Monday, July 06, 2020

AL-FANA DAN AL-BAQA’


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Akhlak tasawuf merupakan bentuk ilmu murni yang tergolong dalam islam. Akhlak dan tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga dapat dikatakan bahwasannya At- tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan Al-akhlaqu bidayatut tashawwufu. Dalam tasawuf digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi dan tasawuf itu biasanya lebih mengarah pada bentuk batini dibandingkan dengan bentuk lahiri, namun tidak dipungkiri pula adanya bentuk lahiri di dalamnya.
Tasawuf ini sendiri disebut juga sebagai “mitisme dalam islam”. Dikalangan orientalis Barat, lebih dikenal dengan sebutan “sufisme”. Kata “sufisme”  tidak ada pada mistisme agama-agama lain. Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan tersebut mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada dihadirat Tuhan.
Kesadaran tersebut menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan yang kemudian berkelanjutan menjadi fana dan baqa’. Dan dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa hal mengenai fana dan baqa’.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Al-fana dan Al-baqa’ ?
2.      Bagaimanakah pandangan Al-Qur’an terhadap Al-fana dan Al-baqa’ ?
3.      Bagaimanakah konsep Al-fana dan Al-baqa’ menurut beberapa tokoh ?
4.      Bagaimanakah tingkatan-tingkatan Al-fana ?

C.    Tujuan Makalah
1.      Menjelaskan pengertian al-fana dan al-baqa’
2.      Memahami pandangan Al-Qur’an terhadap Al-fana dan Al-baqa’
3.      Mengetahui konsep Al-fana dan Al-baqa’ menurut beberapa tokoh
4.      Menjelaskan tingkatan-tingkatan Al-fana



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Fana dan Al-Baqa
1.      Pengertian Al-Fana
Fana dalam istilah tasawuf, ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Hal ini semakin jelas dalam definisi yang dikemukakan oleh Al-Thusi, fana adalah “fananya sifat jiwa”. Sementara itu, Al-Qusyairi merumuskannya dengan “sirnanya sifat-sifat tercela”. Lebih lanjut ia menambahkan dengan hilangnya sifat-sifat tercela tersebut, maka diisi dengan sifat-sifat terpuji. Kedua sifat tersebut senantiasa ada pada manusia dan tidak mungkin ada alternatif ketiga. Jika seseorang fana dari sifat-sifat tercela, maka yang muncul adalah sifat-sifat terpuji, dan barang siapa yang cenderung pada sifat tercela, maka sifat terpujinya tertutupi, dan demikian pula sebaliknya.
Abu Bakar Al-Kalabazi menjelaskan pangertian al-fana, sebagaimana dimaksudkan dalam tasawuf , adalah “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada, pamrih dari segala perbuatan manusia itu sendiri, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan dalam ia berbuat sesuatu”.

2.      Pengertian Al-Baqa
Al Baqa berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Konsep al fana tidak dapat dipisahkan oleh Al-Baqa. Keduanya merupakan konsep yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani Baqa. Kedua makam tersebut diungkapkan dalam Al-qura’an.
Dalam menerangkan kaitan antara al-fana dan al-baqa, al-qusyairi menyatakan : “barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatn tercela, maka ia sedang fana dari syahwatnya, jika ia fana dari syahwatnya berarti ia baqa dalam niat dan keikhlasan beribadah: ......Barangsiapa yang zuhud dari keduniaannya dalm hatinya, maka ia sedang fana dari keinginannya, berarti pula ia sedang baqa dalam ketulusan ibadahnya....; barangsipa yang fana dari ahlak yang tercela, yang baqa dalam futuwwah dan kejujuran ..... dan seterusnya”.[1]

B.     Pandangan Al-Qur’an terhadap Al-Fana dan Al-Baqa
Akhlak Tasawuf merupakan bentuk ilmu murni yang tergolong dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga dapat dikatakan bahwasanya At tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan al-akhlaqu bidayatut tashawwuf. Dalam tasawuf, digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi / wijdan, dan tasawuf itu biasanya lebih mengarah pada bentuk batini dibanding dengan bentuk lahiri, namun tidak dipungkiri pula adanya bentuk lahiri di dalamnya.
Sufisme dalam penerapan pengalaman tentang fana’ dan baqa’, seorang tokoh yang bernama Junaid mengemukakan bahwa, “tasawuf adalah membuat engkau mati di dalam dirimu, dan hidup di dalam diri-NYA.” Dan tokoh tasawuf lainnya yang bernama Abu Ali Juzjani juga mengemukakan pendapatnya bahwa “seorang sufi (ahli tasawuf) adalah orang yang melupakan dirinya dan hidup dalam cahaya pandang ilahi yang tidak begitu peduli akan dirinya atau juga sesuatu yang lain”. Seorang calon sufi pertama kali harus mengikuti persiapan, ia harus mempuyai iman yang benar, menjauhi perbuatan yang mungkar, menjauhi dosa besar dan kecil kemudian menjalankan sunnah rasul yang terpuji.
Faham fana’ dan baqa‘ yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqa al-rabbi menemui Tuhan. Fana’ dan baqa’ merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan.[2] Hal ini sejalan dengan firman Allah surat Al-kahfi ayat 110 yang berbunyi:
 قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Paham ittihad dan hulul ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagai mana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu). Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniyah ataubathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk (Fana), meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana dan Baqa, hal ini juga dapat dipahami dari isyarat ayat di bawah ini.[3]
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ﴿٢٦﴾وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ﴿٢٧﴾
Artinya : “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Al-Rahman: 26-27).
Surat-surat ini merupakan bukti secara tidak langsung dari kepedulian Allah dengan bentuk kesufian umatnya. Pada zaman Rasulullah SAW, kaum muslim sentiasa mengharapkan kedatangan wahyu untuk memberi petunjuk, bimbingan dan teguran. Karena dahulu setiap kali turun Wahyu kepada Rasulullah SAW, maka yang terjadi adalah sebuah perubahan pada dirinya serta suasana  disekelilingnya. Mereka fana di dalam wahyu hingga tidak akan ada perkataan yang menguasai mereka melebihi perkataan Allah SWT. Mereka baqa’ di dalam perintah wahyu yaitu kehambaan kepada Allah SWT hingga tidak akan  ada yang menguasai mereka melainkan peraturan Allah SWT. Itulah umat Nabi Muhammad SAW. yang fana dalam wahyu dan baqa dalam ubudiah (kehambaan).

C.    Konsep Fana dan Baqa Menurut Beberapa Tokoh
1.      Ibn Arabi
Fana dalam pengertin mistik adalah hilangnya ketidaktahuan sedangkan baqa yaitu suatu pengetahuan yang pasti/sejati yang diperoleh dengan intuisi mengenai kesatuan esensial dari keseluruhan ini. Selain itu fana adalah hilangnya bentuk-bentuk dunia fenomena dan berlanjutnya substansi universaal yang tunggal. Hal ini disimpulkan dengan hilangnya sesuatu bentuk pada saat Allah memanifestasikan (tajalli) diri-Nya dalam bentuk lain.
2.      Al-Qusyairi
Fana adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa adalah berdirinya sifat-sifat terpuji.
3.      E.A. Affifi
Pemikiran mengenai fana dan baqa dibagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:
a.       Si sufi menjauhkan dirinya dari dosa (al-fana’ an al-ma’asi)
b.      Memfana’kan dirinya dari semua perbuatan(af’al), ia hanya menyadari bahwa Allah sendirilah satu-satunya pelaku segaala perbuatan(af’al) di alam ini.
c.       Memfan’akan dirinya dari sifat-sifat dan kualitas wujud yang bersifat mungkin, sebab semuanya adalah milik Allah.
d.      Memfana’kan personalitas atau dzat dirinya sendiri, ia menyadari dengan sungguh-sungguh ketidakberadaan (non eksistensi) dari fenomena diriny serta baqa di dalam substansi yang tidak beruabah dan tidak hancur yang merupkan esensinya.
e.       Si sufi melepaskan semua sifat-sifat Allah serta hubungnnya, yaitu ia lebih memandang Allah sebagai esensi dari alam ini daripada sebagai sebab. Maksudnya si sufi tidak menganggap alam sebagai akibat dari suatu sebab, melainkan sebagai suatu realitas dalam pemunculan Allah (Al haa fid dzuhur).
4.      Junaid al-Baghdadi
Tauhid bisa dicapai dengan membuat diri fana dari dirinya sendiri dan alam sekitarnya, sehingga keinginanya dikendalikan oleh Allah.[4]
5.      Muhammad Nafis
Maqam fana adalah musyahadah secara bertahap dari maqam ke maqam selanjutnya, sebagai berikut :
a.       Maqam Tauhid Al-Af’al
b.      Maqam Tauhid Al-Asma’
c.       Maqam Tauhid Al-Shifat
d.      Maqam Tauhid Al-Dzat
Muhammad Nafis menjelaskan bahwa maqam baqa lebih tinggi adri maqam fana. Maqam fana sirna dibawah Ahadiyat Allah. Sedangkan maqam baqa kekal dengan Wahdiyat Allah. Dengn kata lain, maqam fan itu memandang bahwa yang maujud (ada) hanya Allah. Sedangkan maqam baqa meemandang ke-dia-an Alah dan kemandirian-Nya meliputi segala yang ada (zarrat al wujud. Ia menyebut maqam baqa sebagai maqam tajalli atau dhuhur.
Dengan harmonis dia padukan pandangan wahdat al-Syuhud dengan wahdat al-Wujud, yaitu memandang alam semesta yang serba majemuk sebagai penampakan dari wujud Allah. Fana dan baqa melalui proses yang berasal dari makrifat dapat menyampaikan pada kasyaf, yakn terbukana hakikat sesuatu bagi sufi, kasyaf dapa menyampikan fana. Fana menympikan pada Fana al-Fana, yaitu sufi tidak melihat dan tidak merasakan bahwa dia sendiri yang memfana’kan dirinya, yang dia lihat dan rasakan adalah Allah yang memfana’kan dirinya. Dan fana al-Fana inilah yang megantarkan ketingkatan Baqa.[5]
6.      Abu Bakar M. Kalabdzi
Keluruhan fana adalah suatu keadaan yang didalamnya seluruh hasrat meluruh darinya. Sehingga para sufi tidak megalami perasaan apa-apa, dan kehilangan kemampuan membedakan. Dia telah luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada suatu yang menyebabkan dia luruh. Baqa mengadung arti bahwa para sufi itu meluruh dari sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, dan ttap tinggal dikarenakan sesuatu yang menjadi milik Allah. [6]
7.      Abu Sa’id al-Kharraz
Tanda keluruhan sang sufi adalah keluruhannya dari hasratnya akan duna ini dan dunia nanti, kecuali hasratnya kan Allah.
8.      Abu Al-Qasim Faris
Keluruhan adalah keadaan seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya api ditafsirkan sendiri, tapi menyaksikannya sebgai disembunyikan oleh Dia yang lembut sifat itu lenyap. Keluruhan sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak ada, tetapi ditafsirkan bahwa sifat itu tertutup oleh sesuatu kesenangan yang menggantikn realisasi rasa sakit.[7]

9.      R.A Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam
Ia mengatakan tentang tiga tingkat fan yaitu perubahan moral, penghayatn jiwa, dan lenyapnya kesadran. Dala hal ini, Imam al-Ghazali yang embatasi sampai ke fana tingat dua, masih mempertahankan adanya perbedaan yang fundamental anta hamba yang melihat dengan Tuhan yang dilihatnya. Sebaliknya Husain bin Mansur al-Hallaj yang menekankan pencapaian fana tingat tiga cenderung ke paham Manunggaling kawula-gusti. Dalam penghayatan ini manusia merasa mengalami sama dan jadi seperti Tuhan itu sendiri. Adapun salah satu jalan untuk mencapai penghayatan Fana Fillah (ectarsy).disamping mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemustan kesadaran) dengan perantaraan zikir.[8]

D.    Tingkatan-tingkatan Fana
1.      Tingkat 1: Fana’ Fi Af ‘Alillah
Artinya : “Tiada perbuatan melainkan Allah”. Fana pada tingkat pertama ini, seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ilham”, tiba-tiba Nur Ilahy terbit dalam hati sanubari, kehadiran hati beserta Allah dalam situasi manapun, gerak dan diam telah lenyap menjadi gerak dan diamnya Allah. Dalam tingkat fana’ ini hancurlah hijab dan kegelapan, yakni semua itu telah fana’ dan dengan fana’nya itu maka yang ada hanyalah Nur Iman dan Tauhid.

2.      Tingkat 2: Fana’ Fis-Shifat
Artinya : “Tiada yang hidup sendiri melainkan Allah”. Fana’ tingkat ini, seseorang sudah mulai dalam situasi putusnya diri dari alam indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan. Dalam arti bahwa situasi mematikan diri dan menisbatkan sifat Allah, memfana’kan sifat-sifat diri ke dalam kebaqaan Allah yang mempunyai sifat sempurna. Firman Allah dalam QS. Al-Hasyr [23]: 123, artinya: “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Maha Raja, Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki segala ke-Agungan! Maha Suci Allah dari segala apa yang mereka persekutukan.

3.      Tingkat 3: Fana’ Fil Asma
Artinya : “Tiada yang patut dipuji melinkan Allah”. Pada tingkat ketiga ini seseorang sudah lebih dalam lagi fana’nya. Segala sifat keinsanannya telah lenyap sama sekali dari alam wujud yang gelap ini, sehingga masuk ke dalam alam ghoib.

4.      Tingkat 4: Fana’ Fidz Dzat
Artinya : “Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah”. Pada fana’ yang ke empat ini, seseorang telah memperoleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berisi, tiada lagi kanan kiri. Tidak ada depan belakang, dia telah mencapai martabat “Syuhudul Haqqi bil Haqqi”. Dia telah lenyap dari dirinya sendiri, dalam keadaan dimana hanya dalam kebaqaan Allah semata.

Dapat disimpulkan bahwa segalanya telah hancur lebur, kecuali wujud yang mutlak.[9] Dan dapat juga diambil pengertian masalah fana’ yaitu membersihkan diri lahir batin, memfana’kan segala penyerupaan-penyerupaan Allah dari sifat-sifat yang tidak sebanding dengan yang dimilki-Nya. Membangkitkan wujud diri sendiri yang baru akan membebaskan individu tersebut dari ketergantungan pada strategi-strategi jiwa yang selama ini menahan dirinya, membuatnya mampu mengatasi berbagai tantangan hidup dari dirinya sendiri yang lebih dalam.[10]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Akhlak Tasawuf merupakan salah satu ilmu yang ada dalam islam. Sebelum melakukan tasawuf hendak nya manusia itu harus berakhlak.Ditinjau dari paradigma pengalamannya tasawuf terbagi menjadi tasawuf suni, tasawuf salaf, dan atsawuf falsafi. Dalam makalah ini kami membahas tentang fana dan baqa yang merupakan salah satu komponen dari tasawuf suni.
Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengn Tuhan. Sedangkan baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam pengahncuran diri untuk mencapai ma’rifah. Adapun tujuan fan dan baqa adalah mencapai penyatuan secara ruhaniah dan batiniyah dengan Tuhan sehingga yang disadarinya bahwa Tuhan ada adalam dirinya. Sedangkan kedudukan fana dan baqa adalah hal.
B.     Saran


DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Ris’a. 2013. Tasawuf Dan Tarekat. Jakarta: Rajawali Press.
Hadi, Mukhtar. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Aura Media.
Nata, Abudin. 2000. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT  Raja Graffindo Persada.
Isa, Ahmad. 2017. Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan.           Jakarta: PT  Raia Graffindo Persada.
Kalabadzi, Abu Bakar  M. 2002. Menggapai Kecerdasan Sufistik. Jakarta Selatan: Hikamah.
Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: PT Raja         Grafindo.
Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Khan, Pir Vilayat Inayat. 2002. Membangkitkan Kesadaran Spiritual: Sebuah        Pengalaman Sufistik. diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. Bandung:         Pustaka Hidayah.


       [1] Ris’an Rusli, Tasawuf Dan Tarekat, (Jakarta: Rajawali Press, 2013;), hal. 90-96.
       [2] Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf, (Yogyakarta: Aura Media, 2009), hal. 119.
       [3] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; PT  Raja Graffindo Persada, 2000),.hal .242.
       [4] Ahmad Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta: PT  Raia Graffindo Persada, 2017), hal. 144.
       [5]Ahmad Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, ..., hal. 149-151.
       [6]Abu Bakar  M. Kalabadzi, Menggapai Kecerdasan Sufistik, (Jakarta Selatan: Hikamah, 2002), hal. 35-36.
       [7]Ibid, hal. 39-41.
       [8] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), hal. 105-109.
       [9] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1998), hal. 242.
       [10] Pir Vilayat Inayat Khan, Membangkitkan Kesadaran Spiritual: Sebuah Pengalaman Sufistik, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, (Bandung:  Pustaka Hidayah, 2002), hal. 162.

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer