BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Peradaban Islam memiliki
banyak cerita di dalamnya. Cerita tentang penyebaran, kebudayaan dan
tokoh-tokoh yang berpengaruh. Dalam salah satu bab menceritakan tentang Perang
Salib. Sebagai gambaran, Perang Salib yang familiar bagi kita adalah suatu perang
keagamaan yang sangat terkenal. Disebut Perang Salib karena para tentara atau
pejuang Kristen ini menggunakan simbol salib ditameng, baju, topi dan segala
atribut berperangnya. Perang Salib ini terbagi atas beberapa periode.
Didalamnya, terdapat banyak tokoh-tokoh yang menarik cerita saat pemimpin
perang ini.
Kemudian sejak lahirnya
agama Islam, lahirlah pendidikan dan pengajaran Islam. Pendidikan dan
pengajaran Islam itu terus tumbuh dan berkembang pada masa Khulafaur Rasyiddin
dan masa Umaiyah.
Pada permulaan masa
Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh
negeri Islam sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya dan
tersebar dari kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba
menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat pendidikan, meninggalkan kampung
halamannya, karena cinta akan Ilmu pengetahuan.
Pada masa Abbasiyah ini juga berdiri perpustakaan dan akademi.
Perpustakaan pada masa ini lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan
berdiskusi.
Perkembangan lembaga
pendidikan ini mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu.
Kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan
sehingga Islam mencapai masa keemasan kejayaan dan kegemilangan.
Setelah umat Islam
mencapai kejayaannya lebih kurang tujuh abad (abad VII M sampai abad XIII M) para ahli sejarah menyebutnya dengan masa
periode kemajuan, periode klasik dan sebagainya, maka hukum sejarahpun berlaku.
Sesuatu yang sampai pada puncaknya akan memperlihatkan grafiknya yang menurun.
Penurunan kebudayaan dan peradaban Islam ini seiring dengan penurunan
pendidikan.
Kemudian dalam pembaharuan Islam dikenal juga dengan modernisasi
Islam, yang mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran yang terdapat dalam
agama dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern, tetapi perlu diingat bahwa
dalam Islam ada ajaran yang tidak bersifat mutlak, yaitu penafsiran dari
ajaran-ajaran yang bersifat abadi dari masa ke masa. Dengan kata lain
pembaharuan mengenai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak tak dapat diadakan
karena sudah tak bisa lagi diganggu gugat seperti pada hukum-hukum yang tercantum
dalam al-Qur’an.
Pembaharuan dapat dilakukan dengan meninjau kembali beberapa aspek
yang memang memerlukan untuk diperbaharui seiring dengan perkembangan zaman
yang semakin modern yang mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti
sekarang ini.
B. Rumusan Masalah
a)
Perang
Salib Menurut Pandangan Islam
1.
Bagaimana
sebab-sebab terjadinya perang salib?
2.
Bagaimana
proses berlangsungnya perang salib?
3.
Bagaimana
peranan Shalahuddin al-Ayyubi dalam perang salib?
4.
Bagaimana
dampak perang salib?
b)
Kemunduran
Umat Islam
c)
Gerakan
Pembaharuan Islam
1.
Bagaimana
pengertian pembaharuan dalam Islam?
2.
Bagaimana
latar belakang pembaharuan Islam?
3.
Bagaimana
tokoh-tokoh pembaharuan
dalam Islam?
4.
Bagaimana
dampak pembaharuan
dalam Islam?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
C. Tujuan Pembahasan Masalah
a)
Perang
Salib Menurut Pandangan Islam
1.
Untuk
mengetahui sebab-sebab terjadinya perang salib?
2.
Untuk
mengetahui proses berlangsungnya perang salib?
3.
Untuk
mengetahui peranan Shalahuddin al-Ayyubi dalam perang salib?
4.
Untuk
mengetahui dampak perang salib?
b)
Kemunduran
Umat Islam
c)
Gerakan
Pembaharuan Islam
1.
Untuk
mengetahui pengertian pembaharuan dalam Islam?
2.
Untuk
mengetahui latar belakang pembaharuan Islam?
3.
Untuk
mengetahui tokoh-tokoh
pembaharuan dalam Islam?
4.
Untuk
mengetahui dampak
pembaharuan dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perang Salib Menurut Pandangan Islam
1.
Sebab-Sebab
Terjadinya Perang Salib
Gagasan untuk menjalankan peperangan demi membela kepercayaan agama
merupakan idealisme keagamaan yang tersusun menjadi satu, meskipun demikian
berbagai kecenderungan juga mendapat tempat yang layak dalam tujuan perang
Salib untuk menguasai kembali tempat suci Yerussalem dengan cara-cara militer.
Karena itu untuk merumuskan sebab-sebab terjadinya Perang Salib,
maka perlu menganalisa kondisi pihak Eropa sebelum perang mulai pecah, atau
minimal dianalisa walaupun sekilas sikap dan tindakan pihak Eropa di abad-abad
pertengahan.
Berangkat
dari premis tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa sebab-sebab
terjadinya perang Salib, adalah sebagai berikut:
a)
Faktor
Agama
Hilangnya kemerdekaan umat Kristiani
untuk beribadah ke Yerussalem. Kondisi ini merupakan kebijakan yang dijalankan
pemerintahan Bani Saljuk yang menguasai Yerussalem pada tahun 1076 M. Padahal
boleh dikatakan bahwa umat Kristiani sangat fanatik dan beranggapan bahwa
berziarah ke Makam Nabi Isa di Yerussalem merupakan amalan yang paling baik dan
besar pahalanya.
Bani Saljuk telah menjalankan
kebijakan-kebijakan yang mempersulit dan bahkan menganiaya umat Kristiani yang
akan berziarah ke Yerussalem. Kebijakan-kebijakan yang merugikan umat Kristiani
ini terdengar sampai di Eropa, rakyat Eropa menjadi gempar, gusar dan bersedih
hati dan justru dari peristiwa ini menumbuhkan semangat keagamaan dan loyalitas
terhadap sesama umat Kristiani untuk memberikan perlindungan dan pembelaan. Mereka
bergerak bersama untuk menuntut balas atas perampasan kemerdekaan dalam
menjalankan ajaran agama mereka. Visi mereka satu yaitu merebut Baitul Maqdis
dari genggaman kaum Muslimin (Bani Saljuk) dengan keyakinan bila berziarah ke
tanah suci mendapat pahala yang besar, sudah barang tentu melepaskan dan
memerdekakan Yerussalem dari kekuasaan Kaum Muslimin jauh lebih besar
pahalanya.[1]
b)
Faktor
Politik
Posisi-posisi kunci di sekitar Asia
kecil telah di kuasai Bani Saljuk dan bahkan dijadikan sebagai basis kekuatan
dan pertahanan. Kondisi ini memposisikan kota Konstantinopel terancam akan
jatuh ke tangan umat Islam (Bani Saljuk). Untuk menghindari jatuhnya kota
Konstantinopel ke tangan umat Islam, Kaisar Alexius penguasa Byzantium
(Konstantinopel) tidak memiliki pilihan lain kecuali meminta dukungan dan
bantuan politik Keuskupan Agung di Roma. Pihak Keuskupan Agung sendiri
menyambut baik kerja sama ini, karena mereka juga berkewajiban membela
kepentingan religi, di samping itu sesungguhnya kepentingan politik bagi
Keuskupan juga sangat menggiurkan. Karena itu mulailah pihak Keuskupan mengatur
rencana kerja perebutan kembali Baitul Maqdis. Tetapi anehnya agenda mereka di
awali dengan propaganda perang suci ke dunia Islam oleh Paus Urbanus II. Bila
di analisis, Perang suci (Perang demi membela agama) yang didengung-dengungkan
Paus Urbanus II ini, tidak lebih dari merealisasikan ambisi politiknya untuk
menguasai sebagian daerah yang dikuasai Islam. Karena sesungguhnya kunci dari
persoalan ini adalah Bani Saljuk menguasai Baitul Maqdis dengan menerapkan
kebijakan yang menyulitkan umat Kristiani untuk beribadah ke sana. Dengan
demikian, sejatinya tema propaganda atau kampanye perang suci Paus adalah
“pembebesan Baitul Maqdis” bukan perang suci ke dunia Islam.
Berdasarkan analisis di atas, maka
disimpulkan bahwa pihak Keuskupan sesungguhnya memiliki ambisi politik untuk
menaklukan dunia di bawah kekuasaan gereja, demikian pula dengan
bangsawan-bangsawan Eropa tentu memiliki ambisi politik yang tidak kalah
besarnya untuk membentuk kerajaan-kerajaan di daerah-daerah yang dikuasai oleh
umat Islam.
c)
Faktor
Ekonomi
Adanya keinginana bangsa Barat
menguasai tata niaga di kawasan Laut Tengah sekaligus menjadikan kawasan
tersebut sebagai sentral perdagangan Barat di Timur. Kawasan ini memang sangat
strategis, sebagai pintu pengembangan perdagangan ke arah timur melalui Laut
Merah.
Faktor ekonomi pula yang memotivasi
masyarakat Eropa kelas rendahan, karena mereka seringkali mendapat tekanan,
dibebani berbagai pajak serta sejumlah kewajiban lainnya dari kerajaan dan
gereja. Sehingga ketika mereka dimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut
mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan mendapat kebebasan dan
kesejahteraan yang lebih baik bila dapat memenangkan peperangan. Disamping itu
mereka berharap akan mendapat keuntungan ekonomi di daerah-daerah yang
ditaklukan dari tangan Islam. Motivasi-motivasi tersebut di atas, menyebabkan masyarakat
kelas rendahan di Eropa menyambut seruan Perang Salib secara spontan dengan
berduyung-duyung melibatkan diri dalam perang.
Berdasarkan penjelasan tersebut di
atas, tampak bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Perang Salib
dan faktor-faktor tersebut terealisasi dengan baik karena didukung oleh
beberapa hal sebagai berikut:[2]
1)
Lemahnya
persatuan umat Islam
Sebelum genderang Perang Salib
berbunyi, dunia Islam tampak dalam kondisi lemah. Bani Saljuk (Daulah Salajikah
kehilangan kekuatan sepeninggal Malik Syah (1092 M). Perebutan daerah Syiria
antara Bani Saljuk dan Bani Fatimiyah tidak dapat dielakkan yang menyebabkan
terjadinya permusushan berkepanjangan antara dua kerajaan Islam ini. Akibatnya
dinasti-dinasti Islam khususnya dua dinasti tersebut dalam keadaan lemah karena
sudah terkuras kekuatan militer maupun financialnya dalam perang saudara.
Kondisi lemah umat Islam ini merupakan peluang emas bagi dunia Eropa untuk
melancarkan serangannya.
2)
Berdirinya
kerajaan-kerajaan Eropa yang baru.
Bermunculannya kerajaan-kerajaan
Eropa yang baru seperti Kerajaan Venesia, Genua dan berkuasanya bangsa
Normandia di selatan Italia dan di Kepulauan Sicilia yang semuanya itu
merupakan peluang emas bagi dunia Eropa melancarkan serangannya.
2.
Proses
Berlangsungnya Perang Salib
Perang Salib (Holy war) dalam sebagain literature mengungkapkan
masa terjadinya antara tahun 1096 sampai 1291. Perang ini dinamakan Perang
Salib karena ekspedisi militer Kristen memakai tanda Salib sebagai atribut
pemersatu dan sebagai simbol perang suci dalam melakukan penyerangan ke dunia
Islam. Pembesar-pembesar Kristiani memang paham betul emosi keagamaan umat
Kristiani. Dengan simbol tanda Salib akan mudah menggugah emosi keagamaan
mereka. Terbukti, dalam tiga kali periode penyerangan tersebut, umat Kristiani
cukup banyak yang turut ambil bagian dalam perang tersebut. Dalam masa
peperangan itu, menang dan kalah silih berganti antara pasukan Islam dan
pasukan Salib.
Perang Salib berlangsung hampir mencapai dua abad lamanya. Dari
waktu yang demikian panjang itu, bisa dibayangkan, betapa banyak korban
berjatuhan dari kedua belah pihak.
Bila diukur dari waktu berkangsungnya Perang Salib, secara global
dibagi atas tiga periode, sebagai berikut:
Periode pertama
: disebut periode penaklukan umat Kristinani yang berlangsung dari tahun
1096-1144 M.
Periode kedua :
disebut sebagai periode reaksi umat Islam yang berlangsung dari tahun 1144-1192
M.
Periode ketiga
: disebut sebagai periode kehancuran pasukan Salib yang berlangsung dari tahun
1192 hingga 1291.
a)
Periode
Pertama (1096-1144 M).
Seruan Perang Salib yang menggoncang
dunia ini, merupakan hasil kerja keras Paus Urbanus II dalam kampanyenya di
kalangan Keuskupan Agung. Di samping itu didukung oleh kampanye yang sama
dikalangan masyarakat luas yang dilakukan oleh seorang penginjil bernama Peters
Amin. Peters Amin sangat gencar dan aktif melakukan kampanye dan boleh
dikatakan kampanyenya sukses menggugah emosi keagamaan masyarakat Eropa.[3]
Hasil kerja keras dari dua juru
kampanye (jurkam) Perang Salib yaitu Paus Urbanus II dan Peters Amin, maka
dimulai pada 1096 tepatnya musim semi, berkumpullah sebanyak 150.000 tentara
Eroa yang sebagian besar berasal dari Perancis dan Normandia. Pasukan Perang
Salib ini berkumpul di Konstantinopel. Dalam perjalanan mereka menuju Palestina
melalui Asia Kecil, banyak pasukan bergabung, sehingga jumlah pasukan mencapai
300.000 orang. Namun sangat disayangkan, pasukan sebanyak ini tidak dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, mereka banyak melakukan perbuatan brutal,
perampokan, mabuk-mabukan dan perzinahan pada tempat-tempat yang mereka lalui.
Tindakan pasukan Salib ini menyebabkan kemarahan bangsa Bulgaria dan Hongaria,
yang segera memberikan serangan hingga pasukan Salib berantakan dan sisanya
dihadapi langsung oleh pasukan Bani Saljuk. Pada perang pertama ini, rombongan
tentara Salib seluruhnya binasa sebelum mereka dapat membebaskan Baitul Maqdis.
Reputasi pasukan Salib pertama ini menandakan mereka tidak dibekali pengetahuan
strategi perang dan etika perang, dalam hal ini nampaknya Paus Urbanus II dan
Peters Amin hanya membekali pasukan Salib tersebut dengan kebencian dan dendam
terhadap umat Islam.
Hancurnya pasukan Salib pertama,
segera disusul oleh bangkitnya pasukan Salib berikutnya setahun kemudian yaitu
pada tahun 1097. Kali ini tentara Salib menyebrang selat Bosor, memasuki Asia
Kecil dan memblokade kota Nicea. Selama sebulan kota ini dikepung sampai akhirnya
dapat ditaklukan pada tanggal 18 Juni 1097 M. Setahun kemudian pasukan Salib
dapat melumpuhkan Raha (Edessa), Syiria Utara hingga Antokia. Pada bulan juni
1099, bergerak lagi tentara Salib melanjutkan penyerbuannya. Kali ini sasaran
mereka adalah Baitul Maqdis, selama kurang lebih satu bulan mereka mengepung
kota suci ini, akhirnya mereka berhasil menguasainya, tepatnya pada tanggal 15
Juli 1099 M. Di kota ini mereka bertindak kejam, melakukan pembantaian bukan
saja terhadap umat Islam tetapi juga terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani
setempat yang tidak mau bekerjasama dengan mereka.
Dengan berhasilnya pasukan Salib
menguasai Baitul Maqdis dan kota-kota disekitarnya, maka mereka dapat mendirikan
empat kerajaan Latin, yaitu:
1)
Kerajaan
Latin I di Edessa (1096 M) yang dipimpin oleh raja Boldwin.
2)
Kerajaan
Latin II di Antokia (1098 M) yang dipimpin oleh raja Bahemond.
3)
Kerajaan
Latin III di Baitul Maqdis (1099 M) dipimpin oleh raja Godfrey.
4)
Kerajaan
Latin IV di Tripolo (1099 M) dipimpin oleh Raymond.
Berdasarkan informasi di atas, maka
dalam periode pertama Perang Salib, umat Islam mengalami kekalahan, sementara
pasukan Salib dapat merealisasikan tujuan utamanya yaitu menguasai Baitul
Maqdis dari kekuasaan Islam.
Penyebab kekalahan pasukan Islam
atas pasukan Salib, antara lain; ketidak siapan pasukan Islam dalam menghadai
pasukan Salib dan berkobarnya semangat perang Pasukan Salib untuk merebut
Baitul Maqdis dan memperoleh keuntungan ekonomi dalam peperangan.
b)
Periode
kedua (1144-1192 M)
Periode ini merupakan periode
kebangkitan umat Islam setelah menderita kekalahan melawan kekuatan tentara
Salib yang dapat menguasai wilayah Syiria dan Palestina pada tahun 1144 M.
Dibawa pimpinan Imad al-Din Zanki, tentara Islam berjuang dengan
sungguh-sungguh merebut kembali beberapa kota yang jatuh ke tangan tentara
Salib antara lain; Aleppo, Hamimah dan kota-kota lainnya hingga Edessa.[4]
Pada tahun 1146 M Imad al-Din Zanki
wafat, maka perjuangan dilanjutkan oleh putranya bernama Nur al-Din Zanki.
Dibawah pimpinannya, beberapa kota di sekitar Antokia dapat dikuasainya pada
tahun 1149 M. Dua tahun kemudian Pasukan Islam merebut kembali kota di sekitar
Edessa dan bahkan tentara Islam sempat menangkap Emir Edessa. Selanjutnya pada
tahun 1164 M Nur al-Din Zanki berhasil menaklukan kota Antokia dan menyandera
Emir Bahemond III dan sekutunya Raymond III. Keduanya dibebaskan setelah membayar
tebusan dalam jumlah besar.
Peperangan dilanjutkan dengan
mengerahkan tentara Islam untuk membebaskan Mesir dalam tahun 1196 M. Jatuhnya
daerah-daerah kekuasaan tentara Kristiani ke tangan umat Islam memancing emosi
tentara Salib untuk mengobarkan Perang Salib berikutnya, akan tetapi gerakan
mereka mendapat perlawanan sengit dari pasukan Nur al-Din Zanki. Nasib pemimpin
tentara Salib, Louis IV dan Condrad II melarikan diri dan pulang ke negerinya.
Pada tahun 1174 M, pasukan Islam
berkabung atas wafatnya pemimpin tentara Islam terbaik, Nur al-Din Zanki,
selanjutnya pimpinan perang di pegang oleh Shalah al-Din al-Ayyubi (seorang
pendiri Dinasti Ayyubiah di mesir). Dibawah pimpinannya tentara Islam semakin
berjaya; keberhasilan pertama yang dicetak pasukan Islam yaitu keberhasilannya
mengembalikan Baitul Maqdis kepangkuan umat Islam dalam tahun 1187 M, masjid Aqsa
pun kembali mengumandangkan Adzan, sementara pasukan Salib banyak yang menjadi
tawanannya.
Perjuangan tentara Salib selanjutnya
dipimpin raja Jerman Frederick Barbarosa, Raja Inggris Richardo dan Raja
Perancis Philip August. Pada pertempuran ini, Raja Fredirick tewas, sedangkan
Philip dan Richardo berhadapan dengan tentara Islam di Akka. Pasukan Islam
berhasil mundur teratur untuk menyusun strategi, sementara pasukan Salib tidak
berhasil memasuki kota suci Baitul Maqdis. Peperangan ini berlangsung sampai
tahun 1192 M.
Keunggulan pasukan Salib di Akka,
belum dapat memuluskan jalan mereka untuk datang segera membebaskan Baitul
Maqdis, sebab mereka masih harus melalui perjuangan yang sangat berat
menghadapi tentara Islam yang senantiasa menggalang kekuatan. Di samping itu
namaknya Raja Richardo merasa berat dan jenuh melanjutkan peperangan dan
memilih menawarkan gencatan senjata melaui surat, maka pada tanggal 2 Juli 1192
M lahirlah apa yang disebut dengan “shulh al-Ramlah”, yang berisi dua kesepakatan,
yaitu:
1)
Daerah
pantai sekitar Akka dalam kekuasaan tentara Salib
2)
Palestina
tetap dibawah kekuasaan Islam, akan tetapi jamaah Kristen diizinkan berziarah
ke baitul Maqdis dengan persyaratan tidak boleh membawa senjata.
Dengan disahkannya perjanjian tersebut,
maka baitul Maqdis tetap berada di tangan umat Islam. Beberapa bulan setelah
pengesahan dua kesepakatan tersebut di atas, pada tanggal 3 Maret 1193 M,
Salahuddin al-Ayyubi tutup usia dalam usia 55 tahun dan beliau di makamkan di
Syiria.[5]
c)
Periode
ketiga (1193-1291 M)
Skala prioritas pasukan Salib pada
periode ini adalah menguasai Mesir. Berdasarkan pertimbangan ekonomi, bahwa
jika Mesir dapat dikuasai, mereka dapat memperoleh keuntungan besar dalam
peperangan, sebab dari Mesir akan terbuka kesempatan untuk memasuki Laut Merah
dan mengembangkan perdagangan ke Hindia dan kepulauan Hindia sebelah Timur
(sekarang Indonesia). Beberapa tahun setelah pasukan Salib berhasil menduduki
Konstantinopel, pada tahun 1218 M, mereka menyerang Mesir, tetapi tidak berhasil
dan hanya dapat menguasai kota Dimyat sebagai pintu gerbang strategi untuk
memasuki Mesir. Dalam tahun 1229 M pimpinan tentara Salib Frederick mengadakan
perundingan damai dengan Malik al-Kamil penguasa Mesir dari Dinasti Ayyubiah.
Isi perjanjian tersebut adalah Baitul Maqdis diserahkan ke tentara Salib dan
sebagai gantinya Dimyat diserahkan kepada tentara Islam. Dengan
ditandatanganinya perjanjian tersebut, baitul Maqdis kembali kepangkuan pasukan
Salib dengan Frederick II sebagai rajanya. Tetapi setelah melalui beberapa
pertempuran melawan tentara Salib, Baitul Maqdis dapat direbut kembali oleh
penguasa Dinasti Ayyubiah, al-Malik al-Shaleh putra al-Malik pada tahun 1247 M.
Perlawanan tentara Salib dilanjutkan
oleh Dinasti Mamalik pada tahun 1263 M. Al-Malik al-Zahir Baybars berhasil
menaklukan kota-kota Caesarea dan Akka. Keberhasilan yang sama juga terjadi
dalam menaklukan Yaffa dan kota Antokia yang merupakan benteng pertahanan
tentara Salib dalam tahun 1271 M.
Perjuangan Baybars dilanjutkan oleh
Sultan Qalawun yang memerintah ditahun 1279-1290 M. Dibawah pemerintahannya
Laziqiyah dan Tripoli dapat ditaklukan dalam tahun 1289 M. Pada tahun itu pula
Sultan Qalawun mempersiapkan tentaranya untuk menaklukan daerah-daerah yang
masih dikuasai tentara Salib, namun dia meninggal sebelum usaha tersebut
berhasil. Usahanya dilanjutkan oleh putranya, Asyraf Khalil yang berkuasa dalam
tahun 1290-1293 M. Pada tanggal 5 April 1291 M, ia menyerang dan mengepung kota
Akka dan berhasil menguasai kota tersebut pada tanggal 28 Mei 1291 M.
Selanjutnya, kota-kota yang dikuasai tentara Salib satu demi satu jatuh
ketangan pasukan Islam, termasuk Baitul Maqdis. Tanggal 14 Agustus 1291 M
kekuasaan tentara Salib sudah lenyap di Timur Tengah. Adapun sisa-sisa tentara Salib,
selanjutnya melarikan diri melalui jalan laut dan kebanyakan mereka mengungsi
ke Ciprus.
Kemenangan demi kemenangan yang
diraih tentara Islam pada periode terakhir ini, sangat didukung oleh pimpinan
perang yang tangguh dan berani; beberapa pemimpin tentara Islam yang terakhir
yaitu Malik al-Kamil, Shaleh al-Kamil, Sultan Qalawun dan Asyraf Khalil
berhasil memberikan kekalahan pasukan Salib. Disamping itu tentara-tentara
Islam juga merupakan pasukan-pasukan yang terlatih di medan perang.[6]
3.
Peranan
Shalahuddin al-Ayyubi Dalam Perang Salib
Shalahuddin al-Ayyubi adalah seorang pendiri Dinasti Ayyubiah di
Mesir pada tahun 1175 M. Tampilnya Shalahuddin memimpin tentara Islam,
mengejutkan pasukan Salib, apalagi setelah kemenangannya menguasai Baitul
Maqdis pada tahun 1187.
Pada peperangan yang terjadi di Hatim, Salahuddin tampil sebagai
seorang pimpinan perang yang tangguh dan berani. Yahya Harun menganalogkan
keberanian Salahuddin di medan perang dengan istilah “singa yang hendak
menerkam mangsanya”. Dibawah pimpinan Salahuddin al-Ayyubi, pertempuran yang
terjadi di Hatim mendesak tentara Salib untuk mundur dan akhirnya mereka
bercerai-berai dengan menanggung kekalahan yang tidak terkira. Sepuluh ribu di
antara pasukan Salib meninggal dunia. Para kepala dan jenderal-jenderalnya
kebanyakan ditawan oleh Salahuddin termasuk didalamnya Guy de Lusiguon, raja
Baitul Maqdis. Negeri Akka Nabbelis, Yaffa, Beirut dan beberapa kota lainnya
serta semua benteng pertahanan yang penting, telah terbuka pintunya bagi
pasukan Islam dengan tanpa ada perlawanan. Setelah Salahuddin menguasai Baitul
Maqdis, barulah ia tampakkan kehormatan dan sifat kasih sayangnya dengan
membebaskan para tawanan itu setelah bersumpah tidak akan mengadakan perlawanan
lagi dan semua kekuasaan kaum Salib akan diserahkan kepada Salahuddin.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Shalahuddin telah mengembalikan
citra Islam yang sudah terpuruk melalui keberhasilan-keberhasilannya memukul
mundur pasukan Salib. Kesuksesannya dalam peperangan demi peperangan melawan
Pasukan Salib merupakan barometer bagi pemimpin-pemimpin tentara Islam sesudah
periode Shalahuddin dalam mengusir pasukan Salib dari dunia Islam.
4.
Dampak
Perang Salib
Sejak terjadinya perang Salib yang pertama, sampai lenyapnya kaum
Salib dan kekuasaannya di Timur merupakan suatu peristiwa yang penting yang
dicatat oleh sejarah. Kisah peristiwa tersebut akan ditransfer terus oleh
generasi demi generasi. Perang Salib tidak hanya meninggalkan hasil-hasil yang
negative, misalnya kemusnahan dan kehancuran fisik khususnya di negara-negara
Islam, tetapi juga meninggalkan hasil-hasil yang positif terutama terhadap
bangsa Eropa. Sekalipun bangsa Eropa gagal melaksanakan cita-cita utamanya,
yaitu pembebasan Palestina dari kekuasaan umat Islam.[7]
Selama kurang lebih tiga Abad berlangsungnya Perang Salib,
dampak-dampak positif yang diperoleh bangsa Eropa, antara lain:
a)
Bertambahnya
wilayah kerajaan Byzantium, sehingga sanggup mengerem dan menghalang-halangi
penyerangan Bani Saljuk ke Eropa. Seandainya kerajaan Byzantium goyah, maka
besar peluang Bani Saljuk manaklukan sebagian Eropa.
b)
Pasukan
Salib dapat berkenalan dengan kebudayaan Islam yang sudah sangat maju, terutama
dalam bidang ilmu pengetahuan, sehingga orang Barat berdatangan ke Timur untuk
belajar dan menggali ilmu untuk kemudian mereka sebar luaskan di Eropa.
c)
Manusia
mulai kritis terhadap berita-berita pembukaan negeri baru yang dibawa oleh kaum
Salib ke Eropa. Sebagai bukti ke insyafan mereka itu ialah perjalanan Marcopolo
dalam mencari benua Amerika di abad ke-13 sebagai langkah awal bagi perjalanan
Colombus ke Amerika pada tahun 1492.
d)
Kontak
perdagangan antara Timur dan Barat semakin pesat. Mesir dan Syiria sangat besar
artinya bagi lintas perdagangan Barat. Kekayaan kerajaan dan rakyat kian
melimpah ruah. Keadaan seperti ini kian tahun bertambah pesat, sehingga membuka
jalan perdagangan sampai ke Tanjung Harapan dan lama-kelamaan perdagangan dan
kemajuan Timur berpindah ke Barat.
Dari uraian tersebut di atas, tampak
bahwa Perang Salib memberikan dampak yang lebih menguntungkan bagi dunia Eropa
dan atau dunia Barat. Peperangan ini memberi pengaruh terhadap kemajuan
peradaban Eropa. Sebaliknya bagi umat Islam, sekalipun berhasil menghancurkan
dan mengusir tentara Salib dari Timur, sebenarnya tidak mendapat manfaat dalam
perkembangan budaya dan peradaban, melainkan mendatangkan kehancuran. Karena
Perang Salib berlangsung di daerah-daerah kekuasaan Islam.[8]
B. Kemunduran Umat Islam
Masa
kemunduran Islam terjadi dari tahun 1250 hingga 1500 M.
Pada masa ini
seorang bernama Jengiskhan dan keturunannya datang membawa
penghancuran bagi dunia Islam. Jengiskhan yang berasal dari
Mongolia penganut agama Syamaniah, menyembah bintang-bintang dan
sujud kepada matahari yang sedang terbit. Setelah menduduki Peking pada
1212 M, ia mengalihkan serangannya ke arah barat. Satu demi satu kerajaan Islam jatuh
ketangannya. Transoxania dan Khawarizm dapat dikalahkan pada 1219 M,
demikian pula kerajaan Ghazna dapat dikalahkan 1243 M, Azarbaijan 1223 M, dan
kerajaan Saljuk di Asia kecil 1243 M. Dari sini
meneruskan serangan ke Eropa dan Rusia.
Serangan ke
Bagdad dilakukan oleh cucunya Hulagu Khan Khurasan di Persia terlebih dahulu ia
kalahkan dan Hasyasyasyin di Alamut ia hancurkan. Pada permulaan 1258 M, ia sampai ke tepi
kota Bagdad.
Perintah untuk menyerah di tolak oleh khalifah al-Mu’tasim dan kota Bagdad di
kepung. Akhirnya pada
10 februari 1257 benteng kota ini dapat ditembus dan kota ini dihancurkan. Dari
sini Haluga meneruskan serangannya ke Suriah, dan dari Suriah ia
ingin memasuki Mesir. Tetapi di Ainjalut ia dikalahkan oleh Baybars, jenderal Mamluk dari Mesir 1260 M.
Selanjutnya di Timur Lenk, seorang
yang berasal dari keturunan Jengiskhan dapat menguasai Samarkand di tahun 1369 M. Dari Samarkan ia
mengadakan serangan kesebelah barat dan dapat menguasai daerah-daerah yang
terletak antara Delhi dan laut Marmara.[9]
Selain
ditandai oleh adanya serangan, serbuan, penghancuran dari berbagai
musuh yang datang dari luar Islam, pada periode ini juga ditandai oleh
adanya perebutan kekuasaan diantara sesama dinasti kecil
dalam Islam. Pada masa kemunduran I ini, juga terjadi kehancuran khalifah secara formil.
Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang persatuan
dan ini berlaku hingga kerajaan Ustmani mengangkat khalifah yang baru di
Istanbul di abad ke 16. Pada periode kemunduran I ini juga pengaruh
tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah luas di dunia Islam. Dengan
demikian, pada masa
kemunduran I ini umat islam bukan saja mengalami kehancuran dalam bidang
polititk dan Daulat Islamiyah, melainkan kehancuran dalam bidang
kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan.
Factor-faktor yang mempengaruhi kemunduran
islam :
1.
Pemimpin tidak mengamalkan ajaran islam.
Para ahli
sejarah mengajukan hipotesis bahwa kemunduran Islam disebabkan karena gaya
hidup para penguasa yang gemar hidup bermewah-mewah dan berorientasi duniawi
saja. Pola hidup
serakah, iri hati, ambisi kekuasaan dan tidak mementingkan kehidupan rohani dan
ukrawi menjadi gaya hidup para penguasa.[10]
2.
Serangan tentera mongol dan runtuhnya
abbasiyah
Pada tahun 565 H, tentara mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang
tiba disalah
satu pintu Bagdad. Khalifah al-Mu’tashim yang berkuasa
saat itu tidak berdaya dan tidak mampu membendung
kekuatan tentara Hulagokhan. Jatuhnya kota Bagdad pada tahun 1258 M
ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri
khilafah Abbasiyah disana, tetapi juga merupakan awal
dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam.[11]
3.
Terjadi disintegrasi umat Islam
Benih perpecahan dan disintegrasi sesungguhnya telah muncul ditubuh umat Islam sejak
periode akhir pemerintahan Abbasiyah. Secara umum di zaman akhir Abbasiyah,
wilayah teritorial Islam terbagi menjadi dua. Secara rill,
daerah-daerah itu berada dibawah kekuasaan gubernur-gubernur bersangkutan.
Hubungan dengan pemerintah hanya ditandai dengan pembayaran upeti. Akibatnya
pemerintah tidak terlalu kuat untuk membuat mereka tunduk, tidak saling percaya
di kalangan penguasa dan pelaksanaan pemerintahan sangat rendah dan juga para
penguasa Abbasiyah menitik beratkan pembinaan
peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan eksepansi.
4.
Perang salib
Perang salib adalah
gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara
berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai ke-13, dengan tujuan untuk merebut tanah
suci dari kekuasaan kaum muslim dan mendirikan gereja, juga kerajaan latin di
timur. Perang salib
berlangsung dalam kurun waktu hampir dua abad yaitu antara tahun
1095-1291, dengan 8 periode peperangan. Namu Stoddard mengatakan perang salib
tidak berlangsung dua abad atau lebih, melainkan berlangsung selama enam abad,
dan baru berakhir secara pasti di perbentengan wina tahun 1683.[12]
5.
Persaingan antar bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan di latar belakangi oleh
persamaan nasib kedua golongan itu pada masa bani umayyah berkuasa. Keduanya
sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska,
ada dua sebab dinasti bani abbas memilih orang Persia dari pada orang-orang
arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Persia dari pada orang-orang arab untuk
melupakan bani umayah. Kedua, orang-orang arab sendiri terpecah belah dengan
adanya ‘ashabiyah kesukuan.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Selain
itu wilayah kekuasaan abbasiyah pada periode pertama sangat
luas. Akibatnya disamping fanatisme ke-Araban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain
yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Kecenderungan masing-masing bangsa
untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khilafah Abbasiyah
berdiri. Akan tetapi, para khilafah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan
kekuasaan, stabilitas politik terjaga. Setelah al-Mutawakkil
seorang kahlifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara turki tak terbendung
lagi. Sejak itu kekuatan bani abbas sebenarnya sudah berakhir.[13]
C. Gerakan Pembaharuan Islam
1.
Pengertian
Pembaharuan dalam Islam
Hakikat pembaharuan
merujuk kepada makna kata tajdid, kemudian
muncul berbagai istilah yang
dipandang memiliki relevansi
makna dengan pembaruan,
yaitu modernisme, reformisme, puritanisme, revivalisme dan
fundamentalisme. Di samping kata tajdid,
ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau
pembaruan, yaitu ishlah. Kata tajdid biasa
diterjemahkan sebagai pembaharuan dan kata ishlah sebagai perubahan. Kedua kata
tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu
suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktik-praktiknya
dalam komunitas kaum muslimin.[14]
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal
yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa
pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun
merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera
jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap
ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta semangat
jaman.[15]
Menurut Harun Nasution,[16]
Pembaharuan Islam adalah fikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan
teknologi modern.
2.
Latar
Belakang Pembaharuan Islam
Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dunia Islam timbul terutama
karena adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya
kontak itu, umat Islam abad XIX mulai menyadari bahwa mereka telah mengalami
kemunduran dibandingankan dunia Barat yang pada saat itu mulai menemukan titik
kemajuan peradaban.
Sebelum periode modern, hubungan atau kontak antara Islam dan Barat
sebenarnya sudah terjadi, terlebih antara Kerajaan Utsmani (yang mempunyai
daerah kekuasaan di daratan Eropa) dengan beberapa negara Barat. Namun kontak
dengan kebudayaan Barat ini semakin intens saat jatuhnya kekuatan Mesir oleh
Napoleon Bonaparte dari Perancis, disusul dengan imperialisasi Barat terhadap
negara-negara muslim lainnya. Kondisi itu akhirnya membuka pemikiran
pemuka-pemuka intelektual dan pemerintahan Islam di Mesir untuk segera
mengadakan upaya-upaya pembaharuan.
Di antara
hal-hal yang mendorong lahirnyanya gerakan pembaharuan dan modernisasi Islam
adalah:
a)
Adanya sifat jumud (stagnan) yang telah membuat
umat Islam berhenti berpikir dan berusaha. Selama umat Islam masih bersifat
jumud dan tidak mau berpikir (berijtihad) maka mereka tidak mungkin mengalami
kemajuan. Kemajuan masyarakat hanya akan bisa tercapai melalui pengkajian ilmu
pengetahuan yang terus menerus untuk kemudian diaplikasikan dalam teknologi
terapan dan kehidupan sosial yang nyata demi kemajuan masyarakat. Untuk itulah
maka perlu diadakan upaya pembaharuan dengan memberantas sikap jumud dan menggerakkan
kembali tradisi ijtihad di kalangan umat Islam.
b)
Persatuan di kalangan umat Islam mulai terpecah
belah. Umat Islam tidak akan mengalami kemajuan apabila tidak ada persatuan dan
kesatuan yang diikat oleh tali ukhuwah Islamiyah. Karena itu maka lahirlah
suatu gerakan pembaharuan yang berupaya memberikan inspirasi kepada seluruh
umat Islam untuk bersatu dan melawan imperialisme Barat.
c)
Hasil adanya kontak yang terjadi antara dunia
Islam dan Barat. Dengan adanya kontak ini mereka sadar bahwa mereka mengalami
kemunduran dibandingkan Barat. Terutama pasca terjadinya peperangan antara
kerajaan Utsmani dengan kerajaan Eropa, di mana pada masa-masa sebelumnya
kerajaan Utsmani selalu menang dalam peperangan namun saat itu mengalami
kekalahan. Hal ini membuat tokoh-tokoh kerajaan Utsmani berupaya menyelidiki
rahasia kekuatan militer Eropa. Ternyata rahasianya adalah “sistem militer
modern” yang dimiliki Eropa, sehingga,pembaharuan dalam dunia Islam pun salah
satunya dipusatkan pada bidang militer.
d)
Meski demikian, pembaharuan dalam Islam berbeda
dengan renaissance dalam dunia Barat. Jika renaissance Barat muncul dengan cara
“menyingkirkan” peran agama dari kehidupan masyarakat, maka pembaharuan Islam
sebaliknya, yakni untuk tujuan
memperkuat prinsip dan ajaran Islam itu sendiri demi kemashlahatan dunia
secara lebih luas. Pada saat dunia Islam
mengalami kemunduran, bangsa Barat justru
mengalami kemajuan dan berhasil melakukan ekspansi wilayah perdagangan
baru. Meski jalur strategis perdagangan
yang selama itu menjadi jalur internasional telah dikuasai oleh umat Islam
sehingga bangsa Barat sulit melakukan transaksi-transaksi perdagangan melalui
jalur tersebut, namun dengan didukung oleh kesuksesan Christoper Columbus
(1492M) yang berhasil menemukan benua Amerika, juga Vasco da Gama yang berhasil
menemukan jalur ke Timur melalui Tanjung Harapan pada tahun 1498M, [17]
3.
Tokoh-Tokoh Pembaharuan dalam Islam
a)
Muhammad
Ibn Abd al-Wahhab
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Abd al-Wahhab bin Sulaiman bin
‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin
Musyarraf.[18]
Ia dilahirkan di kota ‘Uyainah (sebelah utara kota Riyadh) pada tahun
1115 Hijriyah, bertepatan dengan tahun 1703 Masehi di tengah-tengah keluarga
Ulama. Ayah, kakek dan paman-paman beliau adalah para Ulama, sehingga sejak
kecil beliau sudah menghafal al-Quran dan belajar fiqh, tafsir dan hadits dari
ayah beliau. Saat sudah mencapai usia baligh beliau berangkat ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji dan ia bertemuu serta menimba ilmu dari para ulama
Mekkah dan Madinah. Beliau juga berangkat menuju Basrah dan menimba ilmu dari
para Ulama Basrah ketika itu.
Muhammad Ibn Abd al-Wahhab memulai dakwahnya di kota Huraimila`,
yaitu tempat tinggal ayahanda beliau yang menjabat sebagai hakim di sana.
Beliau mulai mengajak untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah swt, dan
menjelaskan bahaya syirik serta bahaya beribadah kepada selain Allah. Tetapi
sepeninggal ayahanda, beliau kembali ke ‘Uyainah dan kembali berdakwah di sana.
Lantaran terjadi berbagai tekanan, akhirnya beliau meninggalkan kota ‘Uyainah
menuju Dir’iyah.
Di kota Dir’iyah inilah Muhammad Ibn Abd al-Wahhab bertemu dengan
Amir Muhammad bin Su’ud sebagai pemimpin kota Dir’iyah ketika itu, yang
akhirnya mereka berdua sepakat untuk menyebarkan dakwah Muhammad Ibn Abd
al-Wahhab, yaitu untk memurnikan ajaran Islam dari segala bentuk syirik, bid’ah
dan khurafat, serta mengembalikan kaum Muslimin kepada ajaran Islam yang benar
sesuai yang dibawa oleh Rasulullah saw dan telah dipraktekkan oleh para
sahabat. Kerjasama yang penuh berkah inilah yang merupakan cikal bakal Kerajaan
Saudi Arabia yang kita kenal sekarang.[19]
Pada masa itu, negeri-negeri Islam benar-benar mengalami
kemerosotan dari segala aspek, kaum Muslimin mengalami kemunduran moral dan
akhlak, praktek kesyirikan tersebar dimana-mana, berdoa kepada selain Allah,
meminta pertolongan kepada pohon serta batu-batu keramat, serta praktek sihir
dan perdukuna hampir merata di tegah-tengah kaum Muslimin.[20]
Dengan munculnya dakwah Muhammad Ibn Abd al-Wahhab ini di tengah
Jazirah Arab, dan dibantu oleh kekuatan pedang Amir Muhammad bin Su’ud yang
kemudian menyebar ke negeri-negeri Islam lainnya, maka pantaslah jika beliau
dijuluki sebagai pembaharu abad kedua belas Hijriyah.
Masa kecil Muhammad Ibn Abd al-Wahhab lebih banyak dipergunakan
untuk mempelajari al-Quran, tidak banyak dipergunakan untuk bermain-main bersma
teman sebayanya, shingga beliau telah hafal al-Quran sebelum umurnya mencapai
10 tahun. Beliau memiliki ketajaman pemahaman yang kuat biasa, cerdas, cepat
menghafal dan fasih pengucapan kata-katanya.
Sebelum beliau melakuka perjalanan jauh ke berbagai negeri untuk
menuntut ilmu, hal yang pertama kali beliau lakuka adalah menyibukkan diri
dengan sungguh-sungguh menggali ilm agama dari ayahnya sendiri. Maka
dasar-dasar ilmu yang kuat sudah belaiu miliki semenjak umur beliau berkisar
antara sepluh tahun di ‘Uyainah, salah satu daerah di Najed.
Beliau mencapai usia baligh sebelum usianya genap 12 tahun. Pada
usia itu, sesudah usianya baligh, beliau sudah disuruh menjadi imam shalat oleh
ayahnya, dan ayahnya pun menikahkannya. Setelah itu,, pada usia yang sama,
beliau pergi haji memnuhi rukun Islam yang kelima dan selanjutnya beliau
mengunjungi kota Madinah dan menetap di sana selama dua bulan, baru sesudah itu
beliau kembali ke kampung halamannya. Itu adalah perjalanan ibadah haji pertama
beliau. Dan tampaknya, selama dua bulan beliau tinggal di Madinah beliau sempat
menghadiri beberapa pelajaran dari beberapa Ulama di Masjid Nabawi. Tetapi yang
paling berpengaruh bagi beliau adalah ketika bertemu dengan dua Ulama besar
yang kelak menjadi guru-gurunya pula pada pengembaraan ilmiah berikutnya, yaitu
Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.
b)
Jamaluddin
Al-Afghani
Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang tokoh penting penggerak
pembaruan dan kebangkitan Islam abad ke-19. Ia dilahirkan pada 1838 M. Ayahnya
bernama Sayyid Syafdar, seorang penganut mazhab Hanafi. Menuru L. Stoddard,
Jamaluddin dilahirkan di Asadabad dekat Hamazan di Persia, namun ia
berkebangsaan Afganistan, bukan Persia seperti dinyatakan dalam namanya.
Sejak kecil, Jamaluddin telah menekuni berbagai cabang ilmu
keislaman, seperti tafsir, Hadits, tasawuf, dan filsafat Islam. Ia juga belajar
bahasa Arab dan Persia. Sejak remaja ia mulai menekuni filsafat dan ilmu
eksakta menurut sistem pelajaran Eropa modern.
Dalam sebuah konspirasi, Inggris berhasil menghasut penguasa Mesir
untuk mengusir al-Afghani. Akhirnya ia dibuang ke India dan ditahan di sana pada
1879. Dari India ia menjalani kehidupa yang mobile, seperti di London,
Paris, Teheran, dan Istanbul. Jamaluddin wafat pada usia 59 tahun pada 9 Maret
karena penyakit kanker.
c)
Muhammad
Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan pada 1849 M
di sebuah desa pertanian di lembah Sungai Nil. Ayahnya, Abdul Hasan Khairullah,
adalah seorang keturunan Turki yang telah
lama menetap di Mesir. Adapun ibunya dalah seorang Arab yang masih
mempunyai hubungan dengan keluarga Umar ibn al-Khattab, khalifah kedua dalam
Islam setelah Nabi Muhammad saw wafat.
Pendidikan dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang
mengajarkan membaca dan menulis setra ilmu-ilmu keislaman. Selanjutnya, ia
belajar menghafal Al-Quran di bawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun,
Abduh berhasil menghafal Al-Quran dengan sempurna. Selanjutnya, dalam usia lima
belas tahun ia ikirim ayahnya ke Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar
ilmu agama. Pada usia 16 tahun, ayahnya menikahkannya. Namun pendiikan masih
tetap berlanjut hingga ia menyelesaikan studinya di al-Azhar pada 1877.
Selanjutnya, ia mengembangka ilmunya dengan mengajar di Dar al-`Ulum, di
samping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan buku
tentang akhlak berjudul Tahdzib al-Akhlaq karangn Ibn Miskawaih, yang
sudah diterjemahkan oleh al-Thanthawi.
Abduh wafat pada 11 Juli 1905. Jenazahnya diiringi oleh ribuan
orang yang mencintainya. Bukan hanya orang Muslim, orang-orang Yahudi dan
Nasrani pun ikut berbondong-bondong memberi penghormatan terakhir kepada tokoh
penggerak pembaruan Islam ini.
d)
Muhammad
Rasyid Rida
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid bin Ali Rida bin Muhammad
Syamsuddin bin Muhammmad Baharudin bin Mulla Ali Kalifa. Ia lahr di
al-Qalamun,sebuah desa dekat Tripoli di tepi Pantai Mediteranian sebelah utara
Lebanon (Syiria),pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H /23 september 1865 M dan
meninggal pada 23 Jumadil Ula 1354 H/22 Agustus 1935. Secara geneologis, ia
masih memeliki pertalian darah dengan al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu
Nabi Muhammad dari garis Fatimah. Pendidikannya dimulai pada kuttab di Qalamun,
lalu kesekolah nasional Usmani, sekolah nasional Islam Tripoli (al-madrasah
al-Wataniah al-Islamiah) tahun 1882, dan Sekolah Agama di Tropoli[21].
Pemikiran pembaharuan Muhammad Rasyid Rida secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi tiga,[22] yaitu :
1)
Keagamaan,
menurut Rasyid Rida bahwa kemunduran yang diderita umat islam karena mereka
tidak mengamalkan ajaran islam yang sebenarnya, mereka telah menyeleweng dari
ajaran tersebut. Untuk itu, umat islam harus dikembalikan pada ajarn islam yang
semestinya,bebas dari segala bid’ah, sederhana dalam ibadah dan muamalah. Ia
juga menganjurkan pembaharuan dalam bidang hokum yakni penyatuan madzhab.
2)
Pendidikan,
Rasyid Rida mengajukan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum dengan ilmu-ilmu
agama islam di sekolah-sekolah. Maka kurikulum yang ada perlu dimasukkan
teologi,pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung,
ilmu kesehatan, bahasa asing, dan ilmu kesejahteraan keluarga, disamping
ilmu-ilmu agama seperti tfsir, fikih, hadis, dan sebagainya yang biasa
diajarkan di sekolah-sekolah tradisional.
3)
Politik,
menurut Rasyid Ridha bahwa faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran
peersaudaraan seluruh umat islam.persaudaraan dalam islam tidak mengenal adanya
perbedaan bahasa, tanah air dan bangsa.
Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih
berada di Suria, tetapi usaha-usahnya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani.
Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu memutuskan pindah ke
Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898 ia sampai di negeri
gurunya ini.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah termasyhur,
Al-Manar. Didalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-manar antar lain
mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, social dan ekonomi, memberantas
tahayul dan bid’ah yang masuk kedalam tubuh islam, menghilangkan faham fatalism
yang terdapat dalam kalangan umat islam, serta faham-faham salah yang dibaw
tarekat-tarekat tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat islam
terhadap permainan politik Negara-negara barat[23].
e)
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal
lahir di Sialkot pada tahun 1876. Ia berasal dari keluarga Kasta Brahmana
Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh adalah guru
pertamanya. Untuk meneruskan studinya ia kemudian pergi ke Lahore dan belajar
disana sampai memperoleh gelar kesarjanaan M.A. Dikota inilah ia berkenalan
dengan Thomas Arnold, seorang orientalis, yang menurut keterangan mendorong
Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Di tahun 1905 ia pergi keNegara ini
dan masuk ke universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. 2 tahun kemudian
ia pindah ke Munich di Jerman, dan disinilahn ia memperoleh gelar Ph.D, Dalam
tasawuf. Tesis doctoral yang diajukannya berjudul ; The development of
metaphysic in Persia ( perkembangan metafisik di Persia)[24].
Pemikiran
pembaharuan Muhammad Iqbal secara garis besar terdiri dari tiga bidang,[25] :
1.
Keagamaan, Muhammad Iqbal memandang bahwa kemunduran umat Islam
disebabkan oleh kebekuan umat islam dalam pemikiran dan ditutupnya pintu
ijtihad. Islam menurutnya mengajarkan dinamisme, al-Qur’an senantiasa
menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam
seperti matahari, bulan, pertukaran siang malam, dan sebagainya. Oleh karena
itu, ijtihad dianggap sebagai prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan
perubahan dalam hidup social manusia sehingga ijtihad mempunyai kedudukan
penting dalam pembaharuan Islam.
2.
Pendidikan, Muhammad Iqbal tidak menjadikan Barat sebagai model
pembaharuannya karena menolak kapitalisme dan imperialise yang dipengaruhi oleh
materialisme dan telah mulai meninggalkan agama. Yang harus diambil umat islam
dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya.
3.
Politik, Muhammad Iqbal memandang bahwa India pada hakekatnya
tersusun dari dua bangsa, Islam, dan
Hindu. Umat islam India harus menuju pada pembentukan Negara sendiri, terpisah
dari negara Hindu di India sehingga beliau dipandang sebagai bapak Pakistan.
Pemikiran-pemikiran
Muhammad Iqbal mempengaruhi dunia islam pada umumnya, terutama dalam
pembaharuan di India. Ia menimbulkan paham dinamisme di kalangan umat islam
india dan menunjukn jalan yang harus mereka tempuh untuk masa depan agar umat
islam minoritas di anak benua itu dapat bertahan hidup dari tekanan luar dengan
terwujudnya republic Pakistan[26]
4.
Dampak Pembaharuan dalam Islam
Pembaharuan di Negara-negara timur tengah tidak hanya tersebar di
lingkungan mereka sendiri, namun juga meluas hingga ke Indonesia[27].
Pengaruh-pengaruh dari pembaharuan tersebut antra lain :
a)
Gema
pembaharuan yang dilakukan oleh JaWahab maludin Al-Afghani dan Syekh Muhammad
Abdul samapai juga ke Indonesia, terutama terhadap tokoh-tokoh seperti Haji
Muhammad Miskin, Haji Abdul Rahman dan Haji Salman Faris, mereka sepulang dari
tanah suci terilhami oleh syekh Abdul Wahab. Pengaruh pemikiran pembaharu Timur
Tengah tersebut adalah timbulnya gerakan Paderi. Gerakan tersebut ingin
membersihkan ajaran islam yang telah tercampur baur dengan perbuatan yang bukan
Islam. Hal itu menimbulakn pertentangan antara golongan adat dan golongan
paderi.
b)
Pada
tahun 1903 M, Murid-murid dari syekh Ahmad Khatib, seorang ulama besar bangsa
Indonesi di Mekkah yang mendapat kedudukan mulia dikalangan masyarakat dan
pemerintah Arab, kembali dari tanah Suci. Merekalah yang menjadi pelopor
gerakan pembaruan Minangkabau dan akhirnya berkembang ke seluruh Indonesia.
Diantara mereka itu adalah Buya Hamka, syekh daud rasyid dan K.H Ahmad Dahlan.
Munculnya berbagai organisasi dan kelembagaan Islam Modern
Indonesia pada awal abad ke-20, baik
yang bersifat keagamaan, politik, maupun ekonomi. Organisasi tersebut ialah
Sarekat Islam, PNI, Partai Muslimin Indonesia dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a) Perang Salib
adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh
kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama
Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci”
dari kekuasaan kaum Muslim, awalnya diluncurkan sebagai jawaban atas permintaan
dari Kekaisaran Bizantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur untuk melawan
ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Perang Salib ini
juga dipengaruhi faktor agama, politik dan ekonomi.
b) Secara garis
besar umat Islam mengalami kemunduran dikarenakan kurang memperhatikan
pelaksanaan ajaran agamanya dan dominasi negara-negara barat dalam bidang
politik dan peradaban.
c) Pembaharuan Islam adalah fikiran dan gerakan untuk menyesuaikan
faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
pengetahuan dan teknologi modern. Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dunia
Islam timbul terutama karena adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan
Barat. Dengan adanya kontak itu, umat Islam abad XIX mulai menyadari bahwa
mereka telah mengalami kemunduran dibandingankan dunia Barat yang pada saat itu
mulai menemukan titik kemajuan peradaban. Tokoh-tokoh pembaharuan dalam islam
diantaranya : Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Jamaludin Al-Afgani, Muhmmad Abduh,
Rasyid Rida, dan Muhammad Iqbal. Pembaharuan di Negara-negara timur tengah
tidak hanya tersebar di lingkungan mereka sendiri, namun juga meluas hingga ke
Indonesia, antara lain dengan munculnya organisasi-organisasi keagmaan,
politik, ekonomi, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Fatahudi, dkk. 2015. Kuliah Kemuhammadiyahan. Mataram : LP2I UM.
Mataram.
Fauzi. 2004. “Pembaharuan Islam (Memahami Makna, Landasan, dan Substansi Metode)“ dalam jurnal Studi dan Budaya. Purwokerto:
IAIN Purwokerto.
Hasan,
Moch. Sya’roni. jurnal “UPAYA PEMBARUAN OLEH PARA MODERNIS ISLAM PADA BIDANG AGAMA,
PENDIDIKAN, POLITIK DAN EKONOMI”.
Khalil,
Muhammad. Sejarah Kebudayaan Islam untuk MA kelas 11.
Nasution,
Harun. 1982. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Nasution,Harun. 1994. Pembaharuan
dalam Islam, Sejarah Pemimkiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abbudin. 2011.
Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Nuryandi,
“Pengaruh Gerakan Modernisasi Islam Terhadap Perkembangan Islam di
Indonesia”,diakses dari http://www.nuryandi.com/2014/05/pengaruh-gerakan-modernisasi-islam.html?m=1 pada hari Minggu 1 Oktober 2017,
pukul 10. 20.
Suntiah, Ratu dan Maslani. 2017. Sejarah Peradaban Islam. Bandung:
Cv. Insan Mandiri.
Syukur, Syamzan. 2014. Perang Salib Dalam Bingkai Sejarah. Jurnal Rihlah
Vol.2 No. 1.
Yatim,
Badri. 2014. Sejarah Kebuadayaan Islam. Jakarta: PT Rajawali Pers.
[14]
Moch. Sya’roni Hasan jurnal “UPAYA
PEMBARUAN OLEH PARA MODERNIS ISLAM PADA BIDANG AGAMA, PENDIDIKAN, POLITIK DAN
EKONOMI”, hal. 2.
[15]
Fauzi, “Pembaharuan Islam (Memahami Makna, Landasan, dan Substansi Metode)“
dalam jurnal Studi dan Budaya, (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2004), hal. 1.
[16]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemimkiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), hal. 11-12.
[24]
ibid hal.190
[25]
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2017),
hal. 141.
[27]
Nuryandi, “Pengaruh Gerakan Modernisasi Islam Terhadap Perkembangan Islam di
Indonesia”,diakses dari http://www.nuryandi.com/2014/05/pengaruh-gerakan-modernisasi-islam.html?m=1
pada hari Minggu 1 Oktober 2017, pukul 10. 20.
No comments:
Post a Comment