Monday, July 06, 2020

PERADABAN DINASTI ABBASIYAH


BAB I
JEJAK PERADABAN DINASTI ABBASIYAH
A.    Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Abbasiyah
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yang merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu aI-Abbas, nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, dilahirkan di Hamimah pada tahun 104 H dan wafat kurang lebih dalam usia 33 tahun di kota Anbar,  pada bulan Zulhijah tahun 136 H/753M. Dinamakan Khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini merupakan keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad Saw. Pendirian dinasti ini dilatarbelakangi karena kaum Abbasiyah merasa Iebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, karena mereka adalah bagian dari Bani Hasyim yang secara nasab keturunan Iebih dekat dengan Nabi Muhammad Saw.[1]
Sebelum Dinasti Abbasiyah berdiri, terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan mereka. Masing-masing kelompok memiliki kedudukan tersendiri di dalam memainkan peranannya untuk mendirikan kekuasaan dan terdiri atas tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah (Yordania), Kufah (lrak), dan Khurasan. Humaimah merupakan tempat bermukim keluarga Bani Hasyim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun keluarga Abbas. Sedangkan Kufah merupakan wilayah yang penduduknya merupakan penganut aliran Syi’ah, yang selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umayyah. Sementara Khurasan merupakan tempat warga pemberani, kuat fisik, teguh pendirian, tidak terpengaruh nafsu, dan tidak mudah terpengaruh terhadap kepercayaan yang menyimpang. Dalam perkembangannya, kota Humaimah dijadikan sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kufah sebagai kota penghubung, sedangkan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Sebelum melakukan revolusi, Bani Abbasiyah memulainya dengan tahap persiapan dan perencanaan yang dilakukan oleh Ali bin Abdullah bin Abbas. Saat itu, Ali melakukan propaganda terhadap umat Islam, terutama terhadap keturunan Bani Hasyim.
Propaganda tersebut mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat karena beberapa faktor, yaitu meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Dinasti Umayyah karena selama ini mereka ditempatkan pada posisi kelas dua dalam sistem sosial, sedangkan orang-orang Arab menduduki kelas bangsawan, pecahnya persatuan antarsuku bangsa Arab dengan lahirnya fanatisme kesukuan antara Arab utara dengan Arab selatan, timbulnya kekecewaan kelompok agama terhadap pemerintahan yang sekuler karena mereka menginginkan pemimpin negara yang memiliki pengetahuan dan integritas keagamaan yang mumpuni, serta perlawanan dari kelompok Syi'ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh Bani Umayyah karena mereka tidak mudah melupakan peristiwa tersebut.
Sebenarnya, gerakan Bani Abbasiyah sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Dinasti Umayyah. Gerakannya begitu rapi dan tersembunyi sehingga tidak diketahui pihak Bani Umayyah. Selain itu, gerakan ini juga didukung oleh kalangan Syi’ah. Hal ini bisa dimaklumi karena dalam melakukan aksinya, para aktivisnya membawa-bawa nama Bani Hasyim, bukan Bani Abbas. Sehingga, secara tidak langsung, orang orang Syi’ah merasa disertakan dalam perjuangan mereka.[2]
Setelah Muhammad bin Ali wafat, ia digantikan oleh anaknya, Ibrahim bin Muhammad. Pada 125 H, saat pemerintahan Bani umayyah tengah mengaIaml kemunduran, gerakan Bani Abbasnyah semakin gencar. Empat tahun kemudian. Ibrahim bin Muhammad mendeklarasikan gerakannya di Khurasan melalui panglimanya, Abu Musim al-Khurasam. Namun gerakan ini diketahui oleh Marwan bin Muhammad. khalifah terakhir Bani Umayyah. Ibrahim pun ditangkap dan dipenjara.
Posisi Ibrahim digantikan oleh adiknya, Abdullah bin Muhammad, yang Iebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas as-Saffah. Karena tekanan dari pihak penguasa. bersama rombongan ia berangkat ke Kufah secara sembunyi-sembunyi. Pada 3 Rabi'ul Awal 132 H, Abdullah as-Saffah dibaiat sebagai khalifah pertama Bani Abbasiyah di Masjid Kufah. Berita ini sampai ke telinga Marwan bin Muhammad. Bersama pasukannya, sang khalifah berangkat untuk memadamkan ''pemberontakan" As-Saffah. Abdullah bin Ali, paman As-Saffah, bersama pasukannya menghadapi pasukan Marwan di suatu daerah dekat Mosul. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya pasukan Marwan dapat dikalahkan. Marwan selamat dan kembali ke Syam. Namun, Abdullah terus mengejarnya sehingga ia lari ke Mesir. Pengejaran dilanjutkan oleh adiknya, Shalih. Akhirnya, Marwan berhasil dibunuh di suatu desa bernama Bushir pada tahun 132 H/750 M.
Terbunuhnya Khalifah Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah sekaligus menandai era baru dalam perjalanan sejarah pemerintahan Islam. Sejak itu, kekuasaan pindah ke tangan penguasa baru, yaitu para penguasa yang berasal dari keturunan Hasyim atau keturunan Abbas, yang kemudian disebut dengan Dinasti Abbasiyah.[3]  
Selain itu ada beberapa faktor mengenai keberhasilan pendirian dinasti Abbasiyah, yaitu:
1.      Solidaritas kekeluargaan. Kesuksesan para propagandis dalam usha mewujudkan berdirinya khilafah Bani Abbasiyah adalah karena mereka berhasil menyadarkan dan meyakinkan umat Islam, bahwa Bani Abbas adalah keluarga yang dekat dengan keluarga Nabi SAW. Cepat an besarnya dukungan umat yang akhirnya mengantarkan mereka ke tampuk kekuasaan, jelas karena penonjolan nama Bani Hasyim yang mereka angkat kepermukaan.
2.      Karena lemahnya Bani Umayyah. Kelemahan Dinasti Umayyah antara lain timbulnya berbagai pemberontakan dari golongan kwarij, syi’ah, Ibnu Zubair dan dari Bani Abbas sendiri. Selain itu, terjadinya pertentangan tradisional antara suku utara dengan suku arab selatan. Termasuk yang melemahkan juga adalah adanya persaingan tidak sehat di kalangan keluarga Bani Umayyah karena tidak adanya peraturan yang tegas tentang pemindahan kekuasaan khilafah, adanya kehidupan mewah diistana juga memperlemah jiwa dan kepribadian anak-anak khilafah yang membuat mereka kurang siap memikul beban pemerintahan, memimpin wilayah besar umat Islam.
3. Bani Umayyah bercorak Arab sentris. Karena kebijakan awal-awal yang dilakukan sementara khilafah tampak bahwa Bani Umayyah cenderungbertumpu pada orang-orang Arab. Orang non-Arab tidak sama derajatnya dengan orang-orang Arab, walaupun mereka sama-sama muslim. Untuk orang- orang non Arab, mereka sebut dengan Mawali. Kaum Mawali ini dalam sejarah Islam tergambarkan sebagai warga kelas dua, karena itu mereka tidak menyukai pola pemerintahan dinasti Umayyah.
4.      Kekuatan militer. Perjuangan Bani Abbasiyah tidak bisa dilepaskan dari kekuatan militer yang tumbuh luar biasa besarnya. Hal itu disebabkan diizinkannya pemeluk-pemeluk yang baru masuk didalamnya, sehingga menjadi kekuatan baru yang besar sekaligus penting dan menjadi daya dorong munculnya Bani Abbas ke kursi ke khalifahan.[4]
B.     Khalifah- khalifah Dinasti Abbasiyah
Pemerintahan dinasti Abbasiyah pada awalnya dibangun oleh Abu Abbas dan Abu Ja’far al Mansyur, yang mencapai zaman keemasan setelah berada di bawah kekuasaan tujuh khalifah sesudah mereka. Ketujuh khalifah tersebut adalah: al-Mahdi (775 M. - 785 M.), al Hadi (785 M. - 786 M.), Harun ar Rasyid (786 M. – 809 M.), al Ma’mun (813 M. – 833 M.), al Mu’tasim (833 M. – 842 M.), al Wasiq (842 M – 847 M), al Mutawakil (847 M. – 861 M.). Sedangkan puncak kejayaannya yaitu pada masa Harun ar Rasyid. Berikut biografi dari Abul Abbas as-Saffah, Abu Ja’far al Mansyur, dan Harun ar Rasyid:

