BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Al quran merupakan kitab suci
umat Islam yang berisi firman Allah swt yang di turunkan kepada Nabi Muhammad
saw, dengan perantara malaikat Jibril untuk dibaca, di pahami, dan diamalkan
sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi manusia. Tujuan utama diturunkan Al
quran adalah untuk menjadikan pedoman manusia dalam menata kehidupan supaya
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al quran mengandung pelajaran yang
baik untuk dijadikan penuntun dalam pergaulan antara satu golongan manusia,
antara keluarga dengan sesama, antara murid dengan giru, antara manusia dengan
Tuhan.
Umat Islam percaya bahwa Al quran
merupakan puncak dan penutup wahyu Allah saw yang diperuntukkan bagi manusia,
dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui
perantara malaikat Jibril. Al quran merupakan petunjuk dilalah dan irsyad
(penjelasan dan bimbingan) bagi seluruh manusia, dan petunjuk bagi orang yang
bertaqwa.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaima kedudukan Al Quran ?
2.
Apa tujuan dan fungsi Al Quran ?
3.
Bagaimana perilaku orang yang memfungsikan Al Quran ?
4.
Bagaimana isi kandungan Al Quran ?
C.
Tujuan pembahasan masalah
1.
Menjelaskan kedudukan Al Quran
2.
Menjelaskan tujuan dan fungsi Al
Quran
3.
Menjelaskan perilaku orang yang
memfungsikan Al Quran
4.
Menjelaskan isi kandungan Al Quran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab Allah
menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam,
baik yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia
dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
alam. Dalil naqli bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama dan utama antara
lain:
1.
Kitabul Naba’ wal Akhbar ( Kitab Berita dan Kabar)
عَمَّ
يَتَسَآءَلُونَ {1}
عَنِ النَّبَأِ الْعَظِيمِ {2}
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? “Tentang
berita yang yang besar”. (QS. An-Naba’ ayat 1-2)
2.
Kitabul Hukum wa Syariat (Kitab Hukum dan Syariat)
وَأَنِ
احْكُم بَيْنَهُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ
أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَآ أَنزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْا
فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ
كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ {49}
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا
لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ {50}
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara
di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik.”[1]
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah ayat 49-50)
3. Kitabul Jihad (Kitab Jihad)
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ {69}
“
Dan orang-orang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Allah benar-benar bersama
orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Ankabut ayat 69)
4.
Kitabul Tarbiyah
مَاكَانَ
لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ
يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللهِ وَلَكِن كُونُوا
رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ
تَدْرُسُونَ {79}
“Tidak
wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan
kenabian, lalu dia berkata manusia: “Hendaklah kamu menyembah penyembahku bukan
penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya.” (QS Ali Imran ayat 79)
5.
Minhajul Hayah (Pedoman Hidup)
هَذَا
بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ {20}
“Al-Qur’an
ini sebagai pedoman bagi manusia,
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini”. (QS. Al-Jasiyah ayat 20)[2]
6.
Kitabul Ilmi
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ {1}
خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ {2}
اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ {3}
الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ {4}
عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ {5}
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari darah, Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum
diketahuinya”. (QS Al-Alaq ayat 1-5) [3]
B. Fungsi Al-Qur’an
Allah
sebagai pencipta dan manusia sebagai makhluk mempunyai hubungan timbal balik.
Manusia mempunyai keterikatan atau hubungan dengan Allah. Paling tidak ada tiga
hal yang membuat manusia terikat dan tergantung penuh terhadap Allah, yaitu
hubungan penciptaan, pengajaran, dan pemberi rezeki.
Sebagai
konsekuensi dari hubungan dan keterikatan itu, manusia juga harus menjalin
hubungan baik dengan-Nya, yaitu bersyukur kepada-Nya. Manusia memang sudah
Allah anugerahkan akal yang dapat menganalisis apa yang ada pada dirinya dan
alam sekitar, yang mungkin saja dapat menemukan cara bersyukur kepada Allah.
Akan tetapi, akal tidak cukup mampu menemukan cara bersyukur itu dengan
sempurna. Maka untuk itulahAl-Qur’an diturunkan. Ia berfungsi membimbing
manusia bersyukur kepada-Nya dan mengajarkan cara-cara bersyukur itu.
Al-Qur’an menyebutkan beberapa fungsinya hadir di tengah-tengah manusia,
yaitu menjadi maw’izhah, syifa’ al-qalb, hudan, rahmah, dan al-furqan.
1.
Maw’izhah
(nasihat)
Kata
maw’izhah merupakan mashdar mimi dari wa’azha. Secara harfiah ia berarti
an-nushhu (nasihat) dan at-tadzkir bi al-‘awaqib ( memberi peringatan yang
disertai ancaman).
Al-Qur’an
menyebut dirinya sebagai al-maw’izhah (QS. Yunus (10 ; 57). Hal ini berarti bahwa ia sebagai pemberi
nasihat dan peringatan kepada manusia. Nasihat Al-Quran itu disertai dengan
janji-janji, baik ancaman berupa neraka bagi orang yang melanggar nasihat
tersebut maupun ganjaran berupa surga bagi orang yang menurutinya. Nasihat dan
peringatan itu dapat melunakkan dan meluluhkan hati, sehingga jiwa diharapkan
tertarik kepada kebenaran yang disampaikannya.[4]
2.
Syifa’
(obat)
Al-Quran
menyebut dirinya dengan syifa’ (obat) (QS. Yunus (10):57). Al-Isra’ (17):82),
dan Fushshilat (41):44). Kata syifa’ terulang sebanyak empat kali dalam
Alquran, tiga diantaranya menggambarkan fungsi Al quran sebagai obat dan satu
lainnya menggambarkan madu lebah yang juga sebagai obat untuk manusia. Artinya,
Alquran dapat mengobati penyakit yang timbul di tengah-tengah komunitas, baik
penyakit individu maupun penyakit masyarakat.
Untuk
mengobati penyakit-penyakit itu tidak hanya sekedar membaca,memajang, dan
melantunkan keindahan ungkapannya. Akan tetapi, ia perlu dipahami, diamalkan,
dan dijadikan pedoman dalam setiap langkah dan program kehidupan yang dibuat,
baik oleh pribadi maupun pemerintah atau organisasi.
Pengobatan
Al quran diarahkan terhadap hati, karena ia adalah sumber segala perbuatan
manusia, baik perbuatan jahat maupun terpuji. Penyakit itu adalah kesombongan,
keangkuhan, mencintai dunia dan jabatan yang berlebihan, riya’, dengki dan lain
sebagainya. Al quran diturunkan kepada manusia dalam rangka mengobati
penyakit-penyakit tersebut. Ia berusaha memasukkan kebenaran, dengan
sifat-sifat yang mulia ke dalam jiwa.[5]
3.
Hudan
(petunjuk)
Kata
hudan berasal dari kata hada. Dari kata ini juga terbentuk kata hidayahdan
al-hadi, dima yang terakhir merupakan salah satu Asmaul Husna. Secara harfiah,
ia berarti menjelaskan, memberi tahu, dan menunjukkan.secara istilah, hidayah
berarti “Tanda yang menunjukkan hal-hal yang dapat menyampaikan seseorang
kepada yang dituju”.
Maka Al quran sebagai hudan atau hidayah berarti bahwa fungsi Al quran
adalah menjelaskan dan memberitahu manusia tentang jalan yang dapat
menyampaikanya kepada tujuan hidup, yaitu kebahagiaan dunia akhirat. Al
quran bagaikan rambu-rambu dan isyarat yang mengarahkan manusia dalam
menjalankan kehidupan di dunia ini.
Dengan
demikian, hidayah itu bukan ditunggu atau dinantikan, tetapiharus dibaca,
dicari, dan dipahami, kemudian menuruti arahan yang diberikannya.[6]
4.
Rahmat
Al
quran sebagai rahmat mempunyai tiga arti. Pertama, ajaran yang terkandung di
dalamnya mengandung unsur kasih sayang. Ia berfungsi menyebarkan kasih sayang
kepada seluruh makhluk. Kedatangan Muhammad dengan membawa Al quran digambarkan
sebagai rahmat bagi semesta alam.
Arti
kedua adalah ajaran-ajaran tersebut bermaksud menanamkan perasaan lembut dan
kasih terhadap orang lain, bahkan alam sekitar. Perintah dan larangan serta
ketentuan lainya yang terdapat dalam Al quran bermaksud membimbing manusia agar
berada dalam kehidupan yang harmonis, saling mencintai, saling asih, dan saling
menghargai.
Maksud
ketiga dari Al quran sebagai rahmat adalah bahwa kitab suci ini merupakan
perwujudan rahmad Allah bagi manusia. Dengan kata lain Allah memberikan rahmat
kepada manusia melalui Al quran. Karena Allah tidak rela manusia hidup dalam
kebinaan yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.[7]
5.
Furqan
(pembeda)
Secara
harfiah kata fuqan berasal dari kata faraqa, yang berarti pembeda. Dalam surah
Al-Baqarah (2), Al quran menyebut dirinya sebagai pembeda antara yang benar
dengan yang salah, antara yang hak dengan yang batil, antara kesesatan dengan
petunjuk, dan antara jalan yang menuju keselamatan dengan jalan yang menuju
kesengsaraan.
Sebagaiman
yang telah di singgung di atas, manusia telah Allah bekali akal, indra, dan
hati, dimana manusia melalui ketiga hal ini dapat mengenali kebenaran dan
membedakan antara hak dengan batil. Akan tetapi, ia tidak cukup memadai melihat
perbedaan-perbedaan itu karena begitu dominannya pengaruh hawa nafsu yang
membuat akal salah dalam menitai, indra salah dalam memberikan informasi, dan
membuat cermin jiwa menjadi kabur sehingga tidak dapat menangkap kebenaran.
Maka itu Al quran di turunkan. Ia membimbing jiwa, akal, dan indra, bahkan juga
nafsu sehingga semua perangkat jiwa munusia ini dapat mengenali kebenaran dan
tahu perbedaan antara kebenaran dengan kebatilan, kemudian hanya mengikuti
kebenaran tersebut.[8]
C.
Perilaku Orang dalam Memfungsikan Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah dasar hidup bagi setiap umat muslim. Apabila dalam setiap
kehidupan kita berdasarkan Al-Qur’an maka akan terasa tentram dan selalu ingat
kepada Allah. Banyak sekali beberapa contoh perilaku seseorang yang dalam
hidupnya memfungsikan atau menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupannya, salah
satunya yaitu bersifat ikhlas.
VIDEO
Dari contoh diatas kita dapat mengetahui bahwa orang yang ikhlas adalah
orang yang menjadikan agamanya murni hanya karena Allah semata, dan menerima
setiap apa yang telah Allah takdirkan kepadanya. Kemudian ikhlas adalah
intisari dari iman. Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan dalam QS. Al-An’am ayat
162:
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {162}
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah
Tuhan semesta alam”.
D.
Isi Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an Al-karim adalah kitab Allah yang diturunkan Allah SWT kepada
Rasul-Nya Muhammad SAW berisi petunjuk guna menjadi pedoman hidup umat manusia.
Ajaran-ajarannya begitu luas dan dalam. Sedangkan hukum-hukum yang
terkandung didalamnya lengkap selaras dengan tuntutan hati nurani manusia,
kapan dan dimana saja mereka berada menjadi rahmat bagi alam semesta (Rahmatan
lil alamin). Menurut Syeikh Muhammad Rasyid Ridha isi kandungan
Al-Qur’an itu meliputi:
1.
Aqidah/Tauhid
2.
Janji
dan ancaman
3.
Ibadah
4.
Jalan
mencapai kebahagiaan
5.
Kisah-kisah umat masa lalu
Sedangkan Syeikh Mahmud Syaltut, membagi isi kandungan Al-Qu’an itu menjadi
dua, yaitu:
1.
Aqidah,
dan
Isi
kandungan Al-Qur’an selanjutnya secara
global yaitu meliputi:
a)
Aqidah
Aqidah
adalah keyakinan, kepercayaan. Aqidah islam adalah suatu kepercayaan yang diyakini
kebenarannya dengan sepenuh hati oleh orang Islam. Apabila dikatakan diatas
ajaran Islam itu berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW, maka tolak ukur
kebenaran aqidahnya itu harus dilihat pada pedoman dasarnya.
Dalam Islam Aqidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal yang harus
diyakini dalam hati seseorang dengan penuh keimanan, akan tetapi aqidah atau
kepercayaan yang diyakini. Orang Islam itu tidak
bermakna apabila tidak dimanifestasikan dalam amal perbuatan dan tingkah laku
sebagai orang yang mengaku telah beriman.
Mengaku
beriman saja tidak cukup. Untuk menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang
beriman kepada Allah SWT. Ia harus mampu menyatakan keimanannya dalam amal
perbuatan yang baik (amal shaleh) dan tingkah laku yang terpuji (al Akhlaq al
Karimah) seperti yang diajarkan Allah SWT. Akhlak mulia dan amal shaleh adalah
manifestasi dari aqidah Islam.
Pokok-pokok keimanan yang harus diyakini menjadi Aqidah Islam seperti yang
diajarkan dalam Al Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu antara lain: Qs.
Al Baqarah ayat 163 dan hadits riwayat muslim.
Pokok-pokok kepercayaan yang harus diyakini menjadi aqidah orang Islam
meliputi:
1.
Iman
kepada Allah
2. Iman kepada Malaikat-Malaikat Nya
3. Iman kepada Kitab-Kitab Nya
4. Iman kepada Rasul-Rasul Nya
5. Iman kepada hari Kiamat
6. Iman kepada Qadar-Nya yang baik dan tidak
baik
Orang-orang yang telah menyatakan beriman
kepada Allah dan menganut Aqidah Islam berkewajiban melaksanakan ibadah
kepadanya beramal saleh dan berakhlak mulia.[10]
b) Akhlak
Kata
akhlak merupakan jamak dari al-khuluq.
Secara harfiah, ia berasal dari kata khalaqa yang berarti menjadikan.
Dan al-khuluq berarti kejadian. Secara istilah, al-Akhlak diartikan kepada
suasana jiwa (ahwal an-nafs) yang berpengaruh kepada perilaku. Ibnu Miskawaih
(421 H) mendefinisikan akhlak itu sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.[11]
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat ditegaskan bahwa akhlak sangat erat kaitannya dengan
perilaku (as-suluk), dimana perilaku merupakan cerminan dari keadaan dan
kehendak jiwa. Suasana atau kehendak jiwa yang baik akan melahirkan perilaku
yang baik, dan suasana jiwa yang kotor akan melahirkan pula perilaku tidak baik.
Karena begitu eratnya kaitan antara keadaan jiwa, yang disebut dengan akhlak,
dengan perilaku maka dalam penuturan sehari-hari kita sering mengartikan akhlak
itu kepada perilaku.
Maka memperbaiki perilaku harus melalui
perbaikan terhadap suasana jiwa, tidak bisa dengan pendekatan fisik semata.
Itulah sebabnya perbuatan yang dilakukan karena dipaksa tidak berlaku tetap, ia
tidak akan dikerjakan lagi bersamaan dengan hilangnya paksaan itu. Untuk itu
Alquran melarang pemaksaan agama terhadap orang lain (QS. Al Baqarah (2):256), bahkan perbuatan yang dilakukan
secara terpaksa tidak bernilai apa-apa, baik positif maupun negatif. Pekerjaan
yang dikerjakan dengan keterpaksaan bertentangan dengan konsep keikhlasan, dan perbuatan buruk yang dikerjakan atas
intimidasi atau paksaan tidak akan bernilai dosa. Hal ini berarti, nilai
perilaku seseorang tergantung atas dorongan internal jiwanya. Maka Itulah
sebabnya, ibadah dianggap tidak sah jika tidak berniat, di mana niat itu tumbuh
dan berasal dari internal jiwa.[12]
1.
Hukum
Hukum
Islam merupakan khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf,
baik bersifat tuntutan, pilihan, maupun ketentuan mengenai sesuatu. Ia dibangun
atas aqidah tauhid, yang bertujuan mendatangkan kenyamanan, keselamatan, dan
kesejahteraan bagi umat manusia.
Hukum Islam mempunyai
dua prinsip, yaitu dar'u al-mafasid (menghilangkan hal-hal yang dapat
menimbulkan kerusakan) dan jalbu al-mashalih (mewujudkan hal-hal yang
bermanfaat). Kedua prinsip ini merupakan kemaslahatan
bagi umat manusia. Kewajiban, larangan, atau kebolehan yang ditetapkan oleh
syar'i adalah dalam rangka menjaga kemaslahatan tersebut. Mungkin saja semua hukum yang dibuat oleh
manusia juga mempunyai kedua prinsip itu, seperti hukum positif yang berlaku di
setiap Negara.
Secara
garis besar, hukum yang diperbincangkan an meliputi dua hal, yaitu ibadah dan
muamalah. Ibadah meliputi shalat, puasa, zakat, dan haji. Dan muamalah meliputi
hukum keluarga, jinayah, hudud, politik, dan ekonomi.[13]
Persoalan ibadah mencakup segala aspek yang berkaitan dengannya, mulai dari perbincangan
mengenai bersuci sampai kepada persoalan mengenai aturan pelaksanaan ibadah
haji di tanah suci. Demikian pula muamalah, ia juga mencakup segala sesuatu
yang berkaitan dengan pergaulan hidup manusia, mulai dari pergaulan antar
pribadi sampai kepada pergaulan antar Negara.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasikan hukum itu kepada
dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadha'i. Hukum
taklifi mencakup wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Dan hukum wadha’i
mencakup pula shah atau bathal, rukhshah, azimah, sebab, syarat, dan mani’. Yang terakhir ini (hukum wadha’i) berkaitan
dengan yang pertama (taklifi). Keabsahan suatu perbuatan yang wajib tergantung
kepada sebab, syarat, dan rukun. Demikian pula pengharaman juga bergantung
kepada syarat dan sebab. Maka untuk mengetahui dan memahami hukum taklifi tidak
dapat dipisahkan dari pemahaman terhadap hukum wadha’i. Bahkan kesalahan dalam
memahami hukum wadha’i dapat mengakibatkan kesalahan pula dalam menentukan
hukum taklifi.
2.
Sejarah
Sejara
yang termuat dalam al-quran lebih merupakan sebagai metode atau cara
pembelajaran aqidah, hukum, dan akhlak. Hal itu tergambar dalam setiap
pemaparannya tentang sejarah selalu dihubungkan dengan salah satu dari ketiga
aspek tersebut. Perbincangan sejarah selalu dihubungkan dengan ketaatan,
keingkaran, keimanan, dan kekafiran. Oleh sebab itu, perbincangan Alquran
mengenai sejarah tidaklah bertujuan agar manusia menguasai pengetahuan sejarah,
tetapi bagaimana sejarah dapat mengantarkan manusia kepada pribadi yang sadar
bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang perlu patuh dan bersyukur kepadanya.
Jika
dilihat dari masa terjadinya peristiwa yang dipaparkan dalam Alquran, kisah
Alquran dapat dikategorikan kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Peristiwa yang terjadi sebelum Nabi Muhammad
SAW. Hal ini meliputi cerita para nabi terdahulu serta umatnya, orang-orang shaleh,
dan orang-orang yang memiliki perilaku tercela.
b. Peristiwa
yang terjadi pada masa nabi Muhammad SAW, seperti kisah Perang Badar, Perang
Uhud, Isra’ Mi'raj, dan Hijrah ke Madinah.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai
sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, baik yang mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia
dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.
Maka
itu Al quran di turunkan. Ia membimbing jiwa, akal, dan indra, bahkan juga
nafsu sehingga semua perangkat jiwa munusia ini dapat mengenali kebenaran dan
tahu perbedaan antara kebenaran dengan kebatilan, kemudian hanya mengikuti
kebenaran tersebut.
B. Saran
Untuk semua umat muslim sebaiknya lebih memahami
kedudukan, fungsi dan tujuan Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup kita. Lebih
baik apabila kita dapat mengimplementasikan didalam keidupan kita sehari-hari.
[1] Achmad
Shohibuddin. Al-Qur’an dalam Membentuk Mental Remaja. (Jakarta: Dewaruci Press,
2001), Hal. 4-5
[4]Kadar M. Yusuf, Study
Alquran, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 179-180
No comments:
Post a Comment