BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Akhlak tasawuf merupakan bentuk ilmu
murni yang tergolong dalam islam. Akhlak dan tasawuf mempunyai hubungan yang
sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga dapat
dikatakan bahwasannya At- tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan Al-akhlaqu
bidayatut tashawwufu. Dalam tasawuf digunakan pendekatan suprarasional yaitu
dengan intuisi dan tasawuf itu biasanya lebih mengarah pada bentuk batini
dibandingkan dengan bentuk lahiri, namun tidak dipungkiri pula adanya bentuk
lahiri di dalamnya.
Tasawuf ini sendiri disebut juga
sebagai “mitisme dalam islam”. Dikalangan orientalis Barat, lebih dikenal
dengan sebutan “sufisme”. Kata “sufisme”
tidak ada pada mistisme agama-agama lain. Tasawuf bertujuan untuk
memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan tersebut
mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada dihadirat
Tuhan.
Kesadaran tersebut menuju kontak
komunikasi dan dialog antara ruh manusia dan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa
manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan
berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan yang kemudian berkelanjutan menjadi
fana dan baqa’. Dan dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa hal mengenai
fana dan baqa’.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian Al-fana dan Al-baqa’ ?
2.
Bagaimanakah pandangan Al-Qur’an terhadap Al-fana dan Al-baqa’ ?
3.
Bagaimanakah konsep Al-fana dan Al-baqa’ menurut beberapa tokoh ?
4.
Bagaimanakah tingkatan-tingkatan Al-fana ?
C.
Tujuan Makalah
1.
Menjelaskan pengertian al-fana dan al-baqa’
2.
Memahami pandangan Al-Qur’an terhadap Al-fana dan Al-baqa’
3.
Mengetahui konsep Al-fana dan Al-baqa’ menurut beberapa tokoh
4.
Menjelaskan tingkatan-tingkatan Al-fana
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Al-Fana dan Al-Baqa
1. Pengertian Al-Fana
Fana dalam istilah
tasawuf, ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Hal ini semakin
jelas dalam definisi yang dikemukakan oleh Al-Thusi, fana adalah “fananya sifat
jiwa”. Sementara itu, Al-Qusyairi merumuskannya dengan “sirnanya sifat-sifat
tercela”. Lebih lanjut ia menambahkan dengan hilangnya sifat-sifat tercela
tersebut, maka diisi dengan sifat-sifat terpuji. Kedua sifat tersebut
senantiasa ada pada manusia dan tidak mungkin ada alternatif ketiga. Jika
seseorang fana dari sifat-sifat tercela, maka yang muncul adalah sifat-sifat
terpuji, dan barang siapa yang cenderung pada sifat tercela, maka sifat
terpujinya tertutupi, dan demikian pula sebaliknya.
Abu
Bakar Al-Kalabazi menjelaskan pangertian al-fana, sebagaimana dimaksudkan dalam
tasawuf , adalah “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada,
pamrih dari segala perbuatan manusia itu sendiri, sehingga ia kehilangan segala
perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah
menghilangkan semua kepentingan dalam ia berbuat sesuatu”.
2.
Pengertian Al-Baqa
Al Baqa berarti
mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Konsep al fana tidak dapat
dipisahkan oleh Al-Baqa. Keduanya merupakan konsep yang berpasangan. Jika
seorang sufi sedang mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani Baqa. Kedua makam tersebut
diungkapkan dalam Al-qura’an.
Dalam
menerangkan kaitan antara al-fana dan al-baqa, al-qusyairi menyatakan : “barang
siapa meninggalkan perbuatan-perbuatn tercela, maka ia sedang fana dari
syahwatnya, jika ia fana dari syahwatnya berarti ia baqa dalam niat dan
keikhlasan beribadah: ......Barangsiapa yang zuhud dari keduniaannya dalm
hatinya, maka ia sedang fana dari keinginannya, berarti pula ia sedang baqa
dalam ketulusan ibadahnya....; barangsipa yang fana dari ahlak yang tercela,
yang baqa dalam futuwwah dan kejujuran ..... dan seterusnya”.[1]
B.
Pandangan
Al-Qur’an
terhadap Al-Fana dan Al-Baqa
Akhlak Tasawuf merupakan bentuk ilmu
murni yang tergolong dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai hubungan yang
sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga dapat
dikatakan bahwasanya “At tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan al-akhlaqu bidayatut
tashawwuf”. Dalam tasawuf, digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan
intuisi / wijdan, dan tasawuf itu biasanya lebih mengarah pada bentuk batini
dibanding dengan bentuk lahiri, namun tidak dipungkiri pula adanya bentuk
lahiri di dalamnya.
Sufisme dalam penerapan pengalaman
tentang fana’ dan baqa’, seorang tokoh yang bernama Junaid
mengemukakan bahwa, “tasawuf adalah membuat engkau mati di dalam dirimu, dan
hidup di dalam diri-NYA.” Dan tokoh tasawuf lainnya yang
bernama Abu Ali Juzjani juga mengemukakan pendapatnya bahwa “seorang sufi (ahli
tasawuf) adalah orang yang melupakan dirinya dan hidup dalam
cahaya pandang ilahi yang tidak begitu peduli akan dirinya atau juga sesuatu
yang lain”. Seorang calon sufi pertama kali harus mengikuti persiapan, ia harus
mempuyai iman yang benar, menjauhi perbuatan yang mungkar, menjauhi dosa besar
dan kecil kemudian menjalankan sunnah rasul yang terpuji.
Faham fana’ dan baqa‘ yang ditujukan untuk
mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqa
al-rabbi menemui Tuhan. Fana’ dan baqa’
merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan.[2] Hal
ini sejalan dengan firman Allah surat Al-kahfi ayat 110 yang berbunyi:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ
ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya".
Paham ittihad dan hulul ini juga dapat dipahami dari
keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagai
mana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah dirimu
(lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu). Ayat tersebut memberi
petunjuk bahwa Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu
dengan Tuhan secara rohaniyah ataubathiniyah, yang caranya antara lain dengan
beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan
sifat-sifat dan akhlak buruk (Fana), meninggalkan dosa dan maksiat, dan
kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup
dalam konsep Fana dan Baqa, hal ini juga dapat dipahami dari isyarat ayat di
bawah ini.[3]
كُلُّ
مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ﴿٢٦﴾وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
﴿٢٧﴾
Artinya : “Semua yang ada di bumi itu
akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.” (Q.S. Al-Rahman: 26-27).
Surat-surat ini merupakan bukti secara tidak langsung
dari kepedulian Allah dengan bentuk kesufian umatnya. Pada zaman Rasulullah SAW, kaum muslim sentiasa mengharapkan
kedatangan wahyu untuk memberi petunjuk, bimbingan dan teguran. Karena dahulu
setiap kali turun Wahyu kepada Rasulullah SAW, maka yang terjadi adalah sebuah
perubahan pada dirinya serta suasana disekelilingnya. Mereka
fana di dalam wahyu hingga tidak akan ada perkataan yang menguasai mereka
melebihi perkataan Allah SWT. Mereka baqa’ di dalam perintah wahyu yaitu
kehambaan kepada Allah SWT hingga tidak akan ada
yang menguasai mereka melainkan peraturan Allah SWT. Itulah umat Nabi
Muhammad SAW. yang fana dalam wahyu dan baqa dalam ubudiah (kehambaan).
C.
Konsep Fana dan Baqa Menurut Beberapa Tokoh
1.
Ibn Arabi
Fana dalam
pengertin mistik adalah hilangnya ketidaktahuan sedangkan baqa yaitu suatu
pengetahuan yang pasti/sejati yang diperoleh dengan intuisi mengenai kesatuan
esensial dari keseluruhan ini. Selain itu fana adalah hilangnya bentuk-bentuk
dunia fenomena dan berlanjutnya substansi universaal yang tunggal. Hal ini
disimpulkan dengan hilangnya sesuatu bentuk pada saat Allah memanifestasikan (tajalli) diri-Nya
dalam bentuk lain.
2.
Al-Qusyairi
Fana adalah
gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa adalah berdirinya sifat-sifat
terpuji.
3.
E.A. Affifi
Pemikiran
mengenai fana dan baqa dibagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:
a.
Si sufi menjauhkan dirinya dari dosa (al-fana’ an al-ma’asi)
b.
Memfana’kan dirinya dari semua perbuatan(af’al), ia hanya menyadari
bahwa Allah sendirilah satu-satunya pelaku segaala perbuatan(af’al) di alam
ini.
c.
Memfan’akan dirinya dari sifat-sifat dan kualitas wujud yang bersifat
mungkin, sebab semuanya adalah milik Allah.
d.
Memfana’kan personalitas atau dzat dirinya sendiri, ia menyadari
dengan sungguh-sungguh ketidakberadaan (non eksistensi) dari fenomena diriny
serta baqa di dalam substansi yang tidak beruabah dan tidak hancur yang
merupkan esensinya.
e.
Si sufi melepaskan semua sifat-sifat Allah serta hubungnnya, yaitu
ia lebih memandang Allah sebagai esensi dari alam ini daripada sebagai sebab.
Maksudnya si sufi tidak menganggap alam sebagai akibat dari suatu sebab,
melainkan sebagai suatu realitas dalam pemunculan Allah (Al haa fid dzuhur).
4.
Junaid al-Baghdadi
Tauhid bisa
dicapai dengan membuat diri fana dari dirinya sendiri dan alam sekitarnya,
sehingga keinginanya dikendalikan oleh Allah.[4]
5.
Muhammad Nafis
Maqam fana
adalah musyahadah secara bertahap dari maqam ke maqam selanjutnya, sebagai
berikut :
a.
Maqam Tauhid Al-Af’al
b.
Maqam Tauhid Al-Asma’
c.
Maqam Tauhid Al-Shifat
d.
Maqam Tauhid Al-Dzat
Muhammad Nafis
menjelaskan bahwa maqam baqa lebih tinggi adri maqam fana. Maqam fana sirna
dibawah Ahadiyat Allah. Sedangkan maqam baqa kekal dengan Wahdiyat
Allah. Dengn kata lain, maqam fan itu memandang bahwa yang maujud (ada)
hanya Allah. Sedangkan maqam baqa meemandang ke-dia-an Alah dan kemandirian-Nya
meliputi segala yang ada (zarrat al wujud. Ia menyebut maqam baqa sebagai maqam
tajalli atau dhuhur.
Dengan harmonis
dia padukan pandangan wahdat al-Syuhud dengan wahdat al-Wujud,
yaitu memandang alam semesta yang serba majemuk sebagai penampakan dari wujud
Allah. Fana dan baqa melalui proses yang berasal dari makrifat dapat
menyampaikan pada kasyaf, yakn terbukana hakikat sesuatu bagi sufi, kasyaf
dapa menyampikan fana. Fana menympikan pada Fana al-Fana, yaitu sufi
tidak melihat dan tidak merasakan bahwa dia sendiri yang memfana’kan dirinya,
yang dia lihat dan rasakan adalah Allah yang memfana’kan dirinya. Dan fana
al-Fana inilah yang megantarkan ketingkatan Baqa.[5]
6.
Abu Bakar M. Kalabdzi
Keluruhan fana
adalah suatu keadaan yang didalamnya seluruh hasrat meluruh darinya. Sehingga
para sufi tidak megalami perasaan apa-apa, dan kehilangan kemampuan membedakan.
Dia telah luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada suatu yang
menyebabkan dia luruh. Baqa mengadung arti bahwa para sufi itu meluruh dari
sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, dan ttap tinggal dikarenakan sesuatu
yang menjadi milik Allah. [6]
7.
Abu Sa’id al-Kharraz
Tanda keluruhan
sang sufi adalah keluruhannya dari hasratnya akan duna ini dan dunia nanti,
kecuali hasratnya kan Allah.
8.
Abu Al-Qasim Faris
Keluruhan
adalah keadaan seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya api ditafsirkan
sendiri, tapi menyaksikannya sebgai disembunyikan oleh Dia yang lembut sifat
itu lenyap. Keluruhan sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak ada,
tetapi ditafsirkan bahwa sifat itu tertutup oleh sesuatu kesenangan yang
menggantikn realisasi rasa sakit.[7]
9.
R.A Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam
Ia mengatakan tentang tiga tingkat fan yaitu
perubahan moral, penghayatn jiwa, dan lenyapnya kesadran. Dala hal ini, Imam
al-Ghazali yang embatasi sampai ke fana tingat dua, masih mempertahankan adanya
perbedaan yang fundamental anta hamba yang melihat dengan Tuhan yang
dilihatnya. Sebaliknya Husain bin Mansur al-Hallaj yang menekankan pencapaian
fana tingat tiga cenderung ke paham Manunggaling kawula-gusti. Dalam
penghayatan ini manusia merasa mengalami sama dan jadi seperti Tuhan itu
sendiri. Adapun salah satu jalan untuk mencapai penghayatan Fana Fillah
(ectarsy).disamping mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi
(pemustan kesadaran) dengan perantaraan zikir.[8]
D.
Tingkatan-tingkatan Fana
1.
Tingkat 1: Fana’ Fi Af ‘Alillah
Artinya : “Tiada perbuatan melainkan Allah”. Fana
pada tingkat pertama ini, seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal
pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ilham”, tiba-tiba
Nur Ilahy terbit dalam hati sanubari, kehadiran hati beserta Allah dalam
situasi manapun, gerak dan diam telah lenyap menjadi gerak dan diamnya Allah.
Dalam tingkat fana’ ini hancurlah hijab dan kegelapan, yakni semua itu telah
fana’ dan dengan fana’nya itu maka yang ada hanyalah Nur Iman dan Tauhid.
2.
Tingkat 2: Fana’ Fis-Shifat
Artinya : “Tiada yang hidup sendiri melainkan Allah”.
Fana’ tingkat ini, seseorang sudah mulai dalam situasi putusnya diri dari alam
indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan. Dalam arti bahwa situasi
mematikan diri dan menisbatkan sifat Allah, memfana’kan sifat-sifat diri ke
dalam kebaqaan Allah yang mempunyai sifat sempurna. Firman Allah dalam QS.
Al-Hasyr [23]: 123, artinya: “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Maha
Raja, Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha
Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki segala
ke-Agungan! Maha Suci Allah dari segala apa yang mereka persekutukan.”
3.
Tingkat 3: Fana’ Fil Asma
Artinya : “Tiada yang patut dipuji melinkan Allah”.
Pada tingkat ketiga ini seseorang sudah lebih dalam lagi fana’nya. Segala sifat
keinsanannya telah lenyap sama sekali dari alam wujud yang gelap ini, sehingga
masuk ke dalam alam ghoib.
4.
Tingkat 4: Fana’ Fidz Dzat
Artinya : “Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah”.
Pada fana’ yang ke empat ini, seseorang telah memperoleh perasaan batin pada
suatu keadaan yang tak berisi, tiada lagi kanan kiri. Tidak ada depan belakang,
dia telah mencapai martabat “Syuhudul Haqqi bil Haqqi”. Dia telah lenyap dari
dirinya sendiri, dalam keadaan dimana hanya dalam kebaqaan Allah semata.
Dapat disimpulkan bahwa
segalanya telah hancur lebur, kecuali wujud yang mutlak.[9]
Dan dapat juga diambil pengertian masalah fana’ yaitu membersihkan diri lahir
batin, memfana’kan segala penyerupaan-penyerupaan Allah dari sifat-sifat yang
tidak sebanding dengan yang dimilki-Nya. Membangkitkan wujud diri sendiri yang
baru akan membebaskan individu tersebut dari ketergantungan pada
strategi-strategi jiwa yang selama ini menahan dirinya, membuatnya mampu
mengatasi berbagai tantangan hidup dari dirinya sendiri yang lebih dalam.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhlak Tasawuf merupakan salah satu ilmu yang ada
dalam islam. Sebelum melakukan tasawuf hendak nya manusia itu harus
berakhlak.Ditinjau dari paradigma pengalamannya tasawuf terbagi menjadi tasawuf
suni, tasawuf salaf, dan atsawuf falsafi. Dalam makalah ini kami membahas
tentang fana dan baqa yang merupakan salah satu komponen dari tasawuf suni.
Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorang
sufi agar dapat bersatu dengn Tuhan. Sedangkan baqa adalah sifat yang
mengiringi dari proses fana dalam pengahncuran diri untuk mencapai ma’rifah.
Adapun tujuan fan dan baqa adalah mencapai penyatuan secara ruhaniah dan
batiniyah dengan Tuhan sehingga yang disadarinya bahwa Tuhan ada adalam
dirinya. Sedangkan kedudukan fana dan baqa adalah hal.
B. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
Rusli, Ris’a.
2013. Tasawuf Dan Tarekat. Jakarta: Rajawali Press.
Hadi, Mukhtar. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Aura Media.
Nata, Abudin. 2000. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
PT Raja Graffindo Persada.
Isa, Ahmad. 2017.
Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan. Jakarta: PT Raia Graffindo
Persada.
Kalabadzi, Abu
Bakar M. 2002. Menggapai Kecerdasan
Sufistik. Jakarta Selatan: Hikamah.
Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya
dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT.
Bina Ilmu.
Khan, Pir Vilayat Inayat. 2002. Membangkitkan
Kesadaran Spiritual: Sebuah Pengalaman
Sufistik. diterjemahkan oleh
Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka Hidayah.
No comments:
Post a Comment