1.    Abul Abbas as-Saffah (132-136 H/749-754 M).
Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas adalah khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. la dilahirkan di Hamimah pada tahun 104 H. Ibunya adalah Rabtah binti Abaidullah al-Haritsi, sedangkan ayahnya, Muhammad bin Ali, adalah orang yang melakukan gerakan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah. Abdullah bin Muhammad mendapat gelar as-Saffah ketika dibaiat menjadi khalifah Abbasiyah pertama pada 3 Rabi‘ul Awwal 132 H di Kufah. Diberi gelar al-Saffah yang berarti penumpah atau peminum darah. Sebutan tersebut diberikan karena dia mengeluarkan dekrit kepada gubernurnya yang berisi perintah untuk membunuh tokoh-tokoh Umayyah. Bukan hanya itu saja, al-Saffah juga melakukan perbuatan keji dengan menggali kuburan para khalifah bani Umayyah (kecuali Umar II), dan tulang-tulangnya dibakar.
Abdullah bin Muhammad yang kemudian lebih dikenal Abul Abbas as-Saffah, dibaiat menjadi khalifah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Kufah merupakan pusat gerakan Bani Abbas. Dalam perjalanan selanjutnya, ia meninggalkan Kufah menuju daerah Anbar, sebuah tempat di pinggiran Sungai Eufrat yang dikenal dengan Hasyimiyah yang dijadikan pusat pemerintahan. Belakangan, dibangunlah sebuah ibu kota yang dikenal hingga kini, yaitu Baghdad. Kota inilah yang menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah.[5]
Selama kepemimpinannya, Khalifah Abul Abbas tidak terlalu fokus pada masalah-masalah penaklukan wilayah karena pertempuran di kawasan Turki dan Asia Tengah terus bergolak. Belum lagi karena kesibukannya dalam upaya konsolidasi internal untuk menguatkan pilar-pilar negara yang hingga saat itu belum sepenuhnya stabil. Selain ketegasannya menghabisi lawan politik, ia terkenal juga dengan kedermawanan dan ingatannya yang kuat.
Masa pemerintahan Abul Abbas sangat singkat. la menjadi khalifah selama 4 tahun 9 bulan dari tahun 750-754 M. Ia meninggal pada hari Ahad setengah pertama bulan Dzulhijjah 136 H/754 M karena penyakit yang dideritanya. Ia meninggal saat usianya baru 33 tahun di kota Hasyimiyah yang dibangunnya. Sebelum meninggal, ia menunjuk saudaranya, Abu Ja’far al-Manshur sebagai penggantinya.

2.    Abu Ja’far al-Manshur (136-158 H/754-755M).
Abu Ja’far aI-Mansur (101-158 H/732-775 M) adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. la dilahirkan di Hamimah pada tahun 101 H. lbunya bernama Salamah, bekas seorang hamba. Al-Mansur adalah saudara Ibrahim al-lmam dan Abul Abbas as-Saffah. Ketiganya dikenal sebagai tokoh pendiri Dinasti Abbasiyah. Bahkan, Abu Ja’far al-Mansur dikenal sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah yang sebenarnya, karena dialah peletak dasar-dasar dan sistem pemerintahan Bani Abbas. la pula yang mengatur politik pemerintahan dinasti Abbasiyah. Abu Ja’far aI-Mansur dibaiat menjadi khalifah ketika usia 36 tahun, ia menggantikan kedudukan Abul Abbas as-Saffah yang wafat. Di usia yang begitu muda, ia mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah melanda pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang masih dalam masa transisi.[6]
Pada awal kepemimpinannya, al-Manshur melakukan perubahan mendasar bagi perkembangan Dinasti Abbasiyah sehingga dinasti ini menjadi negara adikuasa di masa mendatang. Perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Pada tahun 762 M, al-Mansur memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan Iagi ke Baghdad, dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
b) Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di Iembaga eksekutif dan yudikatif.
c) Di bidang pemerintahan, aI-Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak dari Balkh, Persia.
d) Membentuk Iembaga protokol negara dan sekretaris negara.
e) Membentuk kepolisian negara dan membenahi angkatan bersenjata.
f) Menunjuk Muhammad bin Abdur Rahman sebagai hakim pada Iembaga kehakiman negara.
g) Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Umayyah perannya ditingkatkan dengan tambahan beberapa tugas. Jika pada Dinasti Umayyah hanya bertugas mengantar surat, maka pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.[7]
Sistem pemerintahan pada masa khalifah al-Manshur secara perlahan semakin membaik. Ketika itu, jalur-jalur administrasi pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah, ditata dengan rapi sehingga sistem dan roda pemerintahan berjalan dengan baik. Kebijakannya ini menimbulkan dampak yang positif di kalangan para pejabat pemerintahan, karena terjadi koordinasi dan kerja sama yang baik di antara mereka. Koordinasi dan kerja sama itu terjadi antara Kepala aadhi (Jaksa Agung), Kepala Polisi Rahasia, Kepala Jawatan Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan yang tidak adil dengan memberikan hak-hak masyarakat.
Untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara, khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan. Di antara usaha-usahanya tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malaria, wilayah Coppadocia, dan Sicilia pada tahun 756-758 M. Selain itu, bala tentaranya juga melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus. Di pihak lain, ia berdamai dengan Kaisar Constantive V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian Iain Oksus dan India.
Selama masa kepemimpinannya, Khalifah aI-Mansur berhasil meletakkan fondasi dan dasar-dasar pemerintahan. Pembangunan pada masa itu juga berjalan sangat baik. Sebagaimana dijelaskan di awal, ketika ibu kota pemerintahan dipindahkan ke kota Baghdad, ia berhasil ”menyulap” kawasan yang tidak dilirik ini menjadi kota metropolitan yang menjadi tujuan banyak orang.
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur meninggal dunia menjelang pengujung 158 H. Saat itu, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, namun dalam perjalanan hingga meninggal dunia. la wafat dalam usia 63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Lalu, jenazahnya dibawa dan dikebumikan di kota Baghdad.[8]

3.    Harun ar Rasyid (786 M. – 809 M.)
Harun ar-Rasyid atau Abu Ja’far Harun bin aI-Mahdi Muhammad bin al-Mansur Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas al-Hasyimi al-Abbasi, adalah khalifah kelima Dinasti Abbasiyah. la dilahirkan di Raiyi pada tahun 145 H /763 M. la adalah putra Khalifah al-Mahdi, sedangkan ibunya bernama Khaizuran, bekas seorang hamba. Harun ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada 170 H atau September 786 M, saat usianya baru 23 tahun. la dibaiat menjadi khalifah menggantikan kakaknya, Musa al-Hadi, yang wafat. Karena masih muda, dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun arRasyid didampingi oleh gurunya, Yahya bin Khalid al-Barmaki, yang kemudian menjadi perdana menterinya.
Pada masa pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya. Dalam sejarah, Harun ar-Rasyid tercatat sebagai seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, bahkan ia hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat yang terjadi dan menimpa kaum Iemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan. Khalifah Harun ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ilmuwan dan budayawan. Itulah sebabnya, ia selalu melibatkan dan mengumpulkan mereka dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintahannya. Perdana menterinya yang juga merupakan gurunya, seorang ulama besar di zamannya, Yahya al Barmaki, banyak memberikan nasihat dan anjuran agar kepemimpinannya tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Karena situasi negara yang aman dan damai, serta kemakmuran yang merata, rakyat hidup sangat tenteram. Bahkan, pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infaq, dan sedekah. Selain itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu.[9]
Setiap orang merasa aman untuk keluar pada malam hari karena tingkat kejahatan yang minim. Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan di negeri yang luas itu dengan aman. Ketika itu, masjid-masjid, perguruan tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum Iainnya banyak dibangun.
Untuk mengembangkan negerinya, Khalifah Harun ar-Rasyid memanfaatkan kekayaan yang dimilikinya untuk kepentingan sosial. Rumah sakit, Iembaga pendidikan dokter, dan farmasi yang didirikan sangat diperhatikan eksistensinya. Pada masanya, terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Pada masa pemerintahannya, kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa inilah, negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Pada masa kepemerintahannya, Khalifah Harun ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah juga dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih.
Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Setelah memerintah selama kurang lebih 23 tahun 6 bulan, Khalifah Harun ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M. sebagaimana ditulis oleh Imam as- Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal, usianya 45 tahun. Saat itu, yang bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah putranya sendiri yang bernama Shalih.[10]
Sebelum meninggal, Harun ar-Rasyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah, yaitu aI-Amin dan al-Ma'mun. Al-Amin diberi hadiah berupa wiIayah bagian Barat, sedangkan aI-Ma’mun diberi hadiah berupa wilayah bagian timur.[11]   
Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai  pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga dapatlah dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Bani Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni  Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk.
Adapun rincian susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
a)      Bani Abbas (750-932 M.)
1. Khalifah Abu Abas al-Saffah (750-754 M.)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M.)
3. Khalifah al-Mahdi (775-785 M.)
4. Khalifah al Hadi (775-776 M.)
5. Khalifah Harun al-Rasyid (776-809 M.)
6. Khalifah al-Amin (809-813 M.)
7. Khalifah al-Makmun (813-633 M.)
8. Khalifdah al-Mu’tasim (833-842 M.)
9. Khalifah al-Wasiq ( 842-847 M.)
10. Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.)
b)      Bani Buwaihi (932-107 5M.)
1.      Khalifah al-Kahir (932-934 M.)
2.      Khalifah al-Radi (934-940 M.)
3.      Khalifah al-Mustaqi (943-944 M.)
4.      Khalifah al-Muktakfi (944-946 M.)
5.      Khalifal al-Mufi (946-974 M.)
c)      Bani Saljuk
1.      Khalifah al-Muktadi (1075-1048 M.)
2.      Khalifah al-Mustazhir (1074-1118 M.)
3.      Khalifah al-Mustasid (1118-1135 M.)[12]
Selama Dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi Iima periode, yaitu:[13]
1.      Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M.). Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah al-Ja’far, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.
2.      Periode Kedua (232 H./847 M. – 334H./945M.)
Kebijakan Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih anasir Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan sebelumnya.khalifah al-Mutawakkil (842-861 M.) merupakan awal dari periode ini adalah khalifah yang lemah. Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada periode ini adalah: Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.
3.      Periode Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)
Posisi Bani Abasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang dimasa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Bagdad dalam periode ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa  Ali bin Buwaihi.
4.      Periode Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199 M.)
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadirannya atas naungan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syi’ah.[14]
5.      Periode Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)
Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah Bani Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256 M.[15]
Semenjak didirikan oleh Abu Abbas as-Saffah hingga dihancurkan oleh pasukan Hulagu Khan dari Mongol, seluruh khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa berjumlah 37 orang, sebagaimana berikut:
1. Abu Abbas as-Saffah (132-136 H/749-754 M)
2. Abu Ja’far aI-Mansur (136-158 H/7S4-77S M)
3. Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi (158-169 H/775-785 M)
4. Abu Muhammad Musa aI-Hadi (169-170 H/785-786 M)
5. Abu Ja'far Harun ar-Rasyid (170-193 H/786-809 M)
6. Abu Musa Muhammad al-Amin (193-198 H/809-813 M)
7. Abu Ja’far Abdullah al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M)
8. Abu Ishaq Muhammad al-Mu'tashim (218-227 H/833-842 M)
9. Abu Ja'far Harun aI-Watsiq (227-232 H/842-847 M)
10. Abu Fadl Ja’far Muhammad aI-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M)
11. Abu Ja'far Muhammad aI-Muntashir (247-248 H/861-862 M)
12. Abu Abbas Ahmad aI-Musta'in (248-252 H/862-866 M)
13. Abu Abdullah Muhammad al-Mu'tazz (252-255 H/866-869 M)
14. Abu Ishaq Muhammad al-Muhtadi (255-256 H/869-870 M)
15. Abu Abbas Ahmad al-Mu’tamid (256-279 H/870-892 M)
16. Abu Abbas Muhammad al-Mu’tadhid (279-289 H/892- 902 M)
17. Abu Muhammad Ali al-Muktafi (289-295 H/902-908 M)
18. Abu Fadi Ja’far al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M)
19.Abu Mansur Muhammad al-Qahir 320-322 H/932-934 M)
20. Abu Abbas Ahmad ar-Radhi (322-329 H/934-940 M)
21. Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi (329-333 H/940-944 M)
22. Abu Qasim Abdullah al-Mustaqfi (333-334 H/944-946 M)
23. Abu Qasim al-Fadl al-Mu’thi (334-363 H/946-974 M)
24. Abu Fadl Abdul Kari math-Tha’i (363-381 H/974-991 M)
25. Abu Abbas Ahmad al-Qadir (381-422 H/991-1031 M)
26. Abu Ja'far Abdullah al-Qa’im (422-467 H/1031-1075 M)
27. Abu Qasim Abdullah al-Muqtadi (467-487 H/1075-1094 M)
28. Abu Abbas Ahmad al-Mustazhhir (487-512 H/1094-1118 M)
29. Abu Mansur aI-Fadl al-Murtasyid (512-529 H/1118-1135 M)
30. Abu Ja’far al-Mansur ar-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M)
31. Abu Abdullah Muhammad al-Muqtafi (530-555 H/11361160 M)
32. Abu Muzaffar al-Mustanjid (555-566 H/1160-1170 M)
33. Abu Muhammad al-Hasan al-Mustadhi’ (566-575 H/11701180 M)[16]
34. Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir (575-622 H/1180-1225 M)
35. Abu Nasr Muhammad az-Zhahir (622-623 H/1225-1226 M)
36. Abu Ja’far al-Mansur al-Mustanshir (623-640 H/1226-1242 M)
37. Abu Ahmad Abdullah al-Musta’shim (640-656 H/1242-1256 M)[17]
C. Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Ada beberapa faktor penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Abbasiyah yaitu:
1.           Faktor Internal
a.         Persoalan Politik . Pemerintahan Dinasti Abbasiyah terbilang cukup lama bertahan, yakni lima abad. Tetapi selama berlangsungnya pemerintahan ini tidak berarti lancar terus-menerus, hampir selama itu pula Daulah Bani Abbasiyah tidak pernah sepi dari konflik politik, baik yang terjadi di pusat kekuasaan maupun di wilayah-wilayah yang menjadi kekuasaan di bawah pemerintahan ini.
       Setelah Harun al-Rasyid (786-809) meninggal dunia, daulah Bani Abbasiyah lambat laun mengalami kemunduran akibat banyaknya gejolak politik yang muncul. Belum lama dari meninggalnya Harun al-Rasyid, terjadi perang saudara antara al Amin dan al-Ma’mun. Al-Amin yang merupakan saudara tiri al-Ma’mun sudah ditunjuk oleh ayahnya, al-Rasyid, sebagai khalifah yang akan mengganti sedangkan al-Ma ’mun diberi kekuasaan di Kurasan sebagai gubernur dan diberi kesempatan untuk mengganti saudaranya sebagai khalifah pada kesempatan berikutnya.
       Al-Amin tidak setuju kalau jabatan khalifah itu nantinya dipegang oleh al-Ma ’mun. Ia terupaya menyingkirkan al Ma’mun agar kelak jabatan khalifah jatuh ke tangan anaknya sendiri. Perang saudara akhirnya pecah. Dalam perang saudara tersebut kekuatan al-Amin didukung oleh pasukan tentara dari Baghdad, sedangkan al-Ma'mun mendapat dukungan pasukan tentara dari Khurasan. Akhinya al-Amin dapat dikalahkan dan dengan sendirinya al-Ma’mun kemudian menjadi khalifah menggantikan Harun al-Rasyid.
       Pada zaman pemerintahan dipegang oleh al-Ma’mun, ia banyak merekrut orang-orang Persia untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Orang-orang persia diberikan posisi- posisi strategis. Tahir ibn al-Husain misalnya, orang Khurasan yang berjasa kepada aI-Ma’mun dalam mengalahkan aL Amin, menjadi gubemur Khurasan dan juga sebagai panglima Daulah Abbasiyah secara keseluruhan. Karena posisinya yang itu, kemudian ia berani memproklamirkan Khurasan sebagai propinsi tersendiri dan membangun kekekuasaan kegubernuran berdasarkan garis keturunannya sendiri. Pada Khalifah al-Ma’mun dominasi orang-orang Persia lebih kuat dibanding dengan orang-orang Arab.
       Sementara itu, di zaman al-Mu’tasim, khalifah yang ketujuh yang menggantikan al-Ma’mun, membaca situasi politik yang memang banyak diwarnai oleh orang-orang Persia. Oleh karena al-mu’tasim orang tuanya adalah orang Turki maka ia banyak merekrut orang-orang Turki untuk dijadikan pengawal dalam rangka mengimbangi dominasi orang-orang persia. Ia juga mempromosikan orang-orang Turki untuk menduduki jabatan-jabatan penting di kemiliteran. Artinya, di zaman ini berarti orang-orang Turki mengambil alih posisi- posisi penting orang-orang Persia sebelumnya mereka kuasai.[18]
       Masalah yang muncul ke permukaan kemudian adalah tampaknya dominasi orang-orang Turki dipemerintahan tidak disukai oleh orang-orang Baghdad dan para veteran pasukan Arab sehingga menimbulkan pertempuran berdarah. Kemudian Al-Mu’tasim terpaksa membangun ibu kota baru, Samarra, sebagai basis militer dan administrasi pemerintahan yang jaraknya sekitar 70 mil sebelah utara Bahdad. Sementara Baghdad tetap menjadi pusat kebudayaan dan perdagangan. Tindakan al Mu’tasim tersebut berakibat ketergantungannya kepada orang-orang Turki semakin tinggi. Ia banyak didikte oleh orang Turki tetapi ia masih mampu mengendalikan tetapi tidak demikian halnya pada zaman-zaman sesudahnya.
       Fenomena di atas terbukti pada zaman al-Mutawakkil menjadi khalifah, menggantikan al-Wasiq, ia tidak mampu lagi mengendalikan orang-orang Turki. Dominasi orang-orang Turki di pusat kekuasaan semakin kuat, merekalah yang kemudian mengendalikan kekuasaan. Lebih para lagi akhjmya merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah yang sesuai dengan kehendaknya. Keberadaannya kemudian tidak lebih dari simbol spiritual. Dengan demikian kekuasaan khaliffah tidak berfungsi secara efektif.
       Sebagai efek dari ini semua muncullah persaingan politik antar etnis di pusat kekuasaan. Pada tahun 945-1055 itulah Abbasiyah ada di bawah kuasaan Bani Buwaihi yang berasal dari etni Persia. Tahun 1055- 1199 kekuasaan Daulah Abbasiyah jatuh ke tangan Bani Seljuk yang merupakan etnis Turki. Dan tahun 1199-1258 Khalifah Abbasiyah tidak di bawah kekuasaan tertentu, mereka merdeka dan berkuasa tetapi keuasaannya jauh dengan dahulu. Ia hanya berkuasa di sekitar wilayah Baghdad sebelum kemudian jatuh ke tangan orang-orang Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahuin 1258 M.[19]
       Pertikaian di tingkat pusat inilah yang menyebabkan lemahnya kontrol ke wilayah-wilayah propinsi. Dan sebagai akibatnya adalah propinsi-prop'msi sebagian melepaskan diri dari pusat, dan ini menjadikan semakin berkurangnya pemasukan keuangan negara. Wilayah-wilayah tersebut menjadi daerah-daerah otonom yang mengurus wilayahnya sendiri. Dalam hal ini tentu sangat merugikan dinasti Abbasiyah baik secara finansial maupun pilitik.[20]
b.        Kemerosotan Ekonomi. Kemerosotan ekonomi sebagai salah satu faktor kemunduran Daulah abbasiyah sebenarnya berbarengan dengan masa kemerosotan dalam bidang politik. Kalau dilihat pada periode pertama Daulah Abbasiyah adalah daulah yang sangat kaya raya. Pemasukan lebih besar daripada pengeluaran, sehingga tak salah apabila berbagai tempat penyimpanan (bait al-mal) dipenuhi dengan harta. Pemasukan Daulah Abbasiyah didapatkan dari  al-Kharaj.
       Hal tersebut berbeda dengan masa kemunduran Daulah Abbasiyah, pendapatan lebih sedikit daripada pengeluaran, bahkan pengeluaran semakin lama semakin meningkat. Berkurangnya jumlah pendapatan ini disebabkan oleh semakin menyempitnya daerah kekuasaan bani abbasiyah, banyaknya terjadi kerusuhan yang secara tak langsung mengganggu perekonomian rakyat, adanya keringanan pajak hasil bumi, banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan pada akhirnya tidak lagi membayar upeti.
       Sedangkan pengeluaran yang semakin bertambah disebabkan oleh kehidupan para khalifah  dan para pejabat pemerintah yang semakin mewah, jenis pengeluaran yang semakin beragam, para pejabat melakukan berbagai korupsi.[21]
2.      Faktor Eksternal
a.         Perang Salib. Di antara faktor yang menyebabkan kemunduran dinasti Abbasiyah adalah karena faktor perang salib. Peperangan salib ini terjadi selama 2 abad. Yaitu mulai tahun 1095 M sampai tahun 1291 M. Peperang ini terjadi ketika Daulah Abbasiyah ada di bawah kekuasaan Bani Saljuk. Perang merupakan reaksi orang- orang Kristen Eropa terhadap orang- orang Islam yang telah melakukan penaklukan-penaklukan sejak tahun 632 M tidak saja di Syria dan Asia kecil tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Disamping itu umat Islam dianggap mengganggu kepentingan-kepentingan umat Kristen seperti mempersulit peziarah eropa yang akan melakukan ibadah di Jerussalem. Demikian pula sekembalinya dari ziarah mereka sering mendapat perlakuan yang jelek dari orang-orang Saljuk yang fanatik. Akhirnya Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II menjalin kerjasama untuk membangkitkan semangat orang-orang kristen Eropa untuk melawan orang-orang Islam, yang kemudian dikenal dengan perang salib. Dikatakan perang salib karena pasukan Kristen memakai lambang salib dalam peperangan itu.
       Karena kerjasama antara Paus dan kaisar Alexius itulah kemudian, Paus Urbanus II pidato dihadapan orang-orang Kristen. Pidato paus ini terkenal dalam sejarah karena cukup memukau massa Kristen. Pidato itu dilakukan paus pada tanggal 26 November 1095 M.95 Ajakan paus lewat pidatonya itu mengema ke seluruh Eropa. Menjelang musim semi tahun 1097 seratus lima puluh ribu orang memenuhi ajakan Paus Urban II dan mereka berkumpul di Konstantinopel. Perang salib akhirnya benar-benar terjadi antara orang-orang islam dengan orang-orang Kristen.
       Antar ahli sejarah berbeda pedapat satu dengan lainnya dalam kaitan periodisasi atau pembabakan perang salib yang berlangsung cukup lama itu, sekitar dua abad, masa yang sangat panjang untuk peperangan. Ada yang membagi sembilan, ada yang tujuh dan ada yang tiga periode. Pembagian itu tentu didasarkan umumnya dari masing-masing karakteristik peperangan itu.[22]
       Pada tulisan ini, periodisasi perang salib dibagi menjadi tiga, pertama, periode penaklukan, periode ini ditandai dengan suksesnya pasukan Kristen merebut kota-kota di sekitar pantai timur laut Tengah seperti Antioch, Tripoli, Acre, Jerussalem dan sebagainya. Keberhasilan itu mereka susul dengan mendirikan kerajaan Latin di timur. Kedua, periode reaksi umat Islam atas penaklukan-penaklukan orang-orang Kristen, pelopornya Imad al-Din Zangki. Di mana Islam berhasil membebaskan kembali kota-kota yang direbut oleh pasukan Kristen. Kemenangan demi kemenangan tersebut tercapai ketika pasukan Islam dipimpin oleh Salah al-Din al-Ayyubi, pahlawan Islam yang namanya melegenda smapai sekarang. Peristiwa yang penting pada kepemimpinannya adalah direbutnya kembali Jerusalem dari tangan pasukan kristen. Ketiga, periode perang sipil dan perang kecil-kecilan yang berakhir pada tahun 1291. Pasukan kristen kehilangan daerah terakhir di Siyria yang menjadi daerah pertahannya. Dengan jatuhnya daerah terakhir menandai berakhirnya perang salib. Ketika orang-orang Kristen mampu menguasai Yerussalem mereka bahkan sempat mendirikan kerajaan Latin yang berkuasa selama sekitar 80 tahun, tetapi dalam periode berikutnya kota tersebut dapat dikuasai kembali oleh umat Islam.
       Meskipun akhir dari peperangan ini dimenangkan oleh umat Islam tetapi umat Islam mengalami kerugian yang banyak, karena peperangan ini terjadi di wilayah umat Islam dan tentu dana yang dikeluarkan untuk peperangan yang panjang ini cukup menguras finansial pemerintah Abbasiyah.[23]
b.        Serangan pasukan Mongol. Di samping umat Islam harus bersusah payah menghadapi tentara salib yang dimulai akhir abad ke 11, dipertengahan abad ke 13 umat Islam hams menghadapi pasukan Hulagu Khan yang ganas dari bangsa Mongol. Sebenarnya sebelum pasukan Mongol menyerang dinasti abbasiyah, secara internal orang-orang dinasti Abbas sendiri sudah terbebani oleh masalah mereka sendiri, terutama persaingan antara etnis Persi dan etnis Turki.
       Ketika kondisi di atas relatif berakhir sebenarnya kedudukan khalifah Abbasiyah sudah kuat kembali, akan tetapi kekuasaan khalifah saat itu hanya tinggal disekitar wilayah Baghdad saja. Sehingga secara politik dinasti abbasiyah tetap saja memprihatikan. Dalam kondisi seperti itulah kemudian datang serangan dari bangsa Mongol pada tahun 1258 M, yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
       Pada saat itu pasukan Mongol merupakan pasukan yang tangguh. Ekspansinya sudah ke banyak wilayah yang ada di sekitar bangsanya, bahkan sudah menguasai sebagian yang diakasi umat Islam. Mereka memiliki perlengkapan perang, juga memiliki disiplin yang tinggi. Orang-orang Mongol kemudian menyerang Baghdad pada saat Baghdad dalam kondisi yang sudah lemah. Pasukan Hulagu Khan menghancurkan Baghdad rata dengan tanah dan membunuh orang-orangnya.
       Khalifah terakhir bani Abbasiyah, al-Mu’tasim berusaha untuk mengulur waktu penyerahan tetapi hal itu sia-sia saja. Akhirnya Hulagu kehilangan kesabarannya dan penyerangan ke bani Abbasiyah. Pasukan Mongol menyeberangi sungai Tlgris. Mereka menghancurkan tanggul-tanggul air sehingga aimya membanjiri rumah-rumah penduduk. Penduduk berusaha lari namun sebagian mereka ditangkap oleh tentara dan dibenamkan ke dalam air.[24]
       Pada saat itu, al-Muta’sim menyuruh seseorang untuk menawarkan penyerahan. Tetapi Hulagu Khan minta agar al Muta’sim datang sendiri dan keluarganya beserta orang-orang lainnya. Ketika pennintaan itu dipenuhi untuk datang ke Hulagu bersama keluarga dan orang-oarang abbasiyah lainnya, tetapi justru yang terjadi adalah pasukan Hulagu melakukan penyerangan terhadap al-Mu’tasim beserta para pengikutnya. Bangunan-banguna dinasti Abbasiyah dengan berbagai macam khazanah lainnya termasuk Bait al-Hikmah di hancurkan oleh Hulagu Khan bersama tentaranya. Diperkirakan sekitar 800.000 orang baik pria, wanita maupun anak-anak menjadi sasaran pembantaian pasukan Mongol ini. Dalam pembantaian ini al-Mu’tasim sendiri beserta keluarganya dibunuh dengan kejam. Dengan terbunuhnya al-Mu’tasim yang merupakan khalifah terakhir dinasti Abbasiyah maka berakhir pulalah pemerintahan bani Abbas'iyah ini.[25]
D.    Hikmah Yang Dapat Diambil Dari Jejak Peradaban Dinasti Abbasiyah
Melihat dari beberapa kepribadian khalifah- khalifah Dinasti Abbasiyah terutama Abbu Abbas as Saffah, Abu Ja’far al Manshur, dan Harun ar Rasyid yang tidak hanya memiliki kepribadian yang baik, tapi semangat dan kerja keras mereka dapat di contoh dalam kehidupan kita. Perjuangan mereka dalam membangun kemajuan dunia Islam sangatlah luar biasa, yang patut kita contoh dan kita terapkan dalam menyebarkan ajaran Allah atau memajukan Islam dengan ilmu atau kemampuan yang kita miliki.  


BAB II
KECEMERLANGAN ILMUAN MUSLIM DINASTI ABBASIYAH

A.    Melahirkan Para llmuwan Muslim.
Tidak dapat dipungkiri kebijakan Harun Al-rasyid dalam bidang pendidikan telah banyak melahirkan ilmuwan ilmuwan muslim baik pada zaman Harun Alrasyid maupun zaman sepeninggalannya. Berikut adalah ilmuwan ilmuwan muslim yang dihasilkan pada zaman Harun Al rasyid dan zaman setelahnya.[26]
1.      Zakariya Ar Raji
Nama lengkapnya Abu Bakar Bin Muhammad Zakariya Ar-Raji. Di barat cukup dikenal dengan nama Razhes. Ar-razi di lahirkan di ray dekat theran iran tanggal satu Sya'ban 251 H atau 809 M.” Di kota kelahirannya ia dikenal sebagai dokler dan memimpin sebuah rumah sakit. Semasa hidupnya ia menulis tidak kurang dan‘ 200 buku ilmiyah. di antaranya adalah:
a. Al Hawi (buku penyuluhan); buku ini di anggap scbagai buku induk dalam bidang kedokteran.
b. Ensiklopedia kedokteran yang tcrdiri dari 10 jilid, jilid ke 9 buku ini di tulis bersama Al-Qanun Fi Al - Tibl karya Ibnu Sinna
c. Aljudari Wal Hasabah (cacar dan campak)
d. Al - Kymia mempakan buku acuan penning dalam ilmu kimia
e. Al - Asrar (rahasia rahasia)
Karya karya besar Ar raji tersebut merupakan buku rujukan penting dalam perkembangan dunia kedokteran saat itu dan untuk masa-masa berikutnya. Buku - buku karya Ar-razi banyak dijumpai di musium-musium Eropa dan banyak di gunakan sebagai buku rujukan untuk dunia kedokteran di barat. Selain itu banyak sekali penemuan monumental Ar-razi yang sangat berani bagi perlembangan ilmu kedokteran diantaranya :
a. Small fox (penyakit cacar). Penemuan ini melembungkan namanya dalam dunia medis. sebab ia adalah sarjana pertama yang meneliti penyakit tesebut. la membedakan penyakit ini menjadi penyakit air (variola) dan cacar merah (vougella).
b. Air raksa (HG) yaitu salah satu penemuan besar beliau dan banyak manfaatnya di dunia kedokteran.
c. Diagonsa Hipenensi ar - razi adalah seorang dokter yang penama kali melakukan diagonsa terhadap hipertensi (darah tinggi). Ia melakukan penelitian dan pengobatan kepala pening dengan pemanasan saraf. Ia pun melakukan pengobatan mirip cara akupuntur yang sekarang telah amat popular.
2.      Ibnu Massawayh (Dokter Spesialis Diet)
Nama lengkapnya Abu Zakariyya Yuhana Ibnu Masawayh. Popular dengan nama Ibnu Masawayh adalah nama orang tuanya. Ia dokter termasyhur di abad 3H/9M karimya sebagai dokter temama sejak jaman Harun Ar-Rasyid, Khalifah Abbasiyah kelima hingga Al - Mutawakkil khalifah kesepuluh. la pernah bekerja sebagai dokter istana. Pasien-pasiennya pada umumnya menganggap ia sebagai dokter spesialis diet karya - karya yang paling penting Ibnu Masawayh adalah:
a. AN-Nawadir At Tibbiya (sebuah kumpulan aporisme medis)[27]
b. Kitab Al - Azmina (sebuah deskripsi tentang ragam musim sepanjang tahun).
3.      Al-Kindi
Ia bernama Yusuf Ya’kub Bin Ishak Bin Sabah Al Kindi. Di barat ia di kenal dengan nama Al Kindus dia lahir di kupah pada tahun 801 M (pada masa pemerintahan Harun ar Rasyid ) ia seorang putra gubernur di kupah di masa Al Mahdi dan Harun Ar-Rasyid ia phidup pada masa pemerimahan Al-Amin Al-makmud Al - mutashim Al - wastiq dan Al mutawakkil. Al Kindi memilih basrah sebagai tempat ia menuntut ilmu disana ia menerima banyak ilmu pengetahuan dalam sejarah hidupnya ,di samping dikenal sebagai fllsup juga amat masyhur namanya sebagai ilmuan. Dalam karya filsapatnya, Al Kindi dapat menjelaskan pikiran - pikiran filsafat Aristoteles kepada bangsa Arab. Maka tidak heran jika ada yang memberinya gelar sebagai penggerak filsapat arab. Kebanyakan karaya Al- Kindi menyoroti masalah logika dan matematika. Diantara karya bidang filsafatnya adalah “Risalah Fi Madkhal AI-Mantiq Bil Istifa AI Qaul Pih" sebuah pengantar lengkap logika.
4.      Al-Khawarizmi
Nama lengkapnya Abu Abdulloh Muhammad Bin Musa Al - Khoarizmi. ia Lahir di khoariz, uzbekistan pada tahu I94 H/780 M. Pada usia mudanya, selama kepemimpinan kholifah Al -Makmun, ia bekerja di Baitul Hikam. Di sana ia bekerja dalam sebuah observatorium tempat ia menekuni matematika dan ekonomi.[28]
Muahammad ibnu Musa Al - khoarizmi adalah tokoh utama dalam kajian matematika arab. Sebagai seorang pemikir islam terbesar, ia telah memengaruhi pemikiran dalam bidang matematika hingga batas tertentu lebih besar dari pada penulis abad penengahan lainnya. Di samping menyusun tabel astronomi tertua, Al - Khoarizmi di kenal dengan penemuannya yang monumental tentang Al-jabar. Yaitu sistem hitungan nilai menurut tempatnya, puluhan. ratusan. ribuan, karya karya Al - jabarnya di sebut “ Al Mukhtasar Fi Hisab Al - Jabr Wa Al Muqobalah “.
5.      Musa Ibrahim Al-Fazari
Musa Ibrahim Al-Fazari adalah astronom muslim yang ditugaskan oleh kholifah Abu Ja’far Al Manshur (136-158 H/754 M) untuk menerjemahkan berbagai risalah astronomi yang berasal dari India. Kumpulan risalah itu bernama Brahmasputrasidanta, dan risalah yang pertama kali di terjemahkan Almagest. Terjemahan dari musa Al Fajari tersebut disempurnakan oleh Al-Hajaj bin Mthar pada tahun 221 H/827 M, lalu disempurnakan kembali oleh Hunain bin Ishak dan Tsabit bin Qurrah setahun kemudian.
Para astronom dan astrolog itu diangkat sebagai pegawai yang mendapat gaji cukup besar dari khalifah. Merekapun dapat berkonsentrasi melakukan penelitian dan pengkajian tentang astronomi dan astrologi sehingga melahirkan karya-karya gemilang. Pada tahun 215 H/830 M para astronom muslim telah mampu membuat teropong bintang dengan peralatan yang lengkap di kota Yundhisyapur Iran, sebagai perlengkapan sarana rumah sakit dan sekolah tinggi ilmu pengetahuan di sana.[29]
6.      Al - Farghani
Nama lengkapnya adalah Abu Al - Abbas bin Muhammad bin Khatir Al-Farghani. Orang barat menyebunya Al-Fargahanus. la adalah seorang astronom yang hidup pada jaman khalifah Al -Makmun (813 - 833 M) sampai masa khalifah Al-Mutawakkil (847-881 M).
Al FaIgani salah satu dari ilmuan yang memperindah Baitul Hikmah dengan prestsi - prestasinya. dan turut ambil bagian dalam pengukuran drajad garis lintang bumi. ia mulai melakuakan observasi astronominya pada observatorium astronomi yang dibangun oleh Khalifah Al-Makmun lahun 829 M. Pada jaman Khalifah AI-Mutawakkil ia diberi tugas untuk mengawasi pembangunan Nilometer di Pusat Mesir. Karya-karya besar Al - farghani di antaranya adalah:
a. Harakat As - Samawiyah An-Nujum ( asas-asas ilmu bintang )
b. Usul llmu An-Nujum ( pengantar ilmu perbintangan )

7.      Al-Battani
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Jabir Ibn Sinan Al- Battani, lahir Pada tahun 858 M, di Battan harram. la merupakan astronom arab terbesar yang lahir sekitar tahun 317 H/929 M. Ia  merupakan penerus Al - Farghani dalam observasi-observasi astronom pada observatotium asnonomi yang di bangun oleh Khalifah Al - Makmun. Di antara karya-karya Al - Battani antara lain:[30]
a. Kitab Ma‘rifat Matali Al - Buruj fi Bayina Arba‘ Al-Falak, sebuah buku ilmu pengetahuan tentang kenaikan tanda tanda zodiak dalam suatu ruang diantara kuadran - kuadran sfera langit, bukan pada salah satu diantara empat ‘ awtad ‘ atau poros.
b. Risalah fi Tahkik Al-Ittisalat, yaitu kenaikan kenaikan titik dari penerapan-pnerapan astrologis.
c. Az-Zij (Astronomical Treatese and Tables). berisi uraian astronomi dan dilengkapi dengan tabel-tabel. Ini adalah karya utamanya yang sampai sekarang masih digunakan.
Sumbangan lain Al - Battani terdapat perkembangan ilmu pengetahuan adalah pada keberhasilanya menemukan secara amat teliti garis lengkung dan kemiringan ekliptik (orbit dimana matahari kelihalannya bergerak), panjangnya tahun tropis, lamanya satu musim, dan tepatnya orbit matahari serta orbit utama planet itu.
8.      Imam Sibawayh
Sibawayh adalah seorang ahli gramatika yang paling terkenal dalam perkembangan bahasa dan sastra arab. Meskipun sebenamya ia berasal dari persia dan tidak pandai dalam bercakap bahasa arab. Khalifah Harun Ar- Rasyid pemah menampakan kekagumanya pada Sibawayh dan memberikan hadiah berharga kepadanya.
la benama Amru bin Utsman Al-Haris Abu Bashar. Ia dikenal sebagai imam ahli nahwu yang sangat teliti dan konsisten menjaga dan memelihara kaidah bahasa arab yang fasih. Dalam kitab nahwu karya sibawayh tidak ada sedikitpun dasar dan kaidah yang diubah oleh generasi setelahnya. Hal ini menunjukan betapa ia telah meletakan dasar yang kuat dan pantas untuk perkembangan bahasa arab selanjutnya. kitab besar karya sibawayh adalah “Kitab Al-Sibawayh” yaitu karya tentang ilmu bahasa yang terdiri dari 2 jilid, tebalnya 1000 halaman. dan dinilai sangat memuaskan bagi generasi - generasi yang datang selanjutnya.
9.      Abu Nuwas
Nama lengkapnya adalah Abu Nuwas Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Sering disebut Abu Nuwas karena lahir di Ahwaz, Iran sekitar tahun 145H/761M dan meninggal di Baghdad tahun 198H/813M , ia penyair arab termayhur zaman Harun Ar-Rasyid.[31] Pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid, ia menjadi penyair di istana khalifah, puisi-puisi gubahan Abu Nawas terdiri atas beberapa tema : pujian (madh), kehidupan zuhud (zuhdiyat), penggambaran khamar (khumriyat), dan lelucon sanda gurau (munjiyat). Syair-syair Abu Nawas dihimpun dalam diwan Abu Nawas, di terbitkan di Wina Australia tahun 1885 M dan di Kairo 1898 M .
10.  Imam Malik
Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 716 M dan meninggal di kota yang sama pada tahun 795M. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik bin Annas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harist bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Harist bin Asbahi. Dasar-dasar hukum yang digunakan Imam Malik dalam memutuskan adalah Al-Qur’an, Hadis, Urf, qiyas, dan maslahah al-mursalah. Kitab termasyhur yang di tulis oleh imam malik adalah al-muwatta’. [32]Kitab itu merupakan kitab hadis sekaligus buku fiqih karena berisi hadis-hadis yang berkaitan dengan bidang-bidang fiqih.
11.  Imam Syafi’i
Imam Syafi’i lahir di Gaza Palestina pada tahun 767 M dan meninggal di pustat kairo pada tahun 820 M. Ia hidup pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin idris Asyi-Syafi’i. Pada usia Sembilan tahun imam syafi’i sudah mampu menghafal Al-Qur’an. Kemudian, ia mendalami bahasa dan sastra arab di desa Badui, yaitu bani huzail. Setelah itu, ia belajar fiqih pada Imam Muslim bin Khalid Az-Zanni dan dalam ilmu hadis ia berguru pads imam sufyan bin uyainah sedangkan dalam ilmu Al-Qur’an ia berguru kepada Imam Ismail Bin Qastantin, dan ia juga juga mempelajari kitab Al-Muwatta’ dan berguru pada Imam Malik.
Dalam menetapkan hukum, imam syafi’i menggunakan lima dasar, yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma’,qiyas, istidal (penalaran). Adapun karya-karya Imam Syafi’i adalah Ar-Risalah (membahas tentang ushul fiqih), Al-Umm (membahas kitab fiqi yang menyeluruh), Al-Musnad (hadis-hadis nabi) dan Ikhtilaf al-hadis  (kitab mengenai perbedaan-perbedaan dalam hadis).
12.  Imam Bukhari
Imam Bukhari lahir di Bukhara tahun 810 M dan mninggal di khartanah tahun 870 M. Nama lengkapnya adalah Abu Adullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin bardizbah Al-Bukhari. Sejak kecil, imam al-bukhari mempunyai ingatan yang tajam melebihi orang lain. Ketika berumur 10 tahun, ia belajar ilmu hadis kepada ad-dakhili, seorang ulama masyhur pada saat itu. Dalam usia 16 tahun, ia telah menghafal hadis-hadis yang terdapat dalam karangan ilmu Mubarak dan wakil al-jarah. Kitab sahih al-bukhari memuat 7.275 hadis-hadis dan sekitar 100.000 hadis yang diakuinya shahih. Imam al-bukhari berhasil mengumpulkan kurang lebih 600.000 hadis dan 300.000 hadis yang diantaranya berhasil dia hafal. Hadis-hadis yang di hafal terdiri dari 200.000 hadis tidak shahih dan 100.000 hadis shahih. Selain sahih al-bukhari juga menulis beberapa karya lain di antaranya adalah[33] at-tarikh as-sagir, at-tarikh al-ausat, tafsir al-musnad al-kabir, kitab ad-du’afa.
13.  Imam Muslim
Imam Muslim lahir di Nisabur pada tahun 817 M dan meninggal tahun 857M di kota yang sama. Nama lengkapnya adalah Abu al-husain muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Nisaburi. Sejak usia 14 tahun, ia mendengarkan hadis-hadis dari syekh-syekh di negerinya. Setelah itu ia pergi ke Hijaz , Irak, Suriah, Mesir dan negeri-negeri lain untuk memperdalam ilmunya. Karyanya yang besar adalah al-jami’ as-sahih Muslim yang lebih dikenal dengan sahih muslim.
14.  Imam Abu Daud
Abu Daud lahir di Baghdad pada tahun 817 M dan wafat di Basra pada tahun 888 M. Nama lengkapnya adalah Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Amran Al-Azdi As-Sijistani. Di umur 21 tahun ia menetap di Baghdad, setelah itu ia melakukan perjalanan panjang untuk mempelajari hadis di berbagai tempat, seperti Hijaz, Suriah, Mesir, Khurasan, Kufa, dan Basra. Dalam perjalanan itu ia berguru pada pakar-pakar ilmu hadis, salah satunya yaitu imam hambali.
Sekembalinya dari pengembaraan tersebut, Abu Daud menulis sebuah kitab hadis, yaitu sunan Ab Daud. Para ulama memasukkan kitab tersebut ke dalam kutubus-sittah atau enam hadis utama,. Kitab hadis itu memuat 4000 hadis dan sekitar 5000.000 hadis yang di kumpulkannya.
15.  An-Nasa’i
An-nasa’i lahir di Nasa, khurasan pada tahun 830 M dan meninggal di Damaskus pada tahun 915 M. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin syu’aib bin ali bin bahr bin sinan. Sejak kecil ia belajar menghafal al-qur’an dan mendalami dasar-dasar ilmu agama. Pada usia 15 tahun ia mengembara ke Hijaz, Irak,Mesir, suriah dan aljazair untuk berguru ilmu hadis kepada para ulama. Selain ahli hadis an-nasa’i juga seorang ahli fqih dan madzhab syafi’i . an-nasa’i menulis beberapa kitab yaitu As-Sunan al-kubra (sunah-sunah yang agung), as-sunan al-mujtaba (sunah-sunah pilihan), kitab at-tamyiz (kitab pembeda), kitab ad-dhuafa (kitab tentang orang-orang yang kecil).[34]
16.  Ibnu majah
Ibnu majah lahir di qazwin tahun 824 M dan meninggal pada tahun 887 M. Nama kengkapnya adalah abu abdillah bin yazid ar-rabi’i al-qazwini. Majah adalah nama gelar bagi yazid. Pada usia 15 tahun, ia belajar pada seorang ulama masyhur yang bernama Ali bin Muhammad at-tanafasi. Pada usia 21 tahun ia mengadakan perjalanan untuk mencari ilmu ke basra, kufah, Baghdad, khurasana, suriah mesir. Ibnu majah telah menyusun kitab dalam berbagai cabang ilmu. Dalam bidang tafsir , ia juga menulis at-tarikh , sebuah kitab yang berisi periwayat hadis dari masa awal ke masanya. Karyanya dalam bidang hadis adalah sunan ibnu majah . kitab ini menunjukkan kegigihan kerjanya, kedalam dan keluasan ilmunya, serta panutannya terhadap sunnah nabi, baik dalam masalah akidah maupun masalah hukum. [35]
B.     Hikmah Yang Dapat Diambil Dari Kecermelangan Ilmuwan Dinasti Abbasiyah
Melihat tokoh- tokoh ilmuwan yang sangat luar biasa pada zaman Dinasti Abbasiyah, kita dapat mengambil hikmah bahwasannya kita perlu mencontoh kepribadian beliau, dengan terus semangat dalam mencari ilmu dan mengembangkan ilmu kita, sehingga ilmu yang kita dapatkan nanti bisa bermanfaat untuk diri kita dan orang lain.



BAB III
PERADABAN EMAS DINASTI ABBASIYAH

A.    Prestasi Dinasti Abbasiyah Dalam Berbagai Keilmuan
Masa dinasti abasiyyah merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada masa ini umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan, sehingga mengalami kemajuan pesat. Pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti buku-buku karya bangsa Yunani, Romawi dan Persia. Berbagai naskah yang ada di kawasan Timur Tengah dan Afrika seperti Mesopotamia dan Mesir juga menjadi perhatian.
Banyak para ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah kelompok mawali atau orang-orang non arab, seperti Persia. Pada masa permulaan Dinasti Abasiyah, belum terdapat pusat pusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah. Akan tetapi sejak masa pemerintahan Harun Ar Rasyid mulailah dibangun pusat-pusat pendidikan formal seperti Darul Hikmah dan pada masa Al Ma'mun dibangun Baitul Himah yang kelak dari lembaga ini melahirkan para sarjana dan para ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan bagi umat Islam (N Abbas Wahid dan Suratno, 2009)
Pada masa Al Ma'mun ilmu pengetahuan dan kegiatan intelektual mengalami masa kejayaanya. la mendirikan Baitul Hikmah yang menjadi pusat kegiatan ilmu, terutama ilmu pengetahuan nenek moyang Eropa (Yunani). Pada masa itu banyak karya-karya Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Selanjutnya model ini dikembangkan di Darul Hikmah Cairo kemudian diterima kembali oleh barat melalui Cordova dan kota-kota lain di Andalusia (M Abdul Karim, 2007).[36]
Khalifah Al Ma'mun lebih lagi melangkah, yaitu mengirim tim sarjana ke berbagai pusat ilmu di dunia, untuk mencari kitab-kitab penting yang harus diterjemahkanya (A lasjmy, 1973: 227). Hal inilah salah satu yang menjadikan Islam mengalami kemajuan. Karena umat Islam bisa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang ada di penjuru dunia
Disamping sebagai pusat penerjemahan, Baitul Hikmah juga berperan sebagai perpustakaan dan pusat pendidikan. Karena pada masa perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan lslam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan. (Zuhairi dkk, 1992). Sehingga Baitul Hikmah selain menjadi lembaga penerjemahan juga sebagai perpustakaan yang mengoleksi banyak buku.
Pada masa ini berkembang berbagai macam ilmu pengetahuan, baik itu pengetahuan umum ataupun agama, seperti Al Qur'an, Qiraat, Hadits, Fiqih, kalam, bahasa dan sastra. Disamping itu juga berkembang empat mazhab fiqih yang terkenal, diantaranya Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi, Imam Maliki ibn Anas pendiri madzhab Maliki, Muhammad ibn Idris Asy-Syafi'i pendiri madzhab Syafi'i dan Muhammad ibn Hanbal, pendiri madzhab Hanbali. Disamping itu berkembang pula ilmu- ilmu umum seperti ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, alam, geometri, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia. Ilmu-ilmu umum masuk kedalam Islam melalui terjemahan di Baitul Hikmah dari bahasa Yunani dan persia ke dalam bahasa Arab.[37]
Pada masa pemerintahan al Ma'mun pengaruh Yunani sangat kuat. Diantara para penerjemah yang masyhur saat itu ialah Hunain ibn Ishak, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan buku- buku Yunani ke dalam bahasa Arab. la terjemahkan kitab Republik dari Plato dan kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari dari Aristoteles (Ali Mufrodi, 1997).
B.     Kemajuan di Bidang Kebudayaan
Pada masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindia dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.[38]
C.      Kemajuan di Bidang Politik    
Pada masa itu kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, yang menyebabkan pada masa ini mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah periode pertama.
Dinasti Abbasiyah adalah pemerintahan yang berbasis militer, menurut Marshal G.S Hodgson karakter dari politik Dinasti Abbasiyah adalah absolutisme, yaitu pemerintahan yang mutlak ditangan khalifah dan bersifat tidak terbatas. Salah satu simbol absolutisme itu adalah adanya pengeksekusi hukuman mati untuk orang- orang yang menolak perintah dan kemauan khalifah. Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Dinasti Abbasiyah yaitu:
1.    Para khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya dari kaum mawali.
2.    Kota Baghdad dijadikan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja termasuk bangsa dan penganut agama lain.
3.    Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang harus dikembangkan.
4.    Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia.
Masa Dinasti Abbasiyah pada khalifah Harun Ar Rasyid dalam bidang politik, yang memegang teguh dengan karakter politiknya yaitu absolutisme yang menghasilkan ke kokohan dalam kekuasaanya. Sebagaimana tidak ada lagi bahaya ancaman dari berbagai kelompok, tidak terjadi pertentangan lagi antara Bangsa Arab dan Bangsa Persia.[39]

D.      Kemajuan di Bidang Administrasi
Dalam bidang administrasi negara, masa Daulah Abbasiyyah tidak jauh berbeda dengan masa Umayyah. Hanya saja, pada masa ini telah mengalakemajuan-kemajuan, perbaikan, dan penyempurnaan.
Secara umum, menurut Philip K. Hitti, krndali pemerintahan dipegaoleh khalifah sendiri. Sementara dalam operasinya, yang menyangkut urusurusan sipil dipegang oleh wazir (menteri), masalah hukum diserahkakepada qadi (hakim), dan masalah militer dipegang oleh amir ( jenderal)
Sistem pemerintahan Abbasiyyah bersifat sentralisasi. Dalam kesadadarurat, sering khalifah menyerahkan pemerintahan kepada panglima beangkatan perang, dan diberi gelar ‘Amiru al-Umara’. Adapun menteri-menteri departemen tersebut terdiri dari:
1. Diwan al-Kharaj (departemen keuangan)
2. Diwan al-Diyah (departemen kehakiman)
3. Diwan al-Zimam (departemen pengawasan urusan-urusan negara)
4. Diwan al-Jund (departemen ketentaraan)
5. Diwan al-Mawali wa al-Ghilman (departemen perburuan)
6. Diwan al-Barid (departemen post dan telekomunikasi)
7. Diwan al-Ziman wa al-Nafakat (departemen pengawasa
keuangan)
8. Diwan al-Rasail (departemen urusan arsip)
9. Diwan al-Toukia (departemen permohonan)
10. Diwan al-Nazr fi al-Mazalim (departemen pembelaan rakr
tertindas)
11. Diwan al-Ahdas wa al-Shurta (departeman keamanan da
kepolisian)
12. Diwan al-‘Ata (departemen sosial)
13. Diwan al-Akhsyam (pedartemen keluarga dan wanita)
14. Diwan al-Akarah (departemen pekerjaan umum dan tenaga kerja)[40]

E.     Kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan Umum
Banyak lahir ilmuwan-ilmuwan besar dan sangat berpengaruh terhadap peradaban islam:
1. Ilmu kedokteran
a) Hunain ibn Ishaq (804-874 M), terkenal sebagai dokter penyakit terhadap peradaban islam mata.
 b) Ar Razi (809-873 M), terkenal sebagai dokter ahli penyakit cacar dan campak. Buku karanganya di bidang kedokteran bejudul Al Hawi
c) Ibn sina (980-1036 M), karyanya yang terkenal adalah al Qonun fi at-Tibb dan dijadikan buku pedoman kedokteran bagi universitas di negara Eropa dan negara Islam.
d) Abu Marwan Abdul Malik ibn Abil'ala ibn Zuhr (1091-1162 M), terkenal sebagai dokter ahli penyakit dalam. Karyanya yang terkenal adalah At Taisir dan Al Iqtida
e) Ibn Rusyd (520-595 M), terkenal sebagai perintis penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar .
2.  Ilmu Perbintangan
a) Abu Masy'ur al Falaki, karyanya adalah Isbatul'Ulum dan Haiatul Falaq
b) Jabir Al Batani, pencipta teropong bintang yang pertama, karya yang terkenal adalah Kitabu Ma'rifati Matlil-Buruj Baina Arbai Falaq
c) Raihan Al Biruni, karya yang terkenal adalah at-Tafhim li Awa'ili Sina 'atit-Tanjim (N Abbas Wahid dan Suratno, 2009: 50)
3.  Ilmu Pasti/ Matematika
a)  Sabit bin Qurrah al Hirany, karyanya yang terkenal adalah Hisabul Ahliyyah
b)  Abdul Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Abbas, karyanya yang terkenal ialah Ma Yahtaju llaihi Ummat Wal Kuttab min Sinatil-hisab.
c)  Al Khawarijmi, tokoh matematika yang mengarang buku al Jabar
d)  Umar Khayam, karyanya tentang al Jabar yang bejudul Treatise on al-Gebra telah diterjemahkan oleh F Woepcke ke dalam bahasa Prancis (1857 M). Karya Umar Khayam lebih maju daripada al Jabar karya Euklides dan Al Khawarizmi.
4.  Ilmu farmasi dan Kimia
Salah satu ahli farmasi adalah ibn Baitar, karyanya yang terkenal adalah Al Mugni, Jami’ Mufratil Adwyyah, wa Agziyah dan Mizani Tabib. Adapun dibidang Kima adalah Abu Bakar Ar Razi dan Abu Musa Ya’far al Kufi
5.  Ilmu Filsafat
Tokoh-tokoh filsafat Islam antara lain, Al Kindi (805-873), AIFarabi (872-950 M) dengan karyanya Ar-Ra’yu ahlul Madinah al Fadilah Ibnu sina (980-1036 M). Al Ghazali (450-505 M) dengan karya tahAfut al-Falasifat, Ibnu Rusyid dan lain-lain.
6.  Ilmu Sejarah
Ahli Sejarah yang lahir pada masa itu adalah Abu Ismail al Azdi, dengan karyanya yang berjudul Futuhusyi Syam, al Waqidy dengan karyanya al Magazi, Ibn Sa'ad dengan karyanya at-Tabaqul Kubra dan Ibnu Hisyam dengan karyanya Sirah ibn Hisyam.
7.  Ilmu Geografi
Tokohnya ialah Ibnu Khazdarbah dengan karyanya Kitabul Masalik wal Mamalik, Ibnu Haik dengan karyanya Kitabus Sifatl Jaziratil 'arab dan Kitabul Iklim, Ibn Fadlan dengan karyanya Rihlah Ibnu fadlan.[41]
8.  Ilmu Sastra
Pada masa itu juga berkembang ilmu sastra yang melahirkan beberapa penyair terkenal seperti, Abu Nawas, Abu Atiyah, Abu Tamam, Al Mutannabbi dan Ibnu Hany. Di samping itu mereka juga menghasilkan karya sastra yang fenomenal seperti Seribu Satu Malam "Alf Lailah Walailah", yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Arabian Night(Ali Mufrodi, 1997).
F.     Kemajuan di Bidang Ekonomi
Ekonomi berpusat pada perdagangan dunia (Basrah, Iraq) dan (Siraf Pesisir Laut Persia). Kemudian bergeser ke Kairo dan Baghdad sebagai jantung pemerintahan juga menjadi penopang kegiatan perdagangan.
a). Pertanian, sistem irigasi modern dengan memanfaatkan sungai Eufrat dan Tigris, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil humi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
b). Perindustrian Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya yang salah satunya industri kertas
c). Perdagangan, segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti: (1) Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang. (2) Membangun armada-armada dagang. (3) Membangun armada untuk melindungi partai-partai negara dari serangan bajak laut. (4) Menggiatkan ekspor impor.[42]
G.  Kemajuan di Bidang Ilmu Agama
Di samping ilmu pengetahuan umum, pada masa itu berkembang pula ilmu agama dengan tokoh-tokohnya sebagai berikut:
1.      Ilmu Tafsir
Pada masa itu berkembang dua macam tafsir dengan tokoh-tokohnya:
a) Tafsir Bil Ma'tsur (penafsiran ayat Al Qur'an oleh Al Qur'an atau Hadits Nabi),    diantara tokohnya adalah Ibnu Jarir At Tabari, Ibnu Atiyah al Andalusy, Muhammad Ibn Ishak dan lain-lain.
b) Tafsir Bir-Ra yi (Tafsir dengan akal pikiran), diantara tokohnya adalah Abu Bakar Asam, Abu Muslim Muhammad bin Bahr Isfahany, Ibnu Juru As Asadi dan lain-lain (A. Hasjmy).
2.      Ilmu Hadits
Pada masa itu sudah ada pengkodifikasian Hadits sesuai kesahihannya.
Maka lahirlah ulama-ulama hadits terkenal seperti Imam Bukhori Muslim. At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan An Nasa"i. Dan dari merekalah diperoleh Kutubus Sittah
3.      Ilmu Kalam
Ilmu Kalam lahir karena dua faktor, yaitu musuh Islam ingin melumpuhkan Islam dengan filsafat dan semua masalah termasuk agama berkisar pada akal dan ilmu. Diantar tokohnya ialah Wasil ibn Atho. Abu Hasan Al Asy ari, Imam Ghozali dan lain-lain .
4.      Ilmu Tasawuf
Diantara tokohnya adalah al Qusairy dengan karyanya Risalatul Qusairiyah dan Al Ghozali dengan karyanya Ihya Ulumuddin .
5.      Ilmu bahasa
Pada masa itu kota Basrah dan Kuffah menjadi pusat kegiatan bahasa. Diantara tokohnya ialah Sibawaih, Al Kisai dan Abu Zakariya al Farra
6.      Ilmu fikih
Zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan empat imam madzhab, mereka adalah Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki. Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir al-Ouran dan pemisahnya dari IImu Hadits. Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh al-Quran ,yang ada hanyalah tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah. Pada masa ini ilmu fikih juga berkembang pesat, terbukti pada masa ini muncul empat madzhab fiqih, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali.[43]


H.    Hikmah Yang Bisa Diambil Dari Peradaban Emas Dinasti Abbasiyah
     Usaha yang dilakukan demi memajukan peradaban Islam dengan kerja keras, semangat yang tinggi adalah sikap yang perlu kita contoh. Dengan adanya kemajuan dari berbagai ilmu pengetahuan umum, kebudayaan, ilmu keagamaan dan lain- lain pada masa Dinasti Abbasiyah ini kita bersyukur bisa mengenal berbagai macam ilmu seperti halnya ilmu yang kita dapatkan sekarang.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Azizi, Abdul Syukur. 2017. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. Yogyakarta:          Noktah.
Darmawati. 2013.  “Sepak Terjang Demokrasi dalam Masyarakat Islam”. Sulesana, Vol.            8, No. 2.
Farah, Naila. Perkembangan Ekonomi dan Administrasi Pada Masa Bani Umayyah dan   Bani Abbasiyah, IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Fuadi, Imam. 2017. Sejarah  Peradaban Islam. Yogyakarta: Kalimedia.
Hakiki, Kiki Muhammad. 2012.  Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti        Abbasiyah, Jurnal TAPIS, Vol. 08, No. 01.
Karim, M Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka   Book Publisher.
Riyadi, Fuad. 2014. Perpustakaan Bayt Al Hikmah: The Golden Age of Islam, Jurnal      Perpustakaan   Libraria, Vol. 02, No. 01.
Safitri. 2015. Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah, Skripsi fakultas Adab dan   Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah.



[1] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 143
[2] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Noktah, 2017), hlm. 176
[3] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam..., hlm.177
[4] Imam Fuadi, Sejarah  Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Kalimedia, 2017), hlm. 113-114
[5] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 179-180
[6] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 181
[7] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm.182
[8] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 183
[9] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 186-187
[10] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 188
[11] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam ..., hlm. 188
[12] Darmawati, “Sepak Terjang Demokrasi dalam Masyarakat Islam”, Sulesana, Vol. 8, No. 2, 2013, hlm. 61
[13] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam..., hlm. 178
[14] Darmawati, “Sepak Terjang Demokrasi dalam Masyarakat Islam..., hlm.61-63

[15] Darmawati, “Sepak Terjang Demokrasi dalam Masyarakat Islam..., hlm.63
[16] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam..., hlm. 194-195
[17] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam..., hlm. 195
[18] Imam Fuadi, Sejarah  Peradaban Islam ..., hlm. 142-144
[19] Imam Fuadi, Sejarah  Peradaban Islam ..., hlm. 144-145
[20] Imam Fuadi, Sejarah  Peradaban Islam ..., hlm. 146
[21] Kiki Muhammad Hakiki, Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Jurnal TAPIS, Vol. 08, No. 01, 2012, hlm. 131-132
[22] Imam Fuadi, Sejarah  Peradaban Islam ..., hlm. 149-150
[23] Imam Fuadi, Sejarah  Peradaban Islam ..., hlm. 150-151
[24] Imam Fuadi, Sejarah  Peradaban Islam ..., hlm. 151-152
[25] Imam Fuadi, Sejarah  Peradaban Islam ..., hlm. 152-153
[26] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah, Skripsi fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, 2015, hlm. 23
[27] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 24-25
[28] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 26
[29] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 27
[30] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 28
                 [31] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm 29-30
               [32] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 31.
                  [33] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm.33
[34] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 35-36
[35] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 36-37
[36]  Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al Hikmah: The Golden Age of Islam, Jurnal Perpustakaan Libraria, Vol. 02, No. 01, 2014, hlm. 110
[37] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al Hikmah ..., hlm. 111
[38] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al Hikmah ..., hlm. 111
[39] Safitri, Kemajuan Umat Islam dimasa Bani Abbasiyah ..., hlm. 61-62
[40] Naila Farah, Perkembangan Ekonomi dan Administrasi Pada Masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah,  IAIN Syekh Nurjati Cirebon, hlm. 45-46
[41] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al Hikmah ..., hlm. 112-113
[42] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al Hikmah ..., hlm. 113-114
[43] Fuad Riyadi, Perpustakaan Bayt Al Hikmah ..., hlm. 114

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer