BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang Masalah
Waris dalam
bahasa Indonesia disebut juga dengan pusaka. Maksudnya adalah harta, benda dan
hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati (meninggal) untuk dibagikan kepada
yang berhak menerimanya. Dalam hal ini, orang yang meninggalkan harta bendanya
disebut sebagai pewaris, sedangkan orang yang menerima harta tersebut disebut
dengan ahli waris.
Di dalam Hukum Waris Islam ada
masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah
khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang
penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain
pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya.
Masalah-masalah khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila
penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk
menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan
itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang
‘aul, radd yaitu ketika pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun
kelebihan harta dan wasiat wajibah.
Selain itu penulis juga membahas tentang ashabah, yaitu orang orang-orang yang
mendapatkan sisa dari harta peninggalan simayit setelah ashabul furudh
mengambil harta bagian-bagian yang telah ditentukan bagi ashabul furudh
tersebut dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam macam
pembagian warisan.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian Aul,
Radd dan Ashobah ?
2.
Bagaimana macam-macam
Ashobah?
3.
Bagaimana contoh Aul, Radd
dan Ashobah ?
- Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pengertian
Aul, Radd dan Ashobah.
2.
Untuk mengetahui
macam-macam Ashobah.
3.
Untuk mengetahui contoh
Aul, Radd dan Ashobah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Aul, Radd, dan Ashabah
1. Pengertian ‘Aul
Pada
zaman Rasulullah saw. dan kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq peristiwa ‘aul
belum pernah terjadi. ‘Aul pertama kali terjadi pada masa kekhalifahan
Umar bin Khattab.[1]
Al-‘aul
dalam
bahasa Arab mempunyai banyak arti, diantaranya zalim dan menyeleweng seperti
dalam Surah An-Nisa’ ayat 3:
ذَالِكَ
أَدْنى أَلَّا تَعُولُوا ...
“...yang demikian itu adalah lebih dekat agar
kamu tidak berbuat zalim”. (QS. An-Nisa’: 3).
Definisi al-‘aul menurut istilah yaitu
bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya
bagian para ahli waris. ‘Aul adalah suatu situasi dimana fard/
saham-saham para ahli waris yang berkumpul dalam mewarisi melebihi dari harta
yang dibagi.[2]
Terjadinya masalah ‘aul apabila
angka pembilang lebih besar dari angka penyebut (misalnya 8/6), sedangkan
biasanya harta selalu dibagi dengan penyebutnya, namun apabila hal ini
dilakukan akan terjadi kesenjangan pendapatan, dan menimbulkan persoalan siapa
yang lebih diutamakan dari para ahli waris tersebut.
Pokok masalah yang ada dalam ilmu faraid
ada tujuh. Tiga diantaranya dapat di ‘aul-kan sedangkan yang empat tidak
dapat. Ketiga pokok masalah yang dapat di ‘aul-kan adalah enam (6), dua
belas (12), dan dua puluh empat (24), sedangkan pokok masalah yang tidak dapat
di ‘aul-kan ada empat yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan
(8). Misalnya, seorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya, ibu
mendapatkan sepertiga (1/3) bagian dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam
contoh ini pokok masalahnya ada tiga (3), jadi ibu mendapatkan satu bagian dan
ayah mendapatkan dua bagian. Pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian
para ashabul furudh.
Angka-angka pokok yang dapat di ‘aul-kan
ialah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok
masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai
misal, angka enam (6) hanya dapat di ‘aul-kan hingga angka sepuluh (10),
yakni dapat naik menjadi 7, 8, 9 atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa.
Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12)
hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka
ganjilnya, lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di ‘aul-kan
tiga kali saja.
Sedangkan
pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di ‘aul-kan kepada 27
saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraidh yang memang masyhur
dikalangan ulama faraidh dengan sebutan “masalah al-mimbariyyah”.[3]
2. Pengertian Radd
Kata radd secara bahasa
berarti i’aadah : mengembalikan. Dikatakan radda’ ‘alaihi haqqah artinya
a’aadahu ilaih: dia mengembalikan haknya kepada yang berhak. Kata radd juga
berarti sharf : meluangkan kembali. Dikatan radda ‘anhu kaida
‘aduhwwih : dia memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya.
Radd menurut
istilah adalah mengembalikan apa yang tersisa dari sebagian dzawil furudh
nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila
tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian, radd merupakan
kebalikan dari aul. Apabila harta peninggalan masih mempunyai kelebihan
setelah dibagikan kepada seluruh ahli waris sesuai dengan ketentuannya
masing-masing dan tidak ada ahli waris yang mendapatkan ashabah, kelebihan
harta tersebut dikembalikan kepada ahli waras yang ada menurut pembagiannya masing-masing.
Dalam masalah radd ini, ada beberapa orang diantaranya Ulama
mutaqaddimin yang tidak menyetujui, yaitu Zaid bin Tsabit, Az Zuhry, Maliki,
Syafi’i dan Ibnu Hazm. Alasan mereka ialah bahwa besarnya bagian-bagian para
ahli waris telah ditetapkan secara pasti oleh nash. Adanya radd berarti merubah ketetapan nash. Oleh karena itu
apabila ada kelebihan harta warisan, tidak perlu dikembalikan lagi kepada ahli
waris, tetapi diserahkan ke baitul mal untuk kebutuhan kaum muslimin. Menurut
Imam Syafi’i, jika kas Negara tidak berfungsi, maka sisa sisa itu boleh
diberikan kepada ashabul furud.[4]
Ar-radd tidak
akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat sebagai
berikut:
a.
Adanya ashabul
furudh
b.
Tidak ada ahli
waris yang mendapat ashabah
c.
Adanya sisa harta
waris.
Adapaun pendapat para ulama bahwa radd
diberikan kepada semua ashabul furudh, kecuali kepada suami/istri, ayah,
dan kakek. Dengan demikian, radd diberikan kepada delapan golonagn,
yaitu:
a) Anak
perempuan
b) Anak
perempuan (cucu) dari anak laki-laki
c) Saudara
perempuan sekandung
d) Saudara
perempuan seayah
e) Ibu
f) Nenek
g) Saudara
laki-laki seibu
h) Saudara
perempuan seibu
Dalam masalah sisa harta waris diberikan
kepada siapa, ada dua pendapat yaitu :
1. Ada
yang berpendapat bahwa sisa pembagian tersebut diberikan kepada Baitul Mal. Di
Indonesia tentunya dapat saja diserahkan kepada Bazis. Apabila ini yang dipakai
maka tidak ada persoalan sama sekali.
2. Sis
hasil pembagian harta waris tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang shahibul
furudh.[5]
Radd
tidak
diberikan kepada suami/istri, karena radd itu dimiliki dengan jalan
rahim, sedangkan suami/istri itu tidak mempunyai hubungan rahim, kecuali hanya
sebab perkawinan dan akan terputus akibat kematian. Mereka hanya berhak memperoleh
pembagian warisan berdasarkan ketentuan sebagai ahli waris yang mempunyai
bagian tetap, tanpa memperoleh tambahan. Radd juga tidak diberikan
kepada ayah dan kakek, karena radd terjadi apabila tidak ada ahli waris ashabah,
sedang ayah dan kakek termasuk ahli waris ashabah yang mengambil sisa
dengan jalan ta’shib, bukan dengan cara radd.[6]
3. Pengertian Ashabah
Ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ﻋﺎﺼﺐ yakni ahli waris
yang mendapat harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan.[7] Sedangkan ahli faraid
mendefinikan ashabah yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika
berada sendirian dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh mendapat bagian
mereka yang telah ditentukan.[8] Jika ahli waris mayit
hanya mereka, maka mereka mengambil semua harta, dan apabila bersama mereka ini
ada ahli waris yang mendapat bagian furudh, maka mereka mengambil sisa
harta setelah bagian furudh diberikan. Namun jika harta tidak tersisa, maka mereka tidak
mendapat apa-apa.
Di dalam pembagian
sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya.
Konsekuensinya adalah, ahli waris yang peringkat kekerabatannya dibawah tidak
mendapatkan bagian.[9] Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah :
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لأَوْلَى رَجُلٍ
ذَكَرٍ
“Berikanlah
warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan jika tersisa, maka
diberikan kepada ahli waris laki-laki yang lebih berhak menerimanya”. ( H.R Al-Bukhari dan Muslim )
Ahli waris ashabah harus menunggu sisa
pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya, dan keistimewaan
ashabah ini ia dapat menghabiskan seluruh, kalau ahli waris yang ditentukan
bagiannya sudah mengambil apa yang menjadi haknya.[10]
B.
Macam-macam
Ashabah
Secara
umum ashabah ini terbagi kepada dua yaitu:
1. Ashabah nasabiyah, yaitu menjadi ashabah
disebabkan adanya hubungan darah dengan si pewaris. Ashabah nasabiyah
ini terbagi menjadi tiga yaitu:
a) Ashabah bin Nafsi, yaitu menjadi ashabah
dengan dirinya sendiri, yaitu disebabkan karena kedudukannya. Adapun ahli waris
yang menjadi ashabah bin nafsi ini adalah seluruh ahli waris yang
laki-laki kecuali suami dan saudara laki-laki seibu.
b) Ashabah bil Ghair, yaitu menjadi ashabah
disebabkan oleh orang lain, hal ini terjadi pada ahli waris yang perempuan, di
mana sebelumnya dia bukan merupakan ashabah (ada bagian tertentu dalam
Al-qur’an dan hadis), namun dengan hadirnya ahli waris bin nafsih
(laki-laki) yang sederajat dengannya, anak perempuan dikarenakan anak laki-laki,
cucu perempuan dikarenakan cucu laki-laki (seterusnya kebawah). Cicit laki-laki
dapat mengashabahkan cucu perempuan apabila cucu laki-laki tidak ada
(yang rendah dapat mengashabahkan yang lebih tinggi dengan syarat yang
diatas akan terhijab). Saudara perempuan kandung dikarenakan saudara
laki-laki kandung. Saudara perempuan sebapak dikarenakan saudara laki-laki
sebapak.
c) Ashabah ma’al Ghair, yaitu
ashabah karena mewaris bersama orang dengan
lain. Yang menjadi ashabah ma’al ghair ini adalah saudara
perempuan kandung karena mewaris bersama dengan anak perempuan, cucu perempuan,
cicit perempaun, dan seterusnya. Jelasnya ashabah ma’al ghair ini
kemungkinan hanyalah saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak
saja, yaitu : saudara perempuan kandung bersama dengan anak perempuan, saudara
perempuan kandung bersama cucu perempuan , saudara perempuan sebapak bersama
dengan anak perempuan, saudara perempuan sebapak bersama dengan cucu perempuan.
2. Ashabah sababiyah, yaitu menjadi ashabah
dikarenakan adanya sesuatu sebab, sebab yang dimaksud disini adalah karena ada
perbuatan memerdekakan si mayit dari perbudakan (lazimnya sekarang ini tidak
ada lagi ditemui).[11]
Skema
Ashabah
Bin
Nasabiyah CP
dikarenakan CL dari AL
SPK dikarenakan SLK
SPseB dikarenakan SLseB
Ma’al Ghair dari AL
SPseB menjadi ashabah bersama dengan AP atau CP dari AL
Saudara Perempuan Kandung Cucu Perempuan
Cicit Perempuan seterusnya kebawah
Cicit Perempuan seterusnya kebawah
C.
CONTOH
‘AUL, RADD dan ASHABAH
1. Contoh ‘aul
Seorang
wafat dan meninggalkan istri, ibu dan dua orang saudara kandung perempuan.
Pokok masalahnya dari dua belas (12), maka pembagiannya sebagai berikut: bagian
istri seperempat (1/4) berarti tiga bagian, bagian ibu seperenam (1/6) berarti
dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua pertiga
(2/3) berarti delapan bagian. Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah
melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas (13). Karena itu harus dinaikkan
menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.[12]
Contoh
disertai harta warisan: seorang meninggal harta warisannya Rp. 60.000.000.-
ahli warisnya terdiri dari: istri, ibu, dua saudara perempuan sekandung dan
satu saudara seibu. Bagian masing-masing :
1) Jika tidak ditempuh dengan
cara ‘aul:
Ahli waris
|
Bagian
|
Asal masalah
|
Harta Warisan
|
Penerimaan
|
|
|
12
|
Rp. 60.000.000,-
|
|
||
Istri
1/4
|
3
|
3/12 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp.
15.000.000,-
|
||
Ibu
1/6
|
2
|
2/12 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp.
10.000.000,-
|
||
2
Saudara kandung
|
8
|
8/12 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp.
40.000.000,-
|
||
Saudara
seibu
|
2
|
2/12 x Rp. 60.000,000,-
|
Rp.
10.000.000,-
|
||
Jumlah
|
15
|
Rp.
75.000.000,-
|
Hasilnya
terjadi kekurangan sebesar Rp. 15.000.000,-.
2)
Jika ditempuh dengan cara ‘aul :
Ahli waris
|
Bagian
|
Asal Masalah
|
Harta Warisan
|
Penerimaan
|
|
15
|
Rp. 60.000.000,-
|
|
|
Istri
1/4
|
3
|
3/15 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp.
12.000.000,-
|
|
Ibu
1/6
|
2
|
2/15 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp.
8.000.000,-
|
|
2
saudara kandung
|
8
|
8/15 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp.
32.000.000,-
|
|
Saudara
seibu
|
2
|
2/15 x Rp. 60.000,000,-
|
Rp.
8.000.000,-
|
|
Jumlah
|
15
|
Rp.
60.000.000,-
|
2.
Contoh
radd
Seorang meninggal
dunia meninggalkan ahli waris; ibu, dan seorang anak perempuan. Harta
warisannya sebesar Rp 12.000.000,-, maka penyelesaiaannya sebagai berikut :[13]
1) Jika tidak ditempuh dengan
cara radd :
Ahli waris
|
Bagian
|
Asal Masalah
|
Harta warisan
|
Penerimaan
|
6
|
Rp. 12.000.000,-
|
|||
Anak Perempuan
1/2
|
3
|
3 /6 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 6.000.000,-
|
|
Ibu
1/6
|
1
|
1 /6 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 2.000.000,-
|
|
4
|
Jumlah
|
Rp. 8.000.000,-
|
Terdapat sisa harta sebesar Rp. 4.000.000,-
2) Jika ditempuh dengan cara radd
Ahli waris
|
Bagian
|
Asal masalah
|
Harta warisan
|
Penerimaan
|
4
|
Rp. 12.000.000,-
|
|||
Anak Perempuan 1/2
|
3
|
3 /4 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 9.000.000,-
|
|
Ibu 1/6
|
1
|
1 /4 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 3.000.000,-
|
|
4
|
Jumlah
|
Rp. 12.000.000,-
|
3.
Contoh
ashabah
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan
harta waris Rp 24.000.000,-. Ahli waris: bapak, ibu dan 2 anak laki-laki.
Maka;
Ahli
waris
|
Harta warisan
|
Penerimaan
|
Ibu
1/6
|
1/6
x Rp. 24.000.000,-
|
Rp.
4.000.000,-
|
Bapak
1/6
|
1/6
x Rp. 24.000.000,-
|
Rp.
4.000.000,-
|
Jumlah
|
Rp.
8.000.000,-
|
|
2
anak laki-laki
|
Ashabah
|
Rp.
16.000.000,- atau Rp. 8.000.000,- per anak
|
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Aul menurut istilah yaitu bertambahnya jumlah harta waris
dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. ‘Aul adalah suatu situasi dimana fard/
saham-saham para ahli waris yang berkumpul dalam mewarisi melebihi dari harta
yang dibagi. Radd
menurut
istilah adalah mengembalikan apa yang tersisa dari sebagian dzawil furudh
nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila
tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya. Ashabah yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada sendirian
dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh mendapat bagian mereka yang
telah ditentukan.
Macam-macam Ashabah :
1. Ashabah Nasabiyah
2. Ashabah Sababiyah
DAFTAR RUJUKAN
Al-‘Utsaimin. Muhammad bin Shahil. 2009. Panduan
Praktis Hukum Waris. Bogor, Pustaka
Ibnu Katsir
Ash-Shabuni. Muhammad Ali. 2010. Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam. Surabaya: Mutiara Ilmu
Ash-Shabani. Muhammad Ali. 1995. Pembagian Waris
Menurut Islam. Jakarta:
Gema Insani Press
Mardani. 2014. Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta:
PT Raja Grafindo
Persada
Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia.
Jakarta: rajawali pers
Maruzi. Muchlis. 1981.
Pokok-Pokok Ilmu Waris. Semarang: Mujahidin
Moh. Muhibbin dan Abdul
Wahid. 2011.
Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan
hukum Positif Di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika
Rofiq. Ahmad.1993.
Fiqih Mawaris. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada
Sarmadi. A. Sukris. 1997. Tresedensi
Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Suharwadi dan Komis
Simanjutak. 2009. Hukum
Mawaris Islam (Lengkap & Praktis). Jakarta:Sinar Grafika
Suhrawardi
K. Lubis dan Komis Simanjutak.
2007. Hukum
Waris Islam. Jakarta:
Sinar Grafik
[1] Moh. Muhibbin dan
Abdul Wahid, “Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan hukum Positif Di
Indonesia”, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 122
[2] A. Sukris Sarmadi, Tresedensi
Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1997), hal. 186
[3] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
(Jakarta: rajawali pers. 2014), hal. 55
[4] Muchlis Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Semarang:
Mujahidin, 1981), hlm. 66
[5] Suhrawardi K. Lubis
dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
hal. 160
[7] Muhammad bin Shahil al-‘Utsaimin, Panduan Praktis
Hukum Waris, (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2009)
ham. 96
[8] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Wris Menurut
ajaran Islam, (Surabaya, Mutiara Ilmu, 2010) hal. 55
[9] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1993), hal. 60
[10] Suhrawardi
K.Lubis, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007 ) hal. 99
[12] Muhammad Ali Ash-Shabani, Pembagian
Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 102
[13] Mardani,
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2014), hal. 60-61
No comments:
Post a Comment