Monday, July 06, 2020

AUL, RADD DAN ASHOBAH


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
                        
Waris dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan pusaka. Maksudnya adalah harta, benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati (meninggal) untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Dalam hal ini, orang yang meninggalkan harta bendanya disebut sebagai pewaris, sedangkan orang yang menerima harta tersebut disebut dengan ahli waris.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang ‘aul, radd yaitu ketika pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta dan wasiat wajibah. Selain itu penulis juga membahas tentang ashabah, yaitu orang orang-orang yang mendapatkan sisa dari harta peninggalan simayit setelah ashabul furudh mengambil harta bagian-bagian yang telah ditentukan bagi ashabul furudh tersebut dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam macam pembagian warisan.

  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Aul, Radd dan Ashobah ?
2.      Bagaimana macam-macam Ashobah?
3.      Bagaimana contoh Aul, Radd dan Ashobah ?

  1. Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian Aul, Radd dan Ashobah.
2.      Untuk mengetahui macam-macam Ashobah.
3.      Untuk mengetahui contoh Aul, Radd dan Ashobah.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian ‘Aul, Radd, dan Ashabah
1.      Pengertian ‘Aul
Pada zaman Rasulullah saw. dan kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq peristiwa ‘aul belum pernah terjadi. ‘Aul pertama kali terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.[1]
Al-‘aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, diantaranya zalim dan menyeleweng seperti dalam Surah An-Nisa’ ayat 3:
ذَالِكَ أَدْنى أَلَّا تَعُولُوا ...
“...yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”. (QS. An-Nisa’: 3).
Definisi al-‘aul menurut istilah yaitu bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. ‘Aul adalah suatu situasi dimana fard/ saham-saham para ahli waris yang berkumpul dalam mewarisi melebihi dari harta yang dibagi.[2]
Terjadinya masalah ‘aul apabila angka pembilang lebih besar dari angka penyebut (misalnya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu dibagi dengan penyebutnya, namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi kesenjangan pendapatan, dan menimbulkan persoalan siapa yang lebih diutamakan dari para ahli waris tersebut.
Pokok masalah yang ada dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga diantaranya dapat di ‘aul-kan sedangkan yang empat tidak dapat. Ketiga pokok masalah yang dapat di ‘aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24), sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di ‘aul-kan ada empat yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8). Misalnya, seorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya, ibu mendapatkan sepertiga (1/3) bagian dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya ada tiga (3), jadi ibu mendapatkan satu bagian dan ayah mendapatkan dua bagian. Pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para ashabul furudh.
Angka-angka pokok yang dapat di ‘aul-kan ialah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di ‘aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi 7, 8, 9 atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya, lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di ‘aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di ‘aul-kan kepada 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraidh yang memang masyhur dikalangan ulama faraidh dengan sebutan “masalah al-mimbariyyah”.[3]
2.      Pengertian Radd
Kata radd secara bahasa berarti i’aadah : mengembalikan. Dikatakan radda’ ‘alaihi haqqah artinya a’aadahu ilaih: dia mengembalikan haknya kepada yang berhak. Kata radd juga berarti sharf : meluangkan kembali. Dikatan radda ‘anhu kaida ‘aduhwwih : dia memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya.
Radd menurut istilah adalah mengembalikan apa yang tersisa dari sebagian dzawil furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian, radd merupakan kebalikan dari aul. Apabila harta peninggalan masih mempunyai kelebihan setelah dibagikan kepada seluruh ahli waris sesuai dengan ketentuannya masing-masing dan tidak ada ahli waris yang mendapatkan ashabah, kelebihan harta tersebut dikembalikan kepada ahli waras yang ada menurut pembagiannya masing-masing.
Dalam masalah radd ini, ada beberapa orang diantaranya Ulama mutaqaddimin yang tidak menyetujui, yaitu Zaid bin Tsabit, Az Zuhry, Maliki, Syafi’i dan Ibnu Hazm. Alasan mereka ialah bahwa besarnya bagian-bagian para ahli waris telah ditetapkan secara pasti oleh nash. Adanya radd berarti merubah ketetapan nash. Oleh karena itu apabila ada kelebihan harta warisan, tidak perlu dikembalikan lagi kepada ahli waris, tetapi diserahkan ke baitul mal untuk kebutuhan kaum muslimin. Menurut Imam Syafi’i, jika kas Negara tidak berfungsi, maka sisa sisa itu boleh diberikan kepada ashabul furud.[4]
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat sebagai berikut:
a.       Adanya ashabul furudh
b.      Tidak ada ahli waris yang mendapat ashabah
c.       Adanya sisa harta waris.
Adapaun pendapat para ulama bahwa radd diberikan kepada semua ashabul furudh, kecuali kepada suami/istri, ayah, dan kakek. Dengan demikian, radd diberikan kepada delapan golonagn, yaitu:
a)      Anak perempuan
b)      Anak perempuan (cucu) dari anak laki-laki
c)      Saudara perempuan sekandung
d)      Saudara perempuan seayah
e)      Ibu
f)       Nenek
g)      Saudara laki-laki seibu
h)      Saudara perempuan seibu
Dalam masalah sisa harta waris diberikan kepada siapa, ada dua pendapat yaitu :
1.      Ada yang berpendapat bahwa sisa pembagian tersebut diberikan kepada Baitul Mal. Di Indonesia tentunya dapat saja diserahkan kepada Bazis. Apabila ini yang dipakai maka tidak ada persoalan sama sekali.
2.      Sis hasil pembagian harta waris tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang shahibul furudh.[5]
Radd tidak diberikan kepada suami/istri, karena radd itu dimiliki dengan jalan rahim, sedangkan suami/istri itu tidak mempunyai hubungan rahim, kecuali hanya sebab perkawinan dan akan terputus akibat kematian. Mereka hanya berhak memperoleh pembagian warisan berdasarkan ketentuan sebagai ahli waris yang mempunyai bagian tetap, tanpa memperoleh tambahan. Radd juga tidak diberikan kepada ayah dan kakek, karena radd terjadi apabila tidak ada ahli waris ashabah, sedang ayah dan kakek termasuk ahli waris ashabah yang mengambil sisa dengan jalan ta’shib, bukan dengan cara radd.[6]
  
3.      Pengertian Ashabah
Ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ﻋﺎﺼﺐ  yakni ahli waris yang mendapat harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan.[7] Sedangkan ahli faraid mendefinikan ashabah yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada sendirian dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh mendapat bagian mereka yang telah ditentukan.[8] Jika ahli waris mayit hanya mereka, maka mereka mengambil semua harta, dan apabila bersama mereka ini ada ahli waris yang mendapat bagian furudh, maka mereka mengambil sisa harta setelah bagian furudh diberikan. Namun jika harta tidak tersisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa.
Di dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensinya adalah, ahli waris yang peringkat kekerabatannya dibawah tidak mendapatkan bagian.[9] Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah :
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Berikanlah warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan jika tersisa, maka diberikan kepada ahli waris laki-laki yang lebih berhak menerimanya”. ( H.R Al-Bukhari dan Muslim )
Ahli waris ashabah harus menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya, dan keistimewaan ashabah ini ia dapat menghabiskan seluruh, kalau ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah mengambil apa yang menjadi haknya.[10]


B.     Macam-macam Ashabah
Secara umum ashabah ini terbagi kepada dua yaitu:
1.      Ashabah nasabiyah, yaitu menjadi ashabah disebabkan adanya hubungan darah dengan si pewaris. Ashabah nasabiyah ini terbagi menjadi tiga yaitu:
a)      Ashabah bin Nafsi, yaitu menjadi ashabah dengan dirinya sendiri, yaitu disebabkan karena kedudukannya. Adapun ahli waris yang menjadi ashabah bin nafsi ini adalah seluruh ahli waris yang laki-laki kecuali suami dan saudara laki-laki seibu.
b)      Ashabah bil Ghair, yaitu menjadi ashabah disebabkan oleh orang lain, hal ini terjadi pada ahli waris yang perempuan, di mana sebelumnya dia bukan merupakan ashabah (ada bagian tertentu dalam Al-qur’an dan hadis), namun dengan hadirnya ahli waris bin nafsih (laki-laki) yang sederajat dengannya, anak perempuan dikarenakan anak laki-laki, cucu perempuan dikarenakan cucu laki-laki (seterusnya kebawah). Cicit laki-laki dapat mengashabahkan cucu perempuan apabila cucu laki-laki tidak ada (yang rendah dapat mengashabahkan yang lebih tinggi dengan syarat yang diatas akan terhijab). Saudara perempuan kandung dikarenakan saudara laki-laki kandung. Saudara perempuan sebapak dikarenakan saudara laki-laki sebapak.
c)      Ashabah ma’al Ghair, yaitu ashabah karena mewaris bersama orang dengan  lain. Yang menjadi ashabah ma’al ghair ini adalah saudara perempuan kandung karena mewaris bersama dengan anak perempuan, cucu perempuan, cicit perempaun, dan seterusnya. Jelasnya ashabah ma’al ghair ini kemungkinan hanyalah saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak saja, yaitu : saudara perempuan kandung bersama dengan anak perempuan, saudara perempuan kandung bersama cucu perempuan , saudara perempuan sebapak bersama dengan anak perempuan, saudara perempuan sebapak bersama dengan cucu perempuan.
2.      Ashabah sababiyah, yaitu menjadi ashabah dikarenakan adanya sesuatu sebab, sebab yang dimaksud disini adalah karena ada perbuatan memerdekakan si mayit dari perbudakan (lazimnya sekarang ini tidak ada lagi ditemui).[11]

Skema Ashabah

                                                       Bin Nafsi           seluruh AW laki-laki kecuali suami dan saudara laki-laki seibu
           Sababiyah                                                                                  
Ashabah                                                      Bil Ghair             AP dikarenakan AL   
                          Bin Nasabiyah                                               CP dikarenakan CL dari AL
                                                                                                SPK dikarenakan SLK
                                                                                                SPseB dikarenakan SLseB
                                                                                                SPK menjadi ashabah                                                                                             bersama dengan AP atau CP
               Ma’al Ghair             dari AL                         
           
SPseB menjadi ashabah bersama dengan AP atau CP dari AL

                                                                 Anak Perempuan
Saudara Perempuan Kandung                 Cucu Perempuan
                                                                 Cicit Perempuan seterusnya kebawah

                                                               Anak Perempuan
Saudara Perempuan seBapak                Cucu perempuan
                                                               Cicit Perempuan seterusnya kebawah

C.    CONTOH ‘AUL, RADD dan ASHABAH
1.      Contoh ‘aul
Seorang wafat dan meninggalkan istri, ibu dan dua orang saudara kandung perempuan. Pokok masalahnya dari dua belas (12), maka pembagiannya sebagai berikut: bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga bagian, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua pertiga (2/3) berarti delapan bagian. Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas (13). Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.[12]
Contoh disertai harta warisan: seorang meninggal harta warisannya Rp. 60.000.000.- ahli warisnya terdiri dari: istri, ibu, dua saudara perempuan sekandung dan satu saudara seibu. Bagian masing-masing :
1)   Jika tidak ditempuh dengan cara ‘aul:

Ahli waris
Bagian
Asal masalah
Harta Warisan
Penerimaan


12
Rp. 60.000.000,-


Istri 1/4
3
3/12 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 15.000.000,-

Ibu 1/6
2
2/12 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 10.000.000,-

2 Saudara kandung
8
8/12 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 40.000.000,-

Saudara seibu
2
2/12 x Rp. 60.000,000,-
Rp. 10.000.000,-

Jumlah
15
                                          Rp. 75.000.000,-

Hasilnya terjadi kekurangan sebesar Rp. 15.000.000,-.
2)   Jika ditempuh dengan cara ‘aul :

Ahli waris
Bagian
Asal Masalah
Harta Warisan
Penerimaan

15
Rp. 60.000.000,-

Istri 1/4
3
3/15 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 12.000.000,-
Ibu 1/6
2
2/15 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 8.000.000,-
2 saudara kandung
8
8/15 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 32.000.000,-
Saudara seibu
2
2/15 x Rp. 60.000,000,-
Rp. 8.000.000,-
Jumlah
15
                                         Rp. 60.000.000,-


2.      Contoh radd
Seorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris; ibu, dan seorang anak perempuan. Harta warisannya sebesar Rp 12.000.000,-, maka penyelesaiaannya sebagai berikut :[13]
1)   Jika tidak ditempuh dengan cara radd :
Ahli waris
Bagian
Asal Masalah
Harta warisan
Penerimaan
6
Rp. 12.000.000,-
Anak Perempuan    1/2
3
3 /6 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
Ibu 1/6
1
1 /6 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 2.000.000,-
4
Jumlah
Rp. 8.000.000,-

Terdapat  sisa harta sebesar Rp. 4.000.000,-
2)   Jika ditempuh dengan cara radd
Ahli waris
Bagian
Asal masalah
Harta warisan
Penerimaan
4
Rp. 12.000.000,-
Anak Perempuan 1/2
3
3 /4 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 9.000.000,-
Ibu 1/6
1
1 /4 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 3.000.000,-
4
Jumlah
Rp. 12.000.000,-

3.      Contoh ashabah
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta waris Rp 24.000.000,-. Ahli waris: bapak, ibu dan 2 anak laki-laki. Maka;
Ahli waris
Harta warisan
Penerimaan
Ibu 1/6
1/6 x Rp. 24.000.000,-
Rp. 4.000.000,-
Bapak 1/6
1/6 x Rp. 24.000.000,-
Rp. 4.000.000,-
Jumlah
Rp. 8.000.000,-
2 anak laki-laki
Ashabah
Rp. 16.000.000,- atau Rp. 8.000.000,- per anak







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
              Aul menurut istilah yaitu bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. ‘Aul adalah suatu situasi dimana fard/ saham-saham para ahli waris yang berkumpul dalam mewarisi melebihi dari harta yang dibagi. Radd menurut istilah adalah mengembalikan apa yang tersisa dari sebagian dzawil furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya. Ashabah yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada sendirian dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh mendapat bagian mereka yang telah ditentukan.
              Macam-macam  Ashabah :
1. Ashabah Nasabiyah
2. Ashabah Sababiyah



DAFTAR RUJUKAN
Al-‘Utsaimin. Muhammad bin Shahil. 2009.  Panduan Praktis Hukum Waris. Bogor, Pustaka Ibnu  Katsir
Ash-Shabuni. Muhammad Ali. 2010. Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam. Surabaya: Mutiara Ilmu
Ash-Shabani. Muhammad Ali. 1995.  Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: rajawali pers
Maruzi. Muchlis. 1981. Pokok-Pokok Ilmu Waris. Semarang: Mujahidin
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. 2011. Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan hukum Positif Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Rofiq. Ahmad.1993.  Fiqih Mawaris. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Sarmadi. A. Sukris. 1997. Tresedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Suharwadi dan Komis Simanjutak. 2009. Hukum Mawaris Islam (Lengkap & Praktis). Jakarta:Sinar Grafika
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak. 2007.  Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafik



[1] Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, “Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan hukum Positif Di Indonesia”, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 122
[2] A. Sukris Sarmadi, Tresedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 186
[3] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: rajawali pers. 2014), hal. 55
[4] Muchlis Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1981), hlm. 66
[5] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 160
                [6] Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, “Hukum Kewarisan Islam...,hal. 128
[7] Muhammad bin Shahil al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor, Pustaka Ibnu      Katsir, 2009) ham. 96
[8] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam, (Surabaya, Mutiara Ilmu, 2010) hal. 55
[9] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 60
[10] Suhrawardi K.Lubis, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007 ) hal. 99
                [11] Suharwadi dan Komis Simanjutak, “Hukum Mawaris Islam (Lengkap & Praktis)”, (Jakarta:Sinar Grafika 2009), hal. 99-101
[12] Muhammad Ali Ash-Shabani, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 102
[13] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 60-61

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer