Monday, July 06, 2020

PERANG SALIB MENURUT PANDANGAN ISLAM, KEMUNDURAN UMAT ISLAM, DAN GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Peradaban Islam memiliki banyak cerita di dalamnya. Cerita tentang penyebaran, kebudayaan dan tokoh-tokoh yang berpengaruh. Dalam salah satu bab menceritakan tentang Perang Salib. Sebagai gambaran, Perang Salib yang familiar bagi kita adalah suatu perang keagamaan yang sangat terkenal. Disebut Perang Salib karena para tentara atau pejuang Kristen ini menggunakan simbol salib ditameng, baju, topi dan segala atribut berperangnya. Perang Salib ini terbagi atas beberapa periode. Didalamnya, terdapat banyak tokoh-tokoh yang menarik cerita saat pemimpin perang ini.
Kemudian sejak lahirnya agama Islam, lahirlah pendidikan dan pengajaran Islam. Pendidikan dan pengajaran Islam itu terus tumbuh dan berkembang pada masa Khulafaur Rasyiddin dan masa Umaiyah.
Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negeri Islam sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya dan tersebar dari kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat pendidikan, meninggalkan kampung halamannya, karena cinta akan Ilmu pengetahuan.  Pada masa Abbasiyah ini juga berdiri perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa ini lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan ini mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan  yang tidak ada tandingannya di kala itu. Kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan sehingga Islam mencapai masa keemasan kejayaan dan kegemilangan.
Setelah umat Islam mencapai kejayaannya lebih kurang tujuh abad (abad VII M sampai abad XIII M)  para ahli sejarah menyebutnya dengan masa periode kemajuan, periode klasik dan sebagainya, maka hukum sejarahpun berlaku. Sesuatu yang sampai pada puncaknya akan memperlihatkan grafiknya yang menurun. Penurunan kebudayaan dan peradaban Islam ini seiring dengan penurunan pendidikan.
Kemudian dalam pembaharuan Islam dikenal juga dengan modernisasi Islam, yang mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran yang terdapat dalam agama dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern, tetapi perlu diingat bahwa dalam Islam ada ajaran yang tidak bersifat mutlak, yaitu penafsiran dari ajaran-ajaran yang bersifat abadi dari masa ke masa. Dengan kata lain pembaharuan mengenai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak tak dapat diadakan karena sudah tak bisa lagi diganggu gugat seperti pada hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur’an.
Pembaharuan dapat dilakukan dengan meninjau kembali beberapa aspek yang memang memerlukan untuk diperbaharui seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern yang mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti sekarang ini.
B.  Rumusan Masalah
a)      Perang Salib Menurut Pandangan Islam
1.      Bagaimana sebab-sebab terjadinya perang salib?
2.      Bagaimana proses berlangsungnya perang salib?
3.      Bagaimana peranan Shalahuddin al-Ayyubi dalam perang salib?
4.      Bagaimana dampak perang salib?
b)      Kemunduran Umat Islam
c)      Gerakan Pembaharuan Islam
1.      Bagaimana pengertian pembaharuan dalam Islam?
2.      Bagaimana latar belakang pembaharuan Islam?
3.      Bagaimana tokoh-tokoh pembaharuan dalam Islam?
4.      Bagaimana dampak pembaharuan dalam Islam?
C.  Tujuan Pembahasan Masalah
a)      Perang Salib Menurut Pandangan Islam
1.      Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perang salib?
2.      Untuk mengetahui proses berlangsungnya perang salib?
3.      Untuk mengetahui peranan Shalahuddin al-Ayyubi dalam perang salib?
4.      Untuk mengetahui dampak perang salib?
b)      Kemunduran Umat Islam
c)      Gerakan Pembaharuan Islam
1.      Untuk mengetahui pengertian pembaharuan dalam Islam?
2.      Untuk mengetahui latar belakang pembaharuan Islam?
3.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh pembaharuan dalam Islam?
4.      Untuk mengetahui dampak pembaharuan dalam Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Perang Salib Menurut Pandangan Islam
1.      Sebab-Sebab Terjadinya Perang Salib
Gagasan untuk menjalankan peperangan demi membela kepercayaan agama merupakan idealisme keagamaan yang tersusun menjadi satu, meskipun demikian berbagai kecenderungan juga mendapat tempat yang layak dalam tujuan perang Salib untuk menguasai kembali tempat suci Yerussalem dengan cara-cara militer.
Karena itu untuk merumuskan sebab-sebab terjadinya Perang Salib, maka perlu menganalisa kondisi pihak Eropa sebelum perang mulai pecah, atau minimal dianalisa walaupun sekilas sikap dan tindakan pihak Eropa di abad-abad pertengahan.
Berangkat dari premis tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa sebab-sebab terjadinya perang Salib, adalah sebagai berikut:
a)      Faktor Agama
Hilangnya kemerdekaan umat Kristiani untuk beribadah ke Yerussalem. Kondisi ini merupakan kebijakan yang dijalankan pemerintahan Bani Saljuk yang menguasai Yerussalem pada tahun 1076 M. Padahal boleh dikatakan bahwa umat Kristiani sangat fanatik dan beranggapan bahwa berziarah ke Makam Nabi Isa di Yerussalem merupakan amalan yang paling baik dan besar pahalanya.
Bani Saljuk telah menjalankan kebijakan-kebijakan yang mempersulit dan bahkan menganiaya umat Kristiani yang akan berziarah ke Yerussalem. Kebijakan-kebijakan yang merugikan umat Kristiani ini terdengar sampai di Eropa, rakyat Eropa menjadi gempar, gusar dan bersedih hati dan justru dari peristiwa ini menumbuhkan semangat keagamaan dan loyalitas terhadap sesama umat Kristiani untuk memberikan perlindungan dan pembelaan. Mereka bergerak bersama untuk menuntut balas atas perampasan kemerdekaan dalam menjalankan ajaran agama mereka. Visi mereka satu yaitu merebut Baitul Maqdis dari genggaman kaum Muslimin (Bani Saljuk) dengan keyakinan bila berziarah ke tanah suci mendapat pahala yang besar, sudah barang tentu melepaskan dan memerdekakan Yerussalem dari kekuasaan Kaum Muslimin jauh lebih besar pahalanya.[1]
b)      Faktor Politik
Posisi-posisi kunci di sekitar Asia kecil telah di kuasai Bani Saljuk dan bahkan dijadikan sebagai basis kekuatan dan pertahanan. Kondisi ini memposisikan kota Konstantinopel terancam akan jatuh ke tangan umat Islam (Bani Saljuk). Untuk menghindari jatuhnya kota Konstantinopel ke tangan umat Islam, Kaisar Alexius penguasa Byzantium (Konstantinopel) tidak memiliki pilihan lain kecuali meminta dukungan dan bantuan politik Keuskupan Agung di Roma. Pihak Keuskupan Agung sendiri menyambut baik kerja sama ini, karena mereka juga berkewajiban membela kepentingan religi, di samping itu sesungguhnya kepentingan politik bagi Keuskupan juga sangat menggiurkan. Karena itu mulailah pihak Keuskupan mengatur rencana kerja perebutan kembali Baitul Maqdis. Tetapi anehnya agenda mereka di awali dengan propaganda perang suci ke dunia Islam oleh Paus Urbanus II. Bila di analisis, Perang suci (Perang demi membela agama) yang didengung-dengungkan Paus Urbanus II ini, tidak lebih dari merealisasikan ambisi politiknya untuk menguasai sebagian daerah yang dikuasai Islam. Karena sesungguhnya kunci dari persoalan ini adalah Bani Saljuk menguasai Baitul Maqdis dengan menerapkan kebijakan yang menyulitkan umat Kristiani untuk beribadah ke sana. Dengan demikian, sejatinya tema propaganda atau kampanye perang suci Paus adalah “pembebesan Baitul Maqdis” bukan perang suci ke dunia Islam.
Berdasarkan analisis di atas, maka disimpulkan bahwa pihak Keuskupan sesungguhnya memiliki ambisi politik untuk menaklukan dunia di bawah kekuasaan gereja, demikian pula dengan bangsawan-bangsawan Eropa tentu memiliki ambisi politik yang tidak kalah besarnya untuk membentuk kerajaan-kerajaan di daerah-daerah yang dikuasai oleh umat Islam.
c)      Faktor Ekonomi
Adanya keinginana bangsa Barat menguasai tata niaga di kawasan Laut Tengah sekaligus menjadikan kawasan tersebut sebagai sentral perdagangan Barat di Timur. Kawasan ini memang sangat strategis, sebagai pintu pengembangan perdagangan ke arah timur melalui Laut Merah.
Faktor ekonomi pula yang memotivasi masyarakat Eropa kelas rendahan, karena mereka seringkali mendapat tekanan, dibebani berbagai pajak serta sejumlah kewajiban lainnya dari kerajaan dan gereja. Sehingga ketika mereka dimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan mendapat kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila dapat memenangkan peperangan. Disamping itu mereka berharap akan mendapat keuntungan ekonomi di daerah-daerah yang ditaklukan dari tangan Islam. Motivasi-motivasi tersebut di atas, menyebabkan masyarakat kelas rendahan di Eropa menyambut seruan Perang Salib secara spontan dengan berduyung-duyung melibatkan diri dalam perang.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, tampak bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Perang Salib dan faktor-faktor tersebut terealisasi dengan baik karena didukung oleh beberapa hal sebagai berikut:[2]
1)      Lemahnya persatuan umat Islam
Sebelum genderang Perang Salib berbunyi, dunia Islam tampak dalam kondisi lemah. Bani Saljuk (Daulah Salajikah kehilangan kekuatan sepeninggal Malik Syah (1092 M). Perebutan daerah Syiria antara Bani Saljuk dan Bani Fatimiyah tidak dapat dielakkan yang menyebabkan terjadinya permusushan berkepanjangan antara dua kerajaan Islam ini. Akibatnya dinasti-dinasti Islam khususnya dua dinasti tersebut dalam keadaan lemah karena sudah terkuras kekuatan militer maupun financialnya dalam perang saudara. Kondisi lemah umat Islam ini merupakan peluang emas bagi dunia Eropa untuk melancarkan serangannya.
2)      Berdirinya kerajaan-kerajaan Eropa yang baru.
Bermunculannya kerajaan-kerajaan Eropa yang baru seperti Kerajaan Venesia, Genua dan berkuasanya bangsa Normandia di selatan Italia dan di Kepulauan Sicilia yang semuanya itu merupakan peluang emas bagi dunia Eropa melancarkan serangannya.
2.      Proses Berlangsungnya Perang Salib
Perang Salib (Holy war) dalam sebagain literature mengungkapkan masa terjadinya antara tahun 1096 sampai 1291. Perang ini dinamakan Perang Salib karena ekspedisi militer Kristen memakai tanda Salib sebagai atribut pemersatu dan sebagai simbol perang suci dalam melakukan penyerangan ke dunia Islam. Pembesar-pembesar Kristiani memang paham betul emosi keagamaan umat Kristiani. Dengan simbol tanda Salib akan mudah menggugah emosi keagamaan mereka. Terbukti, dalam tiga kali periode penyerangan tersebut, umat Kristiani cukup banyak yang turut ambil bagian dalam perang tersebut. Dalam masa peperangan itu, menang dan kalah silih berganti antara pasukan Islam dan pasukan Salib.
Perang Salib berlangsung hampir mencapai dua abad lamanya. Dari waktu yang demikian panjang itu, bisa dibayangkan, betapa banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Bila diukur dari waktu berkangsungnya Perang Salib, secara global dibagi atas tiga periode, sebagai berikut:
Periode pertama : disebut periode penaklukan umat Kristinani yang berlangsung dari tahun 1096-1144 M.
Periode kedua : disebut sebagai periode reaksi umat Islam yang berlangsung dari tahun 1144-1192 M.
Periode ketiga : disebut sebagai periode kehancuran pasukan Salib yang berlangsung dari tahun 1192 hingga 1291.
a)      Periode Pertama (1096-1144 M).
Seruan Perang Salib yang menggoncang dunia ini, merupakan hasil kerja keras Paus Urbanus II dalam kampanyenya di kalangan Keuskupan Agung. Di samping itu didukung oleh kampanye yang sama dikalangan masyarakat luas yang dilakukan oleh seorang penginjil bernama Peters Amin. Peters Amin sangat gencar dan aktif melakukan kampanye dan boleh dikatakan kampanyenya sukses menggugah emosi keagamaan masyarakat Eropa.[3]
Hasil kerja keras dari dua juru kampanye (jurkam) Perang Salib yaitu Paus Urbanus II dan Peters Amin, maka dimulai pada 1096 tepatnya musim semi, berkumpullah sebanyak 150.000 tentara Eroa yang sebagian besar berasal dari Perancis dan Normandia. Pasukan Perang Salib ini berkumpul di Konstantinopel. Dalam perjalanan mereka menuju Palestina melalui Asia Kecil, banyak pasukan bergabung, sehingga jumlah pasukan mencapai 300.000 orang. Namun sangat disayangkan, pasukan sebanyak ini tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik, mereka banyak melakukan perbuatan brutal, perampokan, mabuk-mabukan dan perzinahan pada tempat-tempat yang mereka lalui. Tindakan pasukan Salib ini menyebabkan kemarahan bangsa Bulgaria dan Hongaria, yang segera memberikan serangan hingga pasukan Salib berantakan dan sisanya dihadapi langsung oleh pasukan Bani Saljuk. Pada perang pertama ini, rombongan tentara Salib seluruhnya binasa sebelum mereka dapat membebaskan Baitul Maqdis. Reputasi pasukan Salib pertama ini menandakan mereka tidak dibekali pengetahuan strategi perang dan etika perang, dalam hal ini nampaknya Paus Urbanus II dan Peters Amin hanya membekali pasukan Salib tersebut dengan kebencian dan dendam terhadap umat Islam.
Hancurnya pasukan Salib pertama, segera disusul oleh bangkitnya pasukan Salib berikutnya setahun kemudian yaitu pada tahun 1097. Kali ini tentara Salib menyebrang selat Bosor, memasuki Asia Kecil dan memblokade kota Nicea. Selama sebulan kota ini dikepung sampai akhirnya dapat ditaklukan pada tanggal 18 Juni 1097 M. Setahun kemudian pasukan Salib dapat melumpuhkan Raha (Edessa), Syiria Utara hingga Antokia. Pada bulan juni 1099, bergerak lagi tentara Salib melanjutkan penyerbuannya. Kali ini sasaran mereka adalah Baitul Maqdis, selama kurang lebih satu bulan mereka mengepung kota suci ini, akhirnya mereka berhasil menguasainya, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1099 M. Di kota ini mereka bertindak kejam, melakukan pembantaian bukan saja terhadap umat Islam tetapi juga terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani setempat yang tidak mau bekerjasama dengan mereka.
Dengan berhasilnya pasukan Salib menguasai Baitul Maqdis dan kota-kota disekitarnya, maka mereka dapat mendirikan empat kerajaan Latin, yaitu:
1)      Kerajaan Latin I di Edessa (1096 M) yang dipimpin oleh raja Boldwin.
2)      Kerajaan Latin II di Antokia (1098 M) yang dipimpin oleh raja Bahemond.
3)      Kerajaan Latin III di Baitul Maqdis (1099 M) dipimpin oleh raja Godfrey.
4)      Kerajaan Latin IV di Tripolo (1099 M) dipimpin oleh Raymond.
Berdasarkan informasi di atas, maka dalam periode pertama Perang Salib, umat Islam mengalami kekalahan, sementara pasukan Salib dapat merealisasikan tujuan utamanya yaitu menguasai Baitul Maqdis dari kekuasaan Islam.
Penyebab kekalahan pasukan Islam atas pasukan Salib, antara lain; ketidak siapan pasukan Islam dalam menghadai pasukan Salib dan berkobarnya semangat perang Pasukan Salib untuk merebut Baitul Maqdis dan memperoleh keuntungan ekonomi dalam peperangan.
b)      Periode kedua (1144-1192 M)
Periode ini merupakan periode kebangkitan umat Islam setelah menderita kekalahan melawan kekuatan tentara Salib yang dapat menguasai wilayah Syiria dan Palestina pada tahun 1144 M. Dibawa pimpinan Imad al-Din Zanki, tentara Islam berjuang dengan sungguh-sungguh merebut kembali beberapa kota yang jatuh ke tangan tentara Salib antara lain; Aleppo, Hamimah dan kota-kota lainnya hingga Edessa.[4]
Pada tahun 1146 M Imad al-Din Zanki wafat, maka perjuangan dilanjutkan oleh putranya bernama Nur al-Din Zanki. Dibawah pimpinannya, beberapa kota di sekitar Antokia dapat dikuasainya pada tahun 1149 M. Dua tahun kemudian Pasukan Islam merebut kembali kota di sekitar Edessa dan bahkan tentara Islam sempat menangkap Emir Edessa. Selanjutnya pada tahun 1164 M Nur al-Din Zanki berhasil menaklukan kota Antokia dan menyandera Emir Bahemond III dan sekutunya Raymond III. Keduanya dibebaskan setelah membayar tebusan dalam jumlah besar.
Peperangan dilanjutkan dengan mengerahkan tentara Islam untuk membebaskan Mesir dalam tahun 1196 M. Jatuhnya daerah-daerah kekuasaan tentara Kristiani ke tangan umat Islam memancing emosi tentara Salib untuk mengobarkan Perang Salib berikutnya, akan tetapi gerakan mereka mendapat perlawanan sengit dari pasukan Nur al-Din Zanki. Nasib pemimpin tentara Salib, Louis IV dan Condrad II melarikan diri dan pulang ke negerinya.
Pada tahun 1174 M, pasukan Islam berkabung atas wafatnya pemimpin tentara Islam terbaik, Nur al-Din Zanki, selanjutnya pimpinan perang di pegang oleh Shalah al-Din al-Ayyubi (seorang pendiri Dinasti Ayyubiah di mesir). Dibawah pimpinannya tentara Islam semakin berjaya; keberhasilan pertama yang dicetak pasukan Islam yaitu keberhasilannya mengembalikan Baitul Maqdis kepangkuan umat Islam dalam tahun 1187 M, masjid Aqsa pun kembali mengumandangkan Adzan, sementara pasukan Salib banyak yang menjadi tawanannya.
Perjuangan tentara Salib selanjutnya dipimpin raja Jerman Frederick Barbarosa, Raja Inggris Richardo dan Raja Perancis Philip August. Pada pertempuran ini, Raja Fredirick tewas, sedangkan Philip dan Richardo berhadapan dengan tentara Islam di Akka. Pasukan Islam berhasil mundur teratur untuk menyusun strategi, sementara pasukan Salib tidak berhasil memasuki kota suci Baitul Maqdis. Peperangan ini berlangsung sampai tahun 1192 M.
Keunggulan pasukan Salib di Akka, belum dapat memuluskan jalan mereka untuk datang segera membebaskan Baitul Maqdis, sebab mereka masih harus melalui perjuangan yang sangat berat menghadapi tentara Islam yang senantiasa menggalang kekuatan. Di samping itu namaknya Raja Richardo merasa berat dan jenuh melanjutkan peperangan dan memilih menawarkan gencatan senjata melaui surat, maka pada tanggal 2 Juli 1192 M lahirlah apa yang disebut dengan “shulh al-Ramlah”, yang berisi dua kesepakatan, yaitu:
1)      Daerah pantai sekitar Akka dalam kekuasaan tentara Salib
2)      Palestina tetap dibawah kekuasaan Islam, akan tetapi jamaah Kristen diizinkan berziarah ke baitul Maqdis dengan persyaratan tidak boleh membawa senjata.
Dengan disahkannya perjanjian tersebut, maka baitul Maqdis tetap berada di tangan umat Islam. Beberapa bulan setelah pengesahan dua kesepakatan tersebut di atas, pada tanggal 3 Maret 1193 M, Salahuddin al-Ayyubi tutup usia dalam usia 55 tahun dan beliau di makamkan di Syiria.[5]
c)      Periode ketiga (1193-1291 M)
Skala prioritas pasukan Salib pada periode ini adalah menguasai Mesir. Berdasarkan pertimbangan ekonomi, bahwa jika Mesir dapat dikuasai, mereka dapat memperoleh keuntungan besar dalam peperangan, sebab dari Mesir akan terbuka kesempatan untuk memasuki Laut Merah dan mengembangkan perdagangan ke Hindia dan kepulauan Hindia sebelah Timur (sekarang Indonesia). Beberapa tahun setelah pasukan Salib berhasil menduduki Konstantinopel, pada tahun 1218 M, mereka menyerang Mesir, tetapi tidak berhasil dan hanya dapat menguasai kota Dimyat sebagai pintu gerbang strategi untuk memasuki Mesir. Dalam tahun 1229 M pimpinan tentara Salib Frederick mengadakan perundingan damai dengan Malik al-Kamil penguasa Mesir dari Dinasti Ayyubiah. Isi perjanjian tersebut adalah Baitul Maqdis diserahkan ke tentara Salib dan sebagai gantinya Dimyat diserahkan kepada tentara Islam. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, baitul Maqdis kembali kepangkuan pasukan Salib dengan Frederick II sebagai rajanya. Tetapi setelah melalui beberapa pertempuran melawan tentara Salib, Baitul Maqdis dapat direbut kembali oleh penguasa Dinasti Ayyubiah, al-Malik al-Shaleh putra al-Malik pada tahun 1247 M.
Perlawanan tentara Salib dilanjutkan oleh Dinasti Mamalik pada tahun 1263 M. Al-Malik al-Zahir Baybars berhasil menaklukan kota-kota Caesarea dan Akka. Keberhasilan yang sama juga terjadi dalam menaklukan Yaffa dan kota Antokia yang merupakan benteng pertahanan tentara Salib dalam tahun 1271 M.
Perjuangan Baybars dilanjutkan oleh Sultan Qalawun yang memerintah ditahun 1279-1290 M. Dibawah pemerintahannya Laziqiyah dan Tripoli dapat ditaklukan dalam tahun 1289 M. Pada tahun itu pula Sultan Qalawun mempersiapkan tentaranya untuk menaklukan daerah-daerah yang masih dikuasai tentara Salib, namun dia meninggal sebelum usaha tersebut berhasil. Usahanya dilanjutkan oleh putranya, Asyraf Khalil yang berkuasa dalam tahun 1290-1293 M. Pada tanggal 5 April 1291 M, ia menyerang dan mengepung kota Akka dan berhasil menguasai kota tersebut pada tanggal 28 Mei 1291 M. Selanjutnya, kota-kota yang dikuasai tentara Salib satu demi satu jatuh ketangan pasukan Islam, termasuk Baitul Maqdis. Tanggal 14 Agustus 1291 M kekuasaan tentara Salib sudah lenyap di Timur Tengah. Adapun sisa-sisa tentara Salib, selanjutnya melarikan diri melalui jalan laut dan kebanyakan mereka mengungsi ke Ciprus.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih tentara Islam pada periode terakhir ini, sangat didukung oleh pimpinan perang yang tangguh dan berani; beberapa pemimpin tentara Islam yang terakhir yaitu Malik al-Kamil, Shaleh al-Kamil, Sultan Qalawun dan Asyraf Khalil berhasil memberikan kekalahan pasukan Salib. Disamping itu tentara-tentara Islam juga merupakan pasukan-pasukan yang terlatih di medan perang.[6]
3.      Peranan Shalahuddin al-Ayyubi Dalam Perang Salib
Shalahuddin al-Ayyubi adalah seorang pendiri Dinasti Ayyubiah di Mesir pada tahun 1175 M. Tampilnya Shalahuddin memimpin tentara Islam, mengejutkan pasukan Salib, apalagi setelah kemenangannya menguasai Baitul Maqdis pada tahun 1187.
Pada peperangan yang terjadi di Hatim, Salahuddin tampil sebagai seorang pimpinan perang yang tangguh dan berani. Yahya Harun menganalogkan keberanian Salahuddin di medan perang dengan istilah “singa yang hendak menerkam mangsanya”. Dibawah pimpinan Salahuddin al-Ayyubi, pertempuran yang terjadi di Hatim mendesak tentara Salib untuk mundur dan akhirnya mereka bercerai-berai dengan menanggung kekalahan yang tidak terkira. Sepuluh ribu di antara pasukan Salib meninggal dunia. Para kepala dan jenderal-jenderalnya kebanyakan ditawan oleh Salahuddin termasuk didalamnya Guy de Lusiguon, raja Baitul Maqdis. Negeri Akka Nabbelis, Yaffa, Beirut dan beberapa kota lainnya serta semua benteng pertahanan yang penting, telah terbuka pintunya bagi pasukan Islam dengan tanpa ada perlawanan. Setelah Salahuddin menguasai Baitul Maqdis, barulah ia tampakkan kehormatan dan sifat kasih sayangnya dengan membebaskan para tawanan itu setelah bersumpah tidak akan mengadakan perlawanan lagi dan semua kekuasaan kaum Salib akan diserahkan kepada Salahuddin.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Shalahuddin telah mengembalikan citra Islam yang sudah terpuruk melalui keberhasilan-keberhasilannya memukul mundur pasukan Salib. Kesuksesannya dalam peperangan demi peperangan melawan Pasukan Salib merupakan barometer bagi pemimpin-pemimpin tentara Islam sesudah periode Shalahuddin dalam mengusir pasukan Salib dari dunia Islam.
4.      Dampak Perang Salib
Sejak terjadinya perang Salib yang pertama, sampai lenyapnya kaum Salib dan kekuasaannya di Timur merupakan suatu peristiwa yang penting yang dicatat oleh sejarah. Kisah peristiwa tersebut akan ditransfer terus oleh generasi demi generasi. Perang Salib tidak hanya meninggalkan hasil-hasil yang negative, misalnya kemusnahan dan kehancuran fisik khususnya di negara-negara Islam, tetapi juga meninggalkan hasil-hasil yang positif terutama terhadap bangsa Eropa. Sekalipun bangsa Eropa gagal melaksanakan cita-cita utamanya, yaitu pembebasan Palestina dari kekuasaan umat Islam.[7]
Selama kurang lebih tiga Abad berlangsungnya Perang Salib, dampak-dampak positif yang diperoleh bangsa Eropa, antara lain:
a)      Bertambahnya wilayah kerajaan Byzantium, sehingga sanggup mengerem dan menghalang-halangi penyerangan Bani Saljuk ke Eropa. Seandainya kerajaan Byzantium goyah, maka besar peluang Bani Saljuk manaklukan sebagian Eropa.
b)      Pasukan Salib dapat berkenalan dengan kebudayaan Islam yang sudah sangat maju, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, sehingga orang Barat berdatangan ke Timur untuk belajar dan menggali ilmu untuk kemudian mereka sebar luaskan di Eropa.
c)      Manusia mulai kritis terhadap berita-berita pembukaan negeri baru yang dibawa oleh kaum Salib ke Eropa. Sebagai bukti ke insyafan mereka itu ialah perjalanan Marcopolo dalam mencari benua Amerika di abad ke-13 sebagai langkah awal bagi perjalanan Colombus ke Amerika pada tahun 1492.
d)      Kontak perdagangan antara Timur dan Barat semakin pesat. Mesir dan Syiria sangat besar artinya bagi lintas perdagangan Barat. Kekayaan kerajaan dan rakyat kian melimpah ruah. Keadaan seperti ini kian tahun bertambah pesat, sehingga membuka jalan perdagangan sampai ke Tanjung Harapan dan lama-kelamaan perdagangan dan kemajuan Timur berpindah ke Barat.
Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa Perang Salib memberikan dampak yang lebih menguntungkan bagi dunia Eropa dan atau dunia Barat. Peperangan ini memberi pengaruh terhadap kemajuan peradaban Eropa. Sebaliknya bagi umat Islam, sekalipun berhasil menghancurkan dan mengusir tentara Salib dari Timur, sebenarnya tidak mendapat manfaat dalam perkembangan budaya dan peradaban, melainkan mendatangkan kehancuran. Karena Perang Salib berlangsung di daerah-daerah kekuasaan Islam.[8]
B.     Kemunduran Umat Islam
Masa kemunduran Islam terjadi dari tahun 1250 hingga 1500 M. Pada masa ini seorang bernama Jengiskhan dan keturunannya datang membawa penghancuran bagi dunia Islam. Jengiskhan yang berasal dari Mongolia penganut agama Syamaniah, menyembah bintang-bintang dan sujud kepada matahari yang sedang terbit. Setelah menduduki Peking pada 1212 M, ia mengalihkan serangannya ke arah barat. Satu demi satu kerajaan Islam jatuh ketangannya. Transoxania dan Khawarizm dapat dikalahkan pada 1219 M, demikian pula kerajaan Ghazna dapat dikalahkan 1243 M, Azarbaijan 1223 M, dan kerajaan Saljuk di Asia kecil 1243 M. Dari sini meneruskan serangan ke Eropa dan Rusia.
Serangan ke Bagdad dilakukan oleh cucunya Hulagu Khan Khurasan di Persia terlebih dahulu ia kalahkan dan Hasyasyasyin di Alamut ia hancurkan. Pada permulaan 1258 M, ia sampai ke tepi kota Bagdad. Perintah untuk menyerah di tolak oleh khalifah al-Mu’tasim dan kota Bagdad di kepung. Akhirnya pada 10 februari 1257 benteng kota ini dapat ditembus dan kota ini dihancurkan. Dari sini Haluga meneruskan serangannya ke Suriah, dan dari Suriah ia ingin memasuki Mesir. Tetapi di Ainjalut ia dikalahkan oleh Baybars, jenderal Mamluk dari Mesir 1260 M. Selanjutnya di Timur Lenk, seorang yang berasal dari keturunan Jengiskhan dapat menguasai Samarkand di tahun 1369 M. Dari Samarkan ia mengadakan serangan kesebelah barat dan dapat menguasai daerah-daerah yang terletak antara Delhi dan laut Marmara.[9]
Selain ditandai oleh adanya serangan, serbuan, penghancuran dari berbagai musuh yang datang dari luar Islam, pada periode ini juga ditandai oleh adanya perebutan kekuasaan diantara sesama dinasti kecil dalam Islam. Pada masa kemunduran I ini, juga terjadi kehancuran khalifah secara formil. Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang persatuan dan ini berlaku hingga kerajaan Ustmani mengangkat khalifah yang baru di Istanbul di abad ke 16. Pada periode kemunduran I ini juga pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah luas di dunia Islam. Dengan demikian, pada masa kemunduran I ini umat islam bukan saja mengalami kehancuran dalam bidang polititk dan Daulat Islamiyah, melainkan kehancuran dalam bidang kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan.
Factor-faktor yang mempengaruhi kemunduran islam :
1.      Pemimpin tidak mengamalkan ajaran islam.
Para ahli sejarah mengajukan hipotesis bahwa kemunduran Islam disebabkan karena gaya hidup para penguasa yang gemar hidup bermewah-mewah dan berorientasi duniawi saja. Pola hidup serakah, iri hati, ambisi kekuasaan dan tidak mementingkan kehidupan rohani dan ukrawi menjadi gaya hidup para penguasa.[10]
2.      Serangan tentera mongol dan runtuhnya abbasiyah
Pada tahun 565 H, tentara mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba disalah satu pintu Bagdad. Khalifah al-Mu’tashim yang berkuasa saat itu tidak berdaya dan tidak mampu membendung kekuatan tentara Hulagokhan. Jatuhnya kota Bagdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah disana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam.[11]
3.      Terjadi disintegrasi umat Islam
Benih perpecahan dan disintegrasi sesungguhnya telah muncul ditubuh umat Islam sejak periode akhir pemerintahan Abbasiyah. Secara umum di zaman akhir Abbasiyah, wilayah teritorial Islam terbagi menjadi dua. Secara rill, daerah-daerah itu berada dibawah kekuasaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan pemerintah hanya ditandai dengan pembayaran upeti. Akibatnya pemerintah tidak terlalu kuat untuk membuat mereka tunduk, tidak saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksanaan pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan eksepansi.
4.      Perang salib
Perang salib adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai ke-13, dengan tujuan untuk merebut tanah suci dari kekuasaan kaum muslim dan mendirikan gereja, juga kerajaan latin di timur. Perang salib berlangsung dalam kurun waktu hampir dua abad yaitu antara tahun 1095-1291, dengan 8 periode peperangan. Namu Stoddard mengatakan perang salib tidak berlangsung dua abad atau lebih, melainkan berlangsung selama enam abad, dan baru berakhir secara pasti di perbentengan wina tahun 1683.[12]
5.      Persaingan antar bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan di latar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa bani umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti bani abbas memilih orang Persia dari pada orang-orang arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Persia dari pada orang-orang arab untuk melupakan bani umayah. Kedua, orang-orang arab sendiri terpecah belah dengan adanya ‘ashabiyah kesukuan.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Selain itu wilayah kekuasaan abbasiyah pada periode pertama sangat luas. Akibatnya disamping fanatisme ke-Araban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khilafah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, para khilafah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuasaan, stabilitas politik terjaga. Setelah al-Mutawakkil seorang kahlifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuatan bani abbas sebenarnya sudah berakhir.[13]
C Gerakan Pembaharuan Islam
1.      Pengertian Pembaharuan dalam Islam
Hakikat  pembaharuan merujuk  kepada  makna kata tajdid,  kemudian  muncul  berbagai istilah  yang  dipandang  memiliki  relevansi  makna  dengan  pembaruan,  yaitu  modernisme, reformisme,  puritanisme, revivalisme  dan  fundamentalisme. Di  samping  kata tajdid,  ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu ishlah. Kata  tajdid biasa diterjemahkan sebagai pembaharuan dan kata ishlah sebagai perubahan. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktik-praktiknya dalam komunitas kaum muslimin.[14]
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta semangat jaman.[15]
Menurut Harun Nasution,[16] Pembaharuan Islam adalah fikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan teknologi modern.
2.      Latar Belakang Pembaharuan Islam
Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dunia Islam timbul terutama karena adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya kontak itu, umat Islam abad XIX mulai menyadari bahwa mereka telah mengalami kemunduran dibandingankan dunia Barat yang pada saat itu mulai menemukan titik kemajuan peradaban.
Sebelum periode modern, hubungan atau kontak antara Islam dan Barat sebenarnya sudah terjadi, terlebih antara Kerajaan Utsmani (yang mempunyai daerah kekuasaan di daratan Eropa) dengan beberapa negara Barat. Namun kontak dengan kebudayaan Barat ini semakin intens saat jatuhnya kekuatan Mesir oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis, disusul dengan imperialisasi Barat terhadap negara-negara muslim lainnya. Kondisi itu akhirnya membuka pemikiran pemuka-pemuka intelektual dan pemerintahan Islam di Mesir untuk segera mengadakan upaya-upaya pembaharuan.
Di antara hal-hal yang mendorong lahirnyanya gerakan pembaharuan dan modernisasi Islam adalah:
a)      Adanya sifat jumud (stagnan) yang telah membuat umat Islam berhenti berpikir dan berusaha. Selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir (berijtihad) maka mereka tidak mungkin mengalami kemajuan. Kemajuan masyarakat hanya akan bisa tercapai melalui pengkajian ilmu pengetahuan yang terus menerus untuk kemudian diaplikasikan dalam teknologi terapan dan kehidupan sosial yang nyata demi kemajuan masyarakat. Untuk itulah maka perlu diadakan upaya pembaharuan dengan memberantas sikap jumud dan menggerakkan kembali tradisi ijtihad di kalangan umat Islam.
b)      Persatuan di kalangan umat Islam mulai terpecah belah. Umat Islam tidak akan mengalami kemajuan apabila tidak ada persatuan dan kesatuan yang diikat oleh tali ukhuwah Islamiyah. Karena itu maka lahirlah suatu gerakan pembaharuan yang berupaya memberikan inspirasi kepada seluruh umat Islam untuk bersatu dan melawan imperialisme Barat.
c)      Hasil adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya kontak ini mereka sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan Barat. Terutama pasca terjadinya peperangan antara kerajaan Utsmani dengan kerajaan Eropa, di mana pada masa-masa sebelumnya kerajaan Utsmani selalu menang dalam peperangan namun saat itu mengalami kekalahan. Hal ini membuat tokoh-tokoh kerajaan Utsmani berupaya menyelidiki rahasia kekuatan militer Eropa. Ternyata rahasianya adalah “sistem militer modern” yang dimiliki Eropa, sehingga,pembaharuan dalam dunia Islam pun salah satunya dipusatkan pada bidang militer.
d)      Meski demikian, pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaissance dalam dunia Barat. Jika renaissance Barat muncul dengan cara “menyingkirkan” peran agama dari kehidupan masyarakat, maka pembaharuan Islam sebaliknya, yakni untuk tujuan  memperkuat prinsip dan ajaran Islam itu sendiri demi kemashlahatan dunia secara  lebih luas. Pada saat dunia Islam mengalami kemunduran, bangsa Barat justru  mengalami kemajuan dan berhasil melakukan ekspansi wilayah perdagangan baru.  Meski jalur strategis perdagangan yang selama itu menjadi jalur internasional telah dikuasai oleh umat Islam sehingga bangsa Barat sulit melakukan transaksi-transaksi perdagangan melalui jalur tersebut, namun dengan didukung oleh kesuksesan Christoper Columbus (1492M) yang berhasil menemukan benua Amerika, juga Vasco da Gama yang berhasil menemukan jalur ke Timur melalui Tanjung Harapan pada tahun 1498M, [17]
3.      Tokoh-Tokoh Pembaharuan dalam Islam
a)      Muhammad Ibn Abd al-Wahhab
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Abd al-Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf.[18] Ia dilahirkan di kota ‘Uyainah (sebelah utara kota Riyadh) pada tahun 1115 Hijriyah, bertepatan dengan tahun 1703 Masehi di tengah-tengah keluarga Ulama. Ayah, kakek dan paman-paman beliau adalah para Ulama, sehingga sejak kecil beliau sudah menghafal al-Quran dan belajar fiqh, tafsir dan hadits dari ayah beliau. Saat sudah mencapai usia baligh beliau berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan ia bertemuu serta menimba ilmu dari para ulama Mekkah dan Madinah. Beliau juga berangkat menuju Basrah dan menimba ilmu dari para Ulama Basrah ketika itu.
Muhammad Ibn Abd al-Wahhab memulai dakwahnya di kota Huraimila`, yaitu tempat tinggal ayahanda beliau yang menjabat sebagai hakim di sana. Beliau mulai mengajak untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah swt, dan menjelaskan bahaya syirik serta bahaya beribadah kepada selain Allah. Tetapi sepeninggal ayahanda, beliau kembali ke ‘Uyainah dan kembali berdakwah di sana. Lantaran terjadi berbagai tekanan, akhirnya beliau meninggalkan kota ‘Uyainah menuju Dir’iyah.
Di kota Dir’iyah inilah Muhammad Ibn Abd al-Wahhab bertemu dengan Amir Muhammad bin Su’ud sebagai pemimpin kota Dir’iyah ketika itu, yang akhirnya mereka berdua sepakat untuk menyebarkan dakwah Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, yaitu untk memurnikan ajaran Islam dari segala bentuk syirik, bid’ah dan khurafat, serta mengembalikan kaum Muslimin kepada ajaran Islam yang benar sesuai yang dibawa oleh Rasulullah saw dan telah dipraktekkan oleh para sahabat. Kerjasama yang penuh berkah inilah yang merupakan cikal bakal Kerajaan Saudi Arabia yang kita kenal sekarang.[19]
Pada masa itu, negeri-negeri Islam benar-benar mengalami kemerosotan dari segala aspek, kaum Muslimin mengalami kemunduran moral dan akhlak, praktek kesyirikan tersebar dimana-mana, berdoa kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada pohon serta batu-batu keramat, serta praktek sihir dan perdukuna hampir merata di tegah-tengah kaum Muslimin.[20]
Dengan munculnya dakwah Muhammad Ibn Abd al-Wahhab ini di tengah Jazirah Arab, dan dibantu oleh kekuatan pedang Amir Muhammad bin Su’ud yang kemudian menyebar ke negeri-negeri Islam lainnya, maka pantaslah jika beliau dijuluki sebagai pembaharu abad kedua belas Hijriyah.
Masa kecil Muhammad Ibn Abd al-Wahhab lebih banyak dipergunakan untuk mempelajari al-Quran, tidak banyak dipergunakan untuk bermain-main bersma teman sebayanya, shingga beliau telah hafal al-Quran sebelum umurnya mencapai 10 tahun. Beliau memiliki ketajaman pemahaman yang kuat biasa, cerdas, cepat menghafal dan fasih pengucapan kata-katanya.
Sebelum beliau melakuka perjalanan jauh ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu, hal yang pertama kali beliau lakuka adalah menyibukkan diri dengan sungguh-sungguh menggali ilm agama dari ayahnya sendiri. Maka dasar-dasar ilmu yang kuat sudah belaiu miliki semenjak umur beliau berkisar antara sepluh tahun di ‘Uyainah, salah satu daerah di Najed.
Beliau mencapai usia baligh sebelum usianya genap 12 tahun. Pada usia itu, sesudah usianya baligh, beliau sudah disuruh menjadi imam shalat oleh ayahnya, dan ayahnya pun menikahkannya. Setelah itu,, pada usia yang sama, beliau pergi haji memnuhi rukun Islam yang kelima dan selanjutnya beliau mengunjungi kota Madinah dan menetap di sana selama dua bulan, baru sesudah itu beliau kembali ke kampung halamannya. Itu adalah perjalanan ibadah haji pertama beliau. Dan tampaknya, selama dua bulan beliau tinggal di Madinah beliau sempat menghadiri beberapa pelajaran dari beberapa Ulama di Masjid Nabawi. Tetapi yang paling berpengaruh bagi beliau adalah ketika bertemu dengan dua Ulama besar yang kelak menjadi guru-gurunya pula pada pengembaraan ilmiah berikutnya, yaitu Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.
b)      Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang tokoh penting penggerak pembaruan dan kebangkitan Islam abad ke-19. Ia dilahirkan pada 1838 M. Ayahnya bernama Sayyid Syafdar, seorang penganut mazhab Hanafi. Menuru L. Stoddard, Jamaluddin dilahirkan di Asadabad dekat Hamazan di Persia, namun ia berkebangsaan Afganistan, bukan Persia seperti dinyatakan dalam namanya.
Sejak kecil, Jamaluddin telah menekuni berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, Hadits, tasawuf, dan filsafat Islam. Ia juga belajar bahasa Arab dan Persia. Sejak remaja ia mulai menekuni filsafat dan ilmu eksakta menurut sistem pelajaran Eropa modern.
Dalam sebuah konspirasi, Inggris berhasil menghasut penguasa Mesir untuk mengusir al-Afghani. Akhirnya ia dibuang ke India dan ditahan di sana pada 1879. Dari India ia menjalani kehidupa yang mobile, seperti di London, Paris, Teheran, dan Istanbul. Jamaluddin wafat pada usia 59 tahun pada 9 Maret karena penyakit kanker.
c)      Muhammad Abduh
          Muhammad Abduh dilahirkan pada 1849 M di sebuah desa pertanian di lembah Sungai Nil. Ayahnya, Abdul Hasan Khairullah, adalah seorang keturunan Turki yang telah  lama menetap di Mesir. Adapun ibunya dalah seorang Arab yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga Umar ibn al-Khattab, khalifah kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad saw wafat.
Pendidikan dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca dan menulis setra ilmu-ilmu keislaman. Selanjutnya, ia belajar menghafal Al-Quran di bawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun, Abduh berhasil menghafal Al-Quran dengan sempurna. Selanjutnya, dalam usia lima belas tahun ia ikirim ayahnya ke Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar ilmu agama. Pada usia 16 tahun, ayahnya menikahkannya. Namun pendiikan masih tetap berlanjut hingga ia menyelesaikan studinya di al-Azhar pada 1877. Selanjutnya, ia mengembangka ilmunya dengan mengajar di Dar al-`Ulum, di samping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan buku tentang akhlak berjudul Tahdzib al-Akhlaq karangn Ibn Miskawaih, yang sudah diterjemahkan oleh al-Thanthawi.
Abduh wafat pada 11 Juli 1905. Jenazahnya diiringi oleh ribuan orang yang mencintainya. Bukan hanya orang Muslim, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun ikut berbondong-bondong memberi penghormatan terakhir kepada tokoh penggerak pembaruan Islam ini.
d)      Muhammad Rasyid Rida
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid bin Ali Rida bin Muhammad Syamsuddin bin Muhammmad Baharudin bin Mulla Ali Kalifa. Ia lahr di al-Qalamun,sebuah desa dekat Tripoli di tepi Pantai Mediteranian sebelah utara Lebanon (Syiria),pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H /23 september 1865 M dan meninggal pada 23 Jumadil Ula 1354 H/22 Agustus 1935. Secara geneologis, ia masih memeliki pertalian darah dengan al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad dari garis Fatimah. Pendidikannya dimulai pada kuttab di Qalamun, lalu kesekolah nasional Usmani, sekolah nasional Islam Tripoli (al-madrasah al-Wataniah al-Islamiah) tahun 1882, dan Sekolah Agama di Tropoli[21].
Pemikiran pembaharuan Muhammad Rasyid Rida secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga,[22] yaitu :
1)      Keagamaan, menurut Rasyid Rida bahwa kemunduran yang diderita umat islam karena mereka tidak mengamalkan ajaran islam yang sebenarnya, mereka telah menyeleweng dari ajaran tersebut. Untuk itu, umat islam harus dikembalikan pada ajarn islam yang semestinya,bebas dari segala bid’ah, sederhana dalam ibadah dan muamalah. Ia juga menganjurkan pembaharuan dalam bidang hokum yakni penyatuan madzhab.
2)      Pendidikan, Rasyid Rida mengajukan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum dengan ilmu-ilmu agama islam di sekolah-sekolah. Maka kurikulum yang ada perlu dimasukkan teologi,pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa asing, dan ilmu kesejahteraan keluarga, disamping ilmu-ilmu agama seperti tfsir, fikih, hadis, dan sebagainya yang biasa diajarkan di sekolah-sekolah tradisional.
3)      Politik, menurut Rasyid Ridha bahwa faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran peersaudaraan seluruh umat islam.persaudaraan dalam islam tidak mengenal adanya perbedaan bahasa, tanah air dan bangsa.

Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahnya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898 ia sampai di negeri gurunya ini.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah termasyhur, Al-Manar. Didalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-manar antar lain mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, social dan ekonomi, memberantas tahayul dan bid’ah yang masuk kedalam tubuh islam, menghilangkan faham fatalism yang terdapat dalam kalangan umat islam, serta faham-faham salah yang dibaw tarekat-tarekat tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat islam terhadap permainan politik Negara-negara barat[23].
e)      Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1876. Ia berasal dari keluarga Kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh adalah guru pertamanya. Untuk meneruskan studinya ia kemudian pergi ke Lahore dan belajar disana sampai memperoleh gelar kesarjanaan M.A. Dikota inilah ia berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang orientalis, yang menurut keterangan mendorong Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Di tahun 1905 ia pergi keNegara ini dan masuk ke universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. 2 tahun kemudian ia pindah ke Munich di Jerman, dan disinilahn ia memperoleh gelar Ph.D, Dalam tasawuf. Tesis doctoral yang diajukannya berjudul ; The development of metaphysic in Persia ( perkembangan metafisik di Persia)[24].
Pemikiran pembaharuan Muhammad Iqbal secara garis besar terdiri dari tiga bidang,[25] :
1.      Keagamaan, Muhammad Iqbal memandang bahwa kemunduran umat Islam disebabkan oleh kebekuan umat islam dalam pemikiran dan ditutupnya pintu ijtihad. Islam menurutnya mengajarkan dinamisme, al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang malam, dan sebagainya. Oleh karena itu, ijtihad dianggap sebagai prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan perubahan dalam hidup social manusia sehingga ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan Islam.
2.      Pendidikan, Muhammad Iqbal tidak menjadikan Barat sebagai model pembaharuannya karena menolak kapitalisme dan imperialise yang dipengaruhi oleh materialisme dan telah mulai meninggalkan agama. Yang harus diambil umat islam dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya.
3.      Politik, Muhammad Iqbal memandang bahwa India pada hakekatnya tersusun dari  dua bangsa, Islam, dan Hindu. Umat islam India harus menuju pada pembentukan Negara sendiri, terpisah dari negara Hindu di India sehingga beliau dipandang sebagai bapak Pakistan.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal mempengaruhi dunia islam pada umumnya, terutama dalam pembaharuan di India. Ia menimbulkan paham dinamisme di kalangan umat islam india dan menunjukn jalan yang harus mereka tempuh untuk masa depan agar umat islam minoritas di anak benua itu dapat bertahan hidup dari tekanan luar dengan terwujudnya republic Pakistan[26]

4.      Dampak Pembaharuan dalam Islam
Pembaharuan di Negara-negara timur tengah tidak hanya tersebar di lingkungan mereka sendiri, namun juga meluas hingga ke Indonesia[27]. Pengaruh-pengaruh dari pembaharuan tersebut antra lain :
a)      Gema pembaharuan yang dilakukan oleh JaWahab maludin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abdul samapai juga ke Indonesia, terutama terhadap tokoh-tokoh seperti Haji Muhammad Miskin, Haji Abdul Rahman dan Haji Salman Faris, mereka sepulang dari tanah suci terilhami oleh syekh Abdul Wahab. Pengaruh pemikiran pembaharu Timur Tengah tersebut adalah timbulnya gerakan Paderi. Gerakan tersebut ingin membersihkan ajaran islam yang telah tercampur baur dengan perbuatan yang bukan Islam. Hal itu menimbulakn pertentangan antara golongan adat dan golongan paderi.
b)      Pada tahun 1903 M, Murid-murid dari syekh Ahmad Khatib, seorang ulama besar bangsa Indonesi di Mekkah yang mendapat kedudukan mulia dikalangan masyarakat dan pemerintah Arab, kembali dari tanah Suci. Merekalah yang menjadi pelopor gerakan pembaruan Minangkabau dan akhirnya berkembang ke seluruh Indonesia. Diantara mereka itu adalah Buya Hamka, syekh daud rasyid dan K.H Ahmad Dahlan.
Munculnya berbagai organisasi dan kelembagaan Islam Modern Indonesia pada  awal abad ke-20, baik yang bersifat keagamaan, politik, maupun ekonomi. Organisasi tersebut ialah Sarekat Islam, PNI, Partai Muslimin Indonesia dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
a)      Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan kaum Muslim, awalnya diluncurkan sebagai jawaban atas permintaan dari Kekaisaran Bizantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Perang Salib ini juga dipengaruhi faktor agama, politik dan ekonomi.
b)      Secara garis besar umat Islam mengalami kemunduran dikarenakan kurang memperhatikan pelaksanaan ajaran agamanya dan dominasi negara-negara barat dalam bidang politik dan peradaban.
c)      Pembaharuan Islam adalah fikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan teknologi modern. Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dunia Islam timbul terutama karena adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya kontak itu, umat Islam abad XIX mulai menyadari bahwa mereka telah mengalami kemunduran dibandingankan dunia Barat yang pada saat itu mulai menemukan titik kemajuan peradaban. Tokoh-tokoh pembaharuan dalam islam diantaranya : Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Jamaludin Al-Afgani, Muhmmad Abduh, Rasyid Rida, dan Muhammad Iqbal. Pembaharuan di Negara-negara timur tengah tidak hanya tersebar di lingkungan mereka sendiri, namun juga meluas hingga ke Indonesia, antara lain dengan munculnya organisasi-organisasi keagmaan, politik, ekonomi, dan lain-lain.



DAFTAR PUSTAKA

Fatahudi, dkk. 2015. Kuliah Kemuhammadiyahan. Mataram : LP2I UM. Mataram.
Fauzi. 2004. “Pembaharuan Islam (Memahami Makna, Landasan, dan Substansi Metode)“ dalam jurnal Studi dan Budaya. Purwokerto: IAIN Purwokerto.
Hasan, Moch. Sya’roni. jurnal “UPAYA PEMBARUAN OLEH PARA MODERNIS ISLAM PADA BIDANG AGAMA, PENDIDIKAN, POLITIK DAN EKONOMI.
Khalil, Muhammad. Sejarah Kebudayaan Islam untuk MA kelas 11.
Kitab ‘Unwanul Majd fi Tarikhi Najd, karya Usman Basyir, dan kitab Tarikh Najd, karya Hushain Ghannam.
Lihat tesis S3 Syaikh Shalih bin Abdullah bin Abdurrahman al-Abud tentang Aqidah Syaikh Muhammad Ibn Abd al-Wahhab dan pengaruhnya di dunia Islam.
Nasution, Harun. 1982. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Nasution,Harun. 1994. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemimkiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abbudin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Nuryandi, “Pengaruh Gerakan Modernisasi Islam Terhadap Perkembangan Islam di Indonesia”,diakses dari http://www.nuryandi.com/2014/05/pengaruh-gerakan-modernisasi-islam.html?m=1 pada hari Minggu 1 Oktober 2017, pukul 10. 20.
Suntiah, Ratu dan Maslani. 2017.  Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Cv. Insan Mandiri.
Syukur, Syamzan. 2014. Perang Salib Dalam Bingkai Sejarah. Jurnal Rihlah Vol.2 No. 1.
Yatim, Badri. 2014. Sejarah Kebuadayaan Islam. Jakarta: PT Rajawali Pers.



[1] Syamzan Syukur, Perang Salib Dalam Bingkai Sejarah, Jurnal Rihlah Vol.2 No. 1, 2014, hal. 50.
[2] Syamzan Syukur, Perang Salib...., hal. 51.
[3] Syamzan Syukur, Perang Salib...., hal. 52.
[4] Syamzan Syukur, Perang Salib...., hal. 53.
[5] Syamzan Syukur, Perang Salib...., hal. 54.
[6] Syamzan Syukur, Perang Salib...., hal. 55.
[7] Syamzan Syukur, Perang Salib...., hal. 56.
[8] Syamzan Syukur, Perang Salib...., hal. 57.
[9] Abbudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 350.
[10] Fatahudi, dkk, Kuliah Kemuhammadiyahan, (Mataram : LP2I UM. Mataram, 2015), hal. 35
[11] Fatahudi, dkk, Kuliah Kemuhammadiyahan...., hal. 27.
[12] Ibid...., hal. 28.
[13] Badri Yatim, Sejarah Kebuadayaan Islam, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2014), hal. 81-82.
[14] Moch. Sya’roni Hasan jurnal “UPAYA PEMBARUAN OLEH PARA MODERNIS ISLAM PADA BIDANG AGAMA, PENDIDIKAN, POLITIK DAN EKONOMI”, hal. 2.
[15] Fauzi, “Pembaharuan Islam (Memahami Makna, Landasan, dan Substansi Metode)“ dalam jurnal Studi dan Budaya, (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2004), hal. 1.
[16] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemimkiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 11-12.
[17] Muhammad Khalil, Sejarah Kebudayaan Islam untuk MA kelas 11, hal. 5-6.
[18] Lihat kitab ‘Unwanul Majd fi Tarikhi Najd, karya Usman Basyir, dan kitab Tarikh Najd, karya Hushain Ghannam.
[19] Lihat kitab ‘Unwanul Majd fi Tarikhi Najd, karya Usman Basyir, dan kitab Tarikh Najd, karya Hushain Ghannam.
[20] Lihat tesis S3 Syaikh Shalih bin Abdullah bin Abdurrahman al-Abud tentang Aqidah Syaikh Muhammad Ibn Abd al-Wahhab dan pengaruhnya di dunia Islam.
[21] Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Cv. Insan Mandiri), 2017, hal.140
[22] Ratu Suntiah  dan Maslani, loc.cit.
[23] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982), hal. 70.
[24] ibid hal.190
[25] Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2017), hal. 141.
[26] Ratu Suntiah dan Maslani, loc.cit,.
[27] Nuryandi, “Pengaruh Gerakan Modernisasi Islam Terhadap Perkembangan Islam di Indonesia”,diakses dari http://www.nuryandi.com/2014/05/pengaruh-gerakan-modernisasi-islam.html?m=1 pada hari Minggu 1 Oktober 2017, pukul 10. 20.

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

LAYANAN DALAM BIMBUNGAN KONSELING

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Mengacu dari Permendikbud No. 111 Tahun 2014, pada pasal 3 , Lay...

Postingan Populer