wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid
bin Barmak dari Balkh, Persia.
d)
Membentuk Iembaga protokol negara dan sekretaris negara.
e)
Membentuk kepolisian negara dan membenahi angkatan bersenjata.
f)
Menunjuk Muhammad bin Abdur Rahman sebagai hakim pada Iembaga kehakiman negara.
g)
Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Umayyah perannya ditingkatkan
dengan tambahan beberapa tugas. Jika pada Dinasti Umayyah hanya bertugas
mengantar surat, maka pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk
menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan
dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah
laku gubernur setempat kepada khalifah.[7]
Sistem pemerintahan pada masa khalifah al-Manshur secara perlahan semakin membaik. Ketika itu,
jalur-jalur administrasi pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah,
ditata dengan rapi sehingga sistem dan roda pemerintahan berjalan dengan baik.
Kebijakannya ini menimbulkan dampak yang positif di kalangan para pejabat pemerintahan,
karena terjadi koordinasi dan kerja sama yang baik di antara mereka. Koordinasi
dan kerja sama itu terjadi antara Kepala aadhi (Jaksa Agung), Kepala Polisi
Rahasia, Kepala Jawatan Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal itu dilakukan untuk
melindungi masyarakat dari berbagai tindakan yang tidak adil dengan memberikan
hak-hak masyarakat.
Untuk
menjaga stabilitas dan keamanan negara, khalifah al-Manshur berusaha
menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari
pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan. Di antara usaha-usahanya tersebut adalah merebut
benteng-benteng di Asia, kota Malaria, wilayah Coppadocia, dan Sicilia pada
tahun 756-758 M. Selain itu, bala tentaranya juga melintasi Pegunungan Taurus
dan mendekati Selat Bosporus. Di pihak lain, ia berdamai dengan Kaisar
Constantive V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti
tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di
Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian Iain Oksus dan India.
Selama masa kepemimpinannya, Khalifah aI-Mansur
berhasil meletakkan fondasi dan dasar-dasar pemerintahan. Pembangunan pada masa
itu juga berjalan sangat baik. Sebagaimana dijelaskan di awal, ketika ibu kota
pemerintahan dipindahkan ke kota Baghdad, ia berhasil menyulap kawasan yang
tidak dilirik ini menjadi kota metropolitan yang menjadi tujuan banyak orang.
Khalifah
Abu Jafar al-Manshur meninggal dunia menjelang pengujung 158 H. Saat itu, ia
berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, namun dalam perjalanan hingga
meninggal dunia. la wafat dalam usia 63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Lalu, jenazahnya dibawa dan dikebumikan di kota
Baghdad.[8]
3. Harun ar Rasyid (786 M. 809 M.)
Harun
ar-Rasyid atau Abu Jafar Harun bin aI-Mahdi Muhammad bin al-Mansur Abu Jafar
Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas al-Hasyimi al-Abbasi,
adalah khalifah kelima Dinasti Abbasiyah. la dilahirkan di Raiyi pada tahun 145
H /763 M. la adalah putra Khalifah al-Mahdi, sedangkan ibunya bernama
Khaizuran, bekas seorang hamba. Harun ar-Rasyid diangkat
menjadi khalifah pada 170 H atau September 786 M, saat usianya baru 23 tahun.
la dibaiat menjadi khalifah menggantikan kakaknya, Musa al-Hadi, yang wafat. Karena masih muda, dalam menjalankan roda
pemerintahan, Harun arRasyid didampingi oleh gurunya, Yahya bin Khalid
al-Barmaki, yang kemudian menjadi perdana menterinya.
Pada masa pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah mencapai
puncak kejayaannya. Dalam sejarah, Harun ar-Rasyid tercatat sebagai seorang
khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, bahkan ia hampir bisa disamakan
dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Jabatan khalifah
tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari untuk
melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat yang terjadi dan
menimpa kaum Iemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan
bantuan. Khalifah Harun ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat besar
terhadap ilmuwan dan budayawan. Itulah sebabnya, ia selalu melibatkan dan
mengumpulkan mereka dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintahannya.
Perdana menterinya yang juga merupakan gurunya, seorang ulama besar di
zamannya, Yahya al Barmaki, banyak memberikan nasihat dan anjuran agar kepemimpinannya
tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Karena situasi negara yang aman dan damai, serta
kemakmuran yang merata, rakyat hidup sangat tenteram. Bahkan, pada masa
pemerintahan Harun ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan
zakat, infaq, dan sedekah. Selain itu, banyak pedagang dan saudagar yang
menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah
pada masa itu.[9]
Setiap orang
merasa aman untuk keluar pada malam hari karena tingkat kejahatan yang minim.
Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan
di negeri yang luas itu dengan aman. Ketika itu, masjid-masjid, perguruan
tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum Iainnya
banyak dibangun.
Untuk
mengembangkan negerinya, Khalifah Harun ar-Rasyid memanfaatkan kekayaan yang
dimilikinya untuk kepentingan sosial. Rumah sakit, Iembaga pendidikan dokter,
dan farmasi yang didirikan sangat diperhatikan eksistensinya. Pada masanya,
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Pada masa pemerintahannya,
kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan,
serta kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa inilah, negara
Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Pada masa
kepemerintahannya, Khalifah Harun ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan
berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah juga
dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian informasi yang termuat
dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama
Yuhana bin Musawih.
Bahasa Arab
ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di
sekolah-sekolah, perguruan tinggi, bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena
itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu
segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Setelah memerintah selama kurang lebih 23
tahun 6 bulan, Khalifah Harun ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau
4 Jumadil Tsani 193 H/809 M. sebagaimana ditulis oleh Imam as- Suyuthi, ia
meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal, usianya 45 tahun. Saat itu, yang
bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah putranya sendiri yang bernama
Shalih.[10]
Sebelum meninggal, Harun ar-Rasyid telah
menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi
khalifah, yaitu aI-Amin dan al-Ma'mun. Al-Amin diberi hadiah berupa wiIayah bagian Barat,
sedangkan aI-Mamun diberi hadiah berupa wilayah bagian timur.[11]
Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah
(750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Jafar al-Mansur (754-775 M.) memindahkan
pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah Abbasiyah
mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan,
sehingga dapatlah dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan
menurut asal-usul penguasa selama masa 508
tahun Bani Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni Bani
Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk.
Adapun rincian
susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
a)
Bani
Abbas (750-932 M.)
1. Khalifah
Abu Abas al-Saffah (750-754 M.)
2. Khalifah
Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M.)
3. Khalifah
al-Mahdi (775-785 M.)
4. Khalifah
al Hadi (775-776 M.)
5. Khalifah
Harun al-Rasyid (776-809 M.)
6. Khalifah
al-Amin (809-813 M.)
7. Khalifah
al-Makmun (813-633 M.)
8. Khalifdah
al-Mutasim (833-842 M.)
9. Khalifah
al-Wasiq ( 842-847 M.)
10. Khalifah
al-Mutawakkil (847-861 M.)
b)
Bani
Buwaihi (932-107 5M.)
1.
Khalifah
al-Kahir (932-934 M.)
2.
Khalifah
al-Radi (934-940 M.)
3.
Khalifah
al-Mustaqi (943-944 M.)
4.
Khalifah
al-Muktakfi (944-946 M.)
5.
Khalifal
al-Mufi (946-974 M.)
c)
Bani
Saljuk
1.
Khalifah
al-Muktadi (1075-1048 M.)
2.
Khalifah
al-Mustazhir (1074-1118 M.)
3.
Khalifah
al-Mustasid (1118-1135 M.)[12]
Selama Dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi
masa pemerintahan Bani Abbas menjadi Iima periode, yaitu:[13]
1.
Periode
Pertama (750-847 M)
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan
pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abasiyah
ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu Jafar
al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah al-Wasiq
(842-847 M.). Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah
al-Jafar, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid.
Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama
kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.
2.
Periode
Kedua (232 H./847 M. 334H./945M.)
Kebijakan Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih anasir
Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh adanya
persaingan antara golongan Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan
sebelumnya.khalifah al-Mutawakkil (842-861 M.) merupakan awal dari periode ini
adalah khalifah yang lemah. Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini,
seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang
berpusat di Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani
Abbasiyah pada periode ini adalah: Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang
harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi tentara
menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga,
kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah
kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak
ke Bagdad.
3.
Periode
Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)
Posisi Bani Abasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan
ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang dimasa
sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan
Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara
itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai
wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad
menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Bagdad dalam periode ini tidak
sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin Buwaihi.
4.
Periode
Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199 M.)
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk dalam
Daulah Abbasiyah. Kehadirannya atas naungan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan
Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling tidak
karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama
dikuasai orang-orang Syiah.[14]
5.
Periode
Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)
Telah
terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah
Bani Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka
merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah
kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara
Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256
M.[15]
Semenjak didirikan oleh Abu Abbas
as-Saffah hingga dihancurkan oleh pasukan Hulagu Khan dari Mongol, seluruh
khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa berjumlah 37 orang, sebagaimana
berikut:
1. Abu Abbas as-Saffah
(132-136 H/749-754 M)
2. Abu Jafar aI-Mansur
(136-158 H/7S4-77S M)
3. Abu Abdullah Muhammad
al-Mahdi (158-169 H/775-785 M)
4. Abu Muhammad Musa aI-Hadi
(169-170 H/785-786 M)
5. Abu Ja'far Harun ar-Rasyid
(170-193 H/786-809 M)
6. Abu Musa Muhammad al-Amin
(193-198 H/809-813 M)
7. Abu Jafar Abdullah al-Ma'mun
(198-218 H/813-833 M)
8. Abu Ishaq Muhammad
al-Mu'tashim (218-227 H/833-842 M)
9. Abu Ja'far Harun aI-Watsiq
(227-232 H/842-847 M)
10. Abu Fadl Jafar Muhammad
aI-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M)
11. Abu Ja'far Muhammad
aI-Muntashir (247-248 H/861-862 M)
12. Abu Abbas Ahmad
aI-Musta'in (248-252 H/862-866 M)
13. Abu Abdullah Muhammad
al-Mu'tazz (252-255 H/866-869 M)
14. Abu Ishaq Muhammad
al-Muhtadi (255-256 H/869-870 M)
15. Abu Abbas Ahmad
al-Mutamid (256-279 H/870-892 M)
16. Abu Abbas Muhammad al-Mutadhid
(279-289 H/892- 902 M)
17. Abu Muhammad Ali
al-Muktafi (289-295 H/902-908 M)
18. Abu Fadi Jafar
al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M)
19.Abu Mansur Muhammad
al-Qahir 320-322 H/932-934 M)
20. Abu Abbas Ahmad ar-Radhi
(322-329 H/934-940 M)
21. Abu Ishaq Ibrahim
al-Muttaqi (329-333 H/940-944 M)
22. Abu Qasim Abdullah
al-Mustaqfi (333-334 H/944-946 M)
23. Abu Qasim al-Fadl
al-Muthi (334-363 H/946-974 M)
24. Abu Fadl Abdul Kari
math-Thai (363-381 H/974-991 M)
25. Abu Abbas Ahmad al-Qadir
(381-422 H/991-1031 M)
26. Abu Ja'far Abdullah
al-Qaim (422-467 H/1031-1075 M)
27. Abu Qasim Abdullah
al-Muqtadi (467-487 H/1075-1094 M)
28. Abu Abbas Ahmad
al-Mustazhhir (487-512 H/1094-1118 M)
29. Abu Mansur aI-Fadl
al-Murtasyid (512-529 H/1118-1135 M)
30. Abu Jafar al-Mansur
ar-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M)
31. Abu Abdullah Muhammad
al-Muqtafi (530-555 H/11361160 M)
32. Abu Muzaffar al-Mustanjid
(555-566 H/1160-1170 M)
33. Abu Muhammad al-Hasan
al-Mustadhi (566-575 H/11701180 M)[16]
34. Abu al-Abbas Ahmad
an-Nashir (575-622 H/1180-1225 M)
35. Abu Nasr Muhammad
az-Zhahir (622-623 H/1225-1226 M)
36. Abu Jafar al-Mansur
al-Mustanshir (623-640 H/1226-1242 M)
37. Abu Ahmad Abdullah
al-Mustashim (640-656 H/1242-1256 M)[17]
C. Kemunduran Dinasti
Abbasiyah
Ada
beberapa faktor penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Abbasiyah yaitu:
1.
Faktor Internal
a.
Persoalan
Politik . Pemerintahan Dinasti Abbasiyah terbilang cukup lama
bertahan, yakni lima abad. Tetapi selama berlangsungnya pemerintahan ini tidak
berarti lancar terus-menerus, hampir selama itu pula Daulah Bani Abbasiyah
tidak pernah sepi dari konflik politik, baik yang terjadi di pusat kekuasaan
maupun di wilayah-wilayah yang menjadi kekuasaan di bawah pemerintahan ini.
Setelah
Harun al-Rasyid (786-809) meninggal dunia, daulah Bani Abbasiyah lambat laun
mengalami kemunduran akibat banyaknya gejolak politik yang muncul. Belum lama
dari meninggalnya Harun al-Rasyid, terjadi perang saudara antara al Amin dan
al-Mamun. Al-Amin yang merupakan saudara tiri al-Mamun sudah ditunjuk oleh
ayahnya, al-Rasyid, sebagai khalifah yang akan mengganti sedangkan al-Ma mun
diberi kekuasaan di Kurasan sebagai gubernur dan diberi kesempatan untuk
mengganti saudaranya sebagai khalifah pada kesempatan berikutnya.
Al-Amin
tidak setuju kalau jabatan khalifah itu nantinya dipegang oleh al-Ma mun. Ia
terupaya menyingkirkan al Mamun agar kelak jabatan khalifah jatuh ke tangan
anaknya sendiri. Perang saudara akhirnya pecah. Dalam perang saudara tersebut
kekuatan al-Amin didukung oleh pasukan tentara dari Baghdad, sedangkan
al-Ma'mun mendapat dukungan pasukan tentara dari Khurasan. Akhinya al-Amin
dapat dikalahkan dan dengan sendirinya al-Mamun kemudian menjadi khalifah
menggantikan Harun al-Rasyid.
Pada
zaman pemerintahan dipegang oleh al-Mamun, ia banyak merekrut orang-orang
Persia untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Orang-orang persia diberikan
posisi- posisi strategis. Tahir ibn al-Husain misalnya, orang Khurasan yang
berjasa kepada aI-Mamun dalam mengalahkan aL Amin, menjadi gubemur Khurasan
dan juga sebagai panglima Daulah Abbasiyah secara keseluruhan. Karena posisinya
yang itu, kemudian ia berani memproklamirkan Khurasan sebagai propinsi
tersendiri dan membangun kekekuasaan kegubernuran berdasarkan garis keturunannya
sendiri. Pada Khalifah al-Mamun dominasi orang-orang Persia lebih kuat
dibanding dengan orang-orang Arab.
Sementara
itu, di zaman al-Mutasim, khalifah yang ketujuh yang menggantikan al-Mamun,
membaca situasi politik yang memang banyak diwarnai oleh orang-orang Persia.
Oleh karena al-mutasim orang tuanya adalah orang Turki maka ia banyak merekrut
orang-orang Turki untuk dijadikan pengawal dalam rangka mengimbangi dominasi
orang-orang persia. Ia juga mempromosikan orang-orang Turki untuk menduduki jabatan-jabatan
penting di kemiliteran. Artinya, di zaman ini berarti orang-orang Turki
mengambil alih posisi- posisi penting orang-orang Persia sebelumnya mereka
kuasai.[18]
Masalah
yang muncul ke permukaan kemudian adalah tampaknya dominasi orang-orang Turki dipemerintahan
tidak disukai oleh orang-orang Baghdad dan para veteran pasukan Arab sehingga
menimbulkan pertempuran berdarah. Kemudian Al-Mutasim terpaksa membangun ibu
kota baru, Samarra, sebagai basis militer dan administrasi pemerintahan yang
jaraknya sekitar 70 mil sebelah utara Bahdad. Sementara Baghdad tetap menjadi
pusat kebudayaan dan perdagangan. Tindakan al Mutasim tersebut berakibat
ketergantungannya kepada orang-orang Turki semakin tinggi. Ia banyak didikte
oleh orang Turki tetapi ia masih mampu mengendalikan tetapi tidak demikian
halnya pada zaman-zaman sesudahnya.
Fenomena
di atas terbukti pada zaman al-Mutawakkil menjadi khalifah, menggantikan
al-Wasiq, ia tidak mampu lagi mengendalikan orang-orang Turki. Dominasi
orang-orang Turki di pusat kekuasaan semakin kuat, merekalah yang kemudian
mengendalikan kekuasaan. Lebih para lagi akhjmya merekalah yang memilih dan
mengangkat khalifah yang sesuai dengan kehendaknya. Keberadaannya kemudian
tidak lebih dari simbol spiritual. Dengan demikian kekuasaan khaliffah tidak
berfungsi secara efektif.
Sebagai
efek dari ini semua muncullah persaingan politik antar etnis di pusat
kekuasaan. Pada tahun 945-1055 itulah Abbasiyah ada di bawah kuasaan Bani
Buwaihi yang berasal dari etni Persia. Tahun 1055- 1199 kekuasaan Daulah
Abbasiyah jatuh ke tangan Bani Seljuk yang merupakan etnis Turki. Dan tahun
1199-1258 Khalifah Abbasiyah tidak di bawah kekuasaan tertentu, mereka merdeka
dan berkuasa tetapi keuasaannya jauh dengan dahulu. Ia hanya berkuasa di sekitar
wilayah Baghdad sebelum kemudian jatuh ke tangan orang-orang Mongol di bawah
pimpinan Hulagu Khan pada tahuin 1258 M.[19]
Pertikaian
di tingkat pusat inilah yang menyebabkan lemahnya kontrol ke wilayah-wilayah
propinsi. Dan sebagai akibatnya adalah propinsi-prop'msi sebagian melepaskan
diri dari pusat, dan ini menjadikan semakin berkurangnya pemasukan keuangan
negara. Wilayah-wilayah tersebut menjadi daerah-daerah otonom yang mengurus
wilayahnya sendiri. Dalam hal ini tentu sangat merugikan dinasti Abbasiyah baik
secara finansial maupun pilitik.[20]
b.
Kemerosotan
Ekonomi. Kemerosotan
ekonomi sebagai salah satu faktor kemunduran Daulah abbasiyah sebenarnya
berbarengan dengan masa kemerosotan dalam bidang politik. Kalau dilihat pada
periode pertama Daulah Abbasiyah adalah daulah yang sangat kaya raya. Pemasukan
lebih besar daripada pengeluaran, sehingga tak salah apabila berbagai tempat
penyimpanan (bait al-mal) dipenuhi dengan harta. Pemasukan Daulah Abbasiyah
didapatkan dari al-Kharaj.
Hal tersebut berbeda dengan masa
kemunduran Daulah Abbasiyah, pendapatan lebih sedikit daripada pengeluaran,
bahkan pengeluaran semakin lama semakin meningkat. Berkurangnya jumlah
pendapatan ini disebabkan oleh semakin menyempitnya daerah kekuasaan bani
abbasiyah, banyaknya terjadi kerusuhan yang secara tak langsung mengganggu
perekonomian rakyat, adanya keringanan pajak hasil bumi, banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan pada akhirnya tidak lagi
membayar upeti.
Sedangkan pengeluaran yang semakin
bertambah disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan para pejabat pemerintah yang semakin
mewah, jenis pengeluaran yang semakin beragam, para pejabat melakukan berbagai
korupsi.[21]
2.
Faktor Eksternal
a.
Perang
Salib. Di antara faktor yang menyebabkan kemunduran dinasti
Abbasiyah adalah karena faktor perang salib. Peperangan salib ini terjadi
selama 2 abad. Yaitu mulai tahun 1095 M sampai tahun 1291 M. Peperang ini
terjadi ketika Daulah Abbasiyah ada di bawah kekuasaan Bani Saljuk. Perang
merupakan reaksi orang- orang Kristen Eropa terhadap orang- orang Islam yang
telah melakukan penaklukan-penaklukan sejak tahun 632 M tidak saja di Syria dan
Asia kecil tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Disamping itu umat Islam
dianggap mengganggu kepentingan-kepentingan umat Kristen seperti mempersulit
peziarah eropa yang akan melakukan ibadah di Jerussalem. Demikian pula
sekembalinya dari ziarah mereka sering mendapat perlakuan yang jelek dari
orang-orang Saljuk yang fanatik. Akhirnya Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II
menjalin kerjasama untuk membangkitkan semangat orang-orang kristen Eropa untuk
melawan orang-orang Islam, yang kemudian dikenal dengan perang salib. Dikatakan
perang salib karena pasukan Kristen memakai lambang salib dalam peperangan itu.
Karena
kerjasama antara Paus dan kaisar Alexius itulah kemudian, Paus Urbanus II
pidato dihadapan orang-orang Kristen. Pidato paus ini terkenal dalam sejarah
karena cukup memukau massa Kristen. Pidato itu dilakukan paus pada tanggal 26
November 1095 M.95 Ajakan paus lewat pidatonya itu mengema ke seluruh Eropa.
Menjelang musim semi tahun 1097 seratus lima puluh ribu orang memenuhi ajakan
Paus Urban II dan mereka berkumpul di Konstantinopel. Perang salib akhirnya
benar-benar terjadi antara orang-orang islam dengan orang-orang Kristen.
Antar
ahli sejarah berbeda pedapat satu dengan lainnya dalam kaitan periodisasi atau
pembabakan perang salib yang berlangsung cukup lama itu, sekitar dua abad, masa
yang sangat panjang untuk peperangan. Ada yang membagi sembilan, ada yang tujuh
dan ada yang tiga periode. Pembagian itu tentu didasarkan umumnya dari masing-masing
karakteristik peperangan itu.[22]
Pada
tulisan ini, periodisasi perang salib dibagi menjadi tiga, pertama, periode
penaklukan, periode ini ditandai dengan suksesnya pasukan Kristen merebut kota-kota
di sekitar pantai timur laut Tengah seperti Antioch, Tripoli, Acre, Jerussalem
dan sebagainya. Keberhasilan itu mereka susul dengan mendirikan kerajaan Latin
di timur. Kedua, periode reaksi umat Islam atas penaklukan-penaklukan
orang-orang Kristen, pelopornya Imad al-Din Zangki. Di mana Islam berhasil
membebaskan kembali kota-kota yang direbut oleh pasukan Kristen. Kemenangan
demi kemenangan tersebut tercapai ketika pasukan Islam dipimpin oleh Salah
al-Din al-Ayyubi, pahlawan Islam yang namanya melegenda smapai sekarang.
Peristiwa yang penting pada kepemimpinannya adalah direbutnya kembali Jerusalem
dari tangan pasukan kristen. Ketiga, periode perang sipil dan perang
kecil-kecilan yang berakhir pada tahun 1291. Pasukan kristen kehilangan daerah
terakhir di Siyria yang menjadi daerah pertahannya. Dengan jatuhnya daerah
terakhir menandai berakhirnya perang salib. Ketika orang-orang Kristen mampu
menguasai Yerussalem mereka bahkan sempat mendirikan kerajaan Latin yang
berkuasa selama sekitar 80 tahun, tetapi dalam periode berikutnya kota tersebut
dapat dikuasai kembali oleh umat Islam.
Meskipun
akhir dari peperangan ini dimenangkan oleh umat Islam tetapi umat Islam
mengalami kerugian yang banyak, karena peperangan ini terjadi di wilayah umat
Islam dan tentu dana yang dikeluarkan untuk peperangan yang panjang ini cukup
menguras finansial pemerintah Abbasiyah.[23]
b.
Serangan
pasukan Mongol. Di samping umat Islam harus bersusah
payah menghadapi tentara salib yang dimulai akhir abad ke 11, dipertengahan
abad ke 13 umat Islam hams menghadapi pasukan Hulagu Khan yang ganas dari
bangsa Mongol. Sebenarnya sebelum pasukan Mongol menyerang dinasti abbasiyah,
secara internal orang-orang dinasti Abbas sendiri sudah terbebani oleh masalah
mereka sendiri, terutama persaingan antara etnis Persi dan etnis Turki.
Ketika
kondisi di atas relatif berakhir sebenarnya kedudukan khalifah Abbasiyah sudah
kuat kembali, akan tetapi kekuasaan khalifah saat itu hanya tinggal disekitar
wilayah Baghdad saja. Sehingga secara politik dinasti abbasiyah tetap saja
memprihatikan. Dalam kondisi seperti itulah kemudian datang serangan dari
bangsa Mongol pada tahun 1258 M, yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Pada
saat itu pasukan Mongol merupakan pasukan yang tangguh. Ekspansinya sudah ke
banyak wilayah yang ada di sekitar bangsanya, bahkan sudah menguasai sebagian
yang diakasi umat Islam. Mereka memiliki perlengkapan perang, juga memiliki
disiplin yang tinggi. Orang-orang Mongol kemudian menyerang Baghdad pada saat
Baghdad dalam kondisi yang sudah lemah. Pasukan Hulagu Khan menghancurkan
Baghdad rata dengan tanah dan membunuh orang-orangnya.
Khalifah
terakhir bani Abbasiyah, al-Mutasim berusaha untuk mengulur waktu penyerahan
tetapi hal itu sia-sia saja. Akhirnya Hulagu kehilangan kesabarannya dan
penyerangan ke bani Abbasiyah. Pasukan Mongol menyeberangi sungai Tlgris.
Mereka menghancurkan tanggul-tanggul air sehingga aimya membanjiri rumah-rumah
penduduk. Penduduk berusaha lari namun sebagian mereka ditangkap oleh tentara
dan dibenamkan ke dalam air.[24]
Pada
saat itu, al-Mutasim menyuruh seseorang untuk menawarkan penyerahan. Tetapi
Hulagu Khan minta agar al Mutasim datang sendiri dan keluarganya beserta
orang-orang lainnya. Ketika pennintaan itu dipenuhi untuk datang ke Hulagu
bersama keluarga dan orang-oarang abbasiyah lainnya, tetapi justru yang terjadi
adalah pasukan Hulagu melakukan penyerangan terhadap al-Mutasim beserta para
pengikutnya. Bangunan-banguna dinasti Abbasiyah dengan berbagai macam khazanah
lainnya termasuk Bait al-Hikmah di hancurkan oleh Hulagu Khan bersama
tentaranya. Diperkirakan sekitar 800.000 orang baik pria, wanita maupun
anak-anak menjadi sasaran pembantaian pasukan Mongol ini. Dalam pembantaian ini
al-Mutasim sendiri beserta keluarganya dibunuh dengan kejam. Dengan terbunuhnya
al-Mutasim yang merupakan khalifah terakhir dinasti Abbasiyah maka berakhir
pulalah pemerintahan bani Abbas'iyah ini.[25]
D.
Hikmah
Yang Dapat Diambil Dari Jejak Peradaban Dinasti Abbasiyah
Melihat dari beberapa kepribadian
khalifah- khalifah Dinasti Abbasiyah terutama Abbu Abbas as Saffah, Abu Jafar
al Manshur, dan Harun ar Rasyid yang tidak hanya memiliki kepribadian yang
baik, tapi semangat dan kerja keras mereka dapat di contoh dalam kehidupan
kita. Perjuangan mereka dalam membangun kemajuan dunia Islam sangatlah luar
biasa, yang patut kita contoh dan kita terapkan dalam menyebarkan ajaran Allah
atau memajukan Islam dengan ilmu atau kemampuan yang kita miliki.
BAB II
KECEMERLANGAN ILMUAN
MUSLIM DINASTI ABBASIYAH
A. Melahirkan Para llmuwan Muslim.
Tidak dapat dipungkiri kebijakan Harun
Al-rasyid dalam bidang pendidikan telah banyak melahirkan ilmuwan ilmuwan
muslim baik pada zaman Harun Alrasyid maupun zaman sepeninggalannya. Berikut
adalah ilmuwan ilmuwan muslim yang dihasilkan pada zaman Harun Al rasyid dan
zaman setelahnya.[26]
1.
Zakariya Ar Raji
Nama
lengkapnya Abu Bakar Bin Muhammad Zakariya Ar-Raji. Di barat cukup dikenal
dengan nama Razhes. Ar-razi di lahirkan di ray dekat theran iran tanggal
satu Sya'ban 251 H atau 809 M. Di kota kelahirannya ia dikenal sebagai dokler
dan memimpin sebuah rumah sakit. Semasa hidupnya ia menulis tidak kurang dan
200 buku ilmiyah. di antaranya adalah:
a. Al Hawi (buku penyuluhan); buku ini di
anggap scbagai buku induk dalam bidang kedokteran.
b. Ensiklopedia kedokteran yang tcrdiri
dari 10 jilid, jilid ke 9 buku ini di tulis bersama Al-Qanun Fi Al - Tibl karya
Ibnu Sinna
c. Aljudari Wal Hasabah (cacar dan campak)
d. Al - Kymia mempakan buku acuan penning
dalam ilmu kimia
e. Al - Asrar (rahasia rahasia)
Karya karya
besar Ar raji tersebut merupakan buku rujukan penting dalam perkembangan dunia
kedokteran saat itu dan untuk masa-masa berikutnya. Buku - buku karya Ar-razi
banyak dijumpai di musium-musium Eropa dan banyak di gunakan sebagai buku
rujukan untuk dunia kedokteran di barat. Selain itu banyak sekali penemuan
monumental Ar-razi yang sangat berani bagi perlembangan ilmu kedokteran
diantaranya :
a. Small fox
(penyakit cacar). Penemuan ini melembungkan namanya dalam dunia medis. sebab ia
adalah sarjana pertama yang meneliti penyakit tesebut. la membedakan penyakit
ini menjadi penyakit air (variola) dan cacar merah (vougella).
b. Air raksa
(HG) yaitu salah satu penemuan besar beliau dan banyak manfaatnya di dunia
kedokteran.
c. Diagonsa
Hipenensi ar - razi adalah seorang dokter yang penama kali melakukan diagonsa
terhadap hipertensi (darah tinggi). Ia melakukan penelitian dan pengobatan
kepala pening dengan pemanasan saraf. Ia pun melakukan pengobatan mirip cara
akupuntur yang sekarang telah amat popular.
2. Ibnu Massawayh
(Dokter Spesialis Diet)
Nama
lengkapnya Abu Zakariyya Yuhana Ibnu Masawayh. Popular dengan nama Ibnu
Masawayh adalah nama orang tuanya. Ia dokter termasyhur di abad 3H/9M karimya
sebagai dokter temama sejak jaman Harun Ar-Rasyid, Khalifah Abbasiyah kelima
hingga Al - Mutawakkil khalifah kesepuluh. la pernah bekerja sebagai dokter
istana. Pasien-pasiennya pada umumnya menganggap ia sebagai dokter spesialis
diet karya - karya yang paling penting Ibnu Masawayh adalah:
a. AN-Nawadir
At Tibbiya (sebuah kumpulan aporisme medis)[27]
b. Kitab Al -
Azmina (sebuah deskripsi tentang ragam musim sepanjang tahun).
3.
Al-Kindi
Ia
bernama
Yusuf Yakub Bin Ishak Bin Sabah Al Kindi. Di barat ia di kenal dengan nama Al
Kindus dia lahir di kupah pada tahun 801 M (pada masa pemerintahan Harun ar
Rasyid ) ia seorang putra gubernur di kupah di masa Al Mahdi dan Harun
Ar-Rasyid ia phidup pada masa pemerimahan Al-Amin Al-makmud Al - mutashim Al - wastiq
dan Al mutawakkil. Al Kindi memilih basrah sebagai tempat ia menuntut ilmu
disana ia menerima banyak ilmu pengetahuan dalam sejarah hidupnya ,di samping
dikenal sebagai fllsup juga amat masyhur namanya sebagai ilmuan. Dalam karya filsapatnya, Al Kindi dapat menjelaskan pikiran - pikiran filsafat Aristoteles kepada bangsa Arab. Maka
tidak heran jika ada yang memberinya gelar sebagai penggerak filsapat arab. Kebanyakan karaya Al- Kindi
menyoroti masalah logika dan matematika. Diantara karya bidang filsafatnya
adalah Risalah Fi Madkhal AI-Mantiq Bil Istifa AI Qaul Pih" sebuah
pengantar lengkap logika.
4.
Al-Khawarizmi
Nama lengkapnya Abu Abdulloh Muhammad Bin
Musa Al - Khoarizmi. ia Lahir di khoariz, uzbekistan pada tahu I94 H/780 M.
Pada usia mudanya, selama kepemimpinan kholifah Al -Makmun, ia bekerja di Baitul
Hikam. Di sana ia bekerja dalam sebuah observatorium tempat ia menekuni matematika dan ekonomi.[28]
Muahammad ibnu Musa Al - khoarizmi adalah tokoh utama dalam kajian matematika arab.
Sebagai seorang pemikir islam terbesar, ia telah memengaruhi pemikiran dalam bidang
matematika hingga batas tertentu
lebih besar dari pada penulis abad penengahan lainnya. Di samping menyusun
tabel astronomi tertua, Al - Khoarizmi di kenal dengan penemuannya
yang monumental tentang Al-jabar. Yaitu sistem hitungan nilai menurut tempatnya,
puluhan. ratusan. ribuan, karya karya Al - jabarnya di sebut Al Mukhtasar Fi
Hisab Al - Jabr Wa Al Muqobalah .
5.
Musa Ibrahim
Al-Fazari
Musa Ibrahim Al-Fazari adalah astronom
muslim yang ditugaskan oleh kholifah Abu Jafar Al Manshur (136-158 H/754 M)
untuk menerjemahkan berbagai risalah astronomi yang berasal dari India.
Kumpulan risalah itu bernama
Brahmasputrasidanta, dan risalah yang pertama kali di terjemahkan Almagest. Terjemahan dari musa
Al Fajari tersebut disempurnakan oleh Al-Hajaj bin Mthar pada tahun 221 H/827
M, lalu disempurnakan kembali oleh Hunain bin Ishak dan Tsabit bin Qurrah
setahun kemudian.
Para astronom dan astrolog itu diangkat
sebagai pegawai yang mendapat gaji cukup besar dari khalifah. Merekapun dapat
berkonsentrasi melakukan penelitian dan pengkajian tentang astronomi dan astrologi sehingga melahirkan karya-karya
gemilang. Pada tahun 215 H/830 M para astronom muslim telah mampu membuat
teropong bintang dengan peralatan yang lengkap di kota Yundhisyapur Iran,
sebagai perlengkapan sarana rumah sakit dan sekolah tinggi ilmu pengetahuan di
sana.[29]
6. Al - Farghani
Nama
lengkapnya adalah Abu Al - Abbas bin Muhammad bin Khatir Al-Farghani. Orang
barat menyebunya Al-Fargahanus. la adalah seorang astronom yang hidup pada
jaman khalifah Al -Makmun (813 - 833 M) sampai masa khalifah Al-Mutawakkil
(847-881 M).
Al FaIgani
salah satu dari ilmuan yang memperindah Baitul Hikmah dengan prestsi -
prestasinya. dan turut ambil bagian dalam pengukuran drajad garis lintang bumi.
ia mulai melakuakan observasi astronominya pada observatorium astronomi yang
dibangun oleh Khalifah Al-Makmun lahun 829 M. Pada jaman Khalifah AI-Mutawakkil
ia diberi tugas untuk mengawasi pembangunan Nilometer di Pusat Mesir.
Karya-karya besar Al - farghani di antaranya adalah:
a. Harakat As - Samawiyah
An-Nujum ( asas-asas ilmu bintang )
b. Usul llmu An-Nujum (
pengantar ilmu perbintangan )
7. Al-Battani
Nama
lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Jabir Ibn Sinan Al- Battani, lahir Pada
tahun 858 M, di Battan harram. la merupakan astronom arab terbesar yang lahir
sekitar tahun 317 H/929 M. Ia merupakan
penerus Al - Farghani dalam observasi-observasi astronom pada observatotium
asnonomi yang di bangun oleh Khalifah Al - Makmun. Di antara karya-karya Al -
Battani antara lain:[30]
a. Kitab Marifat Matali Al - Buruj fi
Bayina Arba Al-Falak, sebuah buku ilmu pengetahuan tentang kenaikan tanda
tanda zodiak dalam suatu ruang diantara kuadran - kuadran sfera langit, bukan
pada salah satu diantara empat awtad atau poros.
b. Risalah fi
Tahkik Al-Ittisalat, yaitu kenaikan kenaikan titik dari penerapan-pnerapan
astrologis.
c. Az-Zij
(Astronomical Treatese and Tables). berisi uraian astronomi dan dilengkapi
dengan tabel-tabel. Ini adalah karya utamanya yang sampai sekarang masih
digunakan.
Sumbangan
lain Al - Battani terdapat perkembangan ilmu pengetahuan adalah pada
keberhasilanya menemukan secara amat teliti garis lengkung dan kemiringan
ekliptik (orbit dimana matahari kelihalannya bergerak), panjangnya tahun
tropis, lamanya satu musim, dan tepatnya orbit matahari serta orbit utama
planet itu.
8. Imam Sibawayh
Sibawayh
adalah seorang ahli gramatika yang paling terkenal dalam perkembangan bahasa
dan sastra arab. Meskipun sebenamya ia berasal dari persia dan tidak pandai
dalam bercakap bahasa arab. Khalifah Harun Ar- Rasyid pemah menampakan
kekagumanya pada Sibawayh dan memberikan hadiah berharga kepadanya.
la benama
Amru bin Utsman Al-Haris Abu Bashar. Ia dikenal sebagai imam ahli nahwu yang
sangat teliti dan konsisten menjaga dan memelihara kaidah bahasa arab yang
fasih. Dalam kitab nahwu karya sibawayh tidak ada sedikitpun dasar dan kaidah
yang diubah oleh generasi setelahnya. Hal ini menunjukan betapa ia telah
meletakan dasar yang kuat dan pantas untuk perkembangan bahasa arab selanjutnya.
kitab besar karya sibawayh adalah Kitab Al-Sibawayh yaitu karya tentang ilmu
bahasa yang terdiri dari 2 jilid, tebalnya 1000 halaman. dan dinilai sangat
memuaskan bagi generasi - generasi yang datang selanjutnya.
9.
Abu Nuwas
Nama lengkapnya adalah Abu Nuwas Al-Hasan
bin Hani Al-Hakami. Sering disebut Abu Nuwas karena lahir di Ahwaz, Iran
sekitar tahun 145H/761M dan meninggal di Baghdad tahun 198H/813M , ia penyair
arab termayhur zaman Harun Ar-Rasyid.[31]
Pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid, ia menjadi penyair di istana khalifah,
puisi-puisi gubahan Abu Nawas terdiri atas beberapa tema : pujian (madh),
kehidupan zuhud (zuhdiyat), penggambaran khamar (khumriyat), dan lelucon sanda
gurau (munjiyat). Syair-syair Abu Nawas dihimpun dalam diwan Abu Nawas, di
terbitkan di Wina Australia tahun 1885 M dan di Kairo 1898 M .
10. Imam
Malik
Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 716
M dan meninggal di kota yang sama pada tahun 795M. Nama lengkapnya adalah Abu
Abdullah Malik bin Annas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harist bin Gaiman
bin Kutail bin Amr bin Harist bin Asbahi. Dasar-dasar hukum yang digunakan Imam
Malik dalam memutuskan adalah Al-Quran, Hadis, Urf, qiyas, dan maslahah
al-mursalah. Kitab termasyhur yang di tulis oleh imam malik adalah al-muwatta.
[32]Kitab
itu merupakan kitab hadis sekaligus buku fiqih karena berisi hadis-hadis yang
berkaitan dengan bidang-bidang fiqih.
11. Imam
Syafii
Imam Syafii lahir di Gaza Palestina pada
tahun 767 M dan meninggal di pustat kairo pada tahun 820 M. Ia hidup pada masa
pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid dan Al-Mamun. Nama lengkapnya adalah Abu
Abdullah Muhammad bin idris Asyi-Syafii. Pada usia Sembilan tahun imam syafii
sudah mampu menghafal Al-Quran. Kemudian, ia mendalami bahasa dan sastra arab
di desa Badui, yaitu bani huzail. Setelah itu, ia belajar fiqih pada Imam
Muslim bin Khalid Az-Zanni dan dalam ilmu hadis ia berguru pads imam sufyan bin
uyainah sedangkan dalam ilmu Al-Quran ia berguru kepada Imam Ismail Bin
Qastantin, dan ia juga juga mempelajari kitab Al-Muwatta dan berguru pada Imam
Malik.
Dalam menetapkan hukum, imam syafii
menggunakan lima dasar, yaitu Al-Quran, sunnah, ijma,qiyas, istidal
(penalaran). Adapun karya-karya Imam Syafii adalah Ar-Risalah (membahas
tentang ushul fiqih), Al-Umm (membahas kitab fiqi yang menyeluruh), Al-Musnad
(hadis-hadis nabi) dan Ikhtilaf al-hadis
(kitab mengenai perbedaan-perbedaan dalam hadis).
12. Imam
Bukhari
Imam Bukhari lahir di Bukhara tahun 810 M
dan mninggal di khartanah tahun 870 M. Nama lengkapnya adalah Abu Adullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin bardizbah Al-Bukhari. Sejak
kecil, imam al-bukhari mempunyai ingatan yang tajam melebihi orang lain. Ketika
berumur 10 tahun, ia belajar ilmu hadis kepada ad-dakhili, seorang ulama
masyhur pada saat itu. Dalam usia 16 tahun, ia telah menghafal hadis-hadis yang
terdapat dalam karangan ilmu Mubarak dan wakil al-jarah. Kitab sahih al-bukhari
memuat 7.275 hadis-hadis dan sekitar 100.000 hadis yang diakuinya shahih. Imam
al-bukhari berhasil mengumpulkan kurang lebih 600.000 hadis dan 300.000 hadis
yang diantaranya berhasil dia hafal. Hadis-hadis yang di hafal terdiri dari
200.000 hadis tidak shahih dan 100.000 hadis shahih. Selain sahih al-bukhari
juga menulis beberapa karya lain di antaranya adalah[33]
at-tarikh as-sagir, at-tarikh al-ausat, tafsir al-musnad al-kabir, kitab
ad-duafa.
13. Imam
Muslim
Imam Muslim lahir di Nisabur pada tahun
817 M dan meninggal tahun 857M di kota yang sama. Nama lengkapnya adalah Abu
al-husain muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Nisaburi. Sejak usia 14 tahun, ia
mendengarkan hadis-hadis dari syekh-syekh di negerinya. Setelah itu ia pergi ke
Hijaz , Irak, Suriah, Mesir dan negeri-negeri lain untuk memperdalam ilmunya.
Karyanya yang besar adalah al-jami as-sahih Muslim yang lebih dikenal dengan
sahih muslim.
14. Imam
Abu Daud
Abu Daud lahir di Baghdad pada tahun 817 M
dan wafat di Basra pada tahun 888 M. Nama lengkapnya adalah Abu Daud Sulaiman
bin Al-Asyas bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Amran Al-Azdi
As-Sijistani. Di umur 21 tahun ia menetap di Baghdad, setelah itu ia melakukan
perjalanan panjang untuk mempelajari hadis di berbagai tempat, seperti Hijaz,
Suriah, Mesir, Khurasan, Kufa, dan Basra. Dalam perjalanan itu ia berguru pada
pakar-pakar ilmu hadis, salah satunya yaitu imam hambali.
Sekembalinya dari pengembaraan tersebut,
Abu Daud menulis sebuah kitab hadis, yaitu sunan Ab Daud. Para ulama memasukkan
kitab tersebut ke dalam kutubus-sittah atau enam hadis utama,. Kitab hadis itu
memuat 4000 hadis dan sekitar 5000.000 hadis yang di kumpulkannya.
15. An-Nasai
An-nasai lahir di Nasa, khurasan pada
tahun 830 M dan meninggal di Damaskus pada tahun 915 M. Nama lengkapnya adalah
Ahmad bin syuaib bin ali bin bahr bin sinan. Sejak kecil ia belajar menghafal
al-quran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama. Pada usia 15 tahun ia
mengembara ke Hijaz, Irak,Mesir, suriah dan aljazair untuk berguru ilmu hadis
kepada para ulama. Selain ahli hadis an-nasai juga seorang ahli fqih dan
madzhab syafii . an-nasai menulis beberapa kitab yaitu As-Sunan al-kubra
(sunah-sunah yang agung), as-sunan al-mujtaba (sunah-sunah pilihan), kitab
at-tamyiz (kitab pembeda), kitab ad-dhuafa (kitab tentang orang-orang yang
kecil).[34]
16. Ibnu
majah
Ibnu majah lahir di qazwin tahun 824 M dan
meninggal pada tahun 887 M. Nama kengkapnya adalah abu abdillah bin yazid
ar-rabii al-qazwini. Majah adalah nama gelar bagi yazid. Pada usia 15 tahun,
ia belajar pada seorang ulama masyhur yang bernama Ali bin Muhammad
at-tanafasi. Pada usia 21 tahun ia mengadakan perjalanan untuk mencari ilmu ke
basra, kufah, Baghdad, khurasana, suriah mesir. Ibnu majah telah menyusun kitab
dalam berbagai cabang ilmu. Dalam bidang tafsir , ia juga menulis at-tarikh ,
sebuah kitab yang berisi periwayat hadis dari masa awal ke masanya. Karyanya
dalam bidang hadis adalah sunan ibnu majah . kitab ini menunjukkan kegigihan
kerjanya, kedalam dan keluasan ilmunya, serta panutannya terhadap sunnah nabi,
baik dalam masalah akidah maupun masalah hukum. [35]
B. Hikmah Yang Dapat Diambil Dari Kecermelangan Ilmuwan
Dinasti Abbasiyah
Melihat tokoh- tokoh ilmuwan yang sangat
luar biasa pada zaman Dinasti Abbasiyah, kita dapat mengambil hikmah
bahwasannya kita perlu mencontoh kepribadian beliau, dengan terus semangat
dalam mencari ilmu dan mengembangkan ilmu kita, sehingga ilmu yang kita
dapatkan nanti bisa bermanfaat untuk diri kita dan orang lain.
BAB III
PERADABAN EMAS DINASTI
ABBASIYAH
A.
Prestasi
Dinasti Abbasiyah Dalam Berbagai Keilmuan
Masa dinasti abasiyyah merupakan masa kejayaan Islam
dalam berbagai bidang, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada
masa ini umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu
pengetahuan, sehingga mengalami kemajuan pesat. Pengalihan ilmu pengetahuan
dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai buku karangan bangsa-bangsa
terdahulu, seperti buku-buku karya bangsa Yunani, Romawi dan Persia. Berbagai
naskah yang ada di kawasan Timur Tengah dan Afrika seperti Mesopotamia dan
Mesir juga menjadi perhatian.
Banyak para ahli yang berperan dalam proses
perkembangan ilmu pengetahuan adalah kelompok mawali atau orang-orang non arab,
seperti Persia. Pada masa permulaan Dinasti Abasiyah, belum terdapat pusat
pusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah. Akan tetapi sejak masa
pemerintahan Harun Ar Rasyid mulailah dibangun pusat-pusat pendidikan formal
seperti Darul Hikmah dan pada masa Al Ma'mun dibangun Baitul Himah yang kelak
dari lembaga ini melahirkan para sarjana dan para ahli ilmu pengetahuan yang
membawa kejayaan bagi umat Islam (N Abbas Wahid dan Suratno, 2009)
Pada masa Al Ma'mun ilmu pengetahuan dan kegiatan
intelektual mengalami masa kejayaanya. la mendirikan Baitul Hikmah yang menjadi
pusat kegiatan ilmu, terutama ilmu pengetahuan nenek moyang Eropa (Yunani).
Pada masa itu banyak karya-karya Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Selanjutnya model ini dikembangkan di Darul Hikmah Cairo kemudian diterima
kembali oleh barat melalui Cordova dan kota-kota lain di Andalusia (M Abdul
Karim, 2007).[36]
Khalifah Al Ma'mun lebih lagi melangkah, yaitu
mengirim tim sarjana ke berbagai pusat ilmu di dunia, untuk mencari kitab-kitab
penting yang harus diterjemahkanya (A lasjmy, 1973: 227). Hal inilah salah satu
yang menjadikan Islam mengalami kemajuan. Karena umat Islam bisa mempelajari berbagai
ilmu pengetahuan yang ada di penjuru dunia
Disamping sebagai pusat penerjemahan, Baitul Hikmah
juga berperan sebagai perpustakaan dan pusat pendidikan. Karena pada masa
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan lslam, buku mempunyai nilai yang
sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan
yang ada dan telah dikembangkan oleh ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar
dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Dengan
demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan penyebaran
ilmu pengetahuan. (Zuhairi dkk, 1992). Sehingga Baitul Hikmah selain menjadi
lembaga penerjemahan juga sebagai perpustakaan yang mengoleksi banyak buku.
Pada masa ini berkembang berbagai macam ilmu pengetahuan,
baik itu pengetahuan umum ataupun agama, seperti Al Qur'an, Qiraat, Hadits,
Fiqih, kalam, bahasa dan sastra. Disamping itu juga berkembang empat mazhab
fiqih yang terkenal, diantaranya Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi, Imam
Maliki ibn Anas pendiri madzhab Maliki, Muhammad ibn Idris Asy-Syafi'i pendiri
madzhab Syafi'i dan Muhammad ibn Hanbal, pendiri madzhab Hanbali. Disamping itu
berkembang pula ilmu- ilmu umum seperti ilmu filsafat, logika, metafisika,
matematika, alam, geometri, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran
dan kimia. Ilmu-ilmu umum masuk kedalam Islam melalui terjemahan di Baitul
Hikmah dari bahasa Yunani dan persia ke dalam bahasa Arab.[37]
Pada masa pemerintahan al Ma'mun pengaruh Yunani
sangat kuat. Diantara para penerjemah yang masyhur saat itu ialah Hunain ibn
Ishak, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan buku- buku Yunani ke
dalam bahasa Arab. la terjemahkan kitab Republik dari Plato dan kitab Kategori,
Metafisika, Magna Moralia dari dari Aristoteles (Ali Mufrodi, 1997).
B.
Kemajuan
di Bidang Kebudayaan
Pada masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan,
yang berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi
pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan
yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan
Yunani, Kebudayaan Hindia dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu
pengetahuan.[38]
C. Kemajuan di Bidang Politik
Pada masa itu kemajuan politik berjalan seiring dengan
kemajuan peradaban dan kebudayaan, yang menyebabkan pada masa ini mencapai masa
keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya
terutama pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah periode pertama.
Dinasti Abbasiyah adalah pemerintahan yang berbasis
militer, menurut Marshal G.S Hodgson karakter dari politik Dinasti Abbasiyah
adalah absolutisme, yaitu pemerintahan yang mutlak ditangan khalifah dan
bersifat tidak terbatas. Salah satu simbol absolutisme itu adalah adanya
pengeksekusi hukuman mati untuk orang- orang yang menolak perintah dan kemauan
khalifah. Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Dinasti Abbasiyah
yaitu:
1. Para
khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya dari kaum
mawali.
2. Kota
Baghdad dijadikan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi, sosial ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja termasuk
bangsa dan penganut agama lain.
3. Ilmu
pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang
harus dikembangkan.
4. Kebebasan
berfikir sebagai hak asasi manusia.
Masa Dinasti Abbasiyah pada khalifah Harun Ar Rasyid
dalam bidang politik, yang memegang teguh dengan karakter politiknya yaitu
absolutisme yang menghasilkan ke kokohan dalam kekuasaanya. Sebagaimana tidak
ada lagi bahaya ancaman dari berbagai kelompok, tidak terjadi pertentangan lagi
antara Bangsa Arab dan Bangsa Persia.[39]
D. Kemajuan di Bidang Administrasi
Dalam bidang administrasi negara, masa Daulah
Abbasiyyah tidak jauh berbeda dengan masa Umayyah. Hanya saja, pada masa ini
telah mengalakemajuan-kemajuan, perbaikan, dan penyempurnaan.
Secara umum, menurut Philip K. Hitti, krndali
pemerintahan dipegaoleh khalifah sendiri. Sementara dalam operasinya, yang
menyangkut urusurusan sipil dipegang oleh wazir (menteri), masalah hukum
diserahkakepada qadi (hakim), dan masalah militer dipegang oleh amir (
jenderal)
Sistem pemerintahan Abbasiyyah bersifat sentralisasi.
Dalam kesadadarurat, sering khalifah menyerahkan pemerintahan kepada panglima
beangkatan perang, dan diberi gelar Amiru al-Umara. Adapun menteri-menteri
departemen tersebut terdiri dari:
1. Diwan al-Kharaj (departemen keuangan)
2. Diwan al-Diyah (departemen kehakiman)
3. Diwan al-Zimam (departemen pengawasan urusan-urusan
negara)
4. Diwan al-Jund (departemen ketentaraan)
5. Diwan al-Mawali wa al-Ghilman (departemen
perburuan)
6. Diwan al-Barid (departemen post dan telekomunikasi)
7. Diwan al-Ziman wa al-Nafakat (departemen pengawasa
keuangan)
8. Diwan al-Rasail (departemen urusan arsip)
9. Diwan al-Toukia (departemen permohonan)
10. Diwan al-Nazr fi al-Mazalim (departemen pembelaan
rakr
tertindas)
11. Diwan al-Ahdas wa al-Shurta (departeman keamanan
da
kepolisian)
12. Diwan al-Ata (departemen sosial)
13. Diwan al-Akhsyam (pedartemen keluarga dan wanita)
14. Diwan al-Akarah (departemen pekerjaan umum dan
tenaga kerja)[40]
E. Kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan Umum
Banyak lahir ilmuwan-ilmuwan besar dan sangat
berpengaruh terhadap peradaban islam:
1.
Ilmu kedokteran
a) Hunain ibn Ishaq (804-874 M), terkenal sebagai
dokter penyakit terhadap peradaban islam mata.
b) Ar Razi
(809-873 M), terkenal sebagai dokter ahli penyakit cacar dan campak. Buku
karanganya di bidang kedokteran bejudul Al Hawi
c) Ibn sina (980-1036 M), karyanya yang terkenal
adalah al Qonun fi at-Tibb dan dijadikan buku pedoman kedokteran bagi
universitas di negara Eropa dan negara Islam.
d) Abu Marwan Abdul Malik ibn Abil'ala ibn Zuhr
(1091-1162 M), terkenal sebagai dokter ahli penyakit dalam. Karyanya yang
terkenal adalah At Taisir dan Al Iqtida
e) Ibn Rusyd (520-595 M), terkenal sebagai perintis
penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar .
2. Ilmu Perbintangan
a)
Abu Masy'ur al Falaki, karyanya adalah Isbatul'Ulum dan Haiatul Falaq
b) Jabir Al Batani, pencipta teropong bintang yang
pertama, karya yang terkenal adalah Kitabu Ma'rifati Matlil-Buruj Baina Arbai
Falaq
c) Raihan Al Biruni, karya yang terkenal adalah
at-Tafhim li Awa'ili Sina 'atit-Tanjim (N Abbas Wahid dan Suratno, 2009: 50)
3. Ilmu Pasti/ Matematika
a) Sabit bin Qurrah
al Hirany, karyanya yang terkenal adalah Hisabul Ahliyyah
b) Abdul Wafa
Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Abbas, karyanya yang terkenal ialah Ma
Yahtaju llaihi Ummat Wal Kuttab min Sinatil-hisab.
c) Al
Khawarijmi, tokoh matematika yang mengarang buku al Jabar
d) Umar Khayam,
karyanya tentang al Jabar yang bejudul Treatise on al-Gebra telah diterjemahkan
oleh F Woepcke ke dalam bahasa Prancis (1857 M). Karya Umar Khayam lebih maju
daripada al Jabar karya Euklides dan Al Khawarizmi.
4. Ilmu farmasi dan Kimia
Salah satu ahli farmasi adalah ibn Baitar, karyanya
yang terkenal adalah Al Mugni, Jami Mufratil Adwyyah, wa Agziyah dan Mizani
Tabib. Adapun dibidang Kima adalah Abu Bakar Ar Razi dan Abu Musa Yafar al
Kufi
5. Ilmu Filsafat
Tokoh-tokoh filsafat Islam antara lain, Al Kindi
(805-873), AIFarabi (872-950 M) dengan karyanya Ar-Rayu ahlul Madinah al
Fadilah Ibnu sina (980-1036 M). Al Ghazali (450-505 M) dengan karya tahAfut
al-Falasifat, Ibnu Rusyid dan lain-lain.
6. Ilmu Sejarah
Ahli Sejarah yang lahir pada masa itu adalah Abu
Ismail al Azdi, dengan karyanya yang berjudul Futuhusyi Syam, al Waqidy dengan
karyanya al Magazi, Ibn Sa'ad dengan karyanya at-Tabaqul Kubra dan Ibnu Hisyam
dengan karyanya Sirah ibn Hisyam.
7. Ilmu Geografi
Tokohnya ialah Ibnu Khazdarbah dengan karyanya Kitabul
Masalik wal Mamalik, Ibnu Haik dengan karyanya Kitabus Sifatl Jaziratil 'arab
dan Kitabul Iklim, Ibn Fadlan dengan karyanya Rihlah Ibnu fadlan.[41]
8. Ilmu Sastra
Pada masa itu juga berkembang ilmu sastra yang melahirkan
beberapa penyair terkenal seperti, Abu Nawas, Abu Atiyah, Abu Tamam, Al
Mutannabbi dan Ibnu Hany. Di samping itu mereka juga menghasilkan karya sastra
yang fenomenal seperti Seribu Satu Malam "Alf Lailah Walailah", yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Arabian Night(Ali Mufrodi,
1997).
F. Kemajuan di Bidang Ekonomi
Ekonomi berpusat pada perdagangan dunia (Basrah, Iraq)
dan (Siraf Pesisir Laut Persia). Kemudian bergeser ke Kairo dan Baghdad sebagai
jantung pemerintahan juga menjadi penopang kegiatan perdagangan.
a). Pertanian, sistem irigasi modern dengan
memanfaatkan sungai Eufrat dan Tigris, Khalifah membela dan menghormati kaum
tani, bahkan meringankan pajak hasil humi mereka, dan ada beberapa yang
dihapuskan sama sekali.
b). Perindustrian Khalifah menganjurkan untuk
beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota
dan industri-industrinya yang salah satunya industri kertas
c). Perdagangan, segala usaha ditempuh untuk memajukan
perdagangan seperti: (1) Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di
jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang. (2) Membangun armada-armada dagang.
(3) Membangun armada untuk melindungi partai-partai negara dari serangan bajak
laut. (4) Menggiatkan ekspor impor.[42]
G. Kemajuan
di Bidang Ilmu Agama
Di samping ilmu pengetahuan umum, pada masa itu
berkembang pula ilmu agama dengan tokoh-tokohnya sebagai berikut:
1. Ilmu
Tafsir
Pada masa itu berkembang dua macam tafsir dengan
tokoh-tokohnya:
a) Tafsir Bil Ma'tsur (penafsiran ayat Al Qur'an oleh
Al Qur'an atau Hadits Nabi), diantara
tokohnya adalah Ibnu Jarir At Tabari, Ibnu Atiyah al Andalusy, Muhammad Ibn
Ishak dan lain-lain.
b) Tafsir Bir-Ra yi (Tafsir dengan akal pikiran),
diantara tokohnya adalah Abu Bakar Asam, Abu Muslim Muhammad bin Bahr Isfahany,
Ibnu Juru As Asadi dan lain-lain (A. Hasjmy).
2. Ilmu
Hadits
Pada masa itu sudah ada pengkodifikasian Hadits sesuai
kesahihannya.
Maka
lahirlah ulama-ulama hadits terkenal seperti Imam Bukhori Muslim. At Tirmidzi,
Abu Dawud, Ibn Majah dan An Nasa"i. Dan dari merekalah diperoleh Kutubus
Sittah
3. Ilmu
Kalam
Ilmu Kalam lahir karena dua faktor, yaitu musuh Islam
ingin melumpuhkan Islam dengan filsafat dan semua masalah termasuk agama
berkisar pada akal dan ilmu. Diantar tokohnya ialah Wasil ibn Atho. Abu Hasan
Al Asy ari, Imam Ghozali dan lain-lain .
4. Ilmu
Tasawuf
Diantara tokohnya adalah al Qusairy dengan karyanya
Risalatul Qusairiyah dan Al Ghozali dengan karyanya Ihya Ulumuddin .
5. Ilmu
bahasa
Pada masa itu kota Basrah dan Kuffah menjadi pusat
kegiatan bahasa. Diantara tokohnya ialah Sibawaih, Al Kisai dan Abu Zakariya al
Farra
6. Ilmu
fikih
Zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan empat
imam madzhab, mereka adalah Syafii, Hanafi, Hambali, dan Maliki. Disamping
itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir al-Ouran
dan pemisahnya dari IImu Hadits. Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh
al-Quran ,yang ada hanyalah tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah. Pada
masa ini ilmu fikih juga berkembang pesat, terbukti pada masa ini muncul empat
madzhab fiqih, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali.[43]
H. Hikmah Yang Bisa Diambil Dari Peradaban Emas Dinasti
Abbasiyah
Usaha yang dilakukan demi memajukan
peradaban Islam dengan kerja keras, semangat yang tinggi adalah sikap yang
perlu kita contoh. Dengan adanya kemajuan dari berbagai ilmu pengetahuan umum,
kebudayaan, ilmu keagamaan dan lain- lain pada masa Dinasti Abbasiyah ini kita
bersyukur bisa mengenal berbagai macam ilmu seperti halnya ilmu yang kita dapatkan
sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Azizi, Abdul Syukur. 2017. Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam. Yogyakarta: Noktah.
Darmawati. 2013. Sepak Terjang Demokrasi dalam Masyarakat
Islam”. Sulesana, Vol. 8,
No. 2.
Farah, Naila. Perkembangan Ekonomi
dan Administrasi Pada Masa Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah, IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Fuadi, Imam. 2017. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Kalimedia.
Hakiki, Kiki Muhammad. 2012. Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti
Abbasiyah, Jurnal TAPIS, Vol.
08, No. 01.
Karim, M Abdul. 2007. Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Riyadi, Fuad. 2014. Perpustakaan
Bayt Al Hikmah: The Golden Age of Islam, Jurnal Perpustakaan Libraria,
Vol. 02, No. 01.
Safitri. 2015. Kemajuan Umat Islam
dimasa Bani Abbasiyah, Skripsi fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah.
[1] M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),
hlm. 143
[2] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Noktah, 2017), hlm. 176
[3] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam..., hlm.177
[4] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Kalimedia,
2017), hlm. 113-114
[5] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 179-180
[6] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 181
[7] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm.182
[8] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 183
[9] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 186-187
[10] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 188
[11] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 188
[12] Darmawati, Sepak Terjang
Demokrasi dalam Masyarakat Islam”, Sulesana, Vol. 8, No. 2, 2013, hlm.
61
[13] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam..., hlm. 178
[14] Darmawati, Sepak Terjang
Demokrasi dalam Masyarakat Islam”..., hlm.61-63
[15] Darmawati, Sepak Terjang
Demokrasi dalam Masyarakat Islam”..., hlm.63
[16] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam..., hlm. 194-195
[17] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam..., hlm. 195
[19] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 144-145
[20] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 146
[21] Kiki Muhammad Hakiki, Mengkaji
Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Jurnal TAPIS, Vol.
08, No. 01, 2012, hlm. 131-132
[22] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 149-150
[23] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 150-151
[24] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 151-152
[25] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 152-153
[26] Safitri, Kemajuan Umat Islam
dimasa Bani Abbasiyah, Skripsi fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif
Hidayatullah, 2015, hlm. 23
[27] Safitri, Kemajuan Umat Islam
dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 24-25
[28] Safitri, Kemajuan Umat Islam
dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 26
[29] Safitri, Kemajuan Umat Islam
dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 27
[30] Safitri, Kemajuan Umat Islam
dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 28
[34] Safitri, Kemajuan Umat Islam
dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 35-36
[35] Safitri, Kemajuan Umat Islam
dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 36-37
[36] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al Hikmah: The
Golden Age of Islam, Jurnal Perpustakaan Libraria, Vol. 02, No. 01,
2014, hlm. 110
[37] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al
Hikmah ..., hlm. 111
[38] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al
Hikmah ..., hlm. 111
[39] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa
Bani Abbasiyah ..., hlm. 61-62
[40] Naila Farah, Perkembangan Ekonomi
dan Administrasi Pada Masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, hlm. 45-46
[41] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al
Hikmah ..., hlm. 112-113
[42] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al
Hikmah ..., hlm. 113-114
[43] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al
Hikmah ..., hlm. 114
No comments:
Post a Comment